Selasa, 18 November 2008

Wasiat Sang Ratu


WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Karya: BASTIAN TITO
DELAPAN SABDA DEWA
SATU
WALAU matahari tertutup awan kelabu tebal namun udara di
permukaan laut terasa panas bukan main. Wiro pandangi baju dan
celana putih kotor yang terletak di lantai perahu. Dia berpikir-pikir
apakah akan menanggalkan pakaian hitam pemberian Ratu Duyung
yang saat itu dikenakannya lalu menggantikannya dengan pakaian
putih dekil itu. Dia tak biasa berpakaian serba hitam seperti itu.
Mungkin itu sebabnya dia merasa sangat panas. Memandang
berkeliling Wiro tidak melihat lagi perahu yang ditumpangi Dewa
Ketawa. Di kejauhan kelihatan beberapa pulau bertebaran di
permukaan laut.
Sesaat wajah cantik jelita serta sepasang mata biru mempesona
Ratu Duyung terbayang di pelupuk mata Pendekar 212. “Gadis
aneh..,” kata Wiro dalam hati. “aku tidak mau munafik kalau merasa
tidak suka kepadanya dan ingin bertemu dia lagi. Tapi mengingat
permintaannya…”
Wiro geleng-geleng kepala sambil usap tengkuknya, “Menurut
penglihatan Ratu Duyung lewat cermin saktinya ada sebuah pulau
aneh yang terdiri dari gunung, bukit dan batu merah melulu. Dia tak
mampu melihat lebih jelas karena ada satu daya tolak luar biasa.
Mungkin sekali itu tempat kediaman Raja Obat? Letaknya jauh di
tenggara. Berarti di jurusan sebelah sana…” Wiro berpikir-pikir.
“Mungkin terletak jauh di balik gugusan pulau itu.” Setelah
memandang ke langit, Wiro akhirnya memutuskan untuk menuju ke
pulau itu. Di membelokkan perahunya kearah tenggara.
Menjelang sore sinar sang surya meredup dan udara yang
tadinya sangat panas perlahan-lahan terasa sejuk. Lalu tiba-tiba saja
dia teringat pada manusia bercaping yang tubuhnya penuh koreng
itu.
“Aku tak dapat memastikan siapa adanya itu manusia sialan
yang dijuluki Makhluk Pembawa Bala itu! Mengapa dia berusaha
membunuhku secara licik! Lalu kemana dia kaburnya? Kukira
sarangnya di sekitar lautan sini. Kalau bertemu jangan harap aku
mau memberi ampun…”
Selagi pendekar 212 berpikir-pikir seperti itu, mendadak
sepasang telinganya mendengar suara sesuatu diantara desau angin
laut. Suara itu datang dari sisi kiri kanan perahu yang tengah
dikayuhnya. Murid Sinto Gendeng palingkan kepalanya ke kanan. Dia
tak dapat melihat apa-apa tapi dia yakin sekali di bawah permukaan
air laut ada sesuatu yang bergerak mendekati perahunya. Wiro
palingkan kepala ke kiri. Hal yang sama dirasakannya. Ada benda
bergerak meluncur cepat mendekat perahu dari arah kiri. Hatinya
berdetak tidak enak.
“Ikan buas tidak akan secerdik itu menghadang perahu dari
dua arah berlawanan,” pikir Pendekar 212. “Heemm… saatnya aku
mencoba ilmu menembus pandang yang diberikan Ratu Duyung!”
Cepat Wiro atur jalan darah dan kerahkan tenaga dalamnya
pada kedua matanya. Dia memandang lekat-lekat ke arah permukaan
air laut di sebelah kiri perahu dan kedipkan sepasang matanya dua
kali.
“Huh!” Murid Sinto Gendeng jadi melengak sendiri. Dengan
ilmu Menembus Pandang yang didapatnya dari Ratu Duyung saat itu
samar-samar dia melihat sesosok tubuh manusia berkulit sangat
hitam. Di tangan kanannya dia memegang sebuah benda berbentuk
tombak pendek bermata dua. Ketika Wiro palingkan pandangannya
ke kanan hal yang sama terlihat. Seorang berkulit sangat hitam
menyelam dalam laut, meluncur cepat ke arah perahunya, membawa
senjata tombak bermata dua!
Dua makhluk dalam air mencapai tepi perahu dalam waktu
yang bersamaan.
“Byarr! Byarr!”
Dua makhluk yang menyelam mencuat ke permukaan air. Saat
itu juga Wiro melihat dua sosok manusia berkulit sangat hitam,
berambut pendek memiliki mata tanpa alis berwarna merah. Bibir
mereka yang tebal juga berwarna sangat merah.
Wiro perhatikan bagian tubuh dua makhluk yang menyembul
dari permukaan air laut itu. Pada bahu kiri kanan dan bagian
tengkuk ada sebentuk daging berbentuk daging berbentuk sirip.
Selain itu tubuh keduanya penuh otot tanda memiliki kekuatan luar
biasa. Salah satu kehebatan mereka adalah kemampuan untuk
berenang jarak jauh dan menyelam di bawah permukaan air laut.
“Siapa kalian?” bentak Pendekar 212 Wiro Sableng.
Dua makhluk hitam menyeringai. Ternyata bukan Cuma mata
dan mulut mereka saja yang berwarna merah, tapi lidah dan gigi
mereka pun berwarna merah. Anehnya barisan gigi-gigi mereka
berbentuk kecil-kecil runcing seperti gigi ikan. Dan lidah serta
barisan gigi-gigi itu bergelimang cairan merah seperti darah!
Dari mulut kedua mahkluk hitam ini kelular suara jeritan
keras. Lalu sosok tubuh mereka melesat ke udara. Tombak hitam
bermata dua yang mereka pegang menderu ke arah rusuk kiri dan
kepala bagian kanan Wiro.
“Kurang ajar!” maki Wiro. Secepat kilat dia jatuhkan tubuh ke
lantai perahu. Bersamaan dengan itu Wiro hantamkan pendayung di
tangan kanannya ke tubuh makhluk di sebelah kanan.
“Bukkk!”
“Traakk!”
Kayu pendayung menghantam dada makhluk hitam sebelah
kanan dengan telak. Kayu pendayung patah dua sebaliknya makhluk
yang kena digebuk cuma menyeringai. Masih memegangi patahan
kayu pendayung, Wiro gulingkan diri ke bagian kepala perahu. Ketika
dia baru saja sempat berdiri dua mahkluk yang masih berada dalam
air laut bergerak mendekatinya dan langsung menyerbu lagi.
Kali ini mereka pergunakan tombak masing-masing untuk
menusuk bagian bawah perut Pendekar 212!
Sambil melompat cepat ke udara Wiro keluarkan jurus “kincir
padi berputar”. Kaki kanannya membabat deras ke arah kepala
makhluk berkulit hitam di sebelah kiri perahu sedang untuk yang di
sebelah kanan dia lepaskan pukulan “kunyuk melempar buah”.
“Praakk!”
Tendangan kaki kanan Wiro menghantam kepala makhluk
sebelah kiri.
“Pecah kepalamu!” ujar Wiro begitu dilihatnya lawan mencelat
mental lalu amblas ke dalam laut.
Makhluk di sebelah kanan keluarkan pekik keras melihat
kawannya kena tendangan Wiro. Tubuhnya melesat ke atas dan coba
menusukkan tombaknya ke arah tenggorokan Pendekar 212. tapi
gumpalan angin sakti yang keluar dari tangan kanan Wiro
menghantam dadanya lebih dulu. Seperti temannya, makhluk yang
satu ini terpental dan masuk ke dalam laut diiringi jerit
menggidikkan.
Wiro menarik nafas lega. Dalam hati dia mengomel. “Belum
lama merasa tenteram tahu-tahu ada saja orang-orang yang ingin
membunuhku. Siapa mereka…? Kaki tangan orang tua berpenyakit
kulit berjuluk Makhluk Pembawa Bala itu? Atau…,” belum sempat
Wiro mengakhiri kata hatinya tiba-tiba di kiri kanannya terdengar
teriakan keras.
“Huaahhh!”
“Huaahhh!”
Dua makhluk berkulit hitam yang tadi disangkanya sudah
menemui ajal dan tenggelam tiba-tiba mencelat muncul dari dalam
laut. Tubuh mereka melesat ke udara demikian tingginya hingga di
lain kejap keduanya telah berada di atas Wiro.
Meskipun terkejut besar melihat kejadian itu karena
menyangka dua makhluk tadi telah menemui ajalnya namun Wiro tak
punya kesempatan untuk berpikir lebih lama. Begitu dia mendongak
untuk melihat kedudukan lawan, dari udara makhluk-makhluk aneh
ini telah menukik, lancarkan serangan berupa tusukan tombak ke
punggung dan bagian belakang kepala!
“Mereka tidak main-main. Mereka memang ingin
membunuhku!” ujar Wiro. Secapt kilat dia melompat lalu jatuhkan
diri ke lantai perahu. Dua serangan terus memburu. Wiro balikkan
tubuhnya. Dua tangan yang dialiri tenaga dalam tinggi menggeprak
ke samping. Kaki kanan menghantam ke udara. Inilah jurus yang
disebut “membuka jendela memanah matahari”.
Hantaman tangan Wiro memukul mental dua tombak di tangan
dua lawannya. Sementara tendangan kaki kanan menyodok masuk
ke perut salah satu dari dua makhluk berkulit hitam itu.
“Buukk!”
Makhluk yang kena hantaman tendangan menjerit keras. Tapi
tubuhnya tidka mental karena dengan cepat kedua tangannya
mencekal pergelangan kaki Wiro. Selagi Wiro berkutat berusaha
melepaskan cekalan itu, makhluk kedua berkelebat dan hantamkan
satu jotosan ke dada Pendekar 212!
Wiro merasa dadanya seperti amblas! Tangan kanannya
dihantamkan ke belakang melepaskan pukulan “benteng topan
melanda samudra”, membuat makhluk hitam di belakangnya
menjerit keras dan mental masuk ke dalam laut. Sambil menahan
sakit Wiro berusaha lepaskan kakinya yang dicekal. Perahu kecil
bergoyang keras. Tiba-tiba si makhluk berteriak keras dan gerakkan
kedua tangannya yang mencekal kaki Wiro. Saat itu juga tubuh
murid Sinto Gendengn itu mencelat ke udara lalu melayang jatuh ke
dalam laut!
Di dalam air, Wiro cepat berenang berusaha mencapai perahu.
Dia tahu dua lawan yang dihadapinya memiliki kepandaian luar biasa
dalam hal berenang dan menyelam. Menghadapi mereka di dalam
laut besar sekali bahayanya, apalagi saat itu dia telah cidera akibat
pukulan salah satu lawan. Namun sebelum Wiro berhasil mencapai
perahu, salah satu kakinya tiba-tiba kena dicekal lawan yang tahutahu
sudah berada di belakangnya. Dia kerahkan tenaga dalam lalu
sambil menendang membuat gerakan jungkir balik di dalam air.
Kakinya memang bisa lolos namun begitu dia berbalik dua lawan
sudah menggempurnya kembali.
“Makhluk-makhluk hitam ini rupanya tahan pukulan dan
tendangan. Biar kuhantam dengan pukulan sinar matahari. Tapi…”
Wiro jadi meragu. Seumur hidup dia belum pernah melepaskan
pukulan sakti itu di dalam air. Apakah dia sanggup melakukannya
dan apakah pukulan sakti itu bisa ampuh seperti jika dilepaskan di
daratan?
Makhluk pertama hanya tinggal satu tombak di depan Wiro.
Murid Sinto Gendeng segera salurkan tenaga dalamnya ke tangan
kanan. Semula dia agak meragu namun ketika melihat tangan itu
sebatas siku ke bawah berubah menjadi putih menyilaukan maka
legalah Wiro. Dia segera lipat gandakan tenaga dalamnya.
Di depan sana makhluk yang berada paling depan terkesiap
dan hentikan gerakannya berenang sewaktu dilihatnya tangan kanan
Wiro memancarkan sinar putih menyilaukan dan air laut di sekitar
tempat itu mendadak sontak menjadi panas. Dua makhluk perlahanlahan
berenang mundur, tak tahan oleh hawa panas yang seperti
hendak merebus mereka. Wiro tidak tunggu lebih lama lagi. Dia
hantamkan tangan kanannya ke arah makhluk paling depan.
Sinar putih menyilaukan berkiblat dalam laut. Satu gelombang
air yang mendadak sontak menjadi panas laksana mendidih
membuntal deras lalu menyapu dahsyat ke arah makhluk hitam
paling dekat. Makhluk ini berusaha menghindar dengan melesat ke
kiri tapi gelombang air laut yang panas menyapu lebih cepat.
Tubuhnya kelihatan menggeliat merah dan mengepul lalu terlempat
jauh kemudian seperti sehelai daun kering melayang jatuh ke dasar
laut.
“Heemm… mana kawannya…,” ujar Wiro dalam hati sambil
memandang berkeliling. Dadanya yang terkena pukulan lawan tadi
mendenyut sakit. Napasnya terasa sesak. Dia tak mungkin berada
lebih lama dalma air. Napasnya sesak. Air laut mulai tersedot di
hidung dan mulutnya. Selagi dia berusaha mengetahui dimana lawan
yang kedua tiba-tiba ada satu lengna mencekal lehernya. Ketika dia
coba melepaskan diri, tangan yang lain menjambak rambutnya. Dua
tangan kemudian bergerak. Gerakannya jelas hendak mematahkan
batang leher Pendekar 212!
Wiro hantamkan dua sikutnya sekaligus ke belakang.
“Bukkk!”
“Bukkk!”
Hantamannya tepat mendarat di tubuh orang yang
mencekalnya dari belakang tapi seolah tidak dirasakan malah
cekalan semakin ketat. Kepala Wiro mulai tertekuk ke belakang.
Matanya pedas tak mampu dibukakan lagi, apalagi untuk melihat. Air
laut mengucur masuk ke dalam tenggorokannya lewat mulut dan
hidung!
“Celaka! Tamat riwayatku!” ujar Wiro. Dia kumpulkan seluruh
tenaga yang ada, kerahkan tenaga dalam. Namun cekalan makhluk
yang mencekalnya dari belakang tidak dapat dilepaskan! Sementara
itu napasnya sudah menyengal dan kekuatannya laksana punah.
Sekujur tubuhnya menjadi lemas walau otaknya masih bisa bekerja.
Lawan yang membuat Wiro tidak berdaya ternyata berlaku
cerdik. Sambil terus mencekal berusaha mematahkan batang leher
Pendekar 212 dia membuat gerakan yang membawa Wiro bergerak
semakin jauh menuju dasar laut dimana tekanan air lebih kencang.
Tekanan ini membuat Wiro semakin lemas tak berdaya.
-- == 0O0 == --
DUA
PADA saat yang sangat menetukan itu dimana ajal Pendekar
212 Wiro Sableng boleh dikatakan hanya tinggal sekejapan mata saja
lagi, satu persatu muncul wajah-wajah orang yang paling dekat
dengan dirinya. Mula-mula wajah Eyang Sinto Gendeng sang guru si
nenek sakti, lalu wajah kakek Segala Tahu, sesaat terbayang tampang
Dewa Ketawa. Lalu muncul wajah Bidadari Angin Timur. Terakhir
sekali muncul wajah Ratu Duyung.
“Ra… tu…” Wiro membuka mulut. “Tolong diriku…” tapi
ucapan itu tak pernah keluar. Malah air laut masuk semakin banyak
ke dalam mulutnya,. Kepalanya semakin tertekuk ke belakang.
Mendadak entah bagaimana muncul satu wajah nenek berwarna
putih. Hidungnya kecil dan bagian sekitar mulutnya ditumbuhi bulubulu
halus panjang. Nenek ini menyeringai memperlihatkan gigigiginya
yang kecil serta lidahnya yang merah. Lalu sepasang matanya
yang kehijauan membersitkan sinar menyilaukan yang sesaat
membuat Wiro jadi tersentak.
“Nenek Neko… Nenek Muka Kucing...” ujar Wiro. Lalu terjadilah
satu hal yang luar biasa. Mendadak sontak Wiro ingat sesuatu.
“Koppo… Ilmu Mematahkan Tulang!” desisnya. Satu kekuatan seperti
muncul dalam diri Pendekar 212. Kedua tangannya bergerak
memegang dua jari-jari kedua tangan makhluk hitam yang
mencekalnya. Lalu, “Trak… trak.. trak… trak… trakk!”
Makhluk hitam menggeliat. Wajahnya menunjukkan kesakitan
setengah mati. Mulutnya terbuka lebar. Kedua matanya membeliak.
Jari-jari tangannya hancur berpatahan. Tulangnya mencuat keluar.
Karena tak sanggup menahan sakit makhluk ini lepaskan cekalan
lalu berenang menjauhi Wiro. (Mengenai Nenek Neko dan ilmu
mematahkan tulang yang disebut koppo silahkan baca serial Wiro
Sableng berjudul Sepasang Manusia Bonsai)
Wiro sendiri yang tak ada niat mengejar cepat naik ke
permukaan laut. Dia muncul di atas air dengan megap-megap. Ada
cairan merah keluar dari mulutnya. Dia memandang berkeliling. Di
kejauhan kelihatan perahunya terapung-apung dipermainkan ombak.
Dengan susah payah Wiro berenang mencapai perahu itu. Perlahanlahan
dia naik ke atas perahu. Rasa sakit pada dadanya belum
lenyap. Malah kini napasnya bertambah sesak. Sekujur tubuhnya
terasa letih dan tulang-tulangnya laksana tanggal dari persendian.
Ketika dia hendak membaringkan tubuhnya di lantai perahu tiba-tiba
terdengar suara tawa mengekeh di belakangnya. Wiro putar
kepalanya. Sepasang matanya terpentang lebar ketika melihat siapa
adanya orang yang duduk berjuntai di atas sebua perahu putih yang
tiba-tiba saja muncul di tempat itu tanpa diketahuinya.
“Makhluk Pembawa Bala. Manusia celaka…!” Wiro berusaha
bangkit tapi tubuhnya yang lemah itu terhenyak kembali ke lantai
perahu. Dari balik kain penutup wajahnya kembali terdengar suara
tawa mengekeh orang bercaping yang sekujur tubuhnya penuh
koreng membusuk.
Tiba-tiba sosok Makhluk Pembawa Bala yang mengenakan
pakaian sebentuk jubah melesat ke udara. Dia mendarat di atas
perahu, sengaja tepat di atas tubuh Wiro. Wiro sendiri saat itu sudah
tidak berdaya dan setengah pingsan. Orang yang bercaping tegak
dengan satu kaki menginjak perut sedang kaki satunya menginjak
dada Wiro. Dia mendongak lalu dari mulutnya kembali terdengar
suara tawa bergelak.
“Mujur tak dapat diraih, celaka tak bisa ditolak! Kalau dulu kau
masih bias lolos dari tangnaku, saat ini jangan harap bisa lepas!
Nyawamu memang sudah ditakdirkan harus amblas di tanganku!
Ha… ha... ha… ha…!” suara tawa orang bercaping itu lenyap. Kaki
kanannya diangkat lalu dihantamkan ke arah tenggorokan Pendekar
212 yang terkapar di lantai dalam keadaan pingsan!
Hanya setengah jengkal lagi kaki kanan Makhluk Pembawa
Bala akan menghancurkan leher dan membunuh Pendekar 212 tibatiba
dari laut sekitar perahu melesat enam sosok tubuh. Bagian atas
merupakan tubuh gadis cantik berambut panjang menutupi dada
yang putih polos sedang bagian bawah merupakan ekor ikan besar.
Keenam gadis ini bukan lain adalah anak buah Ratu Duyung
penguasa lautan di kawasan itu.
“Tahan!”
Enam gadis berteriak berbarengan. Gerakan Makhluk Pembawa
Bala serta merta terhenti. Memandang berkeliling dan melihat siapa
yang ada di sekitar perahu tampangnya yang tertutup kain cadar jadi
berubah. Hatinya menjadi tidak enak kalau tidak mau dikatakan
gelisah.
“Jangan berani mencampuri urusanku!” Makhluk Pembawa
Bala membentak.
Enam gadis diam saja namun diam-diam mereka luruskan jari
telunjuk tangan kanan masing-masing.
Melihat tidak ada yang bergerak Makhluk Pembawa Bala cepat
teruskan hantaman kakinya ke leher Wiro. Pada saat itu juga enam
jari si gadis memancarkan sinar biru. Ketika mereka mengangkat jari
masing-masing dan mengacungkan ke arah perahu, enam sinar biru
berkiblat, memapas ke arah tempat kosong antara kaki Makhluk
Pembawa Bala dengan leher Pendekar 212 yang menjadi sasaran.
Makhluk Pembawa Bala berseru keras. Cepat dia tarik
serangannya. Kaki kanannya diangkat. Lalu terdengar jeritan orang
ini. Tiga ujung jari kakinya putus. Bagian sekitarnya laksana
dipanggang. Ujung jubahnya mengepulkan asap pada bagian yang
kelihatan hangus.
“Kalau kau bermaksud meneruskan niat jahat membunuh
lawan yang tak berdaya, kematian akan menjadi bagianmu lebih
dulu!,” salah seorang dari enam gadis bertubuh setengah manusia
setengah ikan membentak.
Mulut orang bercaping yang terlindung di balik kain penutup
komat-kamit tapi tak ada suara yang keluar. Dia maklum jangankan
enam orang, satu orang saja sulit baginya menghadapi gadis anak
buah Ratu Duyung.
“Katakan pada Ratumu, lain kali sebaiknya dia sendiri yang
dating untuk bertemu muka denganku!”
“Ratu kami tidak layak hadir di depan manusia tak berguna
sepertimu!” jawab salah seorang gadis.
Makhluk Pembawa Bala menggeram dalam hati. Dia melompat
dari atas perahu Wiro, masuk ke dalam perahu putihnya.
“Sebelum kau pergi dari sini kami perlu mengajukanbeberapa
pertanyaan!”
Makhluk Pembawa Bala walaupun merasa jeri terhadap enam
gadis namun karena merasa ditekan lantas menukas. “Jangan
membuat aku jadi marah! Katakan apa mau kalian!?”
“Kami perlu tahu siapa kau sebenarnya dan apa perlunya sejak
sekian lama gentayangan di kawasan ini!”
“Hemm… Itu rupanya pertanyaan kalian?” Makhluk Pembawa
Bala mendongak lalu tertawa bergelak. “Katakan pada Ratumu, jika
dia mau datang menemuiku baru aku akan menjawab pertanyaan
kalian!”
“Kau minta mampus! Terima kematianmu!”
Enam larik sinar biru menyambar ke arah Makhluk Pembawa
Bala. Orang ini cepat menyambar caping di atas kepalanya. Lalu
dengan sigap caping yang terbuat dari bambu itu dikibaskannya
menangkis serangan enam larik sinar biru.
“Wussss!”
Makhluk Pembawa Bala menjerit keras. Caping bambu di
tangannya hancur berantakam. Kepingan-kepingan caping itu
bertebaran di udara dalam keadaan terbakar lalu jatuh ke dalam
laut. Si Makhluk Pembawa Bala sendiri mencelat mental dari atas
perahu sampai beberapa tombak lalu tercebur masuk ke dalam laut.
Enam gadis cantik anak buah Ratu Duyung menunggu sampai
beberapa lamanya.
“Tubuhnya tidak muncul lagi…,” berkata gadis di ujung kanan.
“Pasti dia sudah jadi mayat dan tenggelam ke dasar laut.
Beberapa hari di muka baru mayatnya akan mengambang di
permukaan laut…,” berkata gadis lainnya.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” salah satu dari
mereka bertanya.
“Sesuai perintah Ratu kita harus menolong pemuda ini. Ada
darah di sekitar mulutnya. Jelas dia mengalamai luka dalam cukup
parah… lekas berikan obat padanya. Aku akan menotok leher dan
dadanya.” Lalu gadis itu membuka baju hitam Wiro di bagian dada.
Sesaat dia pandangi bagian tubuh yang kokoh penuh otot itu.
Pada bagian tengah dada terdapat rajah tiga angka yang tak asing
lagi. Angka 212. Entah sadar entah tidak, gadis ini lalu mengusap
dada Pendekar 212 dengan lembut. Melihat hal ini kawan di
sampingnya berbisik, “Apa yang kau lakukan!? Jangan berani
berbuat macam-macam. Kalau sampai Ratu memantau lewat cermin
saktinya dan melihat apa yang kau lakukan, kita semua di sini habis
dihukumnya! Lekas totok pemuda itu!”
Wajah gadis yang barusan mengusap dada Pendekar 212
tampak bersemu merah. Dia berpaling dan menjawab, “Tak perlu
bicara keras. Jangan munafik. Aku tahu kau pun sebenarnya sangat
tertarik pada pemuda gagah ini…”
“Sudah! Lekas totok saja tubuhnya. Aku segera akan
memasukkan obat ke dalam mulutnya!”
Gadis pertama segera mengusapkan dua ujung jarinya di
bagian leher dada Pendekar 212. Setelah itu gadis kawannya
memasukkan sebutir obat berwarna biru ke dalam mulut Wiro. Sekali
lagi gadis pertama mengusap bagian leher Wiro. Obat yang ada di
dalam mulut murid Sinto Gendeng meluncur ke dalam
tenggorokannya terus ke perut.
“Sebelum matahari tenggelam dia akan siuman dan luka
dalamnya akan sembuh. Sekarang, sesuai perintah Ratu kita harus
mendorong perahu ini ke arah tenggara dan meninggalkannya di satu
tempat…”
Enam orang gadis itu lantas berenang smbil mendorong perahu
kecil di atas mana Pendekar 212 Wiro Sableng masih terbujur dalam
keadaan pingsan.
