tag:blogger.com,1999:blog-34473485030493066342024-03-12T17:35:46.675-07:00cerita wiroscorpionsGunshttp://www.blogger.com/profile/05792078590560618820noreply@blogger.comBlogger5125tag:blogger.com,1999:blog-3447348503049306634.post-57102130601966872402008-11-18T23:55:00.001-08:002008-11-18T23:57:32.741-08:00<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhdpsnNIKTUHpoIKTeWxlLT9Wyk4CYSCuQGuEfn16x-SgTzwX9A1qq6XjBHHOBXBziWeKABIJqcd9Ad1CAHtVg0-T_UFZlS7yStzkgBtBmeTAk5B1A01BShKVGLtc1q61PU80TqiC1-7uV3/s1600-h/1_581966274l.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhdpsnNIKTUHpoIKTeWxlLT9Wyk4CYSCuQGuEfn16x-SgTzwX9A1qq6XjBHHOBXBziWeKABIJqcd9Ad1CAHtVg0-T_UFZlS7yStzkgBtBmeTAk5B1A01BShKVGLtc1q61PU80TqiC1-7uV3/s320/1_581966274l.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5270274527768036482" /></a><br /><br /><br /><br /><br /><br />SATU<br />LANGIT di atas teluk Penanjung di Pangandaran tampak bersih tak berawan sedikit pun. Sinar sang surya yang tidak terhalang terasa semakin terik begitu sang penerang jagat ini merayap semakin mendekati titik tertingginya.<br />Di puncak bukit karang sebelah timur Ratu Duyung yang merupakan tokoh silat golongan putih pertama yang muncul di tempat itu, masih tegak terheran-heran ketika dia melihat lblis Pemabuk berada di bukit sebelah barat.<br />"Manusia satu ini sulit diduga jalan pikirannya. Ketika bertamu ke tempatku jelas dia menunjukkan sikap berbaik-baik dengan orang-orang golongan putih. Sekarang tahu-tahu dia berada di pihak sana. Hemmm .... Jangan-jangan si gendut buruk itu sudah termakan rayuan manis Pangeran Matahari dan tipuan busuk minuman keras. Aku melihat ada lima gentong raksasa di bukit sana. Pasti berisi minuman keras kesukaannya .... Manusia kalau sudah jadi budak minuman dirinya pun akan dijualnya. Sayang... sayang sekali ...."<br />Selagi sang Ratu membatin seperti itu, tiba-tiba satu bayangan berkelebat dan di lain kejap sudah tegak di depannya. Dua orang anak buah Ratu Duyung cepat melompat ke depan sambil melintangkan senjata berupa tongkat besi yang ujungnya memancarkan sinar biru menggidikkan.<br />Sambil menekan rasa terkejutnya Ratu Duyung memberi isyarat pada ke dua anak buahnya untuk mundur. Lalu dia memandang pada orang yang tegak di hadapannya. Seorang tua berpakaian rombeng. Selapis kulit tipis yang menutupi wajahnya berwama sangat pucat. Rambutnya yang putih panjang melambai-lambai ditiup angin.<br />"Orang tua, apakah kau tidak tersesat datang ke bukit ini? Bukankah kau yang dijuluki Si Muka Mayat alias Si Muka Bangkai, guru Pangeran Matahari ... ?"<br />Ratu Duyung menegur. Cermin bulat dalam geng-gamannya ditempelkan ke dada.<br />Orang tua bungkuk berpakaian rombeng yang memang guru Pangeran Matahari adanya tertawa mengekeh.<br />"Ratu Duyung, Ratu maha sakti maha cantik .... Bagus dan syukur sekali kau telah mengenali diriku hingga aku yang tua ini tidak perlu repot-repot menerangkan siapa diriku!"<br />Ratu Duyung tersenyum. "Pujian bisa menyesatkan. Kau yakin tidak tersesat datang ke<br />bukit ini?" "Tentu saja tidak," sahut Si Muka Mayat. "Aku datang ke sini untuk membincangkan satu hal sangat penting yang bakal menguntungkan dirimu ...."<br />"Hemmm .... Jika seorang musuh menawarkan satu keuntungan ini adalah satu hal yang patut ditanyakan dan dicurigai ...."<br />Si Muka Bangkai tertawa panjang. "Ratu Duyung, waktuku tidak banyak. Sebelum kawan-kawanmu berdatangan aku ingin mengatakan sesuatu padamu.<br />Maksudku lebih jelas adalah menawarkan sesuatu padamu .... Sesuatu yang menyangkut keadaan dirimu dan masa depanmu!"<br />"Orang tua, ucapanmu menarik sekali. Harap kau suka meneruskan dengan cepat karena aku pun tidak<br />suka berbincang berlama-lama denganmu!" kata Ratu Duyung pula.<br />"Aku sanggup mencarikan seorang perjaka yang bisa menyembuhkan dirimu dan memusnahkan kutukan yang selama ini menyiksa dirimu ...."<br />Paras Ratu Duyung kelihatan berubah. "Apa kau menawarkan dirimu atau muridmu Pangeran Matahari?!"<br />Si Muka Mayat tertawa bergelak. "Aku yang sudah tua bangka reot begini mana mungkin<br />masih perjaka. Muridku si Pangeran Matahari itu jelas sudah tidak perjaka lagi. Yang ingin kutawarkan padamu adalah seorang Pangeran dari Surokerto yang aku kenal baik. Orangnya gagah. Kau pasti tidak kecewa. Jika kau suka silahkan kau mengatur pertemuan ...."<br />Ratu Duyung walaupun sangat marah saat itu namun masih bisa tersenyum. "Sayang aku tidak suka pada tawaranmu itu. Juga tidak suka pada Pangeran yang kau sebutkan itu ...." Habis berkata begitu Ratu Duyung menatap ke langit. "Matahari sudah tinggi, selagi kau masih ada kesempatan . untuk kembali ke bukit di sebelah barat sana, sebaiknya lekas-lekas kau angkat kaki. Kawan-kawanmu akan kecewa kalau kau sampai menemui ajal lebih dulu di sarang musuhl"<br />Si Muka Bangkai menggeram dalam hati. "Aku tahu kehebatan para tokoh silat golongan putih, termasuk dirimu. Tapi jika aku tidak punya nyali mana aku akan menjejakkan kaki di tempat ini?” Saking geramnya setelah mengeluarkan kata kata itu Si Muka Bangkai pergunakan tangan kirinya untuk mencengkeram ujung runcing batu karang yang ada di dekatnya. Batu karang itu serta merta berubah menjadi hitam dan mengepul tanda di selimuti hawa panas luar biasa. Ketika si orang tua menjentikkan jari-jari tangannya batu karang itu langsung bertaburan ke udara, berubah menjadi debu hitam yang sangat halus!<br />"Orang tua, mengapa kau tidak lekas angkat kaki?! Apa kau kira kami di sini perlu tukang sulap sepertimu?" ujar Ratu Duyung. Lalu dia gerakkan tangannya yang memegang cermin bulat. Sinar putih menyilaukan berkiblat ke arah taburan halus debu karang. Serta merta debu-debu halus itu berubah menjadi merah membara. Ratu Duyung gerakkan lagi cerminnya. Ribuan bahkan mungkin jutaan debu merah bergerak laksana sebuah tabir kearah Si Muka Bangkai.<br />Orang tua yang memiliki ilmu kebal segala benda panas ini ganda tertawa ketika dapatkan dirinya diserang oleh debu-debu merah membara itu. Dia sengaja tegak terbungkuk-bungkuk sambil bertolak pinggang menuju datangnya serangan dinding debu. Tapi Ratu Duyung yang sudah pernah mendengar kehebatan Si Muka Bangkai ini berlaku cerdik. Sekali agi cermin bulatnya digerakkan. Dinding debu bertabur ke udara. Kini jutaan debu menyambar ke arah si orang tua dari ratusan arah.<br />Si Muka Bangkai dorongkan ke dua tangannya ke depan. Sebagian debu panas merah tersapu mental dan lenyap namun sebagiannya lagi lolos dan menyerang ke arah setiap lobang yang ada di tubuhnya.<br />Orang tua ini terbatuk-batuk. Matanya jadi perih dan telinganya seperti mengiang. Sebelum<br />nafasnya menjadi sesak cepat-cepat dia melompat mundur seraya kirimkan satu pukulan sakti ke arah Ratu Duyung. Sang Ratu menyambut dengan kerlipan cahaya dari cermin bulatnya. Dua kekuatan tenaga dalam saling beradu di udara.<br />"Dess ... dess!"<br />Si Muka Bangkai merasakan tangannya kesemutan dan denyut darah dalam urat-urat besar di tubuhnya menjadi kacau. Cepat-cepat dia menyeIinap ke balik batu karang besar lalu melompat jauh dan turun dari bukit, kembali ke bukit sebelala barat, Ratu Duyung sendiri sesaat tampak tergontai-gontai namun segera dapat menguasai dirinya kembali.<br />Belum sempat Si Muka Bangkai memberi tahu kegagalan pertemuannya dengan Ratu Duyung di bukit sebelah timur yang hanya dipisahkan oleh satu pedataran pasir berbatu-batu selebar lima tombak, tiba-tiba terdengar suara seperti cambukan cemeti yang menyakitkan telinga. Suara cemeti ini sesekali diseling oleh suara tawa membahana disertai maki-makian.<br />Orang-orang di bukit sebelah barat termasuk Si Muka Bangkai yang baru saja kembali dari bukit timur jadi melengak dan memperhatikan dengan mata dibesarkan.<br />"Ha ... ha ... ha ... ! Lihat keledai dungu! Tolol bodoh! Mendaki bukit jelek begini saja tidak<br />mampu! Ayo jalan! Lari! Lari atau kupecut bokongmu! Ha ... ha ... ha!" Lalu terdengar suara cemeti berkelebat berulang kali. Tak lama kemudian semua mata sama menyak-sikan bagaimana seorang bertubuh sangat gemuk, berbobot sekitar 200 kati mendaki menuju puncak bukit karang dengan menunggang seekor keledai kecil kurus! Tapi jika diperhatikan temyata si gemuk ini bukannya menunggang karena walau pantatnya berada di atas punggung keledai tapi ke dua kakinya menjejak tanah dan berjalan mengikuti langkah empat<br />kaki keledai! Selain itu setiap dia memecutkan cemetinya, bukan tubuh keledai itu yang dihantamnya<br />tapi pahanya sendiri yang dideranya hingga celana hitamnya robek di sana-sini.<br />"Perjalanan gila yang melelahkan! Ha. .. ha. .. ha!" kata si gendut begitu sampai di puncak bukit karang<br />"Ada apa sebenamya di tempat ini? Hari sepuluh bulan sepuluh! Kukira ada pesta makan besar. Yang<br />kulihat cuma manusia-manusia tegak berdiam diri. Entah sedang kebingungan entah lagi tegang! Kalau lagi bingung apa yang dibingungkan! Kalau lagi tegang apanya yang tegang! Ha ... ha ... ha ... ha...!"<br />Si gendut terus mengumbar tawa mengekeh. Ketika tawanya sekonyong-konyong lenyap dia lalu sorongkan kepalanya ke depan. Tangan<br />kirinya diletakkan di atas kening. Tangan kanan menunjuk ke bukit di seberangnya ke arah Dewa Sedih yang sedang menangis tersedu-sedu.<br />"Anak cengeng itu! Mengapa dia bisa kesasar ke sana?!" ujar si gendut. Lalu dia berteriak. "Hai Dewa Sedihf Kalau mau nangis mengapa jauh-jauh sampai ke sini! Ha. .. ha ... hal Anak brengsek! Seumur hidup bisanya cuma mengeluarkan air mata! Ha ... ha ... ha!" Di bukit seberang sana Dewa Sedih bangkit berdiri dari atas batu karang lalu mengepalkan tinjunya ke arah si kakek gendut. Walau dia sangat marah saat itu tapi wajahnya tetap saja ditekuk sedih.<br />"Orang sombong selalu tertawa! Dewa Ketawa! Kau selalu mencampuri urusanku! Kau selalu mengintili ke mana aku pergi! Hik ... hikl Aku kakakmu memerintahkan agar kau segera minggat dari tempat itul Hik ... hik ... hikl" Habis mengancam Dewa Sedih menangis sejadi-jadinya. Temyata oi gendut yang datang menunggang keledai adalah Dewa Ketawa, adiknya sendiril<br />"Kau boleh saja memerintah! Tapi hari ini bukan urusan kakak denqan adikl Tapi urusan dengan orang-orang yang kepingin cepat-cepat matil Ha. .. ha ... ha!" Menjawab Dewa Ketawa dari seberang bukit.<br />Dewa Sedih banting-bantingkan kakinya ke batu bukit lalu kembali ke tempat duduknya di gundukan batu dan meneruskan tangisnya.<br />Pangeran Matahari mendekati Dewa Sedih dan<br />berkata. "Kau harus membunuh adikmu itul Kau dengarl"<br />"Hatiku sedih .... Hatiku sedihl" jawab Dewa Sedih lalu menangis lagi.<br />”Jahanaml" maki Pangeran Matahari. Baru saja dia menyumpah seperti itu di bukit sebelah timur kembali terjadi satu hal yang menarik perhatian. Di antara suara tawa Dewa Ketawa tiba-tiba terdengar suara kerontangan kaleng yang keras sekali, membuat gendang-gendang telinga serasa ditusuk.<br />Si Muka Bangkai tampak tercekat sementara Delapan Tokoh Kembar di lereng bukit kelihatan termangu-mangu, memandang tak berkesip ke arah bukit di hadapan mereka. Seorang kakek bercaping, berpakaian compang camping, membekal sebuah buntalan butut dan membawa sebuah tongkat buruk berjalan melenggang lenggok sambil menggoyang-goyangkan sebuah kaleng rombeng di tangan kanannya!<br />Begitu sampai di puncak bukit langsung saja dia melompat ke atas kereta dan duduk uncang-uncang kaki sambil kerontangkan kaleng rombengnya tiada henti. Ketika Ratu Duyung melirik padanya dia menjura sambil angkat<br />capingnya dan berkata. "Cucuku bermata biru nan cantik jelita! Jangan marahi aku ya kalau aku kurang ajar duduk di atap keretamu! Seumur hidup aku belum pernah naik kereta sebagus ini. Jadi duduk di atapnya saja sudah seperti di sorga rasanya! Harap kau maklum! Sekian tak lebih tak kurang dan terima kasihl"<br />Ratu Duyung cuma bisa tersenyum. Dia lalu memandang ke arah utara. Hatinya saat itu kurang tenteram. Ada satu hal yang menjadi pikirannya. Kalau Pendekar 212 Wiro Sableng tidak muncul di tempat itu sia-sialah perjalanan jauhnya dari laut selatan sampai ke puncak bukit itu!<br />"Kakek Segala Tahu!" berbisik Si Muka Bangkai pada muridnya ketika dia mengenali siapa adanya kakek bercaping dan membawa kaleng rombeng yang barusan datang.<br />"Aku sudah tahu," jawab sang murid. "Aku tidak perduli mereka semua. Musuh besarku masih belum kelihatan! Gurunya si nenek keparat bemama Sinto gendeng itu juga tidak tampak mata hidungnya! Dia akan menyesal kalau tidak menghadiri kematian muridnya di Pangandaran ini!"<br />Belum lagi perhatian orang terhadap Kakek Segala Tahu sirap tiba-tiba dua sosok aneh berkelebat di puncak bukit karang sebelah timur.<br />Mereka adalah orang-orang yang menyelubungi tubuh merek dengan kain putih. Di bagian kepala kain putih Itu diikat begitu rupa hingga menyerupai pocong!<br />Dari kedua orang ini yang kelihatan hanyalah sepasang mata mereka di bagian kain yang sengaja dilubangi.<br />"Mayat hidup dari mana yang kesasar ke sini? berseru Dewa Ketawa lalu si gemuk ini tertawa gelak-gelak. Kakek Segala Tahu tenang-tenang saja seolah tak perduli dengan kemunculan dua orang berselubung kain putih itu. Apalagi mereka sengaja tegak agak jauh dan kelihatannya tengah berbisik-bisik.<br />"Aku belum melihat mata hidungnyal" kata orang berselubung di sebelah kanan.<br />"Aku tidak heran kalau dia tidak sampai datang ke sinil Soalnya aku meragukan otaknya masih waras atau tidakl"<br />"Setan kau! Jangan kau berani menghinanya.... Aku tahu kau beberapa kali berusaha menjebaknya!"<br />"Hik. .. hik .... Aku tidak sungguhan dan tidak berniat sejauh itu. Hanya hal satu itu yang aku pantas memujinya! Hik.. . hikl"<br />"ltu katamu sekarangl Kalau dulu kau memang berhasil .... Hemmm .... 'Kubembeng usus besarmu sampai ke ujung dunial"<br />"Hik ... hik ... hikl"<br />"Sudahl Jangan tertawa jugal Apa kau masih punya persediaan minyak wangi? Tubuhku sudah keringatan. Aku kawatir nanti dia mengenaliku ... ." Dari balik pakaian anehnya orang disebelah kanan mengulurkan tangan menyerahkan sebuah tabung kecil terbuat dari bambu.<br />"lni yang terakhir. Setelah itu jangan harap aku akan memberikan lagi padamul"<br />"Kurasa ini kali yang penghabisan aku meminta minyak wangi padamu! Setelah persoalan gila di tempat ini selesai, aku tidak butuh lagi ...l"<br />"Berarti kau akan kembali ke bau badanmu semulal Hik ... hik ... hikl"<br />"Diam! Jangan tertawa tidak karuan di tempat seperti inil" kata orang berselubung sambil menyirami tubuhnya dengan minyak wangi. Dia memandang ke lereng bukit di depannya lalu berkata.<br />"Coba kau lihat ke sana. Aku hampir tak percaya. Delapan Tokoh Kembar mau-mauan datang ke sini jadi kaki tangan membantu Pangeran Mataharil"<br />"Astaga! Setahuku mereka adalah orang-orang yang tidak terlalu usil. Meskipun brengsek namun tidak mau membuat bentrokan dengan kita orang-orang golongan putih ... ."<br />"Hemmm ... Aku bisa mengira jalan ceritanya. Rata-rata Delapan Tokoh Kembar itu tidak punya iman teguh. Gampang tergoda, terutama oleh<br />harga dan perempuan. Aku melihat ada seorang gadis cantik berbaju biru mendampingi mereka. Pasti ini penyebabnyal"<br />"Celakal Kalau Delapan Tokoh Kembar menyerbu berbarengan langit pun bisa diruntuhkannya. Kita harus mencari akall"<br />"Tak usah kawatir. Serahkan mereka padaku. Tapi aku perlu bantuan beberapa orang lagi.<br />“hmm .... Hik ... hik. .. hik!"<br />"Sialan kau! Masih saja tertawa tidak karuan. Apa Kamu tidak mendengar ada satu orang gila lagi tengah berlari mendaki bukit menuju ke mari?!"<br />*<br />* *<br />DUA<br />DI PUNCAK bukit karang sebelah timur tiba-tiba terdengar suara orang berlari sambil bemyanyi-nyanyi. Hanya sesaat kemudian berkelebatlah satu bayangan putih. Orang ini temyata seorang kakek berambut putih jarang, memelihara kumis dan janggut panjang putih. Matanya yang sangat lebar terpuruk dalam pipi dan rongga cekung.