-- == 0O0 == --
TIGA
PANGERAN Matahari merangkul gadis yang duduk di
pangkuannya itu lalu dengan penuh nafsu menciumnya berulang
kali. “Kekasihku, sebelum kita bersenang-senang di ruangan dalam
katakana apa hasil peneyelidikanmu…”
Si gadis tersenyum. Sepasang lesung pipit muncul di pipinya
kiri kanan. “Salah…” katanya seraya membelai rambut di belakang
kepala Pangeran Matahari.
“Eh, apa yang salah?” tanya sang Pangeran.
“Kita bersenang-senang dahulu baru nanti aku memberitahu
hasil penyelidikanku!”
Pangeran Matahari tertawa lebar. Ditekapnya kedua pipi si
gadis lalu dikecupnya bibirnya lumat-lumat. Sambil menggeliat gadis
dalam pelukan menurunkan tangannya ke bawah. Pangeran Matahari
cepat memegang tangan itu seraya berkata. “Ingat kekasihku, urusan
besar harus dikerjakan lebih dulu. Soal bersenang-senang jika semua
sudah rampung seribu hari pun kau suka aku akan melayani…”
Si gadis tampak cemberut tapi serta merta pejamkan matanya
dan mengeluarkan suara lirih ketika Pangeran Matahari
menyelinapkan wajahnya ke balik pakaiannya di bagian dada.
“Aku tidak tahan. Benar-benar tidak tahan Pangeran…” bisik si
gadis setengah memelas.
Pangeran Matahari tarik kepalanya lalu berkata. “Ceritakan
padaku hasil penyelidikanmu…”
Si gadis melihat sepasang mata Pangeran Matahari memandang
tak berkesip. Ada sorotan sinar aneh yang membuatnya jadi tak
berani menatap. Dengan sikap manja dia menggelungkan tangan
kanannya di leher sang Pangeran lalu bertanya, “Apa saja yang kau
ingin ketahui, Pangeran?”
“Pertama sudah pasti menyangkut musuh besarku Pendekar
212 Wiro Sableng. Menurut dua bersaudara Tiga Bayangan Setan dan
Elang Setan, mereka berhasil membunuh Pendekar 212 di bukit di
luar Kartosuro. Aku telah meminta mereka membuktikan dengan
membawa kepala Wiro Sableng ke hadapanku. Kau sendiri apa yang
kau ketahui?”
“Kemungkinan mereka memang telah membunuh Pendekar
212. Hanya saja berlaku ayal tidak membawa bukti. Tapi setahuku
tempo hari mereka telah menyerahkan Kapak Maut Naga Geni 212
dan batu sakti hitam milik Pendekar 212. Apakah itu belum cukup
dijadikan tanda atau bukti bahwa musuh besarmu itu benar-benar
sudah tewas? Atau mungkin dua senjata itu palsu belaka?”
Pangeran Matahari mengusap pinggul si gadis lalu gelengkan
kepala. “Kapak dan batu sakti itu asli. Tidak palsu. Tapi menyaksikan
kepala Pendekar 212 jauh lebih meyakinkan daripada hanya
mendengar sekedar laporan dari dua kaki tanganku itu...“
“Turut penyelidikanku, juga berdasarkan beberapa keterangan
orang-orang kita, Pendekar 212 tidak diketahui lagi berada di mana.
Ada yang menduga mayatnya dilarikan orang ke satu tempat di
tengah laut di selatan muara Kali Opak....”
“Hemmm.... Kalau keteranganmu benar mengapa kaki tanganku
di kawasan itu belum datang memberitahu?!” ujar Pangeran Matahari
pula seraya mendongak dan usap dagunya yang ditumbuhi janggut
pendek kasar.
“Kawasan laut selatan berada di bawah pengawasan penguasa
tertentu yang memiliki beberapa pembantu. Salah seorang dari
mereka adalah Ratu Duyung. Ada tanda-tanda sesuatu telah terjadi di
kawasan itu. Beberapa aliran hawa sakti mengalami benturanbenturan
aneh....”
“Ratu Duyung dari dulu memang tidak pernah mau tunduk
terhadap kita...” kata Pangeran Matahari pula. “Sudah saatnya kita
memikirkan untuk melakukan sesuatu terhadap makhluk setengah
manusia setengah ikan itu....”
“Pangeran,” kata gadis yang duduk di pangkuan Pangeran
Matahari. “Kalau aku boleh mengusulkan, pada saat sekarang ini
sebaiknya kita jangan mencari musuh baru dulu. Salah-salah urusan
besar yang tengah kau laksanakan bisa jadi tak karuan... “
“Hemmm.... Kau betul. Usulmu aku terima!” kata Pangeran
Matahari lalu menghadiahkan satu kecupan di bibir gadis itu.
“Kau lihat sendiri Pangeran. Aku tidak seperti gadis-gadis lain
yang jadi kekasihmu. Mereka hanya menyediakan badan. Aku bukan
cuma badan. Tapi juga pikiran dan sumbang saran....”
Pangeran Matahari tertawa gelak-gelak. Sambil menepuk-nepuk
bahu si gadis dia berkata. “Itulah kelebihanmu, kekasihku. Itu
sebabnya kau mendapat tempat utama di sisiku.”
“Kalau begitu apakah sekarang kita bisa bersenang-senang?”
tanya si gadis. Lalu kaki kirinya digelungkan ke pinggul sang
Pangeran. Pakaiannya yang tipis tersingkap. Ketihatan pahanya yang
bagus mulus dan putih.
Pangeran Matahari mengusap paha itu berulang kali lalu
berkata. “Masih belum saatnya kekasihku. Harap kau suka bersabar.
Kau harus kembali melakukan penyelidikan. Aku harus tahu apa
yang sebetulnya telah terjadi dengan Pendekar 212. Apa benar dia
sudah menemui ajal?”
“Nada suaramu masih saja membayangkan rasa was-was
Pangeran,” kata si gadis pula. lalu tangannya meraba ke bagian dada
Pangeran Matahari. Di balik jubah hitam dan pakaian yang
dikenakannya dia menyentuh sebuah benda yang terikat kencang ke
dada sang Pangeran. “Kau telah memiliki Kitab Wasiat Iblis. Mengapa
harus merasa gelisah dan selalu memikirkan Pendekar 212?”
“Ada ujar-ujar mengatakan bahwa punya satu musuh sudah
terlalu banyak sedang punya seribu teman masih kurang banyak!”
Si gadis tersenyum. “Jadi kau ingin aku menyelidik lag!, pergi
dari sini dan melupakan semua kesenangan yang bisa kita dapatkan
saat ini?”
“Kataku harap kau bersabar. Masanya akan datang aku akan
jadi Raja Di Raja dunia persilatan dan kau kekasih tunggalku....”
Si gadis menarik napas dalam lalu perlahan-lahan dia berdiri,
”Kalau begitu ada baiknya aku minta diri sekarang juga,” katanya. Dia
membungkuk sedikit untuk memeluk dan mencium Pangeran Matahari.
Namun dengan gerakan nakal dia menggoyangkan bahu dan
pinggulnya. Pakaian tipis yang melekat di tubuhnya serta merta
merosot jatuh ke lantai. Ketika Pangeran Matahari balas memeluk
maka dia merangkul tubuh si gadis. Kalau tadi sang Pangeran selalu
menolak ajakan si gadis maka kini dalam keadaan seperti itu dia
tidak dapat menahan gelegak darahnya. Dia berdiri dan slap hendak
mendukung tubuh si gadis. Tapi tiba-tiba, “Braaakkkl”
Pintu ruangan terpentang. Sesosok tubuh masuk dan jatuhkan
diri di lantai. Gadis cantik tanpa pakaian terpekik, cepat-cepat
menyambar pakaiannya yang tercampak di lantai laiu melompat
tinggalkan tempat itu.
Pangeran Matahari tak kurang terkejutnya. Tampangnya merah
mengelam, rahangnya menggembung hingga wajahnya berubah
seperti jadi empat persegi!
Orang yang terkapar di lantai hanya mengenakan sehelai cawat
hitam. Sekujur tubuhnya mulai dari muka sampai ke kaki berwarna
sangat hitam dan liat. Pada dua bahu dan tengkuknya sampai ke
punggung ada daging aneh berbentuk sirip ikan. Mata dan bibirnya
merah.
Pangeran Matahari kerenyitkan kening. Kedua matanya
mendelik tak berkesip menyaksikan bagaimana sepasang tangan
manusia hitam itu, mulai dari pergelangan sampai ke ujung-ujung jari
tampak hancur berpatahan. Tulang-tulangnya mencuat putih
menggidikkan.
“Jahanam! Apa yang terjadi dengan dirimu! Mana kawanmu?!”
Pangeran Matahari membentak seraya melangkah ke hadapan orang
hitam yang terkapar di lantai.
“Ka... kawanku mati!” jawab orang hitam.
“Mati?! Apa yang terjadi?!”
“Dia... dia mati dibunuh Pendekar 212....”
Tampang Pangeran Matahari berubah. Alisnya berjingkrak dan
daun telinganya seperti mencuat mendengar ucapan orang hitam itu.
Kaki kanannya ditendangkan ke dada orang itu hingga si hitam ini
mencelat dan terbanting ke dinding ruangan.
“Lekas katakan apa yang terjadi!” bentak Pangeran Matahari.
“Mohon maafmu Pangeran... Kami tidak berhasil menjalankan
tugas yang kau berikan. Kawanku terbunuh. Aku sendiri kau bisa
saksikan. Kedua tanganku dibikin hancur oleh Pendekar 212!”
Kembali sepasang mata Pangeran Matahari memperhatikan
kedua tangan orang hitam itu seolah tak percaya. Tulang-tulangnya
mencuat berpatahan.... “Ilmu apa yang telah dipakai mencelakai orang
ini? Kalau memang Pendekar 212 yang melakukan setahuku dia tidak
memiliki ilmu kepandaian begini rupa....”
Pangeran Matahari mendongak. Otaknya berpikir keras. Tetap
saja dia tidak bisa menerima keterangan si hitam.
“Kau berdusta! Ini bukan pekerjaannya Pendekar 212!” bentak
sang Pangeran. “Dia tidak punya ilmu kepandaian mematahkan tulang
seperti ini! Aku tahu betul!”
“Saya bersumpah memang dia yang melakukan. Kami
mencegatnya di pantai selatan...”
Pangeran Matahari terdiam sesaat. “Jika kau memang telah
berhadapan dengan Pendekar 212, aku ingin mencocokkan ciri-ciri
jahanam itu dengan apa yang kau saksikan. Bagaimana keadaan
rambutnya?”
“Hitam lebat dan… dan gondrong..,” jawab si hitam.
“Apa dia mengenakan ikat kepala kain putih di keningnya?”
Si hitam menggeleng.
“Hemmmmm....” Pangeran Matahari bergumam. Kecurigaan
bahwa si hitam itu berdusta semakin besar. “Apa dia mengenakan
pakaian serba putih?”
“Ti... tidak Pangeran. Dia mengenakan baju dan celana hitam....”
“Jahanam! Jelas orang itu bukan Pendekar 212! Seumur
hidupnya dia tidak pernah mengenakan pakaian hitam! Kau berani
mendustaiku!”
”Saya bersumpah saya tidak berdusta Pangeran...”
“Manusia keparat! Aku tanya padamu, apa benar kawanmu
sudah mampus?!” bertanya Pangeran Matahari seraya bungkukkan
tubuhnya sedikit.
“Dia memang telah menemui ajal Pangeran. Saya menyaksikan
sendiri...” jawab si hitam yang masih terkapar di lantai sambil
menduga-duga apa maksud pertanyaan Pangeran itu karena
sebelumnya dia telah menjelaskan mengenai kematian kawannya.
Di hadapan si hitam Pangeran Matahari menyeringai. Tiba-tiba
seringai itu lenyap lalu, terdengar suaranya berucap. “Kalau begitu kau
susullah temanmu! Aku tidak butuh manusia jelek dan tolol macammu!”
Habis berkata begitu Pangeran Matahari ayunkan tangan
kanannya. Bersamaan dengan itu dia alirkan tenaga dalam dari bagian
dada di mana menempel Kitab Wasiat Iblis. Pangeran Matahari tahu
betul bahwa si hitam memiliki ilmu kebal tertentu. Dia tak mau susah.
Karenanya dia sengaja meminjam kekuatan ganas yang ada pada kitab
iblis itu.
“Praakkk!”
Kepala manusia hitam rengkah mengerikan. Tubuhnya
terbanting ke lantai tanpa nyawa lagi! Masuk ke ruangan dalam
Pangeran Matahari dapatkan gadis kekasihnya duduk di atas sebuah
bantalan tebal dan empuk. Keadaannya masih polos seperti tadi.
Pakaian tipisriya dipergunakan menutupi auratnya yang penting tapi
itu pun tidak mampu menutupi seluruh tubuhnya.
“Aku hampir yakin kalau Pendekar 212 memang sudah
menemui ajal. Tapi aku merasa perlu menunggu sampai Tiga
Bayangan Setan dan Elang Setan muncul membawa kepala musuh
besarku itu....”
“Apakah sampai saat ini kau masih merahasiakan tentang
diriku terhadap mereka?”
Pangeran Matahari mengangguk.
“Sebaliknya bagaimana dengan saudaramu. Aku tidak ingin....”
“Kau tak usah khawatir Pangeran. Sudah lama sekali aku tidak
mendengar mengenai dirinya. Entah berada di mana...” jawab si gadis
yang duduk di atas bantalan empuk sambil menjulurkan kakinya dan
balik pakaian tipis.
Memandangi tubuh si gadis pikiran sang Pangeran jadi
berubah. Kalau sebelumnya dia tidak berniat untuk bersenangsenang
kini setelah membunuh lelaki hitam tadi rangsangan dalam
dirinya tiba-tiba saja menggelegak. Dia melangkah ke hadapan si
gadis. Perlahan-lahan pakaian tipis yang menutupi tubuh si gadis itu
ditariknya.
-- == 0O0 = --
EMPAT
SINAR sang surya yang siap tenggelam membuat air laut
kemerahan. Enam gadis anak buah Ratu Duyung yang mendorong
perahu berhenti berenang. Gadis yang bertindak sebagai pimpinan
berkata.
“Kita mengantar sampai di sini. Di kejauhan ada sebuah pulau.
Ombak akan mendorong perahu dan membawa pemuda ini ke sana.
Kita harus segera kembali. Ingat pesan Ratu. Kita tidak boleh berada
terlalu dekat dengan pulau-pulau yang banyak bertebaran di sekitar
kawasan ini.”
Lima gadis lainnya tidak menjawab. Dalam hati sebenarnya
mereka ingin mengantar perahu berisi Pendekar 212 itu sampai ke
daratan, menunggu sampai dia siuman dari pingsan. Namun
kelimanya tak berani membantah.
“Mudah-mudahan dia cepat sadar dan selamat. Mari kita
kembali...”
“Tunggu dulu,” salah seorang dari lima gadis tiba-tiba berkata.
“Ada apa?!”
“Aku mendengar seperti ada orang menyanyi. Di kejauhan...”
Empat gadis lainnya picingkan mata dan pasang telinga. Lalu
hampir berbarengan mereka mengiyakan. Gadis yang bertindak
sebagai pemimpin sebenarnya juga sudah mendengar apa yang
didengar lima temannya. Namun dia cepat berkata. “Suara desau
angin laut dan alunan gelombang bisa saja menipu pendengaran kita.
Kalaupun memang yang kalian dengar adalah suara orang menyanyi
maka itu adalah satu keanehan. Siapa pula yang menyanyi di tengah
lautan begini rupa? Dan ingat pelajaran dari Ratu. Dibalik setiap
keanehan mungkin tersembunyi satu bahaya. Jadi, kalian tak perlu
banyak bicara lagi. Ikuti aku meninggalkan tempat ini!”
Enam gadis cantik yang tubuh atas polos sedang sebatas
pinggang ke bawah berbentuk ekor ikan besar itu melepaskan tangan
masing-masing dari perahu lalu berbalik. Sesaat kemudian
keenamnya lenyap masuk ke dalam laut.
Perahu tanpa kemudi tanpa dikayuh itu meluncur perlahan
dibawa alunan ombak menuju ke tenggara dimana di kejauhan
kelihatan sebuah pulau berbentuk aneh. Di sini sama sekali tidak
kelihatan pepohonan. Yang tampak hanya kawasan bebatuan. Di
bawah sinar matahari yang tenggelam dan udara yang mulai
menggelap pulau itu kelihatan angker. Keangkeran itu bisa membuat
siapa saja jadi merinding karena dari pertengahan pulau yang gelap
dimana terdapat gunung dan bebukitan batu merah tiba-tiba sayupsayup
sampai terdengar suara orang menyanyi.
Laut selatan tak pernah tenang
Gelombang selalu datang menantang
Ribuan pagi ribuan petang
Tubuh lapuk ini menunggu kedatangan
Yang menunggu tua renta malang
Yang ditunggu budak malang
Apakah saat ini petunjuk Yang Kuasa turun
menjelang
Mungkinkah ini akhir penantian dan
permulaan dari satu harapan
Hanya kepada Yang Kuasa tertambat seluruh
harapan
Agar tubuh tua ini bisa bebas menempuh
jalan abadi menghadap Sang Pencipta
Orang yang menyanyi itu duduk bersila di atas salah satu
puncak batu berwarna merah. Tubuhnya tampak bungkuk dimakan
usia. Rambut, kumis dan janggutnya yang putih panjang melambailambai
tertiup angin laut. Meskipun tempat itu cukup gelap namun
masih bisa terlihat keanehan pada muka orang tua ini. Wajahnya
sebelah kanan yaitu mulai dari pertengahan kening, hidung, mulut
dan dagu berwarna biru. Di dalam mulutnya senantiasa ada segumpal
sirih campur tembakau yang selalu dikunyahnya tiada henti. Bahkan
ketika menyanyi tadi sirih itu masih tetap berada dalam mulutnya
namun anehnya suaranya bebas lepas seolah-olah mulutnya kosong
tak berisi apa-apa!
Di hadapan orang tua berjubah putih ini, di atas batu, terletak
benda aneh, entah batu entah logam. Benda ini mengeluarkan sinar
angker merah kebiruan seperti nyala sumber api yang sangat panas.
Namun anehnya yang terpancar dari benda itu bukan hawa panas
melainkan satu kesejukan. Makin lama kesejukan itu semakin
menjadi-jadi malah kini hawa di tempat itu terasa sangat dingin. Si
orang tua bermuka biru sebelah sampai-sampai kertakkan rahang
menahan gigil kedinginan.
“Saatnya sudah tiba...” kata orang tua bermuka belang dalam
hati. Seluruh kekuatan luar dalam dikumpulkannya agar tubuhnya
tidak ambruk oleh hawa dingin yang menggempur dari benda bercahaya
di hadapannya. Dalam keadaan sekujur tubuh menggigil orang
tua ini angkat tangan kanannya. Lengan sampai ke ujung-ujung
jarinya yang kurus keriput kelihatan bergetar kaku.
“Batu sakti batu pembawa petunjuk...” si orang tua berucap
dengan suara bergetar. “Terbanglah tinggi, membubung ke angkasa.
Melayanglah turun menukik ke bumi. Cari dan dapatkan anak
manusia penerima Delapan Sabda Dewa. Di dalam dirimu ada
petunjuk. Di dalam dirinya ada kekuatan untuk menangkal
malapetaka. Ingat hanya ada satu kekuatan dan satu kekuasaan di
delapan penjuru angin. Gusti Allah tempat semua kekuatan itu
berpulang menjadi satu. Batu sakti batu pembawa petunjuk.
Terbanglah tinggi membubung angkasa. Melayanglah turun menukik
bumi. Cari dan dapatkan anak manusia penerima Delapan Sabda
Dewa!”
Getaran tangan kanan si orang tua semakin keras. Benda di atas
batu di hadapannya bersinar hebat menyilaukan. Didahului dengan
teriakan dahsyat orang tua itu pukulkan tangannya ke udara.
“Byaaarrr!”
“Wussssss!”
Benda di atas batu bersinar. Tempat itu laksana diterangi sinar
kilat. Lalu terjadi satu hal yang ajaib. Benda terang di atas batu
melesat ke udara, mengeluarkan ekor panjang cahaya terang. Di udara
benda ini berputar tujuh kali berturut-turut. Lalu dengan kecepatan
yang sulit diawasi mata, seperti bintang jatuh benda bercahaya itu
melayang turun ke bumi. Tapi tidak kembali ke tempat asalnya semula
di atas batu di hadapan si orang tua melainkan ke satu tempat di
mana terdapat sebuah batu miring, diapit oleh gugusan batu-batu
karang runcing.
KITA kembali dulu pada saat tak lama setelah enam gadis cantik
anak buah Ratu Duyung melepas perahu kecil di dalam mana
Pendekar 212 terbaring dalam keadaan pingsan....
Perahu kecil dipermainkan ombak, meluncur perlahan ke arah
pantai. pulau yang tertutup batu-batu besar berwarna merah sedang di
sebelah depan pulau itu dikurung oleh deretan batu-batu karang
runcing laksana memagari.
Satu gelombang besar tiba-tiba muncul di tengah laut,
menghantam ke arah pulau dalam bentuk ombak yang bukan olaholah
dahsyatnya. Perahu kecil dimana murid Sinto Gendeng berada
dalam keadaan pingsan mencelat ke udara sampai setinggi lima
tombak, hancur berkeping-keping. Tubuh Wiro tampak berputar
seperti kitiran lalu melayang jatuh melewati dua puncak runcing batu
karang kemudian terhempas di atas sebuah batu miring. Keningnya
membentur bagian batu yang menonjol. Terjadi satu hal yang aneh.
Pada saat tubuhnya mencelat di atas laut dan jatuh ke atas batu Wiro
masih berada dalam keadaan pingsan. Tapi begitu keningnya
membentur tonjolan batu yang menimbulkan luka serta kucuran
darah, Pendekar 212 mendadak siuman dan sempat bangkit sambil
dua tangannya bersitekan ke batu.
“Apa yang terjadi dengan diriku. Di mana aku saat ini.... “ Dia
memandang berkeliling sementara telinganya mendengar suara
deburan ombak tidak henti-hentinya memukul batu-batu karang yang
memagari pulau batu merah itu.
“Aku mendengar suata deburan ombak. Berarti.... Eh, aku
seperti mendengar suara orang menyanyi....” Murid Sinto Gendeng
memutar kepalanya, berusaha memandang ke arah datangnya suara
nyanyian itu. Dia coba mendengar suara nyanyian yang diulang-ulang
itu. Perlahan-lahan dia memutar tubuhnya. Di kejauhan dia hanya
melihat puncak-puncak bukit batu yang menghitam dalam kegelapan.
“Aku akan pergunakan ilmu pemberian Ratu Duyung. Ilmu
Menembus Pandang....” Wiro segera kerahkan tenaga dalam dan atur
jalan darah yang menuju ke matanya. Namun dia tidak dapat memusatkan
pikiran. Keningnya terasa sakit. Tangannya bergerak meraba.
Ada cairan mengalir di keningnya, turun ke pipi kiri.
Saat itu keadaan belum gelap benar. Pantulan terakhir cahaya
matahari masih bisa membuat Wiro mengenali bahwa cairan merah
yang ada di tangannya adalah darah. Darahnya sendiri.
“Apa yang terjadi dengan diriku.... Aku terluka,” pikir Wiro. Dia
mendadak saja merasa ngeri melihat darahnya sendiri.
Pendengarannya dipasang baik baik. “Suara nyanyian itu lenyap. Aneh
kalau ada orang menyanyi di tempat ini. Manusia atau jinkah yang
menyanyi. Tak jelas apa kata-kata dalam nyanyiannya tadi....”` Wiro
siap untuk melihat dengan ilmu Menembus Pandangnya. Tiba-tiba dia
jadi tercekat. Di langit dilihatnya satu benda aneh memancarkan sinar
sangat terang melayang turun ke bumi.
“Bintang jatuh…”piker Wiro. Kemudian disadarinya
kalau benda bercahaya itu melayang jatuh ke arahnya.
“Astaga!” Wiro berseru kaget. Dia berusaha menggulingkan diri.
Tapi benda bercahaya datangnya laksana kilat. Jatuh menghantam
kepalanya tepat pada bagian luka di kening sebelah kiri lalu amblas
masuk ke dalam kepalanya!
“Wusss!”
Kepala dan sekujur tubuh Pendekar 212 mulai dari ujung
rambut sampai ke ujung kaki bersinar terang benderang. Dia seperti
melihat ada ratusan bintang menyilaukan di depan matanya. Saat itu
juga sekujur tubuhnya terasa sedingin salju di puncak gunung hingga
dia menggigil keras. Rahang menggembung geraham bergemeletakan.
Wiro berusaha bertahan. Tapi sia-sia. Sedikit demi sedikit
tangannya yang menahan tubuhnya terkulai lemah ke samping.
Badannya jatuh terbujur di atas batu miring. Kesadarannya perlahanlahan
sirna.
Di atas batu miring tubuhnya yang sedingin es itu tidak bergerak
sedikit pun. Kedua matanya terpentang lebar. Namun dia tidak melihat
apa yang ada di sekitar ataupun di atasnya. Dia seperti orang tidur
nyalang. Satu kejadian aneh menyelubungi Pendekar 212. Dia
tenggelam ke dalam pusaran waktu dan laksana disedot masuk ke
dalam alam pada masa sekitar tujuh puluh tahun yang silam. Anehnya
dirinya sendiri seolah-olah berada dalam pusaran waktu itu!
-- == 0O0 == --
LIMA
LAUT utara tampak tenang. Angin bertiup sepoi-sepoi basah. Di
langit tak berawan kawanan burung laut terbang melintas di atas kapal
besar terbuat dari kayu.
Di buritan kapal Ageng Musalamat memeluk kakek berjubah dan
bersorban putih erat-erat, mencium kedua pipinya berulang kali dan
berusaha menahan titiknya air mata.
“Muridku Ageng Musalamat, negeri Cina sangat jauh dari sini.