<br />Mukanya hampir tidak berdaging. Sekilas tampang manusia satu ini hampir sama dengan Si Muka Bangkai. Bedanya Si Muka Bangkai sudah bungkuk sedang yang satu ini masih kelihatan gagah.<br />"Astaga! Dia rupanya!" Salah seorang berselubung kain putih keluarkan seruan kaget. Ada kilatan cahaya aneh pada sepasang matanya. "Keadaannya masih gagah, sikapnya masih ceria. Tapi pada sepasang matanya terbayang banyak penderitaan hidup ...."<br />"Eh sobatku, kau kenal orang gila itu?!" bertanya sang teman di sebelahnya. "Aku dengar kau bergumam seperti bicara sendirian!"<br />"Lebih dari kenal! Dia ...."<br />"Kau tak bisa meneruskan ucapan. Aku dengar suara seperti keselekan di tenggorokanmu! Ah! Aku ingat sekarang! Kau punya hubungan mesra dengan kakek itu di masa muda puluhan tahun silam. Dan aku juga ingat. Si Muka jerangkong itu adalah Tua Gila dari Pulau Andalas!"<br />"Ssttt! Jangan keras-keras bicara! Nanti setan alas itu mendengar dan mengenali diriku!"<br />"Hik ... hik ... hik! Kau berlagak malu tak mau dikenali,<br />tak mau ditemui. Padahal aku tahu betul hatimu saat ini sedang berbunga-bunga melihat dirinya!"<br />"Jangan meracau tak karuan!"<br />"Hik ... hik. .. hik!"<br />Orang tua yang baru datang dan bukan lain adalah Tua Gila adanya hentikan nyanyiannya yang tak karuan. Dia memandang berkeliling. Lalu berseru "Onde .... Onde! Betul ruponyo! Hari sapuluah Bulan sapuluah! Banyak urang-urang gilo bakumpua Di siko! Ha ... ha ... ha!"<br />"Si tua bangka itu kumat gilanya! Bicara memakai bahasa sendiri! Dikira saat ini dia berada di kampungnya!" Salah satu orang berselubung kain putih keluarkan suara mengomel. Sementara di bagian yang lain Dewa Ketawa kembali tertawa gelak-gelak.<br />Tua Gila lanjutkan ocehannya. Seolah mendengar omelan orang dia tidak lagi menggunakan bahasa daerahnya. "Kalian semua adalah teman-teman yang tidak pernah aku jumpa selama puluhan salam Hormatku untuk kalian ... ." Lalu Tua Gila mem-bungkuk memberi hormat pada orang-orang di depannya sambil menyebut nama.<br />"Dewa Ketawa ....”<br />”kakek Segala Tahu ”<br />”.... Ah, yang dua itu bersembunyi di balik kain kafan, aku tak bisa mengenali! Ha ...ha.. ha ... Tapi biar aku memberi hormat juga pada dua hantu kuburan ini! Ha... ha... ha!" Lalu Tua Gila membungkuk memberi hormat pada dua sosok yang berselubungkan kain putih. Salah satu dari dua orang berselubung tampak salah tingkah. Untung saja tubuh dan wajahnya tertutup kain putih.<br />Tua Gila memandang ke jurusan Ratu Duyung. Sambil membungkuk dia berkata. "Mataku sudah lemur, pendengaranku kurang tajam. Sahabat muda yang cantik jelita ini belum kukenal belum pernah kudengar. Hormatku untukmu...."<br />Ratu Duyung membalas penghormatan itu dengan menjura tapi membatalkan niatnya ketika didengamya Tua Gila berkata. "Gadis cantik, mudah-mudahan kau segera mendapatkan jodoh! Aku turut berdoa untukmu! Ha ... ha ... hal" Tua<br />Gila lantas kedap-kedipkan matanya beberapa kali.<br />Paras Ratu Duyung kelihatan menjadi merah. Ada satu getaran aneh terjadi dalam tubuhnya. "Apa maksud orang tua ini dengan ucapannya tadi? Aku akan mendapatkan jodoh? Siapa?l Ah, hanya seorang tua gila mengapa aku harus memikirkan segala ucapannyal" Ratu Duyung membatin.<br />"Sepi sekali di sini. Semua kulihat pada tegang, untuk melenyapkan kesunyian dan ketegangan biar aku menyanyil"<br />Di atas kereta Kakek Segala Tahu kerontangkan kaleng rombengnya. Di sebelah sane Dewa Ketawa kumat penyakitnya dan mulai mengumbar tawa. Tua Gila buka mulutnya lebar-lebar seperti benar-benar mau menyanyi. Tapi temyata tidak. Karena tiba-tiba dia palingkan kepalanya ke arah utara lalu berseru.<br />"Teman-temanl Apa kalian tidak mencium bau sesuatu yang harum...?" Tua Gila mendongak dan menghirup udara dalam-dalam. Yang lain-lain jadi ikut-ikutan<br />Baru satu kali orang-orang di bukit itu mengendus tahu-tahu seorang tua berpakaian selempang kaln biru sudah berada di situ. Dia memanggul sebuah bumbung bambu dl bahu kiri kanan. Dia<br />layangkan pandangan pada semua orang yang ada dl situ sambil elus-elus janggutnya yang putih sedada. Salah seorang dari dua sosok berselubung kain putih keluarkan suara mendesah halus dan tangan kanannya ditekapkan ke dada seolah menahan degup jantungnya yang tiba-tiba bergoncang.<br />"Eh, ada apa? kawan di sebelahnya bertanya.<br />"Kau seperti kaget melihat si tua gagah itu .... Kau memegangi dada. Apa jantungmu mau copot?l"<br />"Tidak .... Aku tidak apa-apa. Hanya nafasku terasa sesak, karena terus-terusan berada di balik selubung ini!"<br />Kawan orang berselubung ini keluarkan tawa perlahan lalu setengah berbisik dia berkata. "Tadi kau menggodaku! Sekarang gilirankul Jangan kau klra aku tidak tahu hubunganmu di masa muda dengan si tukang minum itul Hik ... hik ... hikl"<br />"Kita sama-sama kena batunya. Jadi harap berhenti<br />menggoda!" Orang tua berjanggut putih terus layangkan pandangan. Nampaknya dia seperti mencari-cari seseorang. "Anak setan itu pasti telah mendustaiku.<br />Orang yang dikatakannya tak ada di sinil" Beberapa saat lamanya dia pandangi dua sosok berselubung kain putih. Lalu dia berpaling ke kiri. Pandangannya terbentur wajah dan sosok Ratu Duyung. Tidak berkesip mata itu memperhatikan<br />dari rambut sampai ke kaki lalu dia gelengkan kepala berulang kali!<br />Bumbung bambu dl bahu kanan diangkatnya. Bumbung didekatkan ke bibirnya dan "gluk ... gluk ..<br />glukl"<br />Terdengar suara tenggorakannya meneguk lahap tuak wangi mumi yanq dikenal dengan nama tuak kayangan Dewa ketawa meledak tawanya ketika dia melihat orang tua ini. Dia menunjuk lalu mulutnya menyerocos “ kita sama-sama dipanggil orang dewa.<br />Tapi mengapa minum sendiri saja tidak membagi bagi ! sungguh tidak sopan! Ha...ha...ha...!”<br />Orang tua yanq membawa tuak berpaling lalu menjawab ”Anak kecil berapa sih usiamu! Kalau kuberi tuak kayangan ini nanti kau bisa mabok! Syukur-sukur kalau kau Cuma ngompol”<br />"Ah, sudah tua nyatanya mulutmu masih suka Bicara jorok" kata Dewa Kelawa, Dia tertawa dulu sebentar baru melanjutkan ucapannya. "Kau pasti tahu, lelaki mana ada yang suka ngompal! Ngompol itu kan penyakitnya perempuanl" Dewa Ketawa kembali tertawa terpingkal-pingkal.<br />Salah satu dari orang aneh berpakaian selubung kain putih menggamit teman di sampingnya. "Si Dewa Ketawa sialan itu, apa kau kira dia merasani diriku?l<br />"Hlk ... hikl Perlu apa dipikiran ucapan orang-orang gila!" jawab si teman. "Yang musti kau pikir dan doakan adalah orang yang kita tunggu"<br />"Seumur hidup aku tidak pernah mendoakannya Kalau dia sampai tidak datang, berarti mencari sengsara sendiri! Atau mungkin dia masih dikepung pikiran takut karena kitab itu tidak ada lagi padanya?!<br />Diatas atap kakek segala tahu goyang-goyangkan tangan kanananya tiada henti. Suara berisik membuncah puncak bukit itu, terdengar jelas sampai kebukit diseberangnya. Saat itu orang tua ini sebenamya sedang risau, dia mendongak kelangit ” matahari memang sudah tinggi, tapi tengah hari masih lama, kalau anak itu datang terlalu cepat dan setan iblis dibukit sana keburu menyerbu, urusan bisa kapiran! Hmmmm.... aku mesti melakukan apa?”<br />*********<br />TIGA<br />Kita kembali beberapa saat sewaktu dewa tuak tengah berlari cepat menuju teluk penanjung di pangandaran. Di satu tempat dia hentikan larinya dan memamdang kearah kejauhan.<br />”Dua bukit batu karang.." desisnya.<br />”Yang dibarat ditancapi bendera hitam yang di timur ditancapi bendera putih diatas sebuah kereta ! hhhhmmm tanda – tanda apa ini ?”<br />Selagi dia berkata-kata sendirian, seperti itu, dari Balik lamping batu karang terdengar suara.<br />,”ssssttt.... Suro Iesmono ! sedang apa kau disitu?"<br />Paras Dewa Tuak berubah. Dia berpaling ke arah Batu karang dan dengan cepat peganq tabung bambu di sebelah kanan.<br />"Seklan puluh tahun dunia terkembang! Puluhan tahun malang melintang! Tidak banyak yang tahu nama asliku” Lalu orang tua Ini berteriak, "Orang di balik karang Lekas unjukkan dirumu! "<br />Tak ada gerakan, tak ada jawaban.<br />"Bagus Kau minta aku hancurkan rupanyal" Dewa Tuak menggeram. Tabung bambu yang sudah<br />Dipegangnya didekatkan ke bibir lalu "gluk. .. gluk ... gluk!' Minuman keras itu diteguknya beberapa kali. Begitu mululnya penuh tuak, minuman keras itu lalu disemburkannya ke arah batu karang. Terjadilah satu hal yang hebat. Batu karang kukuh atos Itu pecah di beberapa bagian. Kepingan-kepingannya berpelan-tingan ke udara.<br />Sekali lagi Dewa Tuak meneguk Tuak dalam bambu. Ketika dia hendak menyembur untuk ke dua kalinya dengan mengerahkan tenaga dalam dua kali lipat dari yang tadi, dari balik batu karang yang hancur itu menghambur sesosok tubuh berpakaian hitam disertai seruan ” Dewa tuak tahan !”<br />"Anak setan?l Kau rupanyal" Dewa Tuak mendamprat begitu melihat yang berdiri didepannya adalah pendekar 212 Wiro sableng ” lama tidak bertemu, sekali bertemu kau kurang ajar! Cepat Kau katakan dari siapa kau tahu namaku hah! ” '<br />”Jangan marah dulu kek!” kata wiro sambil tersenyum-senyum yang membuat dewa tuak jadi tambah jengkel. ”Ada satu orang yang memberi tahu namamu itu, Dia juga bertitip pesan ingin sekali bertemu denganmu, kurasa dia sudah ada dipuncak bukit sana menunggumu!”<br />” Orang itu lelaki atau peerempuan?" lalu seka mulutnya yang penuh dengan tuak.<br />”perempuan!”<br />“Masih muda ataukah sudah tua?” tanya dewa tuak lagi.<br />“Bisa muda bisa tua!” jawab murid sinto gendeng.<br />"Anak kurang ajar Jangan kau berani main-main padaku!"<br />"Aku tidak main-main"<br />Dewa Tuak dekatkan lagi tabung bambu kebibimya lalu meneguknya tuaknya banyak sekali sampai mukanya merah laksana udang rebus.<br />"Kau tahu Nama perempuan itu'? tanyanya kemudian.<br />"Namanya aku tidak tahu. Tapi gelamya tahu ... !'<br />"Sialanl Sebutkan saja gelamyal" kata Dewa<br />Tuak lalu meneguk tuaknya dari bumbung bambu.<br />"lblis Putih Ratu Pesolekl"<br />Tenggorokan dewa Tuak tercekik mendengar Julukan yang disebutkan pemdekar 112. Air mukanya yang merah sesaat tampak memutih. Dihadapannya dilihatnya wiro senyum-senyum<br />" Setan alas ini tahu apa hubunganku dengan perempuan itu.. !.'" Dewa tuak berpikir-pikir.<br />”Kek, kau tunggu apa Iagi ! lekas naik ke bukit! Dia pasti sudah menunggumu. ..I "<br />"Anak setan! ,Jangan kau berani menggodaku, kau sendiri mengapa berada disini bukannya naik ke bukit!. Aku lihat dibukit sana musuh-musuhmu<br />sudah lengkap menunggumu, siap membunuhmu sampai lumat!”<br />Wiro menyeringai "kau pergi saja duluan kek, aku masih ada dua hal yang harus kukerjakan...”<br />”hmmmm apa saja pekerjaan itu? ”<br />”menunggu seseorang dan memeriksa keadaan dikawasan ini! Kau tahu Pangeran matahari adalah manusia keji licik, bukan mustahil dia hendak menyiasati kita!”<br />"Siapa orang yang kau tunggu?”<br />”Pasti seorang gadisl"<br />"Ah .... kau memang betul. Aku. ..."<br />"Orangnya si Bidadari Angin Timur itu?!"<br />"Et, bagaimana kau bisa tahu Kek?" ujar Wiro terbelalak.<br />"Ha ... ha... ha Dewa Tuak teguk dulu tuak harumnya baru menjawab."Kau tengah menghadapi satu teka-teki besar anak muda..... Kau pecahkanlah sendiril" Setelah meneguk tuaknya sekali lagi Dewa tuak meninggalkan tempat itu.<br />Pendekar 212 Wiro sableng garuk-garuk kepala. Dia menatap ke langit.<br />"masih lama datangnya tengah hari, Masih ada kesempatan untuk bertanya pada kakek segala tahu, aku sudah mendengar suara kerontangan kaleng bututnya dipuncak bukit sana! Selain itu aku perlu menyelidiki keadaan dikawasan ini”<br />Lalu Wiro mencari tempat yanq agak tinggi. Dengan mengerahkan ilmu ”menembus pandang” yang didapatnya dari ratu duyung dia mulai menyapu daerah sekitar situ dengan pandangan matanya yang sanggup melihat benda-benda walaupun terhalang oleh benda lain.temyata banyak hal yang membuat murid sinto gendeng ini menjadi kaget.<br />Pertama ketika dia memandang kebukit sebelah barat, dibukit itu dimana berkumpul para tokoh silat golongan putih banyak tersembunyi berbagai peralatan dan senjata rahasia yang sulit terlihat oleh mata biasa, mulai dari panah beracun dan pisau terbang sampai pada bola-bola hitam berisi bahan peledak. Lima bahan peledak ini juga ditanam dijalan masuk menuju keteluk yang diapit oleh dua buah bukit.<br />Semua peralatan rahasia yang dipasang Di bukit tinur dihubungkan pada satu peralatan berupa kawat yang dapat mengatur hidup matinya peralatan-peralatan maut itu. Tapi untuk bahan peledak yang ditanam di antara dua bukit sama sekali tidak dihubungkan dengan alat pengatur tersebut.<br />Berarti siapa saja yang menginjaknya akan membuat<br />bahan itu meledak. Tubuh Si penginjak akan hancur Berkeping-keping<br />”Jahanam keji Licik!" rutuk Pendekar 212 dalam hati". Pasti pangeran keparat itu yang mendalangi perbuatan ini! Semua yang di bukit timur berada dalam bahaya besar. Aku harus segera melakukan sesuatu! Aneh, mengapa ratu duyung tidak mengetahui hal ini. Padahal dengan ilmu menembus pandang yang dimilikinya dia pasti bisa melihat lebih jelas semua yang tersembunyi di tempat itu!”<br />Murid sinto gendeng sama sekali tidak mengetahui bahwa setelah ratu duyung memberikan ilmu ”Menembus pandang” itu padanya maka ilmu yang dimiliki sang ratu sendiri akan lenyap selama 777 hari. Ilmu itu akan muncul dan dikuasainya kembali selewat jangka waktu tersebut.<br />”Aku harus cepat melakukan sesuatu!” pikir wiro. Hal kedua yang mengejukan wiro ialah ketika dia melihat sosok Bidadari Angin timur di bukit barat, berada di antara delapan lelaki berjubah merah berkepala botak kuning.<br />”Ditunggu-tunggu temyata dia ada di situ? Jahanam!<br />Terbuka sudah kedoknya. Jadi kaki tangan Pangeran Matahari dia rupanya! Mereka pasti punya huhungan tertentut Aku benar-benar tertipu Tak pelak lagi pasti kitab putih wasiat dewa sudah diberikannya pada pangeran keparat itu!”<br />Wiro lantas ingat pertemuannya dengan bidadari angin timur belum lama berselang.<br />”Tapi bagaimana kalau betul gadis itu punya kembaran ?” wiro jadi garuk kepala sendiri.<br />”yang ada dibukit barat itu yang mana adanya? Yang dulu pernah menampar piplku atau yang menipu dan melarikan kitab sakti itu? atau mungkin sebenamya<br />Memang Cuma satu Bidadari Angin Timur?!”<br />Dalam bingun wiro teruskan menyusuri bukit sebelah barat dengan ilmu ”menembus pandangnya” kembali dia terkejut ketika iblis pemabuk dan dewi payung tujuh juga berada di sana.<br />”Iblis pemabuk, seperti manusia tidak punya pegangan. Sekarang menjadi antek pangeran matahari , lalu gadis sialan dari tanah seberang itu! Kalau tidak mengharapkan sesuatu pasti dia tidak akan bergabung dengan manusia manusia sesat itu. Dia mengincar kitab putih wasiat dewa. Agaknya dia sudah tahu kalau kitab itu kini berada disana. Lalu ditambah dendamnya terhadapku tempo hari.!”<br />Wiro sadar sudah terlalu lama dia berada di tempat itu. “ aku harus segera bergabung dengan para tokoh”, dia memandang kelangit sang surya masih cukup jauh dari titik tertingginya.<br />Dengan ilmu menembus pandang wiro mampu melihat siapa saja yang berada dibukit sebelah timur. Mula-mula dilihatnya kakek segala tahu,<br />“aku harus cepat menemui kakek itu , mungkin dia bisa memecahkan teka-teki rahasia kelemahan Tiga bayangan setan, tepat tengah hari bolong, pilih yang ditengah!”.<br />Dada pendekar 212 berdebar ketika dia melihat ratu duyung. Lama murid sinto gendeng menatap wajah sang ratu dengan berbagai perasaan menyelimuti hatinya. Kasihan ada sayang pun ada sedang rasa berhutang budi dan nyawa tentu saja tidak pernah dilupakannya.<br />Murid Sindo Gendeng palingkan kepala ke jurusan lain. Dia tersenyum ketika pandangannya sampai pada sosok dewa ketawa dan dewa tuak. Lalu terlihat dua sosok tubuh mengenakan pakaian aneh berselubung kainputih.<br />"Seumur hidup tidak pernah aku ketahui ada dua tokoh golongan putih punya dandanan seperti itu.<br />Dua pocong hidup itu siapa mereka adanya!”