Perjalanan menempuh laut bukan satu hal yang mudah. Kau telah
memutuskan untuk menerima undangan Raja di sana. Ini satu
kehormatan sangat besar bagi kita semua muridku. Terutama bagi
dirimu. Berarti kau punya tanggung jawab sendiri terhadap dirimu.
Lebih dari itu kau membawa serta empat puluh orang yang sebagian
besar adalah murid-muridmu yang merupakan juga murid-muridku.
Keselamatan mereka menjadi tanggung jawabmu.... “
“Wali Astanapura yang saya sebut dengan hormat sebagai Eyang
Ismoyo Jelantik, guru saya tercinta. Perjalanan besar ini memang
bukan tanpa bahaya. Namun dengan bekal ilmu pengetahuan serta
kesaktian yang Eyang berikan serta lindungan dan bimbingan dari
Tuhan Yang Maha Kuasa, saya dan semua saudara-saudara yang
empat puluh akan selamat sampai di tujuan. Lalu selamat pula
kembali pulang ke tanah Jawa ini.”
Kakek berjubah dan bersorban putih anggukkan kepala.
“Bagaimanapun baiknya keadaan dan sambutan orang di sana,
satu hal harus kau ingat bahwa negeri itu adalah tanah asing. Jadi
kau dan anak-anak harus pandai-pandai membawa diri. Jangan
berlaku sombong, jangan sampai menyinggung perasaan orang lain.
Jangan pamerkan sedikit ilmu silat dan kesaktian yang kau kuasai.
Mungkin di negeri sana semua yang kau miliki itu tidak ada artinya
sama sekali. Ingat peribahasa yang mengatakan mulut kamu harimau
kamu. Di mana kaki berpijak di situ langit dijunjung. Pesankan pada
anak-anak agar jangan lupa sembahyang lima waktu. Itu tiang agama
yang harus ditegakkan dimana pun kita berada.”
“Terima kasih Eyang. Saya akan selalu ingat baik-baik semua
pesan Eyang.... “
“Selamat jalan muridku. Doaku bersamamu....”
“Selamat tinggal Eyang. Doakan agar kami kembali cepat ke
tanah Jawa ini....”
Wali Astanapura yang dipanggil oleh muridnya itu dengan
sebutan Eyang Ismoyo Jelantik anggukkan kepala. “Kau harus kembali
ke sini tetap sebagai orang yang disebut secara lengkap Kanjeng Sri
Ageng Musalamat....”
“Saya mendengar dan saya berjanji Eyang...” jawab Ageng
Musalamat.
Eyang Ismoyo berpaling pada seorang pemuda yang tegak di
belakangnya sambil memegang sebuah kotak kayu jati berhias ukiran
Jepara. Pemuda ini segera menyerahkan peti yang dipegangnya kepada
Eyang ismoyo.
“Ageng Musalamat,” kata Eyang Ismoyo seraya membuka
penutup kotak kayu, “Kotak ini berisi sebuah senjata sakti
mandraguna berupa keris. Baik mata keris, hulu maupun sarungnya
terbuat dari emas yang ditempa demikian rupa hingga kekuatannya
lebih atos daripada baja. Keris ini dibuat oleh seorang empu
sakti di Bali yang masih merupakan kakekku. Ketika dibuat
senjata ini tidak bernama. Ayahku kemudian memberinya nama
yaitu Kiyai Sabrang Tujuh Langit. Aku menitipkan keris sakti ini
padamu untuk diserahkan pada Raja, negeri Cina sebagai tanda
persahabatan yang tulus.”
Eyang Ismoyo membuka penutup peti. Satu cahaya kuning
membersit keluar dari kotak, mengenai wajah Ageng Musalarnat
hingga lelaki berusia empat putuh tahun ini mengerenyit
kesilauan. Meskipun silau namun Musalamat masih dapat melihat
sosok keris emas Kiyai Sabrang Tujuh langit yang ada dalam kotak
kayu.
Si orang tua menutup kotak kayu kembati lalu
menyerahkannya pada muridnya seraya berkata. “Simpan senjata
mustika ini di tempat yang baik. Kau tidak perlu terlalu
mengawasinya. Tak ada seorang pun yang akan sanggup
mencurinya....”
“Maksud Eyang ada satu kekuatan yang melindunginya?”
tanya Musalamat.
Eyang Ismoyo menunjuk ke atas. “Tuhan Yang Maha Kuasa
yang melindunginya. Siapa saja yang berniat jahat, misal berusaha
mencuri atau merampok senjata ini dari pemiliknya yang sah atau
selama berada dalam titipan yang sah maka orang jahat itu tak
akan sanggup melakukan. Keris ini akan menjadi sangat berat
seolah seberat gunung batu!”
Ageng Musalarnat menerima kotak kayu itu dengan hatihati.
Lalu sang guru berkata. “Sebelum layar terkembang, sebelum
kapal besar berlayar, aku ingin melihat kamarmu. Seumur hidup
belum pernah aku melihat kamar dalam kapal. Apakah seperti
kamar ketiduran tuan puteri...?” Eyang Ismoyo memegang bahu
muridnya. Walau sentuhan itu biasa-biasa saja namun Musalamat
merasa ada satu hawa aneh yang membuat tubuhnya mengikut
kemana telapak tangan sang guru mendorong. Maklumlah
Musalamat kalau gurunya bukan hanya sekedar ingin melihat
kamar di dalam kapal.
Apa yang diduga Musalarnat ternyata benar. Begitu masuk
ke dalam kamar di bawah buritan Eyang Ismoyo langsung
mengunci pintu. Selagi Musalamat meletakkan kotak kayu jati di
dalam sebuah lemari, orang tua itu membuka ikatan kain putih
lebar yang menggelung pinggangnya. Dari balik ikatan kain putih
dikeluarkannya sebuah benda berupa lembaran-lembaran daun
lontar yang sudah sangat tua membentuk sebuah kitab. Sepasang
mata Sri Ageng Musalamat cepat melihat apa yang ada di tangan
gurunya dan sekilas sempat membaca deretan aksara Jawa kuno
yang tergurat di sampul kitab.
“Kitab Putih Wasiat Dewa...” kata Ageng Musalamat dalam
hati dengan dada berdebar. “Muridku, aku yakin kau pernah
mendengar tentang kitab sakti ini...”
Ageng Musalamat mengangguk. “Saya sudah lama tahu
kalau Eyang memang memilikinya, namun baru sekali melihatnya,”
jawab Musalamat sambil matanya tidak lepas dari kitab tua yang
berada di tangan sang guru.
“Kitab ini dibuat dan ditulis isinya oleh nenek moyang kita
ratusan tahun yang silam. Siapa mereka adanya tidak diketahui.
Yang jelas pada masa kitab ini diciptakan nenek moyang kita masih
belum tersentuh hidup beragama. Mereka menganggap semua
kekuatan, semua kesaktian datang dari langit, daripada apa yang
mereka sebut para Dewa. Walau demikian apa yang mereka pelajari
dan apa yang kemudian mereka ajarkan bukanlah satu perbuatan
sesat. Mereka memiliki tata krama peradaban asli yang tidak
tercampur dengan kehidupan asing. Banyak dari semua tata krama
dan peradaban itu yang kini tetap kita pergunakan sebagai panutan.
Muridku, Kitab Wasiat Dewa ini bukan kitab sembarangan. Kitab sakti
ini diwariskan padaku sekitar lima belas tahun yang lalu. Aku telah
membaca dan mempelajari seluruh isinya. Namun aku merasa kepandaian
apa yang aku dapat dari kitab ini masih belum sempurna. Harus
banyak waktu yang diperlukan untuk mendalami pelajaran dan
kesaktian yang ada di sini. Otak tuaku sudah tumpul. Usiaku sudah
lanjut dan tubuhku sudah sangat rapuh. Mungkin aku sudah keburu
menemui ajal sebelum aku dapat mengerti seluruh isi kitab ini. Kau
masih muda, otakmu masih tajam dan tubuhmu masih kuat. Kurasa
kau akan mampu menguasai isi kitab ini jauh lebih cepat dariku. Aku
tidak punya orang lain yang dapat kupercaya. Kitab Wasiat Dewa ini
kuserahkan padamu. Jagalah baik-baik, selami isinya yang hanya
beberapa lembar ini. Kelak kepandaian yang kau miliki dan berasal
dari kitab ini akan mampu menegakkan kebenaran dan keadilan,
menumpas segala kejahatan. Orang yang memberikan kitab ini padaku
pernah mengatakan siapa yang memiliki kitab ini dan
mempergunakannya di jalan Allah maka dia akan menjadi penguasa
dunia persilatan, pengubur kesesatan dan penumpas kejahatan...“
Eyang Ismoyo menyerahkan kitab di tangannya pada Ageng
Musalamat. Sang murid yang tidak menduga hal itu akan terjadi
tersurut mundur dengan muka pucat.
“Eyang... Sa... saya tidak berani menerima kitab sakti ini...” kata
Ageng Musalamat dengan suara bergetar.
“Kau tidak berani. Apakah kau mau mengatakan apa sebabnya?”
tanya Eyang Ismoyo seraya menatap tajam sepasang mata muridnya.
“Saya... saya merasa tidak layak memilikinya. Saya insan kecil
yang tak mungkin mampu...”
“Muridku...” memotong Eyang Ismoyo. “Di mata Tuhan semua
manusia itu sama adanya. Yang membedakan kita satu sama lain
adalah ketakwaan terhadapNya. Yang membedakan kita satu sama lain
ialah dari patuh pada larangan dan kukuh pada ajaranNya. Aku
mempercayakan kitab ini untuk diserahkan padamu. Jangan siasiakan
kepercayaan itu...”
“Eyang...”
“Aku pernah mendapat petunjuk dalam mimpi. Kau akan
mampu menguasai isi kitab ini dalam enam kali bulan purnama.
Selama perjalanan ke negeri Cina yang akan menghabiskan waktu
cukup lama, selama berada di atas kapal mulailah membaca dan
menyelami serta mempelajari isinya... Terimalah!”
Dua tangan Ageng Musalamat tampak gemetaran ketika
menerima Kitab Wasiat Dewa yang terbuat dari daun lontar itu.
“Terima kasih atas kepercayaan guru. Amanat Eyang tidak akan
saya sia-siakan,” Musalamat membungkuk dalam-dalam.
Eyang Ismoyo tersenyum. Tiba-tiba dia melangkah ke pintu.
Siap hendak membukanya tapi membatalkan niatnya.
“Ada apa Eyang?” tanya Ageng Musalamat. “Ada seseorang
mencuri dengar pembicaraan kita tadi,” jawab si orang tua.
Mendengar ini Ageng Musalamat segera membuka pintu dan
memeriksa keluar.
“Tak ada siapa-siapa...” katanya. Tapi dia yakin pendengaran
sang guru tidak salah.
“Orangnya tentu telah menyelinap pergi. Muridku, ada
seorang culas di antara empat puluh anak buahmu.”
“Saya menyesalkan kebodohan saya. Padahal saya telah
memilih mereka dari orang-orang yang paling saya percayai.
Agaknya saya harus melakukan penyelidikan. Kalau perlu
keberangkatan hari ini saya batalkan.”
Si orang tua gelengkan kepala seraya memegang bahu
muridnya. “Jangan habiskan waktu untuk melakukan hal itu. Jika
kau sudah tahu ada seorang yang bersifat lancung yang harus kau
lakukan adalah berhati-hati, selalu bersikap waspada. Bila dalam
perjalanan kau berhasil menangkap orang yang culas itu,
kuperintahkan padamu untuk melemparkannya ke dalam lautan!
Aku pergi sekarang.”
Sri Ageng Musalamat cepat menyalami tangan gurunya dan
menciumnya dengan khidmat. Lalu orang tua itu diantarkannya
sampai ke daratan.
Ketika kapal besar itu mulai meluncur meninggalkan pantai
utara pulau Jawa, Eyang Ismoyo Jelantik didampingi beberapa
orang sahabat dan anak buahnya masih tegak di tepi pantai. Dia
baru bergerak sewaktu kapal kayu itu lenyap di batas pemandangan.
Dari saku jubahnya dikeluarkannya sebuah tasbih. Lalu
sambil melangkah orang tua ini mulai berzikir. Jauh di lubuk
hatinya ada suara yang mengatakan bahwa dia tak akan bertemu
lagi untuk selama-lamanya dengan muridnya itu.
“Entah aku yang akan meninggalkan dunia fana ini lebih
dulu, entah dia yang akan mendapat cobaan berat...” membatin si
orang tua. “Tuhan, lindungi dia. Jauhkan dia dari segala
malapetaka. Selamatkan dia dan seluruh anak buahnya kembali
ke tanah Jawa.”
-- == 0O0 == --
ENAM
LAUT malam mengalun tenang. Itu adalah malam pertama
kapal kayu yang ditumpangi rombongan Kanjeng Sri Ageng
Musalamat dalam pelayaran menuju utara. Setelah beberapa lama
berada di anjungan menikmati udara malam di tengah lautan murid
Eyang Ismoyo itu turun ke bawah, masuk ke dalam kamarnya. Dia
berdiri di atas sebuah kursi kayu lalu menggeser papan kecil di
langit-langit ruangan. Dari atas langit-langit kamar dikeluarkannya
Kitab Wasiat Dewa. Dengan hati-hati kitab itu diturunkannya lalu
duduk di atas ranjang.
Ageng Musalamat sengaja menyembunyikan kitab sakti itu di
atas loteng kamar tidur karena khawatir ada yang berniat jahat.
Apalagi dia sudah mendapat pemberitahuan dari sang guru kalau ada
seseorang yang telah mencuri dengar percakapan mereka di dalam
kamar.
Sejak siang tadi sebenarnya Ageng Musalamat ingin membuka
dan membaca isi kitab itu namun hatinya merasa tidak tenang. Hal
ini dapat dimaklumi. Beban yang diberikan Eyang Ismoyo dengan
menyerahkan kitab sakti itu padanya bukan beban kecil. Kalau
sampai dia tidak dapat memegang amanat bukan dirinya saja yang
akan celaka tapi rimba persilatan di tanah Jawa akan mengalami
bencana.
Ageng Musalamat memperbesar lampu minyak di atas kepala
tempat tidur. Dengan tangan gemetar dia membalik sampul Kitab
Wasiat Dewa.
Pada halaman pertama tertera serangkaian tulisan dalam
aksara Jawa kuno berbunyi:
Bilamana datang kebenaran maka meraunglah
para iblis pembawa kejahatan.
Kejahatan mungkin bisa berjaya.
Tapi pada saat kebenaran dan keadilan muncul
tak ada satu kekuatan lain mampu
membendungnya.
Kejahatan membakar dan merusak laksana api.
Tetapi api itu sendiri sebenarnya adalah
kekuatan dahsyat
Yang diarahkan para Dewa untuk membakar
mereka.
Bilamana api memusnahkan mereka
maka penyesalan tiada berguna.
Ageng Musalamat membaca rangkaian kalimat itu sampai tiga
kali lalu pejamkan mata merenungi dan meresapi. Sesaat kemudian
baru dia membuka halaman kedua Kitab Wasiat Dewa yang terbuat
dari daun lontar itu.
Di halaman ini terdapat gambar kepala seekor harimau putih
yang dikurung oleh lingkaran putih. Pada bagian bawah tertera
tulisan berbunyi:
Putih lambang kesucian dan kebenaran.
Harimau lambang keberanian dan kejantanan.
Barang siapa berjodoh dengan kitab ini maka
kemana pun dia pergi harimau putih akan
menjadi kekuatan, menjaganya dari segala
musuh, ilmu hitam dan iblis jahat.
Setelah mengerti betul apa yang tertulis di halaman kedua itu
maka barulah Ageng Musalamat membalik memasuki halaman
ketiga. Di halaman ini terdapat tulisan panjang dalam aksara Jawa
kuno berukuran kecil. Ageng Musalamat terpaksa membaca dengan
perlahan dan hati-hati agar tidak ada tulisan yang terlewat.
Delapan Sabda Dewa
Barang siapa berjodoh dengan Kitab Wasiat Sakti
dan mampu mempelajari yang tersurat maupun
yang tersirat, menguasai yang lahir dan yang
batin maka hendaklah dia mencamkan apa-apa
yang telah disabdakan.
Delapan Sabda Dewa adalah delapan jalur
keselamatan.
Tanah - Sabda Dewa Pertama
Manusia berasal dan dijadikan dari tanah
Kepada tanahlah manusia akan kembali
Karenanya manusia tidak boleh congkak dan takabur
dan harus ingat bahwa dirinya berasal dari
gumpalan debu yang hina.
Yang kuasa kemudian memberikan kehormatan,
menjadikannya makhluk pilihan karena memiliki
pikiran yang membedakannya dengan binatang.
Tanah bagian dari bumi ciptaan Yang Kuasa diberikan
kepada manusia untuk tempatnya berlindung
diri, berkaum-kaum dan mencari rezeki.
Karenanya tidaklah layak kalau manusia merusak
tanah dan bumi untuk maksud-maksud keji serta
berbuat kejahatan di atasnya.
Tanah dan bumi diberikan Yang Kuasa untuk kebahagiaan
ummat manusia. Karenanya manusia
wajib berterima kasih dengan jalan
memeliharanya. Tanah tempat kaki berpijak.
Dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung
Ketika tanah dijadikan ajang pertumpahan
para Dewa pun gelisah dalam duka dan kecewa
Mengapa manusia tidak berpikir dan berterima
kasih?
Air - Sabda Dewa Ke-dua
Lebih dari separuh bumi diciptakan Yang Kuasa
dalam bentuk air
Air mengalir di bumi dan mengalir di tubuh
manusia.
Air sumber kehidupan
Air membawa berkah
Mengapa manusia tidak berpikir?
Mengapa manusia berlaku keji mencemari air,
membunuh makhluk yang hidup di dalam air dan
di atas air
Air selalu mengalir dari atas ke bawah
Bukankah itu satu petunjuk bahwa mereka yang di
atas harus menolong mereka yang di bawah? Pada
saat manusia lupa dan tidak berterima kasih
atas segala berkah
Maka para Dewa berseteru dengan mereka Azab Yang
Kuasa pun turunlah
Dan air berubah menjadi bencana.
Api - Sabda Dewa ke-tiga
Ketika kecil menjadi kawan
Sewaktu besar menjadi lawan
Mengapa manusia tidak mau berpikir dalam mencari
manfaat daripada kualat?
Api membakar seganas iblis
Di dalam tubuh manusia ada api yang mampu merubah
manusia menjadi iblis
Barang siapa tidak mampu melawan api, bumi dan
tanah akan meratap, air akan menangis manusia
akan menjadi api puntung neraka.
Para Dewa terhempas dalam perkabungan.
Udara - Sabda Dewa Ke-empat
Udara sumber kehidupan
Dihembuskan Yang Kuasa ke dalam jalan pernapasan
jantung sanubari manusia
Udara tidak terlihat oleh mata, tidak teraba oleh
tangan
Di dalam yang tidak terlihat dan tidak tersentuh
itu ada berkah yang maha besar
Mengapa manusia masih mau berlaku culas
Mencemari udara dengan berbagai kebusukan
Ketika jalan napas tak dapat lagi menerima hawa
kotor,
Para Dewa siap melihat kematian mengenaskan
Mengapa manusia tidak berpikir?
Bulan - Sabda Dewa Ke-lima
Sumber kesejukan dunia ini muncul dikala malam
Tiada keindahan melebihi malam dengan rembulan
penuh memancarkan cahayanya yang lembut
Mengapa manusia tidak bisa selembut sinar
rembulan?
Padahal manusia memiliki pikiran, bulan tidak
Padahal manusia memiliki hati, rembulan tidak
Bukankah kelembutan sinar rembulan mencerminkan
perasaan kasih?
Kasih dari orang tua terhadap anaknya
Kasih seorang pemuda pada gadis curahan hatinya
Kasih sesama insan
Bahkan binatang pun mempunyai rasa kasih
Lalu mengapa manusia terkadang melupakannya?
Mengapa kasih dapat berubah menjadi kebencian
yang mendatangkan azab dan sengsara?
Dari siapa para Dewa akan mendapat jawaban?
Matahari - Sabda Dewa Ke-enam
Ketika bumi berputar dan matahari menerangi jagat
Cahaya terang menjadi berkah bagi seisi alam
Yang kuasa tidak ingin para makhluk dalam
kegelapan
Tetapi mengapa banyak diantara mereka yang sengaja
mencari memeluk kegelapan?
Tidakkah manusia berpikir
Bahwa cahaya hati tak kalah pentingnya dari
cahaya matahari?
Ketika bumi menjadi gelap karena sinar matahari
terhalang rembulan,
Apakah manusia merenungi arti semua ini? Mengapa
ummat mengeluh teriknya matahari
Padahal diakhir dunia kelak mereka akan didera
oleh seribu teriknya matahari
Padahal bukankah para Dewa telah memberi ingat
akan azab setiap dosa?
Kayu - Sabda Dewa Ke-tujuh
Siapa yang menanam akan menuai
Itu janji Maha Pencipta
Kebaikan yang ditanam walaupun sebesar zarah
Sang Pencipta tiada akan melupakannya
Karena Dia Maha Melihat dan Maha Mengetahui
Lalu mengapa kemudian manusia merusak benlh,
merusak yang tumbuh di atas tanah
Padahal mereka perlu tetumbuhan untuk dimakan
Padahal mereka butuh pepohonan untuk berlindung
Adakah manusia merasa bisa hidup tanpa pohon dan
kayu?
Ketika badai mengamuk dan pepohonan tumbang sama
rata dengan tanah
Ketika para Dewa merenung mengingat dosa
Ummat manusia masih saja berbuat kerusakan
Padahal mereka punya otak untuk berpikir dan
punya hati untuk merasa.
Batu - Sabda Dewa Ke-delapan
Ketika gunung batu meletus
Para Dewa bersujud minta ampun
Manusia menjerit, terhenyak dalam ketakutan
Tapi hanya seketika
Sesaat mereka terlepas dari bencana kembali mereka
lupa dan tegakkan kepala dengan congkak
Batu dijadikan Maha Pencipta agar manusia mempergunakannya
untuk melindungi diri dari
keganasan alam
Agar manusia ingat bahwa keteguhan iman harus
dipegang sekukuh batu
Ketika iman runtuh seperti runtuhnya gunung batu
Para Dewa menangis meminta ampun
Apakah mata dan hati manusia telah berubah menjadi
batu, buta dan bisu tiada rasa?
Kanjeng Sri Ageng Musalamat terpekur lama meresapi apa yang
barusan dibacanya. “Delapan Sabda Dewa...” katanya dalam hati
sambil memejamkan mata. “Sungguh luar biasa. Tak pernah kubaca
tulisan sebagus ini. Pengertiannya bila ditelusuri sangat mendalam.
Menurut Eyang Ismoyo buku ini ditulis pada masa orang belum
mengenal agama. Tapi aneh sekali, apa yang tertulis di sini, dasar
pemikiran sang penulis jelas seperti berasal dari Kitab Suci. Siapa
yang dimaksud penulis dengan para Dewa dalam kitab ini? Para tokoh
silat, para pemuka agama atau Dewa sungguhan...?”
Sri Ageng Musalamat mengusap-usap dagunya “Isi kitab ini
mengandung makna bahwa manusia harus ingat siapa dirinya, harus
ingat pada ajaran Sang Pencipta, harus hidup perduli diri sendiri dan
perduli lingkungan. Delapan Sabda Dewa ditutup dengan rangkuman
kalimat agar manusia memiliki iman sekokoh batu.... Lalu dimanakah
letak kehebatan buku ini? Mana ajaran-ajaran silat atau ilmu
kesaktian yang katanya bisa membuat seseorang menjadi penguasa
dunia persilatan? Ah! Aku bersikap bodoh. Yang kubaca baru
beberapa halaman. Masih ada halaman lain yang harus kubaca dan
kuteliti...”
Perlahan-lahan Sri Ageng Musalamat pergunakan jari-jari
tangan kanannya untuk membuka halaman berikutnya yakni halaman
kelima.
Mendadak Ageng Musalamat merasakan satu keanehan. Jari
telunjuk dan jari tengah tangan kanannya bergetar keras. Lalu dua jari
itu laksana berubah menjadi kayu tak mampu lagi digerakkan.
“Astagfirullah, dua jari tanganku menjadi kaku. Tak bisa
digerakkan. Aku tak mampu membalikkan halaman keempat untuk
membuka halaman ke lima....” Ageng Musalamat kerahkan tenaga
luarnya “Celaka! Kini lima jariku semua jadi kaku!” Lelaki itu terkejut
dan berubah air mukanya. Selain heran dan terkejut ada sekelumit
rasa penasaran dalam dirinya “Membalikkan halaman kitab daun
lontar ini api sulitnya. Tapi mengapa jari-jariku mendadak menjadi
kaku tak bisa digerakkan?! Kalau aku salurkan tenaga dalam mungkin
jari-jariku bisa pulih dan aku mampu membuka halaman kelima....“
Berpikir sampai disitu Ageng Musalamat kerahkan tenaga dalam
murninya dari pusar ke pergelangan tangan kanan terus ke ujungujung
lima jarinya. Tapi apa yang terjadi kemudian membuat lelaki ini
keluarkan seruan tertahan dan wajahnya mengerenyit tanda menahan
sakit yang amat sangat.
Tangan kanannya seperti disambar petir terbanting ke samping
dan ada. asap putih mengepul dari tangan itu. Ketika dia
memperhatikan ternyata tangan kanannya sebatas siku ke bawah
telah berubah menjadi sangat merah laksana tersiram air panas.
Selagi Ageng Musalamat tenggelam dalam keterkejutan dan kesakitan
yang amat sangat tiba-tiba kamar di mana dia berada itu laksana
runtuh oleh suara auman dahsyat. Suara auman harimau. Bersamaan
dengan itu hidungnya mencium harum bau kemenyan hingga dalam
kesakitan Ageng Musalamat kini juga dilanda rasa ngeri yang
membuat bulu tengkuknya merinding!
“Ya Tuhan, lindungi diriku. Apa yang sesungguhnya terjadi.
Jangan berikan cobaan padaku yang aku tidak sanggup
menghadapinya...”
Sekali lagi terdengar suara auman dalam kamar kayu yang
sempit itu. Seperti disapu angin dahsyat Ageng Musalamat terbanting
ke dinding kamar. Tangan kirinya masih memegang Kitab Wasiat
Dewa. Kedua matanya membelalak ketika tiba-tiba di hadapannya
muncul dua bayang-bayang aneh yang samar-samar membentuk
sosok tubuh manusia dan sosok binatang besar!
-- == 0O0 == --
TUJUH
WALAU dua sosok di hadapannya tidak beda seperti asap tipis
namun Sri Ageng Musalamat dapat melihat bahwa sosok pertama
adalah seorang tua bertampang gagah yang tubuhnya sangat tinggi
hingga kepalanya yang berambut putih hampir menyentuh langitlangit
kamar. Orang ini mengenakan selempang kain putih dan
memegang sebuah tongkat kayu berwarna putih. Sepasang matanya
berwarna kebiruan dan menatap tajam pada Ageng Musalamat yang
saat itu masih terhenyak di atas ranjang kayu dan tersandar ke
dinding kamar.
Di sebelah kiri si orang tua, ini yang membuat Ageng Musalamat
menjadi menahan napas dan keluarkan keringat dingin tegak seekor
harimau putih yang bukan main besarnya, memiliki tinggi tubuh
sampai sepinggang orang tua berselempang kain putih itu. Sepasang
mata harimau besar ini berwarna kehijau-hijauan, memandang tak
berkesip pada Ageng Musalamat.
Setelah menenangkan hati dan berusaha tabah, walau suaranya
masih gemetar Ageng Musalamat bertanya.
“Or... orang tua.... Siapa kau adanya?” Dalam hati dia yakin saat
itu bukan berhadapan dengan manusia dan harimau sungguhan.
Mungkin jin laut naik ke atas kapal bersama binatang peliharaannya?
Atau mungkin kapal yang ditumpanginya itu berpenghuni makhluk
halus? Untuk tambah menguatkan hatinya Ageng Musalamat diamdiam
membaca berbagai ayat suci dan memahon perlindungan pada
Yang Maha Kuasa.
“Kanjeng Sri Ageng Musalamat...” orang tua berbentuk bayangan
dan menyebut nama lengkap murid Eyang Ismoyo itu. “Seratus tahun
lalu aku dikenal dengan nama Datuk Rao Basaluang Ameh. Jazadku
sudah lama ditelan bumi. Kalau aku bisa muncui dan berdiri di
hadapanmu saat ini, itu tidak lain semata-mata adalah karena
Kuasanya Tuhan Seru Sekalian Alam. Harimau putih di sampingku
adalah Datuk Rao Bamato Hijau. Seperti diriku dia pun sudah lama
bersatu dengan bumi yang dengan Kuasa Allah masih bisa muncul
dan ikut bersamaku pada saat-saat diperlukan. Kami datang untuk
memberitahu padamu bahwa Kitab Wasiat Dewa tidak berjodoh
dengan dirimu...”
“Da... Datuk Rao.... Aku tak mengerti maksudmu,” kata Ageng
Musalamat.
“Kitab Wasiat Dewa yang ada di tangan kirimu itu tidak
berjodoh dengan dirimu. Dengan kata lain apa-apa yang ada di
dalamnya tidak boleh kau pelajari. Cukup kau hanya berkesempatan
membaca sampai halaman ke empat. Dalam empat halaman itu
sesungguhnya kau telah mempelajari hal-hal besar yang orang lain
tidak pernah mengetahui atau rnenyadarinya sebelumnya....”
“Orang tua, harap maafkan kalau kukatakan aku masih tidak
mengerti. Izinkan aku bertanya, apa hubunganmu dengan kitab ini?”
“Kami adalah sesepuh terakhir yang diserahi tugas untuk
menjaga Kitab Wasiat Dewa. Kitab itu tidak boleh jatuh ke tangan
orang yang tidak mendapat izin dan ridho. Apalagi kalau sampai
mempelajarinya....”
“Kitab ini aku terima dari guruku Eyang ismovo Jeiantik yang
dikenal dengan panggilan Wali Astanapura...”
“Kami tahu hal itu...” kata si orang tua pula. “Beliau
menyerahkan disertai pesan bahwa aku harus mempelajari serta
menyelami isi kitab ini. Kelak aku akan memiliki ilmu sangat berguna
untuk membela keadilan dan kebenaran, menguasai dunia persilatan
di jalan Allah, pengubur kesesatan dan penumpas kejahatan.... Dia
telah membaca isi buku ini walau katanya tidak tuntas. Karena sudah
terlalu tua untuk mempelajari maka diserahkan padaku.... “
“Kami tahu, tapi ada yang kau tidak tahu. Ismoyo Jelantik tidak
pernah membaca apalagi mempelajari isi Kitab Wasiat Dewa itu.... “
Tentu saja Ageng Musalamat jadi terkejut mendengar ucapan
orang tua berupa bayangan dan asap itu.
“Kami menitipkan Kitab Wasiat Dewa padanya melalui
seseorang. Dia menjaga kitab sakti itu selama lima belas tahun tanpa
sekali pun berani membuka dan membaca isinya. Itu sesuai dengan
pesan kami. Kami juga mengatakan padanya bahwa kitab itu kelak
harus diserahkannya pada orang yang sangat dipercayanya. Dan orang
itu ternyata adalah dirimu.... “
“Kalau kau sudah tahu hal itu berarti tidak ada halangan bagiku
untuk mempelajari segala ilmu kesaktian yang ada di dalamnya.”
“Tidak Ageng Musalamat. Kau tidak boleh mempelajari isinya.
Karena kau hanyalah seorang perantara yang dititipkan untuk
menjaga kitab itu baik-baik seperti kau menjaga keselamatan diri dan
nyawamu sendiri. Kelak seperti Ismoyo Jelantik, kau pun harus
menyerahkan Kitab Wasiat Dewa itu pada seseorang yang paling kau
percayai.... “
Ageng Musalamat jadi terdiam mendengar ucapan si orang tua.
“Kanjeng Sri Ageng Musalamat, apakah kau mendengar dan
mengerti apa-apa yang aku ucapkan tadi?” bertanya Datuk Rao
Basaluang Ameh.
“Aku mendengar, tapi terus terang harap dimaafkan sulit aku
bisa mengerti semua ini. Kau menyebut dirimu sudah ditelan bumi
seratus tahun yang silam. Bagaimana aku bisa mempercayai hal-hal
yang tidak bisa dicerna akal dan pikiran ini...?”
“Ada hal-hal yang memang tak bisa dicerna oleh otak manusia,
karena semua itu terjadi dengan kodrat dan kuasanya Tuhan. Bila
manusia memaksa untuk memecahkannya sedang dia tidak mampu
melakukannya maka berarti manusia mendera dan menyiksa dirinya
sendiri. Namun apa yang aku katakan padamu tidak termasuk dalam
hal-hal yang tak bisa dicerna akal dan pikiran itu. Kami hanya
meminta agar kau menjaga Kitab Wasiat Dewa baik-baik, jangan
membaca dan mempelajari isi kitab mulai dari halaman lima. Dan
bahwa kau harus menyerahkan kitab itu kelak pada seseorang yang
sangat kau percayai....”
“Siapa orangnya...?” tanya Ageng Musalamat.
“Kau akan tahu sendiri pada dua puluh tahun mendatang...”
jawab Datuk Rao Basaluang Ameh.
“Datuk....”
“Kau berjanji akan mematuhi apa yang kami minta?”
“Aku tak mungkin berjanji.... “
“Kalau begitu bersumpahlah!” kata Datuk Rao Basaluang
Ameh.
Ageng Musalamat menangkap nada suara yang mengandung
ancaman. Lalu dia ingat apa yang terjadi atas dirinya sebelum
kemunculan si orang tua dan harimau putihnya. Mula-mula dua jari
tangannya kaku, lalu seluruh jari tangannya. Ketika dia memaksa
dengan mengerahkan tenaga dalam untuk membuka halaman ke
lima dari Kitab Wasiat Dewa, sekujur lengannya bukan saja menjadi
kaku tapi juga melepuh merah laksana tersiram air panas! Sesaat
Ageng Musalamat memperhatikan tangan kanannya. “Jangan-jangan
orang tua ini yang telah melakukannya...” kata Ageng Musalamat
dalam hati. “Kalau aku menolak permintaannya pasti dia akan
melakukan sesuatu yang lebih hebat dari ini....”
“Kanjeng Sri Ageng Musalamat, aku tahu apa yang ada dalam
benakmu.” Tiba-tiba Datuk Rao Basaluang Ameh berucap, membuat
Ageng Musalamat terkesiap.
“Jika kau merasa tidak sanggup menjaga Kitab Putih Wasiat
Dewa, lebih dari itu tidak akan berlaku culas membaca seluruh
isinya, maka saat ini juga lebih baik kau serahkan kitab itu padakul”
Si orang tua angkat tangannya yang memegang tongkat.
Tongkat kayu putih itu di arahkannya pada Ageng Musalamat. Saat
itu juga tubuh Ageng Musalamat tersedot ke depan. Keningnya
menempel di ujung tongkat. Sementara sekujur tubuhnya terasa
kaku dan sedingin es! Putuslah nyali murid Eyang Ismoyo ini.
“Datuk Rao... Aku, aku berjanji akan menjaga Kitab Wasiat
Dewa dan nanti akan menyerahkannya pada orang yang paling
kupercaya....“
“Kau tidak akan mengingkari janji?”
“Tidak Datuk....“
“Bagus. Tapi harap kau ingat. Jika kau berlaku curang dan
mengingkari janji maka kau akan mendapat malapetaka besar...“
“Aku tidak akan mengingkari janji Datuk,” kata Ageng
Musalamat pula.
Datuk Rao Basaluang Ameh tarik tongkatnya sedikit. Ujung
tongkat terlepas perlahan dari kening Ageng Musaiamat. Tapi
sebaliknya murid Eyang Ismoyo ini terpental dan terbanting ke
dinding kamar.
“Kanjeng Sri Ageng Musalamat, kami tahu beban berat
bagimu dalam menjaga Kitab Wasiat Dewa. Apalagi kau akan
berada di negeri asing. Kau lebih beruntung dari orang-orang yang
pernah ketitipan kitab sakti bertuah itu sebelumnya...”
“Apa maksud Datuk Rao?” tanya Ageng Musalamat.
“Kau akan kami berikan satu jurus ilmu silat Harimau Dewa.
Mudah-mudahan bisa kau pergunakan untuk menjaga diri....”
“Datuk hendak mengajarkan tlmu silat Harimau Dewa. Di
dalam kamar sesempit ini? Bagaimana mungkin...”
Ilmu ini tidak perlu dilatih secara lahir. Pada saat kau
memerlukan, ilmu itu akan menuntunmu menghadapi musuh…”
“Ilmu aneh luar biasa. Jika Datuk tidak bergurau maka saya
menghaturkan terima kasih…”
“Mendekatlah ke sini Ageng Musalamat. Duduk di lantai di
hadapanku,” kata Datuk Rao Basaluang Ameh.
Ageng Musalamat turun dari atas ranjang kayu. “Letakkan
Kitab Putih Wasiat Dewa di atas pangkuanmu.”
Kembali murid Eyang Ismoyo melakukan apa yang dikatakan
si orang tua berbentuk samar. Setelah Ageng Musalamat duduk di
hadapannya, dari balik selempang kain putihnya Datuk Rao
keluarkan sebuah benda yang memancarkan sinar kekuningan.
Benda ini ternyata adalah sebuah saluang terbuat dari emas.
(Saluang = sebentuk seruling khas Minangkabau yang biasanya
terbuat dari bambu).
Datuk Rao dekatkan ujung saluang ke mulutnya. Sesaat
kemudian menggemalah suara alunan seruling, lembut berhibahiba.
Harimau putih besar di samping sang Datuk tiba-tiba
melangkah ke hadapan Ageng Musalamat. Orang ini serasa terbang
nyawanya ketika binatang itu tiba-tiba mengaum dahsyat lalu
membuka mulutnya lebar-lebar. Sekali lahap saja seluruh kepala
Ageng Musalamat sampai ke pangkal leher masuk ke dalam
mulutnya.
Murid Eyang Ismoyo ini tidak sempat merasakan adanya
hawa dingin yang keluar dari mulut harimau putih karena dirinya
langsung pingsan. Hawa aneh ini menjalar memasuki kepalanya
terus mengalir ke tangannya kiri kanan.
-- == 0O0 == --
DELAPAN
PEMUDA berpakaian biru berikat kepala merah dan bertubuh
tegap itu sesaat tegak tak bergerak di depan pintu kamar. Dari balik
tumpukan peti-peti besar melangkah keluar seorang lelaki separuh
baya. Mereka adalah anggota rombongan dan murid-murid Ageng
Musalamat. Lelaki yang melangkah dari balik peti menegur pemuda
yang berdiri di depan pintu kamar Ageng Musalamat.
“Cagak Guntoro, sedang apa kau di situ? Air mukamu kulihat
aneh.”
Pemuda bernama Cagak Guntoro tersentak kaget oleh teguran
yang tiba-tiba itu. “Kakak Munding Sura, syukur kau datang. Aku
mendengar suara
suara aneh dari dalam kamar pimpinan kita Kanjeng Sri Ageng
Musalamat.”
Munding Sura tersenyum. “Kau baru sekali ini mengarungi laut
naik kapal. Berbagai suara dalam kapal serta suara angin laut tentu
telah mempengaruhi pendengaranmu.”
“Aku tidak tertipu pendengaran sendiri kakak Munding. Aku
barusan dari geladak. Kanjeng Sri Ageng tidak ada di sana. Aku yakin
dia berada dalam kamar...”
“Malarn belum larut, tidak mungkin Kanjeng Sri Ageng masuk
kamar untuk tidur...” kata Munding Sura pula. “Suara-suara aneh apa
yang tadi kau dengar?”
“Suara seperti orang jatuh. Mungkin juga suara orang
dibanting ke dinding. Lalu aku dengar Kanjeng Ageng bicara. Tapi
lawan bicaranya tak kedengaran suaranya...”
“Kau ngaco Cagak! Apa kau kira pimpinan kita tidak waras
bicara sendirian dalam kamar? Hemm... mungkin dia memang sudah
tertidur lalu mengigau.... Sebaiknya kita tinggalkan saja tempat ini.
Naik ke geladak melihat-lihat laut waktu malam...“
Munding Sura hendak berlalu tapi Cagak Guntoro cepat
memegang bahunya dan berkata. “Kalau kita pergi begitu saja tanpa
menyelidik, bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan dirinya?”
“Lalu apa yang ada di benakmu?” tanya Munding Sura.
Cagak Guntoro tidak menjawab. Dia melangkah mendekati
pintu lalu mengetuk. Tak ada jawaban. Pemuda ini mengetuk sekali
lagi. Kini sambil bertanya. “Kanjeng Sri Ageng, kau ada di dalam?”
Tetap tak ada jawaban. Cagak Guntoro memandang pada
Munding Sura. Lelaki satu ini kini mulai merasa tidak enak.
“Buka pintunya. Kalau terkunci buka paksa!” kata Munding
Sura.
Cagak Guntoro coba membuka pintu. “Dikunci dari dalam...”
bisiknya. Lalu pemuda bertubuh kekar dan kuat ini pergunakan
bahunya untuk mendorong. Sekali mendorong pintu kamar terbuka.
Dia melangkah masuk ke dalam. Munding Sura mengikuti. Namun
belum sempat mereka melewati ambang pintu, kedua orang ini
melompat mundur sambil berbarengan keluarkan seruan tertahan.
Di dalam kamar yang tak seberapa besar itu, Kanjeng Sri Ageng
Musalamat tampak terbujur di atas ranjang kayu. Punggungnya
tersandar ke dinding. Di tangan kirinya ada sebuah kitab daun lontar
dalam keadaan terkembang. Sekujur tubuh Ageng Musalamat tampak
tak kurang suatu apa. Namun mukanya inilah yang membuat dua
anggota rombongan itu terkejut bukan kepalang bahkan ngeri. Muka
itu telah berubah menjadi kepala seekor harimau putih. Kejadian ini
hanya terlihat sebentar karena sesaat kemudian perlahan-lahan wajah
Sri Ageng Musalamat kembali pulih ke bentuknya semula. Cuma
hanya sepasang matanya saja yang kelihatan terkatup.
“Apa yang terjadi dengan pimpinan kita? Barusan mukanya
seperti harimau...” kata Cagak Guntoro dengan suara bergetar karena
masih diselimuti rasa ngeri.
“Aku mencium bau kemenyan,” balas berbisik Munding Sura.
“Yang begini merupakan tanda-tanda ilmu hitam...”
“Tidak mungkin Kanjeng Sri Ageng memiliki ilmu hitam. Kita
semua tahu betul hal itu!” kata Cagak Guntoro pula.
“Jangan-jangan ada seseorang telah berbuat jahat terhadapnya.
Kita harus segera membuat dia sadar...” Munding Sura masuk ke
dalam kamar. Namun saat itu perlahan-lahan Sri Ageng Musalamat
membuka kedua matanya. Dalam keadaan sadar dia segera ingat akan
apa yang barusan dialaminya. Namun tidak bisa memikir panjang
karena dilihatnya ada dua orang anak buahnya berada dalam kamar.
“Cagak Guntoro, Munding Sura! Ada apa kalian berada dalam
kamarku?!” tanya Ageng Musalamat.
“Maafkan kami berdua Kanjeng Sri Ageng. Kami tidak
bermaksud lancang. Namun tadi Cagak Guntoro mendengar suara
gaduh dalam kamar....”
“Betul Kanjeng. Saya mendengar suara seperti sosok tubuh
terbanting ke dinding.... Kami mengetuk pintu kamar. Juga
memanggil-manggil. Tapi tak ada jawaban. Karena khawatir terjadi
apa-apa dengan Kanjeng kami lalu memaksa masuk...,” Begitu Cagak
Guntoro menerangkan.
“Waktu masuk kamar ini terselubung bau kemenyan...”
menambahkan Munding Sura. “Begitu masuk kami lihat Kanjeng
tersandar ke dinding. Mata
terpejam entah tidur entah pingsan. Syukur sekarang Kanjeng
sudah bangun. Mohon maafmu kanjeng. Kami minta diri....”
“Tunggu...” kata Ageng Musalamat. “Selain suara orang
terbanting ke dinding, apa kalian juga mendengar suara-suara lain...?”
“Kami mendengar Kanjeng bicara dengan seseorang. Tapi waktu
kami masuk tidak ada siapa-siapa di kamar ini selain Kanjeng.... “
Menjawab Cagak Guntoro.
“Hemmm.... Berarti mereka tidak mendengar suara auman
harimau putih itu. Juga tidak mendengar suara seruling dan suara
Datuk Rao Basaluang Ameh,” membatin Ageng Musalamat.
Munding Sura melirik pada kitab yang ada di tangan kiri Ageng
Musalamat dan masih dalam keadaan terbuka. Melihat orang melirik
baru Ageng Musalamat sadar. Kitab Wasiat Dewa cepat ditutupnya.
Lalu dia bertanya.
“Apa kalian masih mencium bau kemenyan di kamar ini?”
Dua anak murid menggeleng.
“Kalian boleh pergi. Tak usah khawatir. Tak ada apa-apa di sini.
Aku berterima kasih kalian punya perhatian atas keselamatanku....
Sebelum pergi mungkin ada hal lain yang hendak kalian katakan
padaku?”
Cagak Guntoro sesaat memandang pada Munding Sura. Pemuda
itu memandang maksudnya untuk memberi isyarat pada lelaki itu
apakah akan diceritakan saja bagaimana tadi mereka menyaksikan
wajah sang Kanjeng berubah seperti muka seekor harimau putih.
Namun Munding Sura saat itu cepat-cepat membungkuk hingga
Cagak Guntoro terpaksa mengikuti meninggalkan kamar itu.
Sampai di geladak Munding Sura memegang lengan Cagak
Guntoro lalu bertanya berbisik. “Waktu di dalam kamar tadi kau
berada lebih dekat ke tempat tidur Kanjeng Sri Ageng. Apa kau sempat
memperhatikan kitab daun lontar yang dipegang Kanjeng?”
“Sempat, tapi aku tak tahu buku apa. Tulisannya kecil-kecil.
Lagi pula ditulis memakai huruf Jawa kuno. Aku tidak begitu pandai
membaca tulisan Jawa kuno... Kenapa kau menanyakan kitab itu?”
“Aku khawatir kitab itu ada hubungannya dengan keadaan
Kanjeng tadi...”
“Hem, bagaimana kau bisa menduga begitu kakak Munding
Sura?” tanya Cagak Guntoro. Munding Sura terdiam lalu mengangkat
bahu. “Kurasa Kanjeng tidak suka kita membicarakan apa yang tadi
kita saksikan. Sebaiknya kita lupakan saja kejadian itu....”
“Kurasa begitu...” kata Cagak Guntoro. Lalu dia menepuk bahu
Munding Sura dan berbisik. “Lihat, Kanjeng Sri Ageng ada di ujung
buritan sana....
Memang ada baiknya dia berada di laut terbuka begini beranginangin.
Dalam kamar terus-terusan udaranya kurang sehat. Panas dan
pengap.”
*
* *
Sambil berpegangan pada pagar kayu kokoh di buritan kapal
sebelah kiri Ageng Musalamat meraba dadanya. Di balik pakaiannya
tersimpan Kitab Putih Wasiat Dewa. Setelah apa yang tadi terjadi di
dalam kamar, kitab itu tak akan ditinggalkannya ke mana pun dia
pergi. Memandang ke arah lautan luas yang menghitam dalam
kegelapan malam Ageng Musalamat merenungi apa yang
telah,dialaminya.
“Dua puluh tahun.... Menurut orang tua yang muncul secara
aneh itu aku harus menyerahkan Kitab Wasiat Dewa pada seorang
yang paling aku percayai. Padahal Eyang Ismoyo jelas-jelas mengatakan
jika aku mempelajari keseluruhan isi kitab ini aku akan
menjadi penguasa dunia persilatan. Hemmm... mengapa orang tua itu
berdusta? Kalau saja sebelumnya dia menceritakan terus terang padaku
bahwa kitab ini tidak berjodoh rasanya bebanku tidak akan
seberat ini. Atau mungkin dia sendiri tidak mengetahui kalau dirinya,
dan juga diriku hanya ketitipan saja sebelum Kitab Wasiat Dewa
sampai di tangan orang yang benar-benar berjodoh? Lalu siapa pula
gerangan orang yang beruntung itu?”
Ageng Musalamat menarik napas dalam berulang kali. “Waktu
kutanya apakah ada hal lain yang hendak disampaikan, Cagak
Guntoro kulihat seperti hendak mengatakan sesuatu. Tapi Munding
Sura cepat-cepat keluar hingga pemuda itu tak sempat bicara. Atau
mungkin Munding Sura tidak mau Cagak Guntoro mengatakan.
Mengatakan apa? Aku harus menyelidik.”
Lama Sri Ageng Musalamat merenung dan berpikir-pikir di
buritan kapal. Dia baru beranjak dari situ ketika angin laut terasa
semakin kencang dan lembab.
Ketika dia mendorong pintu kamar dan masuk ke dalam,
langkah Ageng Musalamat serta merta terhenti. Peti kayu berukir
tempat disimpannya keris Kiyai Sabrang Tujuh Langit dilihatnya
tercampak di lantai. Ageng Musalamat cepat mengambil dan membuka
tutupnya untuk memeriksa. Tujuh cahaya emas membersit
menyilaukannya. Hatinya lega mendapatkan senjata mustika itu
masih berada dalam peti.
“Peti ini sebelumnya berada di atas meja kecil sana. Bagaimana
mungkin tahu-tahu berada di lantai? Pasti ada seseorang yang coba
mencurinya...“ Lalu Ageng Musalamat ingat akan keterangan Eyang
Ismoyo. Barang siapa bermaksud jahat dan mencuri keris sakti itu
maka senjata itu akan berubah beratnya laksana segunung batu!
Ageng Musalamat coba mereka-reka. “Ada seseorang menyelinap
masuk. Mengambil peti berisi keris. Ketika coba membawanya keluar
kamar tiba-tiba keris menjadi sangat berat hingga dia tidak mampu
mengangkat dan lepas dari pegangannya. Pengkhianat terkutuk.
Pencuri laknat. Ada pengkhianat dan pencuri di atas kapal ini.
Celakanya dia adalah salah seorang dari murid-muridku!”
Dengan mengepalkan tangan Ageng Musalamat tinggalkan
buritan. Cagak Guntoro ditemuinya lebih dulu. Pemuda ini terduduk
di salah satu sudut kapal. Kaki kanannya tampak bengkak dan luka.
Seorang kawannya sibuk menguruti kaki yang cidera itu.
“Hemm.... Dia rupanya,” kata Ageng Musalamat dalam hati. Dia
melangkah mendekati orang yang mengurut dan menepuk bahunya.
“Pergilah... Biar aku yang meneruskan mengurut kakinya.”
“Kanjeng.... Tak usah. Biarkan saja dia...” kata Cagak Guntoro.
Namun pandangan mata pimpinan mereka membuat pemuda yang
tadi mengurut segera berdiri dan tinggalkan tempat itu. Setelah mereka
berada berdua saja Ageng Musalamat berjongkok di depan Cagak
Guntoro. Sambii memegang kaki kanan pemuda itu dia berkata.
“Hemmm... Cidera kakimu cukup parah. Apa yang terjadi Cagak
Guntoro?”
“Kakiku kejatuhan salah satu besi penahan tiang layar kapal...“
“Pasti kau tidak berhati-hati. Malu rasanya pemuda sehebatmu
bisa dihajar lawan tidak bernapas seperti besi itu!” Ageng Musalamat
menyeringai. Lalu tangan kirinya bergerak memegang kaki kanan muridnya
itu. Pegangan sang Kanjeng bukan pegangan sembarangan
karena disertai tenaga yang kuat hingga Cagak Guntoro teraduh-aduh
kesakitan.