<br />Wiro kerahkan tenaga dalamnya yang ada dikepala. Bagaimanapun dicobanya dia tidak mampu menembus kain putih yang jadi pakaian dua orang itu. ”aneh mengapa tidak bisa tembus?” pikir wiro. Dia berpaling kearah ratu duyung. ”akan kucoba yang satu ini” kata wiro dalam hati. Tenaga dalamnya dilipat gandakan,<br />namun tetap saja dia tidak bisa menembus kebalik pakaian orang.<br />Wiro garuk-garuk kepala ” batu,pohon air dan dinding bisa kutembus, mengapa pakaian tidak bisa? Ah, jangan-jangan ilmu ini memang tidak untuk dipergunakan untuk berkurang ajar!” wiro tertawa sendiri.<br />”aku harus segera menuju puncak bukit sebelah timur sebelum pergi pedataran pasir antara dua ukit karang aku bersihkan dulu!”<br />”braaakkk!”<br />Wiro hantam batu disampingnya dengan pukulan bertenaga dalam tinggi. Batu karang hancur menjadi sembilan keping. Dia memilih lima keping yang besar-besar lalu bersiap melemparkan batu itu satu persatu kearah pedataran dimana tersembunyi lima bola maut yang bisa meledak! Tapi gerakan sang pendekar tertahan ketika dia melihat tiba-tiba ada yang datang dari utara, berlari secepat angin!<br />”eh binatang atau setan yang datang ini!” ujar wiro.<br />************<br />EMPAT<br />SEORANG lelaki bertubuh gemuk luar biasa, berkopiah hitam kupluk, mengenakan baju terbalik dan kesempitan muncul dari arah utara. Melihat kepada bobotnya yang begitu besar sulit dipercaya dia mampu berlari laksana angin. Apalagi sambil berlari dia menjunjung sebuah keranjang rotan raksasa. Di dalam keranjang itu, bergelung di atas tumpukan jerami kering kelihatan sosok manusia gendut, lebih gendut dari lelaki yang menjunjungnya. Dari suara mengorok yang keluar dari mulutnya jelas si gemuk ini tengah tertidur nyenyak. Tetapi dibilang tidur mengapa ada sebuah pipa panjang yang menyala dan menebar bau tembakau mencantel di sela bibimya?l<br />Hebatnya lagi, si gemuk yang menjunjung keranjang<br />berisi manusia raksasa itu berlari sambil tangan kirinya memegang kipas kertas yang tiada henti-hentinya dikipaskan pada wajahnya yang selalu keringatanl<br />"Bujang Gila Tapak Sakti!" seru Wiro. Walau dia gembira tapi tiba-tiba dia menjadi merinding. Si<br />gemuk yang dipanggilnya dengan sebutan Bujang Gila Tapak Sakti itu temyata berlari memasuki pedataran pasir berbatu-batu yang diapit oleh dua bukit karang. Padahal lima bahan peledak telah ditanamkan musuh di tempat itu! Jangankan si gendut<br />berpeci kupluk itu, seekor tikus saja jika menginjak bola-bola maut yang ditimbun di bawah pasir pastilah akan meledak dan menghancurkan tubuhnya sampai berkeping-kepingl Apalagi si gendut ini membawa beban pula yaitu seorang manusia raksasa berbobot ratusan katil Orang di dalam keranjang rotan besar itu bukan lain adalah salah satu tokoh silat paling aneh dirimba persilatan yang dikenal dengan julukan Si Raja Penidurl<br />"Bujang Gila Tapak Sakti!" seru Wiro dengan suara menggelegar karena dia kerahkan tenaga dalamnya.<br />"Berhenti! Tahan larimu! Jangan melewati pedataran pasir!" Orang yang diteriaki menoleh sekilas pada Wiro. Dia lambaikan kipasnya tapi terus saja berlari kencang.<br />"Kerbau tolol itu apa dia tuli tidak mendengar teriakanku?! Celakal Bagaimana aku harus mencegahnya!" Wiro masih berpikir untuk menyelamatkan orang dari bahaya bola-bola maut yang ditanam musuh justru saat itu si gendut Bujang Gila Tapak Sakti sudah jauh memasuki pedataran di antara dua bukit.<br />Murid Sinto Gendeng terbelalak. Ternyata tidak satu pun bola maut itu yang meledak walau ada dua dari lima bola yang sempat terpijak kaki si gendut! "Gila! Luar biasa! llmu meringankan tubuhnya hebat luar biasal Bagaimana dia bisa meredam beratnya tubuh Si Raja Penidur yang ada di dalam keranjang besar?!" Selagi Wiro garuk-garuk kepala Bujang Gila Tapak Sakti dan Si Raja Penidur sudah berada di puncak bukit batu karang sebelah timur. Kemunculan Bujang Gila Tapak Sakti yang juga adalah kemenakan Dewa Ketawa disambut dengan penuh rasa kagum oleh semua orang yang ada di situ. Dewa Ketawa tertawa mengekeh. Kakek Segala Tahu kerontangkan kaleng rombengnya. Sambil menunjuk-<br />nunjuk ke arah Si Raja Penidur dan Dewa Ketawa yang bertubuh sama-sama gendut Tua Gila berseru.<br />"Sekarang ada tiga gajah bengkak di tempat ini! Uhhhh! Anak tololl Apa perlunya kau bawa-bawa gajah ngorok itu ke sini. Kau hanya membuat sempit tempat orang bemafas saja!"<br />Bujang Gila menyeringai. Dia berkipas-kipas beberapa kali lalu goyangkan kepalanya. Keranjang rotan besar di atas kepalanya bergeser ke samping, perlahan-lahan melayang turun ke bawah. Raja Penidur sendiri seperti tidak terganggu terus saja tidur<br />mendengkurl<br />Kalau kedatangan Bujang Gila Tapak Sakti dan Si Raja Penidur disambut dengan raga kagum serta gembira di bukit timur, maka di bukit sebelah barat justru hal itu membuat para tokoh golongan hitam menjadi geger dan tegang. Pangeran Matahari yang tahu gelagat tidak baik cepat berkata memberi semangat.<br />"Hanya dua kerbau tak berguna! Tidak ada yang harus ditakutkan! Kitab Wasiat lblis ada di tanganku! Jangankan dua makhluk bengkak itul Semua mereka bisa kubuat mampus!"<br />Habis berkata begitu Pangeran Matahari segera mendekati Makhluk Pembawa Bala dan berbisik. "Kau lihat sendiri. Lima bola maut yang kau tanam di pedataran sana tidak satu pun yang meledak ketika dilewati si gendut keparat itul Aku tidak ingin ada yang tidak beresl Lekas kau pergi ke tempat pengendali. Langsung hidupkan alat pengendalil Aku dan yang lain-lainnya akan menuruni bukit sejauh mungkin. Berjaga-jaga agar kalau bukit di sana meletus tidak ada yang bisa lolos!" Ketika semua orang di puncak bukit karang sebelah barat bergerak menuju kaki bukit dan berhenti di tepi pedataran pasir lblis Pemabuk satu-satunya yang masih tetap berada di puncak bukit.<br />Pangeran Matahari berpaling. Melihat tokoh gemuk pendek itu masih berada di atas bukit dia<br />berteriak agar lblis Pemabuk segera turun. Mendengar dirinya dipanggil sambil terhuyung-huyung lblis Pemabuk goyang-goyangkan tangannya lalu berteriak.<br />"Aku memilih tetap di atas sini saja! Kecuali ada yang mau membantu menurunkan lima gentong tuak ini ke bawah sana!"<br />Rahang Pangeran Matahari menggembung. Di sebelahnya, gurunya Si Muka Bangkai berbisik. "Jangan perdulikan dia Nanti akan kuhancurkan lima<br />gentong itu. Kalau sudah tidak ada lagi tuak di atas masakan dia mau bertahan di sana!"<br />"Aku kawatir kemunculannya di sini bukan membantu<br />kita tapi membuat kekacauan saja!" jawab Pangeran Matahari.<br />"Kita lihat saja. Kalau dia nanti masih banyak cingcong biar tubuhnya kubuat tuakl" kata Si Muka<br />Bangkai.<br />Melihat gerakan orang-orang di bukit sebelah barat, orang-orang di bukit sebelah timur tidak tinggal diam. Mereka segera menuruni bukit untuk menyongsong kedatangan lawan dan berhenti di tepi pedataran pasir tepat di seberang kelompok Pangeran Matahari! Dua kelompok para tokoh dunia persilatan golongan putih dan golongan hitam kini saling berhadap-hadapan dan hanya<br />terpisah lima tombak satu sama lainnya! Sementara itu di langit matahari merayap mendekati titik tertingginya.<br />Pangeran Matahari memandang berkeliling. Dalam hati dia menggeram. "Makhluk Pembawa Bala keparat! Apa yang dilakukannya? Mengapa peralatan rahasia masih belum bekerja! Mengapa masih belum terjadi ledakan! Padahal orang-orang di bukit karang sebelah barat telah mulai turun!<br />Jahanam betul si Makhluk Pembawa Bala itu Kelak akan aku tambahkan tusukan kayu di batok kepalanyal"<br />Baru saja sang Pangeran memaki begitu tiba-tiba ledakan dahsyat mendera kawasan teluk lima kali berturut-turut!<br />Dua kelompok para tokoh di kaki bukit barat dan timur menjadi terkejut besar.<br />"Jahanaml Apakah bumi sudah kiamat?l" Seseorang terdengar berteriak. Pasir dan hancuran batu-batu beterbangan ke udara membuat pemandangan menjadi gelap. Tanah bergoncang hebat. Dua bukit bergetar seperti hendak roboh.