“Dengar, aku bisa meremukkan tulang kakimu mulai dari ujung
jari sampai ke mata kaki...” kata Ageng Musalamat dengan suara
tajam dan pandangan mata tak berkesip.
“Kanjeng.... Apa maksudmu?” tanya Cagak Guntoro sambil
menahan sakit.
“Katakan apa yang sebenarnya terjadi! Kakimu itu cidera
bukan karena kejatuhan besi kapal!”
“Aku tidak berdusta Kanjeng. Perlu apa....”
“Waktu aku berada di buritan kau menyelinap masuk ke dalam
kamarku. Berusaha mencuri peti kayu berisi keris Kiyai Sabrang
Tujuh Langit! Benda sakti itu tiba-tiba menjadi berat dan kau tidak
mampu memegangnya. Peti kayu terlepas dari tanganmu, jatuh
menimpa kaki kananmu hingga hampir remuk!” Cagak Guntoro
tampak berubah mukanya.
“Kanjeng... aku tak pernah berdusta padamu.... Mengingat
budimu aku menghormati lebih dari menghormati orang tua
sendiri...“
“Kedua orang tuamu sudah mati! Tak perlu disebut-sebut. Aku
tidak percaya pada keteranganmu. Ingat, kau dulu kupungut dari
pasar sewaktu jadi pengemis kecil, kurus kering dan korengan. Hebat
kalau kau menyebut segala budi. Kau memang telah membuktikan.
Dengan mencuri keris itu tapi gagal karena kau tidak tahu
bagaimana saktinya senjata itul”
Wajah Cagak Guntoro tampak pucat sekali. Dia menggelenggelengkan
kepalanya berulang kali. “Menurut pesan Eyang Ismoyo
manusia culas sepertimu layak dibuat mampus. Tapi aku masih mau
memberi pengampunan. Kedudukanmu sebagai murid aku cabut.
Derajatmu sekarang sama dengan pembantu yang harus melayani
semua anggota rombongan! Kalau kelak nanti tidak terbukti bahwa
memang bukan kau yang hendak mencuri senjata mustika itu maka
aku akan memikirkan untuk memulihkan kedudukanmu kembali!”
Kanjeng Sri Ageng Musalamat bantingkan kaki kanan Cagak
Guntoro ke lantai lalu berdiri dan tinggalkan tempat itu.
“Kanjeng!” panggil Cagak Guntoro. “Kau keliru Kanjeng. Aku
bersumpah bahwa aku tidak....”
Ageng Musalamat tidak perduli. Dia melangkah terus dan
akhirnya lenyap di.balik tumpukan peti-peti besar. Di tangga yang
menghubungkan bagian bawah dengan geladak kapal kayu besar itu
Ageng Musalamat berpapasan dengan Munding Sura. Anak muridnya
ini segera ditariknya ke salah satu sudut di bawah tangga.
“Aku perlu penjelasan darimu Munding Surya. Kuharap kau
menjawab dengan jujur. Jangan berani berdusta!”
Walaupun heran dengan tindakan pemimpinnya itu namun
Munding Sura menjawab juga. “Kanjeng Sri Ageng, apa yang hendak
kau tanyakan?”
“Sewaktu kau dan Cagak Guntoro berada di kamar, aku
menanyakan pada pemuda itu apa ada hal lain yang hendak
dikatakannya. Dia seperti hendak mengatakan sesuatu padaku.
Namun kau seolah memberi isyarat agar dia tidak bicara. Lalu kalian
berdua cepat-cepat meninggalkan kamarku. Aku yakin ada sesuatu
yang kalian tidak mau mengatakan!”
“Kanjeng....”
“Aku menunggu Munding Sura. Katakan cepat!”
“Waktu kami masuk ke dalam kamar, kami lihat Kanjeng Sri
Ageng duduk di atas ranjang kayu, tersandar ke dinding kamar. Kami
tidak tahu apakah saat itu Kanjeng tengah tidur atau pingsan. Cuma
kami melihat wajah Kanjeng tidak seperti biasanya....”
“Maksudmu?” tanya Ageng Musalamat.
“Muka Kanjeng tidak seperti muka manusia....”
“Munding Sura!” bentak Ageng Musalamat. “Jangan kau bicara
ngelantur...“
“Saya tidak ngelantur. Juga tidak dusta Kanjeng. Saat itu kami
lihat muka Kanjeng telah berubah menjadi muka seekor harimau
putih...“
Kalau ada petir menyambar di depannya mungkin tidak
demikian terkejutnya Ageng Musalamat. “Mukaku berubah menjadi
muka seekor harimau putih katamu?!”
Dalam keadaan tercekat Munding Sura anggukkan kepala.
Ageng Musalamat tegak tak bergerak. Ingatannya kembali pada
apa yang terjadi di kamarnya. Muncul sosok Datuk Rao dan seekor
harimau putih. Lalu harimau putih itu mendekatinya dan membuka
mulut lebar-lebar. Sewaktu binatang ini memasukkan kepalanya ke
dalam mulutnya, dia jatuh pingsan. “Orang ini tidak berdusta,”
membatin Ageng Musalamat. Lalu dia ingat pada ucapan Datuk Rao.
“Kau lebih beruntung dari orang-orang yang pernah ketitipan kitab
sakti bertuah itu sebelumnya... Kau akan kami berikan satu jurus
ilmu silat Harimau Dewa. Mudah-mudahan bisa kau pergunakan
untuk menjaga diri...“
“Berarti....” Ageng Musalamat usap-usap dagunya, “Datuk Rao
memang telah memberikan satu ilmu padaku. Ilmu silat Harimau
Dewa...”
-- == 0O0 == --
SEMBILAN
KEDATANGAN rombongan Kanjeng Sri Ageng Musalamat
disambut utusan khusus Raja Tiongkok di pelabuhan Seochow.
Bersama utusan tersebut ikut pula beberapa orang pejabat penting di
Kotaraja. Raja Tiongkok ternyata bersikap arif bijaksana. Karena tahu
rombongan tamu yang datang adalah orang-orang Muslim maka dia
sengaja mengirimkan orang-orang seagama untuk menyambut
kedatangan Ageng Musalamat dan rombongan. Seorang penterjemah
yang juga disediakan oleh Raja ikut hadir di tempat itu dan kelak akan
mendampingi Ageng Musalamat kemana dia pergi.
Di antara rombongan penjemput terdapat seorang anak lelaki
kurus berusia sembilan tahun. Setelah upacara penyambutan resmi
selesai sesuai yang telah diatur, anak ini maju ke muka membawa
sebuah pipa panjang khas Tiongkok yang sudah diisi tembakau.
Seseorang membakar tembakau itu hingga menebar asap yang harum.
Si anak lalu menyerahkan pipa pada Ageng Musalamat.
“Ah, rupanya para sahabat di sini tahu kalau aku dulunya
adalah perokok berat. Sejak beberapa tahun belakangan ini aku
berusaha mengurangi merokok karena kurang baik untuk kesehatan.
Sekarang melihat pipa sebagus ini serta tembakau seharum ini aku
berpikir-pikir apakah mampu menahan selera merokok?” Kanjeng Sri
Ageng Musalamat tertawa lebar. Diusapnya kepala anak lelaki itu
berulang kali lalu diambilnya pipa panjang yang diserahkan. Langsung
saja dia menyedot pipa dalam-dalam dan mengepulkan asapnya tinggitinggi
ke udara.
“Terima kasih... terima kasih...” kata Ageng Musalamat berulang
kali seraya membungkuk. Dia berpaling pada anak lelaki yang
barusan menyerahkan pipa padanya dan melihat sesuatu yang sudah
lama diharapkannya. “Anak ini walau kurus tapi memiliki bentuk
tubuh dan raut tulang yang jarang dimiliki anak lain. Sepasang bola
matanya jernih dan pandangannya mencerrninkan satu kekuatan
yang tidak mudah goyah. Dalam sejuta belum tentu bisa ditemukan
yang seperti dia....”
Ageng Musalamat melangkah mendekati si anak lalu bertanya.
“Anak gagah, siapa namamu?” Setelah diberi tahu oleh Bu Tjeng si
penterjemah apa yang ditanyakan orang si anak dengan sikap tegak
dan suara lantang menjawab.
“Nama saya Ki Hok Kui. Saya anak petani miskin di desa
Chungwei!”
“Anak hebat!” memuji Ageng Musalamat. “Orang tuamu pasti
bangga punya anak sepertimu...”
Setelah Bu Tjeng memberitahu si anak tampak tersenyum lalu
membungkuk.
“Orang tuaku telah tiada. Mereka meninggal enam tahun lalu
waktu terjadi air bah besar di pantai timur!”
“Ah...” Ageng Musalamat manggut-manggut terharu. Namun
dibalik keharuannya dia melihat sesuatu pada diri Ki Hok Kui. Anak
ini tersenyum ketika menjawab pertanyaannya padahal dia
mengatakan sesuatu yang sangat menyedihkan dalam kehidupannya.
“Anak ini mampu menekan perasaannya. Menjawab kesedihan dengan
senyum menghias bibir....”
Ageng Musalamat kembali mengusap kepala Ki Hok Kui. “Aku
menyesal mendengar kau seorang anak yatim piatu. Nasib kita sama.
Aku juga seorang yatim piatu. Tapi kau tak usah takut. Kesusahan
hidup membuat seseorang menjadi tabah dan kuat sekuat batu
karang yang aku lihat banyak bertebaran di pantai menjelang
pelabuhan Seochow!”
Ki Hok Kui kembali tersenyum. “Saya memang sudah pernah
mendengar Kan-jieng mengucapkan kata-kata itu....” Anak ini
menyebut kata Kanjeng dengan Kan-jieng.
Tentu saja Ageng Musalamat jadi terkejut. Orang-orang yang
ada di sekitar situ juga terheran-heran mendengar ucapan anak itu.
“Ki Hok Kui, kau bilang barusan pernah mendengar aku
mengucapkan kata-kata itu. Kapan... di mana? Padahal kita baru saja
saling bertemu saat ini.”
“Dalam mimpi,” jawab Ki Hok Kui pula. “Satu tahun lalu saya
pernah bermimpi bertemu dengan seseorang dan bicara seperti itu.
Begitu melihat Kan-jieng saat ini saya segera ingat bahwa Kan-jienglah
orang yang saya lihat dalam mimpi itu dan bicara pada saya....”
Sesaat Ageng Musalamat jadi terkesiap mendengar keterangan si
anak. Begitu juga anggota rombongan yang lain. “Ternyata anak ini
punya daya ingat yang kuat....” kata Ageng Musalamat dalam hati.
“Aku yang baru berusia empat puluh tahunan terkadang sering-sering
lupa pada hal-hal yang belum lama terjadi. Hemm.... “
Ageng Musalamat tertawa lebar.
“Apakah kau punya saudara Ki Hok Kui? Kau tinggal di kota
ini?”
Ki Hok Kui menggeleng. “Saya tidak punya saudara tidak punya
sanak. Saya tinggal di panti asuhan anak-anak terlantar dipimpin
seorang guru besar She Pouw bernama Goan Keng. Dia sudah tiga kali
naik haji ke tanah suci. Apakah Kan-jieng sudah pernah ke Mekkah?”
Ageng Musalamat tertawa gelak-gelak. “Gurumu itu pasti ulama
hebat! Aku sendiri belum pernah ke tanah suci. Mungkin aku akan
pergi nanti langsung dari daratan Tiongkok ini....” Ageng Musalamat
tepuk-tepuk bahu Ki Hok Kui. “Anak gagah, apakah kau akan
menyertai rombongan kami ke Kotaraja?”
Si anak mengangguk.
“Kalau begitu kita berangkat sekarang....”
“Kan-jieng dan rombongan silahkan berangkat duluan. Nanti
saya menyusul....”
“Eh, memangnya kau hendak kemana Hok Kui?” tanya Ageng
Musalamat pula.
Si anak menunjuk ke langit. “Matahari sudah tinggi Kan-jieng....
Saya belum sembahyang Zuhur.”
Ageng Musalamat terkejut. “Astagfirullah, semoga Tuhan
mengampuni saya dan semua orang yang ada di sini. Kami pun belum
sempat sembahyang walau di kapal sudah melakukan solat qasar....
Hok Kui, apakah ada mesjid di sekitar sini?”
“Tidak ada Kan-jieng. Tapi tak jauh dari sini ada satu bangunan
besar yang ditinggalkan pemiliknya. Keadaannya bersih. Airnya
banyak untuk wudhu....”
“Kalau begitu antarkan kami ke sana. Kita sembahyang
berjamaah di tempat yang kau katakan itu.”
Ki Hok Kui membungkuk. Lalu tanpa sungkan-sungkan
dipegangnya lengan Ageng Musalamat, membawanya ke sebuah
bangunan besar yang terletak tak jauh dari sana.
*
* *
Walaupun rombongan mengendarai beberapa kereta dan
gerobak serta ada pula yang menunggangi kuda, namuh cuaca yang
buruk membuat
mereka tidak bisa bergerak cepat. Satu hari menjelang sampai di
Kotaraja, menjelang tengah malam rombongan berkemah di dekat
sebuah telaga kecil. Ageng Musalamat dan anak buahnya sebenarnya
ingin terus berjalan namun kuda-kuda penarik kereta dan gerobak
serta kuda-kuda tunggangan perlu beristirahat setelah satu hari
suntuk berjalan terus menerus.
Di dalam kamarnya setelah selesai metakukan sembahyang
sunat dan bersiap-siap untuk merebahkan diri di atas sehelai tikar
permadani mendadak telinga Ageng Musalamat mendengar suara
derap kaki kuda banyak sekali mengitari tempat perkemahan. Tak
lama kemudian terdengar suara bentakan-bentakan keras.
Ageng Musalamat yang satu kemah dengan penterjemah Bu
Tjeng segera keluar dari dalam kemah. Ketika sampai di luar
dilihatnya puluhan anak muridnya serta rombongan orang-orang yang
menjemput dari Kotaraja tegak mengurung tujuh orang penunggang
kuda. Selain mengenakan pakaian serba hitam, tujuh penunggang
kuda ini juga memakai kain hitam penutup wajah masing-masing. Di
belakang punggung mereka kelihatan tersembul ujung gagang pedang.
Mereka memiliki rambut hitam lebat. yang dikuncir di atas kepala.
Anehnya rambut di sebelah atas ikatan kuncir berwarna kuning keemasan.
“Kami datang mencari kepala rombongan tamu yang datang dari
seberang!” Penunggang kuda di sebelah kiri depan berseru. Tidak
seperti enam temannya, dia satu-satunya yang mengenakan mantel
merah. Agaknya dialah yang jadi pimpinan rombongan tak dikenal itu.
Bu Tjeng segera memberitahu Ageng Musalamat apa yang
diucapkan orang itu.
“Ini aneh, bagaimana dia tahu diriku dan apa perlunya
mencariku?” bisik Ageng Musalamat.
“Sebentar lagi persoalannya akan jelas. Lu Liong Ong, pimpinan
utusan Raja tengah melangkah ke hadapan penunggang kuda
bermantel merah itu,” kata Bu Tjeng berikan jawaban.
Lu Liong Ong, seorang lelaki bertubuh kurus tinggi, berpakaian
merah dan mempunyai kedudukan cukup tinggi di Kotaraja serta
memiliki kepandaian silat melangkah ke depan kuda tunggangan si
mantel merah.
“Aku Lu Liong Ong pimpinan rombongan penjemput tamu dari
tanah Jawa. Tamu Raja tidak boleh diganggu. Jika kau ada keperluan
harap beritahu padaku. Tapi lebih dulu harap beritahu siapa kalian
adanya! Satu hal lagi sebagai tamu tidak diundang harap kau
memakai sopan santun peradatan. Turun dari kudamu jika kau bicara
denganku!”
Orang bermantel terdengar mendengus. “Lu Liong Ong!” orang
ini keluarkan suara lantang. “Kami tahu kau pejabat tinggi salah satu
orang kepercayaan Raja! Karena kami menghormatimu maka kami
tidak berniat untuk cari urusan dengan kalian orang-orang Kerajaan!”
“Aku minta kau turun dari kuda kalau bicara denganku! Enam
orang anak buahmu lekas kau perintahkan untuk melakukan hal
yang sama!”
Kembali orang bermantel mendengus di balik kain hitam
penutup mukanya. Dia memandang berkeliling pada enam orang anak
buahnya. Lalu masih duduk di atas kuda orang ini kibaskan mantel
merahnya ke kiri. Angin deras menderu ke arah Lu Liong Ong
membuatnya agak sempoyongan. Cepat orang ini kerahkan tenaga dan
atur kuda-kuda kedua kakinya hingga dia tidak sampai jatuh oleh
sambaran angin mantel yang hebat itu!
Sambil tertawa pendek lelaki bermantel merah melompat dari
punggung kudanya. Dia tidak langsung melompat turun tapi melayang
dulu ke atas lalu ketika kedua kakinya yang berkasut menginjak
tanah tidak sedikit suarapun terdengar. Rupanya orang ini sengaja
menunjukkan kehebatan ilmu meringankan tubuhnya kepada semua
orang yang ada di situ, terutama kepada Lu Liong Ong yang diketahuinya
memiliki kepandaian tinggi.
“Hemm.... Orang ini sengaja memamerkan ginkangnya,”
membatin Lu Liong Ong. (ginkang = ilmu meringankan tubuh)
Enam penunggang kuda lainnya segera pula melompat turun
dari tunggangan masing-masing.
Begitu berdiri berhadap-hadapan Lu Liong Ong segera berkata.
“Sekarang katakan siapa kalian ini dan apa maksud kedatangan
kalian ke sini! Muncul dengan menutupi wajah dengan kain bukan
tindakan orang-orang bermaksud baik!”
“Menurut aturan kami tidak layak memberitahu siapa kami
adanya. Tapi mengingat kau adalah pejabat Kerajaan, kami sedikit
berlaku murah. Kalau kami sudah memberitahu harap kau jangan
banyak cingcong lagi!”
“Katakan saja langsung siapa kalian!” kata Lu Liong O.ng
menahan jengkel.
“Kami utusan Lo Sam Tojin, Ketua Perkumpulan Kuncir Emas.
Kami datang untuk menjemput pimpinan orang-orang yang datang
dari Jawa...” (Tojin = Paderi Kun Lun Pay, satu dari beberapa partai
besar di daratan Tiongkok)
Terkejutlah semua orang-orang Kerajaan yang ada di tempat itu.
Ageng Musalamat sendiri walau tetap berlaku tenang namun wajahnya
jelas berubah. Dia segera minta keterangan pada penterjemah Bu
Tjeng.
“Orang-orang itu bermaksud menjemputmu... Itu istilah
halusnya. Sebenarnya mereka hendak mengambilmu secara paksa....”
“Mau menculikku?!”
-- == 0O0 == --
SEPULUH
SI PENERJEMAH, Bu Tjeng, mengangguk membenarkan. “Tapi
mengapa? Siapa mereka sebenarnya?” tanya Ageng Musalamat.
“Selama beberapa tahun Lo Sam Tojin dikenal sebagai salah satu
pengurus tinggi Partai Kun Lun. Diantara dia dan para pengurus
partai terjadi satu perselisihan besar. Paderi itu memutuskan
meninggalkan Kun Lun. Beberapa orang yang dekat dengan dia ikut
serta. Mereka membangun satu perkampungan di lembah Pek-hun
dan mendirikan satu perkumpulan yang mereka beri nama
Perkumpulan Kuncir Emas.
“Dari satu perkampungan kecil, lembah Pek-hun menjadi satu
kawasan pemukiman besar. Jumlah para pengikut Lo Sam Tojin
semakin banyak. Ada selentingan bahwa mereka akan membentuk
sebuah partai sebagai sempalan dari Kun Lun Pay. Setahu kami
Perkumpulan Kuncir Emas bukan perkumpulan baik-baik. Mereka
sering melakukan perampokan dan pembunuhan walau yang mereka
rampok dan bunuh adalah orang-orang kaya pelit atau pejabat-pejabat
yang diketahui melakukan korupsi.”
Lu Liong Ong rangkapkan dua tangan di depan dada. Lalu
bertanya. “Apakah Lo Sam Tojin memberitahu padamu apa
maksudnya menjemput tamu kami yang datang dari Jawa itu?”
Lelaki bermantel merah kembali tertawa pendek. “Kami bukan
anak buah yang tidak tahu diri! Berani bertanya pada pimpinan hal
yang tidak layak kami ketahui! Kau sebagai orang luar apalagi! Kami
datang untuk menjemput orang itu. Mana dia! Lekas suruh dia
keluar!”
“Selama orang itu berada bersama kami, sebagai tamu Raja
maka tidak ada satu orang lainpun boleh memintanya! Aku sudah
tahu apa kata-kata menjemput yang kau sebutkan! Kalian sebenarnya
hendak merampas orang itu dari tangan kami! Mau menculik tamu
Raja!”
“Kalau kau sudah tahu mengapa tidak segera menyerahkan
orang itu pada kami?!”
“Aku perintahkan kau dan anak buahmu segera meninggalkan
tempat ini!” bentak Lu Liong Ong.
“Lu Liong Ong, tadi kami sudah bilang kami mengambil sikap
hormat terhadap kalian orang-orang Kerajaan dan tidak ingin mencari
urusan. Tapi jika kau berani menampik permintaan Lo Sam Tojin
maka itu adalah satu penghinaan besar yang harus kau bayar dengan
mahal!”
Lu Liong Ong turunkan kedua tangannya yang sejak tadi
dirangkapkan di depan dada. “Kami memang sudah lama mendengar
dan mengawasi tindak tanduk kalian orang-orang Perkumpulan
Kuncir Emas! Kalian tidak bisa dikatakan sebagai orang baik-baik.
Tinggalkan tempat ini. Kembali pada pimpinan kalian. Katakan pada
Lo Sam Tojin. Jika dia tidak segera membubarkan perkumpulannya
maka pasukan Kerajaan akan datang menyerbu. Lo Sam Tojin akan
ditangkap dan diadili. Aku yakin hanya ada satu putusan pengadilan
baginya. Yaitu hukum pancung batang leher!”
Orang bermantel merah tertawa gelak-gelak. Enam temannya
ikut-ikutan tertawa.
“Lu Liong Ong! Kami tahu kau seorang pembesar Kerajaan. Tapi
mulutmu lebih besar dari kedudukanmu! Kalau kau menuduh kami
ini orang-orang jahat mengapa tidak segera turun tangan menangkap
kami?!”
Ditantang seperti itu walau dia jadi marah tapi Lu Liong Ong
tetap tenang.
“Saatnya akan tiba! Pasukan Kerajaan akan menyerbu lembah
Pek-hun menumpas habis kalian semual Kalian masih untung saat ini
kami tengah membawa rombongan tamu dari seberang laut. Jadi
sebaiknya pergunakan kesempatan bagus ini untuk cepat-cepat
angkat kaki!”
Orang bermantel tertawa gelak-gelak. Lalu dia berpaling pada
enam anak buahnya dan berkata. “Kawan-kawan, percuma bicara
dengan manusia satu ini! Bereskan dia!”
Mendengar kata-kata pimpinan mereka enam orang berseragam
hitam melompat ke depan. Mereka menebar demikian rupa hingga Lu
Liong Ong terkurung di tengah-tengah.
Melihat kejadian ini Ageng Musalamat cepat tinggalkan kemah.
Namun langkahnya tertahan oleh pegangan Ki Hok Kui. Anak ini
mengatakan sesuatu cepat sekali. Ageng Musalamat berpaling pada
Bu Tjeng.
Orang ini segera memberitahu. “Hok Kui mengkhawatirkan
keselamatanmu. Dia ingin kau masuk kembali ke dalam kemah
karena orang itu datang hendak menculikmu.”
Ageng Musalamat tersenyum. “Anak baik! Kau tak usah
mengkhawatirkan keselamatanku… Kalau ada orang hendak berbuat
jahat terhadap rombongan, walau aku dan teman-teman adalah rombongan
tamu tapi kami tak bisa lepas tangan begitu saja.”
“Kalau Kan-jieng berkata begitu mana saya berani melarang.
Berarti kita akan menonton satu perkelahian seru!” kata Ki Hok Kui
pula lalu cepat cepat mengikuti Ageng Musalamat.
Sementara itu di depan sana, dalam gelapnya malam enam
orang anggota Perkumpulan Kuncir Emas telah menyerang Lu Liong
Ong. Mereka memiliki kepandaian tidak rendah. Namun yang diserang
adalah seorang pejabat yang sejak masa mudanya telah membekal diri
dengan ilmu silat tangan kosong. Enam penyerang terkejut ketika
gebrakan pertama yang mereka buat tidak dapat menyentuh tubuh
lawan. Keenamnya cepat menyerbu kembali. Perkelahian berlangsung
hebat. Saat itulah Ageng Musalamat berteriak pada beberapa orang
anak buahnya.
Lima anak murid Ageng Musalamat, yang memiliki kepandaian
tinggi segera melompat masuk ke dalam kalangan perkelahian. Melihat
ini Lu Liong Ong berteriak. Bu Tjeng cepat mendekati Ageng
Musalamat dan berkata. “Pimpinan kami meminta agar kau menyuruh
mundur lima orang itu!”
“Tapi dia dikeroyok secara curang!” jawab Ageng Musalamat.
“Tak usah khawatir, Lu Liong Ong akan mampu menghadapi
mereka. Lagipula beberapa orang anggota prajurit Kerajaan yang ada
di antara kami akan membantu!”
Mendengar ucapan Bu Tjeng itu Ageng Musalamat terpaksa
menyuruh murid-muridnya mundur. Bersamaan dengan mundurnya
mereka, maka melesatlah selusin prajurit Kerajaan ke tengah kalangan.
Kalau tadi orang-orang Kuncir Emas yang mengeroyok maka
kini keadaan jadi terbalik. Mereka yang jadi sasaran keroyokan.
Perkelahian tangan kosong berjalan seru. Walau dikeroyok
begitu rupa orang-orang Kuncir Emas mampu bertahan bahkan
dengan membentuk satu barisan aneh mereka membuat tembok
pertahanan yang kokoh dan sekaligus mampu melancarkan seranganserangan
balasan. Prajurit-prajurit Kerajaan mulai terdesak. Dua
orang tergelimpang muntah darah akibat dimakan tendangan lawan.
Lu Liong Ong kertakan rahang. Otaknya yang cerdik serta
matanya yang tajam cepat melihat dimana letak kelemahan barisan
pertahanan enam orang anggota Kuncir Emas itu. Dia melesat ke
salah satu ujung barisan lalu menggempur habis-habisan. Lawan
pertama terkapar di tanah dengan leher patah akibat hantaman
pinggiran tangannya yang sekeras besi. Sesaat kemudian korban
kedua menyusul. Orang ini mencelat mental dan jatuh tepat di depan
lelaki bermantel. Dia menggeliat-geliat beberapa kali lalu terhenyak tak
berkutik lagi. Bagian tubuh di bawah perutnya pecah akibat
tendangan kaki kanan Lu Liong Ong.
Prajurit-prajurit Kerajaan. pengawal rombongan yang mendapat
semangat berhasil pula merobohkan dua orang anggota Perkumpulan
Kuncir Emas. Dua orang yang masih tinggal walau kini menghadapi
lawan yang jauh lebih banyak namun mereka tidak menjadi takut.
Malah sambil keluarkan bentakan-bentakan seperti kalap keduanya
menyongsong serangan lawan. Orang bermantel merah yang tak mau
melihat korban jatuh lebih banyak dipihaknya berteriak keras dan
melompat ke tengah kalanggn perkelahian. Dia sempat merobohkan
dua prajurit yang menyerang anak buahnya hingga mencelat mental
dan menemui ajal dengan kepala pecah!
“Tahan! Lu Liong Ong aku lawanmu!”
Lu Liong Ong melompat mundur lalu menyeringai.
“Korban sudah jatuh dipihakmu dan pihakku! Memang pantas
kau harus bertanggung jawab! Atas nama Kerajaan lekas menyerah
dan berlutut!”
“Pejabat jahanam! Makan dulu tanganku ini!” bentak si mantel
merah. Tapi dia tidak mengirimkan jotosan atau pukulan. Tangan
kanannya berkelebat mengibaskan mantel merahnya.
“Wussss!”
Mantel itu bertabur di udara. Sinar merah memancar dalam
kegelapan malam. Angin deras menghantam ke arah Lu Liong Ong.
“Orang itu memiliki tenaga dalam tinggi,” membatin Ageng
Musalamat yang menyaksikan jalannya perkelahian dan melihat
bagaimana tubuh Lu Liong Ong terhuyung-huyung hampir jatuh.
Selagi dia berusaha mengimbangi diri, lawan datang menyergap dan
lancarkan satu jotosan ke pelipis kirinya!
Lu Liong Ong pergunakan lengan kiri untuk menangkis.
“Bukkkk!”
Dua lengan saling beradu. Entah karena kedudukan kedua kaki
Lu Liong Ong yang belum kokoh, entah karena keadaan tubuhnya
yang miring atau entah karena lawan memiliki tenaga yang lebih kuat,
beradunya dua lengan itu membuat pejabat Kerajaan itu terjatuh
keras ke tanah. Sebelum dia sempat bangkit lawan bermantel
mendatangi dengan satu tendangan ke arah tulang rusuknya.
Lu Liong Ong berteriak keras. Hanya setengah jengkal lagi
tendangan lawan akan menghancurkan tulang-tulang rusuknya Lu
Liong Ong, gulingkan tubuhnya. Si mantel merah tersaruk ke depan
namun cepat menguasai diri. Di tanah dilihatnya Lu Liong Ong
membuat gerakan aneh. Setelah beberapa kali berguling tubuh itu
melesat ke atas. Di udara seperti melenting tubuh Lu Liong Ong
berkelebat ke arah si mantel merah. Inilah jurus silat bernama soan
hong liap in yang berarti “angin berpusing mengejar awan.”
Orang bermantel keluarkan seruan kaget ketika tahu-tahu kaki
kanan lawan menderu ke arah lehernya. Ini benar-benar merupakan
serangan mematikan. Dia cepat melompat hindarkan diri. Meski
serangan mematikan. Meski lehernya selamat tapi dia masih kurang
cepat. Kaki Lu Liong Ong mendarat di bahu kirinya. Tubuhnya
mencelat sampai dua tombak lalu tergelimpang di tanah.
Ageng Musalamat mengira paling tidak tulang bahu si mantel
merah itu telah remuk dan tak sanggup lagi berdiri. Namun apa yang
terjadi mem buatnya diam-diam merasa kagum akan kekuatan si
kuncir emas itu. Setelah keluarkan suara menggembor pendek orang
ini melompat bangkit. Lu Liong Ong tampak agak tercekat ketika
melihat lawannya tidak cidera malah masih sanggup berdiri dan
melangkah ke arahnya.
“Lu Liong Ong, kesempatanmu untuk berdoa pada Thian hanya
sedikit. Nyawamu hanya tinggal beberapa kejapan saja!”
“Manusia sombong tapi tolol! Lo Sam Tojin sengaja mengutusmu
kemari untuk mencari mati!”
Si mantel merah kembaii keluarkan suara menggembor. Lalu
didahului bentakan keras tubuhnya berkelebat. Sinar merah
mantelnya bertabur. Lu Liong Ong merasa kedua matanya perih. Ada
hawa aneh keluar dari bawah mantel. Sesaat dia tidak dapat melihat
apa-apa. Tapi telinganya masih mampu mendengar datangnya
serangan. Dengan cepat dia melompat ke kiri.
“Bukkkkk!”
Lu Liong Ong mengeluh tinggi. Mantel merah menghantam
punggungnya hingga tak ampun lagi pejabat Kerajaan ini terpental ke
depan. Untung dia masih sempat menggapai roda sebuah gerobak
hingga tak sampai jatuh ke tanah. Namun baru saja dia membalikkan
badan, satu tendangan menghajar dadanya. Lu Liong Ong tersandar
ke badan gerobak. Dadanya seolah remuk. Napasnya sesak. Sewaktu
dia coba menarik napas dalam-dalam darah mengucur dari mulutnya.
Beberapa orang anak buahnya berseru kaget melihat kejadian ini.
Saat itu si mantel merah sudah berkelebat lag!. Tangan
kanannya bergerak menjambak rambut Lu Liong Ong. Tangan kirinya
menelikung leher si pejabat. Sekali dua tangan itu bergerak pasti
patahlah tulang leher si pejabat dan nyawanya tidak ketolongan lagi!.
Ketika si mantel merah siap mematahkan leher Lu Liong Ong, di
udara malam, melewati kepala beberapa orang yang ada di tempat itu,
melesat satu bayangan putih. Tahu-tahu si mantel merah merasakan
ada satu tangan memegang bahu kirinya. Mendadak sontak tangan
kirinya menjadi sangat berat dan kaku tak bisa digerakkan iagi.
Bersamaan dengan itu di belakangnya ada satu suara menegur dalam
bahasa yang tidak dimengertinya.
“Orang gagah bermantel merah. Kau telah memenangkan
perkelahian. Lawan dalam keadaan tidak berdaya. Tak ada untungnya
bagimu membunuh tuan Lu Liong Ong....”
Si mantel merah berpaling. Pandangannya membentur wajah
Ageng Musalamat yang memandang tersenyum padanya.
“Kau pasti orang asing yang datang dari negeri seberang itu...”
Ageng Musalamat masih tersenyum. Tidak menjawab karena
memang dia tidak tahu apa yang dikatakan si mantel merah.
Sebaliknya si mantel merah juga tidak mengerti apa yang tadi
diucapkan Ageng Musalamat.
Ki Hok Kui segera mengguncang lengan Bu Tjeng. Anak ini cepat
berkata. “Paman Bu Tjeng, kau harus lekas ke sana. Dua orang itu
saling bicara dalam bahasa yang mereka tidak mengerti satu sama
lain!”
“Kau benar!” kata Bu Tjeng lalu melompat dan berdiri di antara
Lu Liong Ong dan si mantel merah yang masih mencekal si pejabat
tapi tak sanggup meneruskan maksudnya membunuh orang itu.
Ageng Musalamat kembali mengatakan sesuatu pada si mantel
merah. Bu Tjeng cepat menterjemahkan. “Orang ini memintamu agar
melepaskan pejabat Lu Liong Ong. Katanya tak ada gunanya
membunuh. Dia juga menanyakan ada tujuan apa dari Lo Sam Tojin
hingga kau diutus untuk menjemputnya?”
Si mantel merah yang sedang beringas perlahan-lahan
mengendur amarahnya. Sepasang pandangan mata lembut Ageng
Musalamat membuat dia merasa kecut. Cekalan dan jambakannya
pada Lu Liong Ong dilepaskan hingga pejabat ini jatuh ke tanah
setengah sadar setengah pingsan. Beberapa orang prajurit segera
menggotongnya ke tempat aman.
“Orang asing. Ketua Perkumpulan Kuncir Emas Lo Sam Tojin
ingin bertemu denganmu. Itu sebabnya dia mengutusku untuk
menjemputmu dan membawamu ke lembah Pek-hun tempat
kediamannya.”
“Ah, Ketuamu tentu seorang yang sangat baik hati. Belum
pernah bertemu tapi telah sudi mengundangku datang ke tempatnya.
Kau kembalilah ke danau Pek-hun. Sampaikan salam hormatku pada
Ketuamu Lo Sam Tojin. Katakan padanya bahwa saat ini aku sedang
menjadi tamu Kerajaan. Jika ada kesempatan dan Kerajaan memberi
izin aku akan datang sendiri menyambanginya di lembah itu...”
Habis berkata begitu Ageng Musalamat membungkuk memberi
hormat. Ketika dia hendak membalikkan badan si mantel merah
berseru.
“Orang asing! Tunggu!”
Si mantel merah cepat melangkah ke hadapan Ageng
Musalamat. “Peraturan di Perkumpulan Kuncir Emas sangat keras.
Jika seorang ditugaskan untuk menjalankan sesuatu dan tidak
berhasil maka hukumannya sangat berat. Lo Sam Tojin akan memisahkan
kepalaku dari tubuhku!”
Sepasang alis mata Ageng Musalamat berjingkat ketika dia
mendengar terjemahan ucapan si mantel merah dari Bu Tjeng.
“Jika kau tidak sanggup mengikuti aturan Perkumpulan,
mengapa tidak keluar saja?”
“Itu lebih celaka lagi! Lo Sam Tojin akan membunuhku dan
seluruh keluargaku!”
“Ah... Rupanya susah juga hidup ini bagimu...” kata Ageng
Musalamat sambil usap-usap dagunya.
“Sebelum pergi Lo Sam Tojin mengatakan sesuatu padaku...”
“Hemmm, aku ingin mendengarkan....”
“Katanya, jika aku tidak bisa membawamu ke lembah Pek-hun
maka sebagai gantinya aku harus mendapatkan keris emas yang
hendak kau persembahkan pada Raja....”
Ageng Musalamat terkejut. Bagaimana orang ini bisa tahu aku
membawa keris itu, pikirnya.
“Rupanya kabar menebar secepat kilat dan tak ada rahasia yang
bisa dipendam di negeri ini. Aku memang membawa sebilah keris
emas. Jika Ketuamu berpesan begitu, aku tidak keberatan
menyerahkannya padamu. Silahkan kau mengambilnya sendiri.”
Beberapa orang anak murid Ageng Musalamat maju ke hadapan
pimpinan mereka, serentak menegur keras menyatakan ketidak
senangan mereka. Lu Liong Ong sendiri yang setengah sadar setengah
pingsan melompat bangun begitu diberitahu Bu Tjeng apa yang
hendak dilakukan Ageng Musalamat.
“Tamu terhormat Kanjeng...! Jika kau serahkan keris itu
padanya maka itu adalah satu penghinaan besar bagi Raja dan rakyat
Tiongkok!” kata Lu Liong Ong setengah berteriak lalu perlahan-lahan
jatuh terduduk di tanah.
“Sahabatku pejabat Lu Liong Ong, kau tak usah khawatir...
Lihat saja apa yang akan terjadi,” kata Ageng Musalamat sambil
tersenyum dan kedipkan matanya.
Ageng Musalamat memberi isyarat agar si mantel merah
mengikutinya. Lalu dia melangkah menuju kemah. Hampir semua
orang yang ada di tempat itu mengikuti.
Sampai di dalam kemah yang diterangi lampu minyak Ageng
Musalamat menunjuk pada sebuah peti kecil terbuat dari kayu yang
terletak di atas tumpukan barang.
“Buka penutup peti dan lihat isinya...” Ageng Musalamat
berkata pada si mantel merah. Bu Tjeng cepat menterjemahkan
ucapan Ageng Musalamat. Si mantel merah tampak ragu. Agaknya dia
khawatir orang akan menjebaknya.
Namun setelah melihat Ageng Musalamat memandang
tersenyum dan anggukkan kepala padanya, orang ini segera dekati
peti kayu jati berukir itu. Dia ulurkan tangan membuka penutup peti.
Begitu tutup terbuka tujuh larik sinar kuning membersit keluar. Si
mantel merah lindungi matanya yang kesilauan dengan telapak
tangan kiri.
“Apakah benda itu yang diminta oleh Ketuamu paderi Lo Sam?”
tanya Ageng Musalamat.
Si mantel merah mengangguk setelah mendengar kata-kata Bu
Tjeng. Ageng Musalamat kembali bicara. Bu Tjeng kembali
menterjemah. “Kau boleh mengambil senjata itu, membawanya pergi
dan menyerahkan pada Lo Sam Tojin.”
”Ah.... Terima kasih... terima kasih...” kata si mantel merah
sambil membungkuk berulang kali. Dia tidak menyangka kalau orang
akan menyerahkan keris emas itu semudah itu padanya. Peti kayu
cepat ditutupnya lalu dengan pergunakan dua tangan dia mengangkat
peti dari tumpukan barang.
Baru satu langkah berjalan mendadak tampang si mantel merah
yang tersembunyi di balik kain hitam mengerenyit. Tubuhnya
terhuyung ke depan. Peti kecil berisi keris Kiyai Sabrang Tujuh Langit
itu seperti berubah menjadi sebuah batu besar yang amat berat.
Bagaimanapun dia mengerahkan tenaga tetap saja dia tak sanggup
bertahan. Kedua bahunya membuyut ke bawah. Dan tangannya
menjadi panjang. Tak sanggup bertahan dengan tenaga kasar dia
kerahkan tenaga daiam.
“Krakk! Kraaak!”
Si mantel merah menjerit keras. Sambungan tulang bahunya
kiri kanan tanggal dari persendian. Peti kayu lepas dari pegangannya
dan bukkk!
Peti jatuh menimpa kakinya. Kasut yang melindungi kakinya
berlubang besar. Tulang kakinya remuk dan kasut itu tampak merah
tanda kakinya cidera berat dan berdarah. Si mantel merah menjerit
berulang kali sambil berjingkat-jingkat kesakitan.
Ageng Musalamat membungkuk mengambii peti kayu berisi
keris sakti. Lalu dengan tangan kirinya dipegangnya bahu si mantel
merah.
“Katakan pada Ketuamu, kau telah berusaha tapi tak sanggup
membawa keris daiam peti ini. Mungkin senjata ini tidak berjodoh
dengan dirinya. Kau boleh pergi sekarang...“
Si mantel merah hendak berteriak marah. Tapi ketika dilihatnya
orang bicara dengan tersenyum padanya dan lagi-lagi seperti ada sinar
aneh memancar dari sepasang mata Ageng Musalamat maka tanpa
banyak bicara lagi dia segera keluar dari dalam kemah.
-- == 0O0 == --
SEBELAS
MALAM pertama sampai ke Kotaraja rombongan Ageng
Musalamat dibawa ke istana Raja. Sebelum jamuan makan malam
yang dihadiri oleh para pejabat tinggi Kerajaan serta undangan
khusus dimana di antaranya terdapat beberapa tokoh Muslim, Ageng
Musalamat menyerahkan keris sakti Kiyai Sabrang Tujuh Langit pada
Raja. Sebagai balasan, Raja memberikan seuntai tasbih yang terbuat
dari batu giok berwarna hijau pekat. Tasbih itu bukan tasbih biasa
karena mampu menolak racun serta memiliki kekuatan besar.
Perjamuan itu menjadi semarak karena dipertunjukkan
berbagai tarian dari beberapa propinsi. Menjelang tengah malam,
perjamuan baru selesai dan rombongan diantar ke tempat bermalam
yakni sebuah bangunan besar di luar tembok selatan istana.
Selama dua hari rombongan diajak melihat-lihat beberapa
tempat berpemandangan indah. Pada malam ketiga sesuai yang telah
diatur kedua belah pihak mengadakan pertmuan lagi di sebuah
gedung yang biasanya dipakai untuk pertunjukan termasuk
perunjukan kepandaian silat. Acara kali ini tidak dihadiri oleh Raja,
tapi beberapa pejabat penting termasuk Kepala Barisan Pengawal
Raja dan Kepala Balatentara Tiongkok Daerah Timur ikut hadir. Lu
Liong Ong sendiri tidak kelihatan karena kabarnya masih dalam
perawatan akibat perkelahian dengan anak buah Lo Sam Tojin tempo
hari.
Tuan rumah menyuguhkan beberapa pertunjukan silat tangan
kosong dan mempergunakan senjata diseling dengan pertunjukan
akrobat. Setelah itu giliran murid-murid Ageng Musalamat ganti
memperlihatkan kebolehan mereka. Bagian ketiga yang merupakan
bagian penutup adalah pertandingan persahabatan antara pihak
tuan rumah dan tamu dari tanah Jawa. Agaknya dalam rangka
persahabatan dan saling menghormat, kedua belah pihak tidak
berani menurunkan tangan keras. Walau begitu pertandingan itu
berjalan cukup seru dan tidak henti-hentinya mendapatkan
sambutan tepuk tangan dari semua yang hadir.
Ketika pemandu acara bersiap-siap untuk menutup acara
malam itu tiba-tiba sebuah benda kuning melesat di udara lalu
menancap di atas panggung. Ketika semua orang memperhatikan
benda itu ternyata adalah sebatang besi sepanjang stu tombak yang
pada ujungnya terikat sebuah bendera besar berwarna kuning. Pada
bagian tengah bendera, dalam lingkaran merah terlihat gambar
berupa kunciran rambut.
“Bendera Perkumpulan Kuncir Emas!” seru semua orang yang
mengenali. Tempat itupun menjadi gempar. Belum berhenti getaran
besi bendera yang menancap di lantai panggungm belum reda suara
gaduh orang-orang yang gempar tiba-tiba terdengar suara tawa
mengekeh panjang. Lampu-lampu besar di ruangan itu berkelapkelip.
“Braakk!”
Loteng di atas panggung ambruk.
Saat itu juga sesosok bayangan melayang turun dan tegak
tepat di samping kanan bendera kuning.
“Lo Sam Tojin!” beberapa orang yang duduk di barisan depan
sampai terlonjak dari kursi masing-masing saking kagetnya. Ageng
Musalamat sendiri yang ada di barisan kursi terdepan mendadak saja
merasa berdebar. Kedua matanya memandang tak berkesip pada
orang yang di atas panggung.
Orang di atas panggung ternyata adalah seorang kakek
mengenakan jubah paderi berwarna serba hitam. Mukanya berwarna
kuning muda. Sepasang alis, bibir, dan rambut yang dikuncir, dicat
dengan warna kuning tua! Sosok tubuhnya yang kurus tinggi
membuat keseluruhan diri orang ini menjadi angker untuk
dipandang. Apalagi sepasang matanya tak bisa diam, selalu jelalatan.
Di tangan kirinya dia memegang sebatang tongkat besi berwarna
kuning.
“Apakah kalian sudah selesai mempertunjukkan kebodohan
masing-masing?!” Tiba-tiba Lo Sam Tojin, Ketua Perkumpulan Kuncir
Emas keluarkan ucapan lantang lalu tertawa mengekeh.
“Tak ada yang menjawab! Bagus! Itu berarti kalian menyadari
kebodohan masing-masing!” seru Lo Sam Tojin lalu kembali tertawa
bergelak-gelak.
Seseorang berpakaian kebesaran militer yang duduk di barisan
depan tegak dari kursinya lalu membentak. Orang ini adalah Suma
Tiang Bun, Kepala Barisan Pengawal Istana.
“Lo Sam Tojin! Tindakanmu sungguh kurang ajar sekali! Lekas
turun dari panggung dan tinggalkan tempat ini!”
“Ah…! Ternyata pejabat-pejabat di Kotaraja ini tidak angkuh
semua!” Lo Sam Tojin menjawab.
“Apa maksudmu?!” sentak Suma Tiang Bun dengan mata
mendelik.
“Beberapa hari lalu, seorang pejabat bernama Lu Liong Ong
sesumbar jual omongan besar mau menyerbu kediamanku di lembah
Pek-Hun dan mau menangkap diriku! Mana dia orang she Lu itu?
Aku tidak melihatnya di tempat ini! Aku sengaja datang jauh-jauh
kemari. Tapi ternyata tidak ditangkap. Malah seorang jenderal
bernama Suma Tiang Bun dengan sikap hormat memintaku untuk
berlalu. Ha… ha… ha…!”
Merah padam muka Kepala Barisan Pengawal Istana itu. Dia
cepat memandang berkelliling dan siap berteriak pada para pengawal
untuk memberi perintah agas segera menangkap Lo Sam Tojin tapi
alangkah terkejutnya Jenderal ini ketika melihat tidak satupun
anggota pengawal ada di ruangan itu. Malah seputar dinding ruangan
kelihatan sekitar dua puluh orang berpakaian hitam, dengan wajah
tertutup kain hitam, rembut kuning dikucir di atas kepala!
Di atas panggung Lo Sam Tojin kembali tertawa mengekeh.
“Jenderal Suma!,” teriak Lo Sam Tojin, “kau tak usah khawatir.
Semua anak buahmu berada di gudang belakang. Semua tertidur
pulas. Tapi tanpa napas alias mati semua! Ha… ha… ha…!”
Terkejutlah Suma Tiang Bun mendengar ucapan Lo Sam Tojin
itu. Dia cepat berpaling pada seorang lelaki gemuk pendek yang tegak
di sampingnya. Orang ini adalah Jenderal Tjia, Kepala Balatentara
Daerah Timur.
“Jenderal, aku minta bantuanmu. Lekas himpun kekuatan.
Lucuti semua anggota Kuncir Emas yang ada di tempat ini. Aku akan
menangkap paderi sesat itu hidup-hidup!”
Jenderal Tjia mengangguk. “Hati-hati Jenderal Suma. Lo Sam
Tojin terkenal sangat lihay! Aku akan naik ke panggung
membantumu begitu selesai menyusun kekuatan!”
Begitu Jenderal Tjia bergerak. Suma Tiang Bun berkelebat ke
atas panggung. Lo Sam Tojin segera menyambutnya dengan ejekan.
“Ha… ha…! Aku jadi sungkan berhadapan denganmu Jenderal
Suma! Kau mengenakan pakain bagus dan mewah. Aku Cuma
memakai pakaian butut terbuat dari kain blacu hitam! Heh,
pakaianmu itu tentu mahala harganya! Gajimu tentu besar! Ha…
ha… ha..!”
“Tojin sesat! Tutup mulutmu! Aku masih memberi kesempatan
terakhir kepadamu. Tinggalkan tempat ini!”
“Ho… ho! Terus terang aku kemari bukan mencarimu. Tapi
mencari orang lain! Sebelum aku menemukan orang itu jangan
harapa aku akan minggat dari sini!”
“Kau akan menyesal. Sebentar lagi pasukan besar akan
mengurung tempat ini. Kau dan anak buahmu tak bakal bisa keluar
hidup-hidup dari sini!”
“Heemm... begitu?!” dua mata Lo Sam Tojin berputar-putar dan
jelalatan kian kemari. “mari kita main-main sebentar. Sudah lama
aku tidak mengukur sampai dimana tingkat kepandaian seorang
Jenderal sepertimu!”
“Kalau kau memang minta digebuk, aku tuan besarmu tidak
akan sungkan-sungkan lagi!” kata Suma Tiang Bun lalu melompat ke
depan melancarkan serangan.
“Ha… ha! Hanya jurus Ouw liong cut tong! Siapa takut?!” ejek
Lo Sam Tojin. Lalu sapukan tongkat besinya ke depan. (Ouw liong cut
tong = Naga hitam keluar goa).
Jenderal Suma Tiang Bun tentu saja terkejut ketika mendengar
Lo Sam Tojin menyebut nama jurus serangan yang dilancarkannya.
Sebenarnya ini bukan satu hal yang mengherankan. Jenderal Suma
dulunya pernah belajar pada seorang tokoh silat gemblengan Kun
Lun Pay. Sedang Lo Sam Tojin sendiri adalah salah seorang sesepuh
itu. Jadi dia sudah tahu semua jurus-jurus ilmu silat Partai.
“Jenderal Suma! Kalau kepandaianmu cuma sebegitu sungguh
mengherankan, Raja mau mengangkatmu jadi Kepala Barisan
Pengawal Istana! Lihat baik-baik. Aku akan hadapi seranganmu
dengan jurus yang sama!”
Lalu Ketua Perkumpulan Kuncir Emas itu sisipkan tongkat
besi kuningnya. Ketika serangan lawan berupa jotosan keras siap
melabrak dadanya Lo Sam Tojin berteriak keras.
“Jurus ouw liong cut tong sejati!”
Baik Jenderal Suma yang di atas panggung maupun semua
orang yang berada di bawah panggung tidak sempat melihat kapan
paderi melancarkan serangan tahu-tahu…
“Buukkk!”