<br />Air laut menggelombang membentuk ombak besar yang kemudian menghempas di teluk. Di kaki bukit sebelah barat terdengar raungan<br />meratap Dewa Sedih. Sebaliknya di kaki bukit sebelah timur Dewa Ketawa tertawa keras ditimpali suara kerontangan kaleng!<br />"Tiarap! Cari perlindungan!" terdengar ada yang berteriak. Ketika pasir dan bebatuan runtuh ke tanah dan pemandangan menjadi terang kembali kelihatanlah satu pemandangan yang mendebarkan.<br />Di jalan masuk menuju ke teluk, di ujung dua kaki bukit, tampak lima lobang raksasa menguak tanah!<br />Para tokoh yang tadi berlindung di balik batu-batu besar di kaki bukit dan ada yang bertiarap perlahan-lahan keluar unjukkan diri. Ada yang terdengar memaki sambil bersihkan pakaian dan rambut mereka yang terkena hamburan pasir akibat ledakan.<br />Muka mereka yang tadi pucat pasi kini berdarah kembali. "Setan edan! Apa yang terjadi! Habis kotor pakaian putihku! Untung dandananku tidak rusakl" Salah seorang dari dua sosok berselubung kai n putih memaki.<br />Lalu di balik kerudung kain putihnya dia menge-luarkan alat-alat rias dan merias wajahnya kembali!<br />"Aku yakin! Ada jahanam menanam alat peledak di tempat ini!" teriak seseorang.<br />"Pasti itu pekerjaaan busuk si licik keji Pangeran Mataharil" menyahuti seorang lainnya.<br />Di kaki bukit sebelah barat rahang Pangeran Matahari menggembung. Pelipisnya bergerak-gerak tanda dia tengah marah besar. Dia berpaling ke bukit di atasnya.<br />"Jahanam! Apa yang dikerjakan makhluk keparat itu! Mengapa yang meledak justru bola-bola maut di tempat lain! Mengapa yang di bukit timur tidak meledak! Pisau dan panah beracun mengapa belum bekerja! Makhluk Pembawa Balal Di mana kau?! Keparat tolol!" Pangeran Matahari berpaling pada Elang Setan lalu berkata. "Lekas kau pergi menyelidik ke tempat pengendalian alat rahasial Kalau Makhluk Pembawa Bala berkhianat segera saja kau habisi!"<br />Mendengar perintah itu dan merasa mendapat kepercayaan Elang Setan segera berkelebat. Dari kaki bukit sebelah timur tiba-tiba ada yang berseru. "lblis Pemabuk! Tidak sangka kau rupanya sudah jadi kaki tangan orang-orang jahat!"<br />Di atas bukit barat lblis Pemabuk bantingkan kendi berisi tuak yang sedang diteguknya hingga pecah berkeping-keping. Dengan tubuh menghuyung dia maju satu langkah. "Setan alas dari mana yang berani bicara kurang ajar padaku!"<br />"Aku sahabat lamamu Dewa Tuak!" jawab orang di kaki bukit timur. "Tapi sekarang kita tidak bersahabat lagi! Kau memilih berkumpul dengan orang-orang sesat Aku mana mau meniru perbuatanmu! Najis!"<br />Dewa Tuak lalu angkat tabung bambunya ke bibir dan meneguk tuak mumi itu dengan lahap. "Dewa Tuak! Kau tidak lebih baik dari dirikul Kalaupun aku berada di tempatmu, apa yang bisa kau berikan? Di sini aku bisa berpesta dengan lima geniong tuak sedap!"<br />"Dasar tolol!" teriak Dewa Tuak.<br />"Jahanam! Kau berani memakiku!" Dari atas bukit lblis Pemabuk tanggalkan dua kendi yang terikat di pinggangnya. Dua kendi ini lalu dilemparkannya ke bawah ke arah Dewa Tuak. Lemparan ini bukan lemparan sembarangan karena disertai tenaga dalam tinggi. Dua kendi itu sanggup memecahkan kepala serta menjebol tubuh Dewa Tuak. Belum lagi tuak yang menyembur keluar dari dalamnya yang dapat menembus daging dan tulang manusia!<br />"Ha ... ha! Apakah kegegeran hari sepuluh bulan sepuluh sudah dimulai di Pangandaran ini?!"seru Dewa Tuak. Tua Gila dan Dewa Ketawa tertawa gelak-gelak Dewa Sedih kembali terdengar meratap. Dewa Tuak lemparkan tabung bambunya ke udara menyambut datangnya serangan dua kendi. Bumbung bambu dan dua kendi dari tanah bertemu di udara.<br />"Traakkk .... Traakkk!"<br />Tuak kayangan di dalam bumbung bambu dan tuak keras di dalam dua kendi bermuncratan ke seantero tempat. Bumbung bambu patah dua sedang dua kendi tanah hancur berantakan. Di atas bukit lblis Pemabuk terhuyung-huyung. Kalau dia tidak Iekas berpegangan pada gentong besar di dekatnya niscaya dia akan jatuh terjengkang. Di lain pihak, di kaki bukit Dewa Tuak usap-usap dadanya yang mendenyut sakit. Orang tua ini terbatuk-batuk beberapa kali dan cepat atur jalan darah serta tenaga dalamnya. Rupanya walau bentrokan tabung bambu dan dua kendi tanah terjadi di udara namun tenaga dalam ke dua orang tokoh silat itu saling memukul dengan hebatnya.<br />"Gusti Allah! Hancur bumbung tuakkul" Teriak Dewa Tuak sambil memandang ke udara. "Tuakku tumpah semua! Jahanam kau lblis Pemabuk!"<br />Orang tua berpakaian selempang kain biru itu melompat satu tombak. Mulutnya dibuka lebar-lebar. Lalu terjadilah satu pemandangan yang sulit dipercaya.<br />Tuak kayangan yang berhamburan dari bumbungnya yang patah laksana tersedot mengalir masuk ke dalam mulut Dewa Tuak. Walau banyak yang terbuang tapi sebagian besar<br />masih sempat masuk ke dalam tenggorokannya. "Ah, untung masih ada yang bisa kutenggak! Sialan kau lblis Pemabukl" Perlahan-lahan Dewa Tuak turun ke tanah.<br />"Dewa Tuak! Kasihan kau kehilangan satu tabung!" Di atas bukit sebelah barat lblis Pemabuk berseru lalu tertawa gelak-gelak. "Jangan khawatir, aku punya lima gentong tuak keras. Aku akan hadiahkan satu gentong padamu! Ha ... ha ... ha!"<br />"Terima kasih, Siapa suka minuman yang sudah dicampur dengan air kencing!" teriak Dewa Tuak lalu tertawa mengekeh diikuti oleh semua orang yang ada di kaki bukit sebelah timur itu sementara Si Raja Penidur masih enak-enakan ngorok.<br />"Jahanaml Apa maksudmu!" teriak lblis Pemabuk dengan mata melotot.<br />"Ha ... ha ... ha! Dasar orang tolol! Kerjamu mabuk saja hingga tidak tahu orang sudah mengerjaimu!"<br />"Jahanaml Kalau kau tidak segera menjelaskan aku hancurkan tabungmu yang satunyal"<br />"Masih saja tololl" seru Dewa Tuak. "Tuak keras dalam lima gentong yang kau minum itu sebelumnya sudah dikencingi Pangeran Matahari dan gurunya Si Muka Bangkai! Ha ... ha ... hal"<br />Berubahlah tampang lblis Pemabuk. Dia memandang<br />ke arah Pangeran Matahari dan Si Muka Bangkai. Dua orang ini segera berteriak berbarengan.<br />"Dustal"<br />Tapi lblis Pemabuk sudah termakan ucapan Dewa Tuak "Kalau kau masih mau bersahabat dan inginkan tuak yang harum sedap, aku masih ada satu bumbung penuh!" teriak Dewa Tuak pula.<br />"Dewa Tuakl Siapa bilang aku memutuskan persahabatan denganmul" teriak lblis Pemabuk. Lalu dia menyambar ke kanan. Ketika dia melompat turun dari atas bukit semua orang yang ada di tempat itu menjadi terkesiap kagum. lblis Pemabuk melayang ke bawah bukit sambil memanggul salah satu dari lima gentong besar berisi tuak keras yang beratnya ratusan kati.<br />Dari atas lblis Pemabuk lalu lemparkan gentong itu ke arah Si Muka Bangkai.<br />"Pengkhianat keparatl" teriak Si Muka Bangkai marah sekali. Enam larik sinar, dua hiam, dua kuning dan dua merah berkiblat di udam. ltulah dua pukulan sakti<br />”Gerhana Matahari" yang dilepas oleh Pangeran Matahari dan Si Muka Bangkai ke arah lblis Pemabuk. Yang diserang cepat menyingkir. Gentong yang dilemparkannya hancur<br />berantakan di udara akibat pukulan sakti yang dilepaskan Si Muka Bangkai.<br />Celakanya uak yang ada dalam gentong itu jatuh mengguyur Si Muka Bangkai mulai dari kepala sampai ke kaki, Dewa Ketawa gelak terkekeh. Bujang Gila Tapak Sakti terpingkal-pingkal sambil berkipas-kipas sedang Dewa Sedih keluarkan pekik keras lalu menangis.<br />Dari arah kaki bukit sebelah timur tiba-tiba memancar<br />satu cahaya putih menyilaukan, langsung menahan sinar sakti pukulan Pangeran Matahari. Di udara kelihatan seperti ada bunga api mencuat ke langit disertai letusan keras. Pangeran Matahari tersurut dua langkah. Parasnya berubah. Dia berpaling ke kaki bukit sebelah timur. Di situ dilihatnya Ratu Duyung perlahan-lahan turunkan tangannya yang memegang cermin bulat.<br />Cahaya putih menyilaukan tadi temyata keluar dari cermin di tangan sang Ratu untuk menolong lblis Pemabuk dari keroyokan.<br />"Dewa Tuak tidak berani menyerangku. Ratu Duyung<br />hanya melakukan tindakan bertahan Berarti mereka sudah tahu kelemahan Kitab Wasiat Iblis!" Pangeran Matahari merasakan dadanya berdebar. "Aku harus mencari akal agar semua<br />orang itu menyerangku! Akan kuamblaskan nyawa mereka satu persatu!'”