Jenderal Suma terpental satu tombak ke belakang. Dari
mulutnya terdengar erang kesakitan. Ketika dia memperhatikan
tangan kanannya ternyata tangan itu telah membengkak merah.
Rasa sakit masih dapat ditahan oleh sang Jenderal, tetapi amarah
tak mampu dibendungnya. Didahului bentakan dahsyat dia
melompat ke depan. Kini terjadi perkelahian seru. Lima jurus
Jenderal Suma Tiang Bun merangsek lawannya dengan seranganserangan
ganas. Tapi Lo Sam Tojin berubah laksana bayang-bayang.
Memasuki jurus ke tujuh Jenderal Suma keluarkan seluruh
kepandaiannya. Tenaga dalam dikerahkan penuh. Tubuhnya yang
besar berkelebat mengeluarkan deru angin kencang. Lo Sam Tojin
berseru keras ketika dapatkan dirinya tenggelam dalam tekanan
serangan lawan. Kini dia tidak menyerang dengan sepasang
tangannya melainkan pergunakan lengan jubah untuk mengebut
gempuran lawan.
“Wuuss…! Wuuss…!”
Dua larik sinar hitam menderu keluar dari ujung lengan jubah
hitam sang paderi. Sinar di sebelah kanan berhasil dielakkan
Jenderal Suma. Namun sinar yang menyambar dari arah kiri
menghantam dadanya dengan telak. Untuk kedua kalinya orang ini
terpental. Mukanya tampak pucat. Kedua kakinya kelihatan bergetar
keras. Dari mulutnya ada darah meleleh. Sang Jenderal menderita
luka dalam yang cukup parah.
“Paderi keparat! Biar kupatahkan kepalamu dari tubuh detik
ini juga!” kertak Suma Tiang Bun.
“Srett!”
Dia cabut pedang yang tersisip di pinggangnya. Sekali dia
menggerakkan tangan maka sinar putih bertabur menyambar ke
leher Lo Sam Tojin.
Si kakek ganda tertawa. Tangannya bergerak ke pinggang.
Selarik sinar kuning berkiblat.
“Traangg!”
Bunga api memercik di atas panggung ketika pedang Suma
Tiang Bun beradu keras dengan tongkat besi Lo Sam Tojin.
Celakanya, karena sejak pertama tangn kanan sudah cidera maka
genggamannya pada gagang pedang tidak teguh. Akibatnya begitu
bentrokan senjata, pedang di tangan Jenderal Suma terlepas mental.
Di atas pangung Lo Sam Tojin angkat tongkat besinya ke
udara. Semua orang terkesiap ketika melihat bagaimana pedang
Jenderal Suma yang mencelat mental ke udara, laksana disedot,
melayang turun lalu menempel pada badan tongkat besi kuning.
Dengan cepat Lo Sam Tojin ambil pedang itu. Lalu dia tertawa
mengekeh.
“Jenderal Suma! Aku akan membelah tubuhmu dengan pedang
milikmu sendiri! Bersiaplah untuk menghadapa Giam lo ong! Ha…
ha… ha…!” (Giam lo ong = malaikat maut).
Jenderal Suma berusaha menyelamatkan diri dari sambaran
pedang dengan melompat ke belakang. Dia menyambar sebuah
jambangan di kiri panggung. Sewaktu pedang kembali membabat dia
menangkis dengan jambangan itu. Jambangan yang terbuat dari
porselen hancur berantakan. Di lain kejap pedang di tangan Lo Sam
Tojin menderu dari atas ke bawah, mengarah batok kepala Jenderal
Suma. Rupanya tojin ini benar-benar hendak membuktikan katakatanya
yaitu ingin membelah tubuh sang Jenderal!
Sementara itu di bawah panggung lima puluh anggota pasukan
Kerajaan yang dibawa Jenderal Tjia bertempur seru melawan dua
puluh orang anak buah Lo Sam Tojin. Walau mereka berjumlah lebih
sedikit namun Karena rata-rata memiliki kepandaian tinggi dalam
waktu singkat mereka berhasil merobohkan lima prajurit. Jenderal
Tjia sendiri saat itu yang telah melihat bahaya maut mengancam
Jenderal Suma segera melompat ke atas panggung. Selagi tubuhnya
melayang di udara dia lepaskan satu pukulan tangan kosong
mengandung tenaga dalam tinggi.
Lo Sam Tojin sama sekali tidak menghindar sewaktu
merasakan ada sambaran angin menyerang ke arah sepuluh jalan
darah di sisi kirinya. Sambil meneruskan bacokannya ke kepala
Suma Tiang Bun, kakek ini putar tongkat kuningnya. Sinar kuning
bertabur. Angin laksana badai mendera ke arah tubuh Jenderal Tjia.
Orang gemuk pendek ini berseru kaget ketika tubuhnya terpental ke
bawah panggung. Selagi dia berusaha mengimbangi diri agar tidak
jatuh terbanting di lantai, tombak besi di tangan Lo Sam Tojin tahutahu
melayang. Demikian cepatnya sambaran tongkat besi ini hingga
Jenderal Tjia tak mampu selamatkan diri. Tongkat besi menancap di
ulu hatinya! Orang banyak yang ada di tempat itu menjadi gempar.
Terlebih ketika melihat bagaimana pedang di tangan Lo Sam Tojin
siap pula membelah kepala Jenderal Suma!
-- == 0O0 == --
DUA BELAS
SESAAT lagi Jenderal Suma akan menjadi mayat dengan
kepala terbelah tiba-tiba dari bawah panggung, dari barisan kursi
paling depan melesat satu bayangan putih. Bersamaan dengan itu
ada sambaran angin menderu ke arah Lo Sam Tojin yang membuat
kakek bermuka kuning ini terhuyung-huyung. Walau dia masih
sanggup meneruskan bacokannya namun mata pedang meleset jauh,
tak dapat membelah kepala Jenderal Suma melainkan hanya
membelah angin. Satu tangna kemudian menarik leher pakaian
Suma Tiang Bun hingga Jenderal ini terpisah jauh dari Lo Sam Tojin.
Semua orang berseru terkesiap. Bahkan para prajurit dan anak
buah Perkumpulan Kuncir Emas tanpa diberi aba-aba sama-sama
hentikan pertempuran dan memandang ke atas panggung.
Di atas panggung saat itu tegak seorang lelaki tinggi tegap
mengenakan jubah putih. Kulitnya coklat dan di tangan kirinya dia
memegang seuntai tasbih.
“Tamu asing itu! Dia menyelamatkan Jenderal Suma!”
seseorang berseru. Suasana menjadi gempar sesaat namun segera
sirap. Semua mata ditujukan ke atas panggung.
Sepasang mata Lo Sam Tojin yang selalu jelalatan tak bisa
diam kini terpentang lebar, memandang tak berkesip pada orang
berjubah putih di hadapannya yang bukan lain adalah Kanjeng Sri
Agengn Musalamat. Lo Sam Tojin usap-usapkan tangan kirinya ke
dagu. Pedang di tangan kanan tiba-tiba dihunjamkan ke bawah
hingga menancap di lantai panggung.
“Dicari susah sekali! Dijemput tak mau datang! Tahu-tahu saat
ini muncul di hadapanku! Jadi inilah orang asing dari tanah Jawa
yang katanya memiliki kepandaian tinggi, datang membawa sebilah
keris emas sakti untuk Raja Tiongkok! Ha... ha... ha!”
Karena tidak tahu apa yang dikatakan Lo Sam Tojin, Ageng
Musalamat hanya tersenyum dan membungkuk. Sang paderi makin
keras tawanya. Tiba-tiba kakinya bergerak menendang ke arah badan
pedang yang menancap di lantai panggung.
“Desss!”
“Wuuut!”
Pedang yang menancap melesat ke atas, berputar laksana
baling-baling, menyambar ke arah Ageng Musalamat.
Ageng Musalamat gerakkan tangan kanannya yang memegang
tasbih. Tasbih ini adalah hadiah yang diterima Ageng Musalamat dari
Raja Tiongkok sebagai balasan keris Kiyai Sabrang Tujuh Langit yang
diberikannya pada Raja.
“Tring.. tring... tring!”
Terdengar suara berdentringan beberapa kali. Bunga api
memijar enam kali berturut-turut. Ageng Musalamat terkejut dan
cepat melompat ketika tangannya yang memegang tasbih terasa pedih
seperti ditusuk puluhan jarum. Sebaliknya Ketua Perkumpulan Kuncir
Emas tak kalah kagetnya. Hantaman tasbih di tangan Ageng
Musalamat walau ditujukan pada pedang yang berputar namun ada
hawa aneh yang membuatnya melangkah mundur terhuyung-huyung.
Sementara itu pedang yang kena hantaman tasbih jatuh
berdentrangan di bawah panggung.
“Orang asing, aku mengagumi kehebatanmu!” kata Lo Sam Tojin
seraya membungkuk.
Ageng Musalamat balas menghormat.
“Aku tak punya waktu lama. Aku ingin kau ikut bersamaku ke
lembah Pek-hun sekarang juga. Orang sepertimu aku perlukan untuk
bantu membangun Partai Kuncir Emas...“ Lalu Lo Sam Tojin berikan
tanda dengan isyarat tangan agar Ageng Musalamat mengikutinya.
Ageng Musalamat gelengkan kepala dan goyangkan tangannya.
Melihat ajakannya ditolak marahlah Lo Sam Tojin. Ke dua tangannya
didorongkan ke muka. Gerakannya perlahan saja. Tapi apa yang
terjadi sungguh mengejutkan. Dari ujung dua lengan jubahnya
melesat angin sederas topan. Panggung bergoncang. Tirai-tirai tebal
bergoyang keras bahkan ada yang robek. Di atas panggung tubuh
Kanjeng Agung Musalamat bergoncang hebat.
“Jatuh!” teriak Lo Sam Tojin seraya lipat gandakan tenaga
dalamnya. Mukanya yang kuning kelihatan seperti mengkerut.
Goncangan di tubuh Ageng Musalamat semakin hebat. Jubah
putihnya tampak robek di beberapa bagian. Dia bertahan sambil
membungkuk dan mengepalkan tinju. Tasbih di tangan kanannya berputar-
putar kian kemari.
“Jatuh!” teriak Lo Sam Tojin, sekali lagi.
Ageng Musalamat bertahan mati-matian agar tidak roboh.
Lantai panggung yang dipijaknya tiba-tiba berubah panas laksana dia
menginjak bara api!
“Kalau aku bertahan, cepat atau lambat aku akan jatuh! Orang
tua bermuka kuning ini memiliki tenaga dalam luar biasa! Aku harus
mencari jalan mengalahkannya tanpa menghinanya!”
Ageng Musalamat melirik pada pecahan jambangan porselen
yang bertebaran di lantai panggung sebelah kiri. Mulutnya dikatupkan
rapat-rapat. Tenaga dalamnya dikerahkan ke kaki kanan. Tiba-tiba
kaki itu dihentakkannya ke lantai panggung. Laksana senjata rahasia,
puluhan pecahan porselen menghambur ke arah Lo Sam Tojin. Selagi
Ketua Perkumpulan Kuncir Emas ini berteriak kaget, puluhan
pecahan porselen menancap di sekujur pakaian hitamnya. Pecahan
porselen ini menancap demikian rupa laksana disisipkan dengan hatihati
dan rapi hingga tak ada bagian tubuh Lo Sam Tojin yang terluka
ataupun tergores!
Kalau saja mukanya tidak dilapisi cat kuning maka semua
orang akan melihat bagaimana wajah Lo Sam Tojin telah berubah
sepucat mayat! Kakek ini menyadari kalau mau Ageng Musalamat tadi
pasti mampu membunuhnya dengan tusukan puluhan pecahan
porselen itu.
“Orang asing...” kata Lo Sam Tojin dengan suara bergetar. “Aku
menaruh kagum padamu! Aku juga menaruh hormat! Kalau aku tidak
bias membawamu ke lembah Pek-hun untuk kujadikan guru besar
Perkumpulan Kuncir Emas, pelajaran yang kau berikan saat ini cukup
membuatku puas. Aku berterima kasih untuk semua itu...” Lo Sam
Tojin membungkuk berulang kali.
Ageng Musalamat membalas penghormatan itu dengan cara
yang sama yaitu membungkuk pula beberapa kali. Pada saat itulah
tiba-tiba tangan kanan Lo Sam Tojin bergerak dan!
“Kanjeng guru! Awas!” Seseorang berteriak dari bawah
panggung.
Ageng Musalamat cepat mengangkat kepalanya. Sebenarnya
tadipun dia sudah mendengar ada suara menderu datang dari depan.
Ketika melihat ke depan terkejutlah dia!
Lima ekor ular aneh berwarna hitam dengan sirip di kepala dan
di badan melesat ke arahnya.
“Ular iblis pencabut nyawa!” teriak beberapa orang di bawah
panggung.
Ular terbang yang diberi julukan, “ular iblis pencabut nyawa” itu
adalah senjata rahasia paling berbahaya yang jarang dikeluarkan Lo
Sam Tojin. Di tempat penyimpanannya di dalam sebuah kantong di
balik pakaiannya lima ular itu tak ubahnya seperti kayu kaku. Tapi
begitu melesat di udara berubah seolah ular sungguhan. Melesat
dengan membuka mulut lebar-lebar. Siap untuk mematuk sasaran!
Ageng Musalamat tanpa pikir panjang jatuhkan diri ke atas
lantai panggung. Tasbih di tangan kanan diputar sebat. Tiga ular
beracun lewat di atasnya, menancap pada tiang kayu panggung. Dua
lainnya dihantam hancur dengan tasbih.
Lo Sam Tojin menggereng marah. Dia menerjang ke depan,
menyerang dengan ganas dan tenaga dalam penuh. Lima jari
tangannya terpentang, mencuat ke depan dan mendadak Ageng
Musalamat melihat lima jari kiri kanan tangan lawannya berubah
menjadi cakar besi membara! Inilah ilmu hitam yang paling
diandalkan oleh Lo Sam Tojin yang selama ini tidak satu musuhpun
sanggup menghadapinya.
Orang banyak di bawah panggung, terutama para pejabat tinggi
yang tahu betul akan keganasan ilmu yang dimiliki Ketua
Perkumpulan Kuncir Emas itu jadi tercekat. Mereka tidak bisa
menduga lain. Ageng Musalamat akan menemui ajal dengan muka
terkoyak, perut jebol dan isi perut membusai.
Tapi apa yang terjadi kemudian membuat semuanya secara
tidak sadar keluarkan seruan tertahan hampir berbarengan.
Di atas panggung Lo Sam Tojin melihat muka Ageng
Musalamat berubah menjadi kepala seekor harimau putih. Selagi
dia tertegun kecut lawan telah melompat ke hadapannya. Ageng
Musalamat merasakan terjadi keanehan atas dirinya. Sepasang
tangan dan ke dua kakinya bergerak diluar kendalinya. Tasbih
dalam genggamannya menderu menabur sinar angker. Dia
mendengar suara bergedebukan berulang kali. Lalu…
“Praaakkk!”
Rahang kiri Lo Sam Tojin remuk. Tubuhnya terpelanting
namun sungguh hebat. Mukanya yang kuning babak belur.
Sepasang matanya menggembung bengkak dan mengeluarkan
darah. Hidungnya remuk sedang mulutnya pecah! Tapi hebatnya
kakek ini masih mampu berdiri walau kini kepalanya kelihatan
miring. Ludah campur darah disemburkannya ke arah Ageng
Musalamat hingga jubah putih orang ini penuh dengan noda
merah.
Ageng Musalamat jadi mendidih amarahnya. Tapi sikapnya
tetap tenang. Ketika lawan berusaha menyergapnya dengan satu
serangan kilat, tangan Ageng Musalamat kiri kanan menderu ke
depan, menghujani muka dan dada Lo Sam Tojin. Ketika paderi
ini terhuyung-huyung, berusaha berdiri sambil memegang tirai
panggung, kaki kanan Ageng Musalamat mendarat di dagunya.
Darah menyembur. Tubuh Lo Sam Tojin mencelat ke bawah
panggung, jatuh di antara orang banyak. Tidak berkutik lagi,
tidak bernapas lagi!
“Lo Sam Tojin mati! Lo Sam Tojin mati!” teriak beberapa
orang.
Tempat itu menjadi gempar. Beberapa orang anggota Kuncir
Emas yang tahu bahaya secepat kilat ambil langkah seribu
menyelinap di antara orang banyak lalu menghilang.
Di atas panggung Ageng Musalamat memandang ke bawah.
Tadi sewaktu dia membungkuk dan tidak sempat melihat
datangnya serangan lima ular iblis pencabut nyawa, seorang di
bawah sana berteriak mengingatkannya. “Kanjeng guru! Awas!”
Dia kenal suara itu. Dia merasa telah ditolong dan diselamatkan.
Pandangan Ageng Musalamat membentur sosok Cagak Guntoro,
murid yang telah dihukumnya karena menduga keras dialah yang
berusaha mencuri keris Kiyai Sabrang Tujuh Langit.
“Berarti... Jangan-jangan aku telah salah menjatuhkan
hukuman,” kata Ageng Musalamat dalam hati.
-- == 0O0 == --
TIGA BELAS
KEMATIAN Lo Sam Tojin Ketua Perkumpulan Kuncir Emas
menggegerkan daratan Tiongkok kawasan timur. Di pegunungan Kun
Lun orang-orang Kun Lun Pay mengadakan pesta besar atas kematian
orang yang mereka anggap sebagai pengkhianat itu. Lima orang
utusan khusus Ketua Partai datang menemui Kanjeng Sri Ageng
Musalamat. Mereka membawa hadiah-hadiah besar dan
menyampaikan undangan Ketua Partai agar Ageng Musalamat suka
berkunjung ke markas mereka.
Dengan sangat hati-hati Ageng Musalamat menolak menerima
hadiah itu. Dia hanya mau berjanji jika ada kesempatan akan
menerima undangan dan berkunjung ke pegunungan Kun Lun.
Namun utusan Ketua Partai Kun Lun memaksa agar Ageng Musalamat
mau menerima hadiah itu. Setelah saling bersitegang akhirnya
Ageng Musalamat mengalah. Namun semua hadiah kemudian
disampaikannya kepada beberapa panti asuhan, termasuk panti asuhan
di Hsin Yang yang diurus oleh Pouw Goan Keng dimana Ki Hok Kui
tinggal.
Ketika berita tewasnya Lo Sam Tojin sampai ke istana, Raja
meminta Ageng Musalamat datang. Kepadanya Raja menghadiahkan
satu daerah subur tak jauh dari Hsin Yang. Di situ dibangun belasan
rumah yang dapat didiami oleh Ageng Musalamat dan rombongannya
selama mereka suka. Raja juga menawarkan satu jabatan penting bagi
Ageng Musalamat namun dengan halus kedudukan bagus itu
ditolaknya.
Lama kelamaan tempat kediaman Ageng Musalamat semakin
berkembang luas hingga menjadi satu kota kecil dimana hampir
semua penduduknya adalah orang-orang Muslim. Dalam rimba
persilatan di daratan Tiongkok nama Ageng Musalamat menjadi satu
nama besar. Maklum saja karena selama ini tidak ada satu orang
pandai bahkan pihak Kerajaan yang mampu mengalahkan atau
menangkap Lo Sam Tojin. Ageng Musalamat disejajarkan ketinggian
ilmunya dengan tokoh-tokoh kang-ouw di daratan Tiongkok pada
masa itu. (kang-ouw = dunia persilatan)
Diam-diam beberapa Partai berusaha memperebutkan Ageng
Musalamat dengan maksud agar orang sakti ini mengajarkan
kepandaiannya pada mereka. Namun Ageng Musalamat lebih suka
memilih diam di tempat yang telah diberikan Raja padanya. Di sini dia
membuka satu perguruan silat yang jumlah muridnya selalu
bertambah. Ki Hok Kui termasuk salah seorang murid yang paling
disukai dan dipercaya Kanjeng Sri Ageng Musalamat. Anak yang
cerdik ini bukan saja menimba ilmu silat dari gurunya itu, tapi juga
dengan tekun mempelajari bahasa dan tulisan Jawa.
Sampai dua tahun dimuka jabatan Kepala Balatentara Daerah
Timur yang ditinggal Jenderal Tjia masih tetap lowong. Untuk
sementara jabatan tinggi ini dirangkap oleh Jenderal Suma Tiang Bun.
Namun entah dari mana asalnya tersiar kabar bahwa Raja akan
mengangkat Ageng Musalamat menduduki jabatan Kepala Balatentara
Daerah Timur itu.
Tanpa melakukan penyelidikan benar tidaknya berita itu
Jenderal Suma terlanjur merasa jadi tidak suka terhadap Kanjeng Sri
Ageng Musalamat karena menganggap orang ini bisa merampas
kedudukan rangkap yang sebenarnya sangat ingin dipertahankannya.
Rasa tidak sukanya itu ditebar demikian rupa hingga satu
demi satu dia berhasil mengumpulkan orang-orang penting
bergabung dengan dia untuk tidak menyukai Ageng Musalamat yang
bagaimanapun juga adalah orang asing. Tindakan Jenderal Suma
tidak sampai disitu saja. Dia berkali-kali menghadap Raja untuk
memberikan laporan yang memburukkan nama Ageng Musalamat.
Ageng Musalamat sendiri bukan tidak tahu kalau banyak
orang-orang tertentu tidak suka padanya. Namun dia tidak ambil
perduli. Sikapnya pada orang-orang yang membencinya itu biasabiasa
saja. Dia lebih memperhatikan pengembangan kota kecilnya
yang melebar hingga berdampingan dengan Hsin Yang. Akhirnya
keseluruhan kota dijadikan satu dan diberi nama Hsin Yang.
Setelah bertahun-tahun tinggal di Hsin Yang rasa betah
perlahan-lahan mengikis rasa rindu terhadap tanah Jawa. Bahkan
akhirnya Ageng Musalamat nikah dengan seorang penduduk asli
seagama. Perbuatannya ini diikuti pula oleh hampir semua anak
buahnya. Akibatnya Hsin Yang semakin berkembang dan tak dapat
lagi dikatakan kota kecil. Sebagian penduduknya hidup dari bertani
dan sebagian lainnya mencoba berdagang. Nama kota Hsin Yang
menjadi harum seharum nama Kanjeng Sri Ageng Musalamat.
Jumlah pengikut dan anak murid Ageng Musalamat bukan hanya
ratusan tapi sampai ribu-ribuan. Cagak Guntoro yang telah
dibebaskan dari hukuman sejak lima belas tahun lalu hidup
berbahagia dengan seorang istri dan dua anak. Munding Sura
menempuh jalan berbeda. Sampai saat itu dia tidak kawin dan sering
mengelana sampai berbulan-bulan untuk mengembangkan ilmu silat
pada penduduk setempat.
Ratusan keluarga besar Ageng Musalamat hidup rukun di Hsin
Yang membentuk satu kekuatan besar yang lambat laun membuat
para penjahat tinggi di Kotaraja merasa kurang enak. Ketidak enakan
ini disulut pula oleh Jenderal Suma Tiang Bun.
TANPA terasa telah dua puluh tahun Ageng Musalamat
bermukim di Tiongkok. Selama berumah tangga sayangnya dia tidak
dikarunia anak. Karena itu rasa kasih sayangnya banyak tercurah
pada murid terpandainya yakni Ki Hok Kui. Boleh dikatakan selama
dua puluh tahun Ki Hok Kui tidak menyianyiakan kesempatan. Pada
saat dia berusia tiga puluh hampir seluruh ilmu kepandaian Ageng
Musalamat berhasil diserapnya. Bahasa Jawanyapun tak kalah
medok dengan orang-orang yang datang dari tanah Jawa itu.
Keberadaan Ageng Musalamat yang tumbuh menjadi satu
kekuatan besar rupanya tidak lepas dari perhatian Raja. Suatu hari
dia dipanggil ke istana. Ternyata satu pertemuan penting yang dihadiri
oleh pejabat-pejabat tinggi termasuk Jenderal Suma telah diatur.
Dalam pertemuan Raja mengumumkan bahwa Kanjeng Sri Ageng
Musalamat diangkat menjadi Tikoan berkedudukan di Hsin Yang
dengan daerah kekuasaan tak terkira luasnya. Sekali ini Ageng
Musalamat merasa sungkan untuk menolak keputusan Raja itu.
(Tikoan = jabatan sederajat Bupati)
Kalau Raja merasa gembira mendapatkan Ageng Musalamat
menerima jabatan yang diberikannya, tidak begitu dengan orang-orang
yang tidak menyukainya. Di bawah pimpinan Jenderal Suma yang
pernah diselamatkan nyawanya oleh Ageng Musalamat maka
disusunlah satu fitnah besar untuk menjatuhkan Tikoan baru itu.
“Heran,” kata Jenderal Suma pada kawan-kawannya. “Ilmu
pemikat apa yang dipakai oleh Jawa itu. Aku sudah berkali-kali
memberi tahu Raja akan perbuatan-perbuatannya yang buruk dan
berbahaya. Eh malah Raja mengangkatnya menjadi Tikoan....”
Seorang perempuan tinggi semampai berpakaian bagus dan
berdandan mencolok memegang bahu Jenderal Suma. Dia adalah
salah seorang tokoh silat istana yang berhasil ditarik Jenderal Suma
Tiang Bun ke dalam kelompoknya. “Untuk menjatuhkan batu karang,
ombak besar tak boleh putus asa. Jika dia tidak bisa kita jatuhkan
dengan jalan halus, jalan kasar bisa kita pergunakan. Bukankah
bekas anak buah Lo Sam Tojin di lembah Pek-hun yang ribuan
banyaknya itu bersumpah untuk membalas dendam kematian Ketua
mereka? Lagi pula aku ada satu rencana besar yang bisa kita
jalankan. Selain itu bukankah kita bisa memperalat orang Jawa anak
murid si Kanjeng yang satu itu untuk memberi lebih banyak
keterangan tentang ilmu-ilmu yang dimiliki Ageng Musalamat?”