<br />Baru saja Pangeran Matahari berkata dalam hati tiba-tiba terdengar suara kaleng berkerontangan, disusul suara nyanyian Kakek Segala Tahu.<br />"lngat kata sahabat. Yang hitam jangan diserang! Alihkan perhatian dan mengambil sikap bertahan ltulah jalan kehidupan lngat kata sahabat. Yang hitam jangan diserang!"<br />Pangeran Matahari mendengus. Di sampingnya dalam keadaan basah kuyup Si Muka Bangkai berbisik.<br />"Muridku mereka sudah tahu kelemahan kitab saktimu itu. Kau harus berhati-hati, aku akan memancing agar mereka menyerangmul"<br />Pangeran Matahari tidak menjawab. Dia lagi-lagi berpaling ke atas bukit dengan penuh geram. "Makhluk Pembawa Bala jahanam! Elang Setanl Apa kau tidak menjalankan tugas yang aku perintahkan?”.<br />Tiba-tiba dari atas puncak bukit karang sebelah barat itu satu sosok tubuh tampak mencelat di udara. Semua orang dongakkan kepala melihat apa yang terjadi!<br />****************<br />LlMA<br />SOSOK tubuh yang melayang dari atas bukit itu<br />jatuh terkapar di depan Pangeran Matahari. Meski keadaannya tak bisa dikenali lagi tapi sang Pangeran maupun Tiga Bayangan Setan tahu betul itu adalah sosok tubuh Elang Setan.<br />Tiga Bayangan Setan berterlak keras dan pukul-pukul dadanya sendiri melihat kematian saudara angkat darahnya itu. Tenggorokan Panqeran Matahari naik turun. Dia memandang ke puncak bukit di atasnya.<br />Walau tidak tampak siapa pun di atas sana namun dia tahu musuh telah berhasil menyusup ke bukit tempat dia dan para tokoh silat golongan hitam berada. Dia belum melihat siapa adanya orangnya namun menaruh syak wasangka orang itu bukan lain musuh bebuyutannya yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng.<br />Dalam keadaan marah dan penasaran oleh kematian<br />Elang Setan Pangeran Matahari merasa terganggu oleh ratap tangis Dewa Sedih yang<br />duduk di atas gundukan batu beberapa lanakah di samping kirinya.<br />"Tua bangka jahanam! Hentikan tangismu atau kurobek mulutmu!" bentak sang Pangeran. Yang dibentak tergagau sebentar. Sepasang mata Dewa Sedih sekilas menyorotkan sinar aneh walau air mukanya tetap menunjukkan kesedihan.<br />"Ada orang mampus mengenaskan! Aku dibentak! Aku sedih! Aku menangis ...!" Lalu terdengar raung Dewa Sedih keras sekali. Sambil menangis dia berdiri dan melangkah tertunduk-tunduk. Tangan kirinya dipergunakan untuk mengusut ke dua matanya.<br />"Hai, Kau mau ke mana?l" teriak Pangeran Matahari ketika dilihatnya kakek itu melangkah menuruni bukit ke arah timur. Dewa Sedih tidak perdulikan bentakan Pangeran Matahari. Dia melangkah terus sambil keluarkan ratapan.<br />"Aku dibentak dimarahi! Apakah aku anak kecil ingusan yang telah berbuat salah! Engg ... huk ... huk ... hukl Aku bukan budakbukan pembantu bukan pelayan! Jika orang marah padaku berarti tidak suka padaku! Kalau orang tidak suka padaku lebih baik aku pergi saja. Engg ... hik ... hik ... hikl Masih banyak tempat lain untuk menangis. Enggg ...."<br />Ketika Dewa Sedih hampir mencapai kaki bukit karang Si Muka Bangkai tak dapat menahan kekhawatirannya. "Muridku, agaknya tua bangka itu hendak melintasi pedataran pasir, siap menyeberang ke pihak lawan!"<br />"Kalau sudah tahu lekas lakukan sesuatul" jawab Pangeran Matahari dengan nada jengkel dan sikap angkuh. Sang guru segera berkelebat menuruni bukit. "Dewa Sedihl Tunggul" seru Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat. Dua kali melompat saja dia sampai di kaki bukit dan cepat menghadang langkah Dewa Sedih. Melihat ada orang yang menghalangi tangis Dewa Sedih semakin keras. Tangan kirinya dikibaskan. Walau gerakan tangan itu acuh tak acuh saja tapi dari deru angin yang keluar Si Muka Bangkai maklum kalau kibasan tangan itu bukan lain adalah satu serangan dahsyat. Buktinya ketika dia coba menangkis dengan membalas membelintangkan tangan kanannya di depan wajahnya, tangan itu ter-getar keras dan tubuhnya terjajar satu langkah.<br />Meski kini dia menjadi mangkel melihat sikap Dewa Sedih namun Si Muka Bangkai tak mau mengambil sikap memaksa. Dia berusaha membujuk malah sambil ikut-ikutan menangis.<br />"Tua bangka bungkuk bermuka pucat! Hik ...hlk ... hilt! Tangismu hanya pura-pura! Hik ... hik ... hik!<br />Menyingkir dari hadapanku! Jangan menyesal kalau kedua matamu aku kuras keluar!"<br />Saat itu Dewa Sedih sudah sampai di kaki bukit dan siap menyeberangi pedataran pasir berbatu-batu yang memisahkan bukit di sebelah barat dengan sebelah timur sejarak lima tombak. Si Muka Bangkai jadi kehabisan akal.<br />"Dibujuk tidak mau! Rupanya minta mati!" Si Muka Bangkai kertakkan rahang. Kakek bungkuk ini memutar tubuhnya seperti hendak berbalik ke tempatnya semula. Namun tiba-tiba tangan kanannya<br />dihantamkan. Sinar merah, kuning dan hitam berkiblat<br />menghampar hawa sangat panas. Udara seperti redup beberapa saat. lnilah pukulan maut "Gerhana Matahari" yang dilancarkan dengan tenaga dalam penuh dan benar-benar merupakan serang mematikan karena dilancarkan dari belakang!<br />"Jahanam pengecut! Membokong dari belakangl" Dari bukit sebelah barat terdengar orang berteriak memaki. Sebaliknya Dewa Sedih yang diserang secara pengecut itu tenang-tenang saja. Dia terus saja melangkah terbungkuk-bungkuk menyeberangi pedataran pasir sambil menangis sesenggukan.<br />Saat itulah dari bukit sebelah timur menggema suara kerontangan kaleng. Lalu menyusul deru<br />dua gelombang angin yang sangat dahsyat. Deru pertama<br />keluar dari kipas kertas yang dikebutkan Bujang Gila Tapak Sakti. Yang satu lagi melesat dari hantaman tangan Dewa Ketawa yang melancarkan serangan untuk menyelamatkan kakaknya.<br />Pasir di pedataran beterbangan sampai setinggi dua tombak. Dewa Sedih tampak terhuyung-huyung dalam jepitan tiga kekuatan tenaga dalam dahsyat.<br />Lalu terdengar dua letupan keras yang menggoncang<br />kawasan itu. Si Muka Bangkai jatuh terjengkang di tanah. Mukanya yang pucat bertambah putih. Dadanya mendenyut sakit. Cepat-cepat kakek bungkuk ini bangkit berdiri dan menyelinap ke balik batu karang di kaki bukit.<br />Di bukit sebelah barat Dewa Ketawa lenyap. Orang tua bertubuh gemuk ini terhuyung-huyung lalu tersandar ke samping batu di belakangnya. Setelah mengusap wajahnya berulang kali dia lalu kembali tertawa. Tak jauh di sebelahnya Bujang Gila Tapak Sakti periksa kipas kertasnya. Salah satu ujung kipas tampak robek sedikit. Si gendut ini karuan saia jadi mengomel panjang pendek.<br />Beberapa belas langkah sebelum Dewa Sedih mencapai kaki bukit sebelah timur, adiknya Dewa Ketawa melompat menyambuti kedatangannya. Sambil membimbing tangan si kakek Dewa Ketawa tertawa mengekeh lalu berkata. "Dari dulu aku sudah bilang! Kau boleh saja menangis sesukamu. Tapi otak musti jalan. Dipergunakan dengan baik. Tempatmu di sini di antara para sahabat. Bukan di sana! ha ... ha.. . hal"<br />"Hik ... hik! Aku mengaku salah! Aku memang kelirul, Sudah jangan mentertawai aku terusl" kata Dewa Sedih.<br />Lalu "bluk!" Satu sosok melayang di atas kepalanya. Tahu-tahu lblis Pemabuk sudah tegak di hadapan kakak adik aneh itu.<br />"Nah ini satu lagi orang sesat yang sadar diri!"<br />Yang berseru adalah Dewa Tuak. Dia langsung saja melompat menyambut kedatangan lblis Pemabuk. dan orang ini saling rangkul. Tapi tangan masing-masing saling bekerja. Dewa Tuak membetot lepas dua kendi tuak yang tergantung di pinggang lblis pemabuk sedang lblis Pemabuk menarik bumbung bambu dari bahu Dewa Tuak. Kedua orang tua ini lalu meneguk minuman keras itu sambil tertawa tawa.