“Hemmm.... Apa rencana besar yang barusan kau katakan itu
Louw Bin Nio?”
Perempuan separuh baya itu tersenyum dan kedipkan matanya
dengan genit. “Jika kau ingin tahu bukan di sini tempatnya,” jawab
Louw Bin Nio sambil memandang pada orang-orang yang ada di situ.
Mendengar ucapan ini dan melihat pandangan Louw Bin Nio semua
orang yang ada di situ menjadi maklum. Satu persatu mereka
meninggalkan tempat itu.
“Ikuti aku,” kata Louw Bin Nio sambil menggoyangkan
pinggulnya yang besar. Perempuan ini adalah seorang tokoh silat
istana yang sejak masih gadis secara diam-diam telah menjadi kekasih
gelap Jenderal Suma.
Louw Bin Nio membawa lelaki itu ke dalam sebuah kamar.
Begitu pintu dikuncinya langsung die memeluk Jenderal Suma dengan
penuh nafsu seraya berbisik dengan mata berkilat-kilat.
“Sudah berapa lama kita tidak berkasih-kasihan Suma Tiang
Bun...”
“Hampir dua minggu. Maafkan aku Bin Nio Urusanku banyak
sekali akhir-akhir ini....”
“Sekarang lupakan semua urusan itu. Darahku sudah panas
Suma. Cepat buka bajuku dan aku akan membuka bajumu!” Lalu jarijari
tangan Louw Bin Nio bergerak. Dia bukan membuka pakaian
Jendera Suma secara wajar tapi merobeknya dengan penug nafsu.
Justru hal inilah yang disukai sang Jenderal Perempuan itu bisa
memuaskannya dengan hubungan badan yang aneh-aneh sementara
istrinya yang gemuk di rumah hanya merupakan sosok dingin
sedingin salju di puncak Thay San.
-- == 0O0 == --
EMPAT BELAS
SALAH satu tantangan dalam hidup manusia ialah kemampuan
untuk bertahan terhadap godaan. Sejak Adam tergoda oleh setan hingga
memakan buah larangan lalu bersama Hawa diusir dari Taman
Firdaus, sejak itu pula setan senantiasa membayangi manusia,
menggoda agar melakukan kesesatan. Hal ini yang terjadi dengan diri
Kanjeng Sri Ageng Musalamat.
Selama dua puluh tahun dia sanggup bertahan terhadap
hasutan setan yang selalu mendorongnya agar membuka halaman ke
lima Kitab Putih Wasiat Dewa yang selalu dibawanya kemana-mana.
Malam itu entah mengapa, sewaktu hasutan setan menghantuinya,
dia tidak berdaya melawan. Semakin dilawan semakin keras dorongan
untuk ingin mengetahui apa sebenarnya yang ada di halaman ke lima
dan halaman berikut kitab sakti itu. Dalam keadaan bimbang
akhirnya Ageng Musalamat naik ke atas loteng rumah dimana terletak
sebuah ruangan tempat dia biasa bersunyi diri.
Dari balik jubah putihnya dikeluarkannya Kitab Putih Wasiat
Dewa. Dadanya berdebar keras, tangannya gemetar. Tengkuknya
mendadak merasa dingin. Kitab yang hendak dibukanya ditutupnya
kembali. Pada saat itulah setan menghasut melalui suara hatinya.
“Kanjeng Sri Ageng Musalamat, apa yang kau khawatirkan? Kau
tidak disuruh merenangi lautan api atau mendaki gunung batu
membara. Apa susahnya membalik halaman kitab itu? Jangan mau
dibodohi Datuk Rao Basalauang Ameh. Dia tidak ingin kau menjadi
penguasa dunia persilatan. Itu sebabnya dia melarangmu. Tapi
sekarang kau berada jauh dari tanah Jawa. Mana mungkin dia
mengetahui. Sekali kau membuka halaman ke lima kitab sakti itu,
dunia persilatan berada di tanganmu. Raja Tiongkok kelak akan
memberikan jabatan yang lebih tinggi bagimu...”
Ageng Musalamat menggigit bibirnya sendiri. Berkali-kali dia
menarik napas dalam. Akhirnya keputusannya bulat. Tangan
kanannya walaupun masih gemetar bergerak membuka halaman ke
lima Kitab Putih Wasiat Dewa!
Begitu halaman ke lima Kitab Putih Wasiat Dewa terbuka,
terpentanglah sepasang mata Kanjeng Sri Ageng Musalamat! Ternyata
halaman itu kosong! Tak ada gambar tak ada tulisan. Dibaliknya
halaman-halaman berikutnya. Sama! Kosong!
“Orang menipuku...“ kata Ageng Musalamat terperangah.
“Datuk Rao Basaluang Ameh mendustaiku. Halaman kelima dan
halaman lainnya ternyata tidak ada apa-apanya!”
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara tiupan seruling di
kejauhan. Suaranya mengalun lembut berhiba-hiba lalu menderam
suara auman binatang. Ageng Musalamat tercekat. Parasnya menjadi
pucat pasi.
“Datuk Rao...” desisnya.
Baru saja dia menyebut nama itu di hadapannya muncul dua
kepulan asap putih yang dengan cepat berubah membentuk sosok
tubuh Datuk Rao Basaluang Ameh dan temannya si harimau putih
bernama Datuk Rao Bamato Hijau.
Datuk Rao menatap dengan pandangan rawan pada Ageng
Musalamat. Sadar bahwa ia telah melanggar pantangan Ageng
Musalamat jatuhkan diri hendak merangkul kaki Datuk Rao. Tapi
orang tua itu mundur dua langkah hingga dia menangkap angin.
“Sayang sekali... Sayang sekali Kanjeng Sri Ageng Musalamat!
Pada saat-saat terakhir imanmu runtuh! Padahal kau telah mengulang
berpuluh kali membaca Sabda Dewa yang ke delapan. Imanmu tidak
sekokoh batu! Kau juga telah puluhan kali membaca Sabda dewa ke
tiga. Di dalam tubuh manusia ada api. Mengapa manusia tidak
berpikir mencari manfaat dari pada kualat?!”
“Maafkan diriku Datuk! Aku mengaku bersalah, mengaku
berdosa. Aku akan melakukan apa saja yang bisa menebus dosa
kesalahanku!” kata Ageng Musalamat setengah meratap.
“Mengapa kau tergoda melanggar pantangan, Ageng
Musalamat?”
“Aku terhasut setan Datuk! Aku mohon maafmu. Lagi pula
ketika halaman ke lima Kitab Wasiat Dewa kubuka, tidak ada apaapanya.
Halaman itu kosong!”
Datuk Rao tersenyum. “Matamu tidak seperti mata malaikat.
Matamu. nyalang tapi penglihatanmu dihilangkan oleh Yang Maha
Kuasa hingga kau hanya mampu melihat halaman kosong!”
Tenggorokan Ageng Musalamat turun naik. Matanya membeliak
dan wajahnya seputih kain kafan.
“Aku mohon ampunmu Datuk. Tolong diriku...”
“Kesalahan telah dibuat. Larangan telah dilanggar. Penyesalan
tak ada gunanya Ageng Musalamat. Aku tidak tahu nasib apa yang
akan menimpamu. Aku hanya ada dua pesan terakhir. Pertama hatihatilah.
Kedua jangan lupa amanat agar kau menyerahkan Kitab
Wasiat Dewa pada orang yang paling kau percaya!”
Datuk Rao angkat saluang emasnya lalu mulai meniup. Suara
seruling itu seperti tadi mengalun lembut berhiba-hiba. Datuk Rao
Bamato Hijau membuka mulut keluarkan suara auman. Bersamaan
dengan sirnanya suara auman lenyap pulalah sosok asap ke dua
makhluk itu.
*
* *
Sepanjang malam Kanjeng Sri Ageng Musalamat tak bisa
memicingkan mata. Menjelang pagi ketika sepasang matanya sempat
hendak terpicing tiba-tiba di luar terdengar derap kaki kuda,
menyusul suara pintu digedor. Beberapa orang yang bertugas sebagai
pengawal di gedung Tikoan itu ikut menghambur ke pintu depan.
“Tikoan! Tikoan Kan-jieng Musalamat! Bangun! Buka pintu!”
Ageng Musalamat terduduk di atas ranjang. Telinganya dipasang
kembali khawatir kalau-kalau tadi ia mendengar suara dalam mimpi.
“Tikoan Musalamat! Buka pintu! Cepat!”
“Eh, itu suara Ki Hok Kui. Ada apa dia pagi-pagi buta begini
menggedor pintu. Setahuku dia berada di timur...”
Kanjeng Sri Ageng Musalamat yang jadi Tikoan di Hsin-Yang
itu cepat-cepat turun ke bawah. Begitu pintu dibuka masuklah
muridnya Ki Hok Kui bersama Cagak Guntoro dan beberapa orang
pengawal.
°”Ada apa Hok Kui? Mukamu pucat dan napasmu sesak?”
Ageng Musalamat berpaling pada Cagak Guntoro. Muridnya yang
satu ini juga sama keadaannya dengan Ki Hok Kui.
“Lekas tinggalkan kota ini Tikoan. Seluruh penduduk harus
diberitahu agar segera mengungsi!” kata Ki Hok Kui yang kini
telah menjadi seorang lelaki gagah berusia tiga puluh tahun dan
telah mewarisi hampir seluruh ilmu silat dan kesaktian Ageng
Musalamat, kecuali ilmu Harimau Dewa.
“Tinggalkan kota?! Mengungsi?! Eh kalian ini tidak habis
minum-minum dan mabok?!” ujar Ageng Musalamat.
“Demi Tuhan, Kan-jieng....”
“Katakan ada apa?!” Ageng Musalamat membentak.
“Pasukan Kerajaan. Ribuan jumlahnya. Mereka hendak
menyerbu ke sini! Mereka hendak membunuh kita semua! Hsin
Yang hendak dimusnahkan sama rata dengan tanah!”
Paras Ageng Musalamat jadi berubah.
“Bicara yang benar Hok Kui, jangan terburu-buru...”
Ki Hok Kui atur jalan napasnya lalu menuturkan, “Raja
menerima laporan dari Jenderal Suma Tiang Bun bahwa Kan-jieng
berserikat dengan orang-orang Mongol untuk meruntuhkan
takhta Raja Tiongkok. Ada yang melihat Jenderal Suma membawa
sepucuk surat rampasan yang katanya adalah dari Raja Mongol
ditujukan pada Kan-jieng. Isinya rencana penyusunan kekuatan
serta siasat penyerbuannya ke Kotaraja....”
“Fitnah!” teriak Ageng Musalamat dengan kedua tangan
dikepal.
“Kan-jieng tahu Jenderal Suma sudah sejak lama tidak
menyukai Kan-jieng. Dia memang memfitnah. Celakanya Raja
begitu saja mempercayai. Sebelum matahari terbit balatentara
Kerajaan terdiri dari enam gelombang masing-masing berjumlah
dua ribu orang akan sampai di sini. Selagi ada waktu harap Kanjieng
mencari jalan selamat...”
Ageng Musalamat gelengkan kepala. “Bahaya sebesar
apapun yang akan datang aku tidak akan pergi. Kau dan Cagak
Guntoro lekas beritahu penduduk dan ungsikan mereka. Aku
tetap di sini. Aku akan menghadapi Jenderal culas itu!”
”Tapi Kan-jieng Jenderal Suma tidak sendirian. Dia
membawa enam tokoh silat istana, dua orang tokoh silat golongan
hitam dan kekasihnya yaitu Louw Bin Nio yang dikenal dengan
julukan Tjui-hun Hui-mo (Iblis Terbang pencabut Nyawa) Dan ada
yang melihat Munding Sura bersama Jenderal Suma!”
Terkejutlah Ageng Musalamat. Dia sudah lama mendengar
hubungan gelap Jenderal Suma dengan Louw Bin Nio. Perempuan
satu ini kabarnya memiliki ilmu silat yang sangat tinggi dan
merupakan tokoh nomor satu dalam barisan tokoh silat istana!
Lain dari itu dia tidak menduga kalau Munding Sura murid yang
dulu begitu dipercayanya ternyata adalah seorang pengkhianat.
“Seribu Jenderal Suma boleh datang. Seribu tokoh silat
istana boleh muncul di hadapanku dan seribu Louw Bin Nio boleh
unjukkan diri di sini. Tapi aku tidak akan melarikan diri. Aku tidak
akan meninggalkan Hsin Yang!”
Dari balik pakaiannya Ageng Musalamat keluarkan Kitab
Wasiat Putih Dewa lalu menyerahkannya pada Ki Hok Kui.
Ternyata muridnya inilah orang yang paling dipercayanya.
“Hok Kui, selamatkan kitab ini dan segera tinggalkan tempat
ini!”
“Kan-jieng!” seru Ki Hok Kui. “Saya tidak akan pergi! Saya
siap bertempur bersama Kan-jieng!”
“Jangan berani membangkang Hok Kui!”
“Saya ingin mati bersama Kan-jieng!” teriak Ki Hok Kui.
“Plaaaakkkk!”
Satu tamparan melayang di pipi Ki Hok Kui. Tamparan yang
dilancarkan penuh kemarahan itu sanggup meremukkan tulang
rahang manusia. Tapi jangankan cidera, bergeming sedikitpun
tidak! Inilah kehebatan Ki Hok Kui hingga dia dijuluki Tiat Tow Hou
atau Harimau Kepala Besi.
“Hok Kui! Ini perintah! Kalau kau tidak melaksanakan
kubunuh kau saat ini juga!” teriak Ageng Musalamat.
Ki Hok Kui mundur dua langkah. Ageng Musalamat maju
mendatangi dan dengan cepat memasukkan Kitab Wasiat Dewa ke
dalam baju muridnya itu. “Kitab itu lebih berharga dari nyawaku!
Kau harus menyelamatkannya Hok Kui!”
Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara menderu seperti air
bah mendatangi. Menyusul suara tiupan terompet.
Paras Ki Hok Kui berubah. “Astaga! Saya tidak menyangka
balatentara Kerajaan ternyata datang lebih cepat.... “
“Lekas pergi dari sini Kui Hok!” bentak Ageng Musalamat. Dia
berpaling pada Cagak Guntoro dan berkata. “Bangunkan istri dan
para nelayan. Ungsikan mereka ke tempat yang aman. Sejauh
mungkin dari Hsin Yang.” Ketika Ageng Musalamat melihat Hok
Kui masih berdiri di tempat itu diapun berteriak marah. “Kau
tunggu apa lagi?!”
Dengan muka pucat dan berusaha keras menahan titiknya
air mata Ki Hok Kui melangkah mundur ke pintu. Sebelum
berkelebat dia berkata. “Kan jieng guruku tercinta, saya berdoa
untuk keselamatanmu!”
-- == 0O0 == --
LIMA BELAS
PERAHU kecil itu terapung-apung dipermainkan ombak. Di
dalamnya terbujur satu sosok tubuh hanya tinggal ku!it pembalut
tulang, mengenakan pakaian yang nyaris hancur. Kulitnya yang tadi
putih kini kelihatan merah kehitaman karena disengat sinar matahari.
Dua matanya yang Terpejam perlahan-lahan terbuka. Dia berusaha
mengangkat tubuhnya dari lantai perahu yang mulai lapuk dan hanya
menunggu hancur. Orang ini bukan lain adalah Ki Hok Kui, murid
terpandai dan paling dipercaya Ageng Musalamat.
Setelah mengetahui bahwa balatentara Kerajaan secara ganas
benar-benar menghancurkan Hsin Yang dan membantai setiap orang
yang mereka temui di kota itu termasuk gurunya, Ki Hok Kui lalu
menyelamatkan diri ke timur. Kalau bukan mengingat amanat sang
guru dia sudah bertekad bulat untuk mati bersama di Hsin Yang. Kini
dia mendapat beban berat untuk menyelamatkan Kitab Putih Wasiat
Dewa. Dia sudah selamat tapi kitab itu hendak diapakannya? Kalau
dibawa akan dibawa kemana, kalau diserahkan akan diserahkan pada
siapa?
Seperti mendapatkan satu kekuatan gaib Ki Hok Kui walau
berada dalam keadaan sangat lemah duduk di lantai perahu. Dua
matanya yang cekung rnenatap tak berkesiap.
“Pulau..” desisnya. Digosoknya dua matanya dengan rasa tidak
percaya. Betulkah yang dilihatnya di kejauhan itu adalah sebuah
pulau? Kalau pulau rnergapa keseluruhannya berwarna merah?
Tiba-tiba dia mendengar satu suara seperti berdesir di
belakangnya. Perlahan-lahan kepalanya dipalingkan. Pucatlah paras
cekung Ki Hok Kui.
“Astaga! Bagaimana mungkin mereka bisa mengejar sampai di
sini!”
Ratusan tombak di belakang perahu kecil Hok Kui kelihatan
sebuah kapal layar besar. Dari bendera yang berkibar di tiang utama
jelas kapal itu adalah kapal Kerajaan Tiongkok. Apa sebenarnya yang
telah terjadi?
Setelah balatentara Kerajaan menghancurkan Hsin Yang dan
membantai semua orang yang mereka temui di kota itu, Ki Hok Kui
terpaksa melarikan diri dan dia memilih arah timur yang lebih banyak
diketahui seluk beluknya. Sewaktu Ki Hok Kui sampai di Nanchang,
Jenderal Suma mengetahui dari Munding Sura bahwa Ki Hok Kui
diduga masih hidup. Selain itu sewaktu tempat kediaman dan mayat
Ageng Musalamat diperiksa Kitab Putih Wasiat Dewa tidak ditemukan.
Munding Sura yakin kitab itu teiah diserahkan oleh Ageng Musalamat
kepada Hok Kui untuk diselamatkan.
Jenderal Suma memutuskan untuk mengejar Hok Kui yang saat
itu dikabarkan melarikan diri menuju kota pelabuhan Seochow.
Tujuan sang Jenderal bukan saja untuk mengikis habis semua anak
murid Ageng Musalamat tapi juga untuk mendapatkan Kitab Putih
Wasiat Dewa. Maka pengejaranpun diteruskan sampai di Seochow. Di
sini diketahui bahwa Ki Hok Kui telah membeli sebuah perahu kecil
dan melaut tanpa diketahui kemana tujuannya. Namun Munding Sura
mempunyai dugaan dan hal ini diberitahukannya pada Jenderal Suma
Tiang Bun. Menurut pendapatnya besar kemungkinan Ki Hok Kui
melarikan diri menuju tanah Jawa. Pemburuan di lautpun
dilakukan. Namun karena nakhoda kapal pengejar tidak begitu
memahami kawasan laut selatan, satu bulan kemudian baru
mereka berhasil mengejar perahu Kui Hok.
Kui Hok sendiri yang buta pelayaran ternyata bukannya
menuju pantai utara pulau Jawa, tapi tersesat ke pantai selatan.
Di kawasan inilah Jenderal Suma berhasil mengejarnya.
Dari atas kapal layar lima buah perahu diturunkan. Masingmasing
perahu berisi tiga penumpang. Perahu terdepan ditumpangi
Jenderal Suma bersama Munding Sura dan seorang tokoh silat
istana. Perahu kedua yang meluncur di samping perahu sang
Jenderal ditumpangi oleh Louw Bin Nio alias Tjui-hun Hui-mo (Iblis
Terbang Pencabut Nyawa) didampingi dua orang tokoh silat
golongan hitam. Tiga perahu lainnya masing-masing berisi seorang
perwira tinggi Kerajaan dan dua tokoh silat.
Dalam waktu singkat perahu kecil Kui Hok Kui segera
terkejar. Lima perahu besar mengurungnya. Lima belas orang
berkepandaian tinggi langsung menyerang. Ada dengan tangan
kosong dan ada pula dengan senjata. Malah beberapa orang
sengaja melepaskan senjata rahasia secara licik. Iblis Terbang
Pencabut Nyawa sesuai dengan gelarnya dan memiliki ginkang
(ilmu meringankan tubuh) yang lihay melancarkan serangan
laksana terbang. Berkelebat kian kemari sambil kiblatkan sebilah
golok panjang.
Walaupun memiliki ilmu tinggi hingga dijuluki Harimau
Kepala Besi, namun jika harus menghadapi lima belas lawan yang
hebat tidak mungkin Kui Hok Kui untuk menyelamatkan diri.
Apalagi keadaannya saat itu sangat lemah pula. Jenderal Suma
berulang kali berteriak agar Hok Kui menyerahkan Kitab Putih
Wasiat Dewa yang sudah sempat terlihat tersembul dari balik dada
bajunya. Tapi Hok Kui pantang menyerah.
“Louw Bin Nio!” teriak Jenderal Suma yang sudah tidak
sabaran. “Bunuh bangsat itu. Rampas kitab putih di dadanya!”
“Dengan senang hati kekasihku!” jawab Iblis Terbang
Pencabut nyawa. “Tapi biar kupesiangi dulu tubuhnya!” Habis
berkata begitu perempuan ini melesat ke atas perahu Hok Kui.
Goloknya membuat putaran ganas empat kali berturut-turut.
“Crass! Craass! Crass! Craass!”
Jeritan-setinggi langit menggelegar keluar dari mulut Hok
Kui. Golok Louw Bin Nio ternyata telah membabat buntung dua
tangan di bagian bahu dan sepasang kakinya di pangkal paha!
Darah membanjiri lantai perahu.
Iblis Terbang Pencabut Nyawa tertawa panjang. Ketika dia
hendak merampas Kitab Putih Wasiat Dewa dari balik baju Hok
Kui, murid Ageng Musalamat ini perlaku nekad. Dengan sisa
tenaga yang ada tanpa tangan dan kaki dia gulingkan tubuh,
mencebur masuk ke dalam laut!
“Munding Sural Lekas terjun! Kejar dan ambil kitab di balik
bajunya!” teriak Jenderal Suma. Tidak pikir panjang lagi si
pengkhianat ini segera melompat masuk ke dalam laut. Justru
pada saat itulah seekor ikan hiu ganas meluncur mendatangi. Di
atas lima perahu, empat belas penumpangnya hanya bisa tercekat
ketika melihat air laut mendadak berwarna merah.
Jenderal Suma memandang berkeliling lalu berteriak keras. Tiga
belas orang lainnya sama tersentak kaget. Ternyata di sekitar perahu
mereka belasan ikan hiu ganas muncul berkeliaran.
“Kembali ke kapal!” teriak Jenderal Suma Tiang Bun. Empat
perahu cepat dikayuh kembali ke kapal. Malang bagi perahu yang
ditumpangi Jenderal Suma. Dua ekor ikan hiu besar menabrak
perahunya hingga terbalik. Tubuhnya dan tubuh tokoh silat yang
terbalik dari atas perahu segera disambar belasan ikan hiu!
Louw Bin Nio sang kekasih gelap memekik laksana kemasukan
setan. Kalau tidak dipegangi dia pasti akan melompat ke dalam laut
menyusul Suma Tiang Bun.
*
* *
Di atas batu miring sosok tubuh Pendekar 212 tidak bergerak.
Sekujur badannya dibungkus hawa aneh sedingin es. Sepasang
matanya nyalang tapi dia tidak dapat melihat apa-apa. Tiba-tiba
“Wusss!” Sekujur tubuh murid Eyang Sinto Gendeng itu mengeluarkan
cahaya terang benderang. Lalu sekali lagi terdengar suara,
“Wusss!”
Dari kepala Pendekar 212 melesat keluar sebuah benda bersinar
terang. Benda ini melayang ke udara dalam kecepatan luar biasa dan
akhirnya lenyap seolah ditelan langit malam.
Bersamaan dengan itu tubuh kaku Wiro Sableng tampak
menggeliat lalu bergerak duduk. Dia memandang celingak-celinguk
terheran-heran. Kepalanya dipegang berulang kali. Akhirnya murid
Sinto Gendeng ini garuk-garuk kepalanya.
“Aneh, barusan ini aku bermimpi atau bagaimana? Aku melihat
seorang bernama Kanjeng Sri Ageng Musalamat. Aku melihat Kitab
Putih Wasiat Dewa. Lalu ada seorang Jenderal Cina melakukan
hubungan badan dengan seorang perempuan berdandan menor
bergelar Tjui-bihun... Tjui... Ah setan! Tak tahu aku menyebutnya
dalam bahasa Cina!” Wiro kembali garuk-garuk kepala.
“Ki Hok Kui... Lelaki Cina yang dibuntungi tangan dan kakinya
itu. Dia yang terakhir sekali memiliki kitab Putih Wasiat Dewa. Tapi
dia kecebur masuk ke dalam laut!” Wiro garuk-garuk kepala lagi dan
kembali memandang berkeliling. Lalu dia ingat pada Delapan Sabda
Dewa. Dan bicara seorang diri.
“Delapan Sabda Dewa... Tanah, Air, Api, Udara, Bulan, Kayu...
Batu! Astaga mengapa aku bisa mengingatnya?!” Baru saja Wiro
berkata begitu tiba-tiba di kejauhan terdengar suara orang bernyanyi.
Laut Selatan tak pernah tenang
Gelombang selalu datang menantang
Ribuan pagi ribuan petang
Tubuh lapuk ini menunggu kedatangan
Yang menunggu tua renta malang
Yang ditunggu budak malang
Apakah saat ini petunjuk Yang Kuasa turun
menjelang
Mungkinkah ini akhir penantian dan
permulaan dari satu harapan
Hanya kepada Yang Kuasa tertambat seluruh
harapan
Agar tubuh tua ini bisa bebas menempuh
jalan abadi menghadap Sang Pencipta.
“Tempat aneh nyanyian aneh. Orangnya pasti aneh!,” kata Wiro
pula sambil garuk-garuk kepala dia turun dari batu miring itu dan
melangkah ke arah datangnya suara nyanyian tadi.
T A M A T

0 komentar:

 
cerita wiro © 2007 Template feito por Templates para Você