<br />Di samping kiri Kakek Segala Tahu kerontangkan kaleng rombengnya sementara Bujang Gila tapak Sakti tegak berkipas-kipas sambil tertawa-tawa sedang Si Raja Penidur masih terus ngorok di dalam keranjang rotan besar.Setelah puas meneguk tuak mumi yang dinamakan tuak<br />kayangan milik Dewa Tuak, lblis Pemabuk melambaikan tangan ke arah Ratu Duyung Ialu menjura seraya berkata. "Terima kasih tadi kau telah menyelamatkan diriku dengan cermin sakti dari serangan manusla-manusia sesat itul"<br />Ratu Duyung membalas dengan senyuman manis. Di kaki bukit sebelah barat Pangeran Matahari marah besar."Kurang ajar! Mengapa urusan bisa jadi kapiran seperti inil" Dia kembali memutar kepala, memandang ke puncak bukit di atasnya. Kita kembali dulu pada apa yang terjadi beberapa saat sebelumnya.<br />Setelah meledakkan lima alat peledak yang ditanam di pedataran pasir di antara dua bukit batu karang, Pendekar 212 menyelinap ke bukit sebelah barat. Dengan ilmu "Menembus Pandang" dia berhasil mengetahui di mana letak pusat kendali alat alat peledak dan segala macam senjata rahasia yang disembunyikan. Ketika dia sedang sibuk merusak alat pengendali yang bisa membunuh para tokoh silat golongan putih itu tiba-tiba dia melihat bayangan sosok seseorang jatuh di atas batu karang di sampingnya, menyusul menyambamya bau busuk yang tak asing lagi baginya. Murid Sinto Gendeng cepat berbalik.Justru saat itu satu tendangan berdesing ke arah keplanya. Demikian cepat dan tiba-tibanya serangan itu walau dia sempat menjatuhkan diri menyelamatkan kepala namun tendangan masih sempat menyambar dadanya!<br />"Bukkk!"<br />Pendekar 212 Wiro Sableng terlempar dua tombak. Di hadapannya Makhluk Pembawa Bala menyeringai. Selagi Wiro terkapar menahan sakit Makhluk Pembawa Bala cepat melompat ke tempat peralatan pengendali. Dia hanya membutuhkan waktu singkat untuk membetulkan kawat-kawat pengendali yang telah diputus Wiro. Namun sebelum hal itu sempat dilakukannya dari samping Wiro datang menghan tam. Perkelahian seru segera terjadi. Bagaimanapun hebatnya Makhluk Pembawa Bala namun tanpa memiliki sebuah tangan pun, Setelah bertahan selama dua jurus dia tak sanggup Lagi menghadapi lawan. Mukanya yang memang sudah hancur menjadi tambah remuk dibuat bulan bulanan tinju kiri kanan Pendekar 212. Setelah merasa cukup membuat babak belur manusia jahat yang telah beberapa kali hampir berhasil membunuhnya, Wiro cekal kayu yang menancap di batok kepala Makhluk Pembawa Bala. Begitu kayu dipuntir kuat-kuat<br />"kraak ”<br />Tak ampun lagi tanggallah leher Makhluk Pembawa Bala dari persendiannya! Darah busuk mengucur mengerikan juga menjijikkan Seperti yang dikatakan Dewa Sedlh temyata Benar makhluk Pembawa Bala adalah orang pertama yeng menjadi korban di hari sepuluh bulan sepuluh di Pangandaran itu!<br />Wiro yang menyadari bahwa dia harus bergerak cepat segera tinggalkan tempat itu sambil mencekal kayu di mana tertancap kepala Makhluk Pembawa bala. Namun sebelum dia sempat melangkah pergi tiba-tiba Elang Setan muncul.<br />"Manusia jahanam! Kalau hari ini aku tidak bisa membunuhmu lebih baik aku yang bunuh diri!" kertak Elang Setan.<br />Wiro menyeringai. Dia angkat kepala Makhluk pembawa Bala ke atas. "Kau rupanya ingin punya nasib seperti kambratmu inil" Wiro campakkan kepala Makhluk Pembawa Bala ke tanah. Saat itu Elang setan telah menyerangnya. Sepuluh sinar hitam dan sinar merah menyambar ke arah Wiro ketika orang ini menggempumya dengan serangan sepuluh jari tangan berbentuk cakar. Pendekar 212 yang sudah sejak lama mendendam terhadap manusia yang telah mencuri dua senjata mustikanya itu kali ini tak mau memberi ampun dan bertindak cepat.<br />"Saat bagiku menguji kehebatan ilmu pukulan Harimau Dewa," pikir Wiro. Dia segera tiup tangan kanannya. Saat itu juga di telapak tangan Wiro muncul gambar kepala harimau putih bermata hijau. Elang Setan menggembor marah ketika serangan pertamanya gagal. Didahului teriakan keras dia lancarkan jurus ke dua. Cakar tangan kiri menyambar ke leher untuk merobek<br />sedang cakar tangan kanan menghunjam ke dada kiri guna menjebol jantung lawan!<br />Namun tinju kanan Pendekar 212 yang melesat di antara dua lengan lawan lebih dulu mendaratkan pukulan "Harimau Dewa" di kening Elang Setan. Orang ini meraung keras. Tubuhnya terlontar sejauh tiga tombak. Kepalanya hancur mengerikan. Lalu terjadilah satu hal mengerikan. Seolah hancumya benda yang terbuat dari kaca, begitu kepalanya hancur, kehancuran ini merambat ke sekujur tubuhnya sampai ke kakil Murid Sinto Gendeng sampai merinding sendiri melihat hebat dan ganasnya pukulan "Harimau Dewa" yang dimilikinya itu. Mayat Elang Setan yang hancur itulah yang kemudian dilemparkan Wiro dari atas bukt hingga mengge-gerkan Pangeran Matahari dan pengikut-pengikutnya<br />serta membuat marah besar Tiga Bayangan Setan, saudara angkat darah Elang Setan!<br />************<br />ENAM<br />MATAHARI bersinar terik, menyilaukan mata Pangeran Matahari. Dia terpaksa melindungi ke dua matanya dengan telapak tangan kiri. Dengan begitu baru dia bisa melihat ke puncak bukit lebih jelas. Saat itulah dari atas buki karang terdengar seseorang berteriak.<br />"Pangeran Matahari! Apa kau mencari kaki tanganmu yang satu ini?!"Orang yang tegak di puncak Bukit itu berseru. Di tangan kirinya dia memegang sebatang kayu yang ditancapi kepala manusia. Itu adalah kepala Makhluk Pembawa Bala<br />"Pendekar 212 jahanam!" rutuk Pangeran Matahari. Dl atas bukit Wiro Sableng gerakkan tangan klrlnya. Kepala Makhluk Pembawa Bala dilemparkannya ke bawah. Kepala itu menggelundung beberapa saat sebelum akhimya terbanting dua langkah di hadapan Pangeran Matahari! Hancur mengerikanl<br />"Tiga Bayangan Setanl Aku tugaskan padamu Untuk membunuh Pendekar 2121" Pangeran<br />Matahari Berikan perintah pada Tiga Bayangan Setan. Lalu dia<br />Memberi isyarat pada gurunya sambil mencabut Kapak Maut Naga Geni 212 dari pinggangnya. Di Tangan kanan dia memegang sebuah benda hitam Yang temyata adalah batu sakti pasangan Kapak naga Geni 212.<br />Pada waktu Tiga Bayangan Setan bergerak menuju puncak bukit pada saat itu pula Pendekar 212 Wiro Sableng melesat ke udara. Tubuhnya laksana Bola melenting beberapa kali hingga akhimya dia sampai di kaki bukit sebelah timur, bergabung dengan para tokoh silat golongan putih.<br />"Jahanaml Kau kira kau bisa lari ke mana?l" kertak Tiga Bayangan Setan yang kecele sampai di puncak bukit sebelah barat. Dia segera memutar tubuh dan melompat mengejar. Sementara itu di bagian lain dari kaki bukit sebelah barat telah berlangsung satu kegegeran.<br />Dewi Payung Tujuh yang sejak tadi mengintai kesempatan tiba-tiba menyergap ke arah Bidadari Angin Timur sambil membentak.<br />"Gadis liar Kau telah memfitnah diriku sebagai pembunuh Raja Obatl Aku akan mengampuni selembar nyawamu jika kau mau menyerahkan kepadaku Kitab Putih Wasiat Dewa yang kau curi dari<br />Pendekar 212 saat ini jugal"<br />Kejut Bidadari Angin Timur bukan alang kepalang. "Jahanaml Jadi kau ular dalam selimut rupanya Semula mengatakan ingin membantu Pangeran Matahari. Temyata kau sengaja mencari mampusl Berani membuat perkara di sarang macanl"<br />Bidadari Angin Timur langsung menerpa ke arah Dewi Payung Tujuh alias Puti Andini. Dua tangannya dipukulkan ke depan. Dua larik sinar biru menderu. lnilah pukulan sakti yang disebut "Pedang Kilat Biru” Puti Andini tidak tinggal diam. Tangannya kiri kanan digerakkan. Enam payung melesat dan berkembang berputardengan suara deras membentengi tubuhnya. Payung ke enam yang berwama hitam berputar laksana titiran dalam genggamannya. Ujungnya yang runcing ditusukkan ke perut BidadariAngin Timur.<br />"braakkkk. .. reetttt!"<br />Satu payung patah di bagian gagangnya, satu Lagi robek besar. Dewi Payung Tujuh berteriak keras. Tubuhnya lenyap dibalik gulungan sinar hitam berputar payung yang dipegangnya. Empat buah Payung lagi tiba-tiba melesat menggempur kedepan.<br />Sesaat Bidadari Angin Timur menjadi dibuat kela bakan. Dia berseru. "DelapanTokoh Kembar! Janqan Diam saja! Lekas bantu aku! Apa kalian tidak melihat rejeki besar didepan mata?!'<br />Delapan lelaki berjubah merah bermuka sama dan berkepala botak wama kuning yang sejak tadi hanya tegak -tegak saja melihat apa yang terjadi seolah –olah baru sadar. Delapan pasang mata menatap kearah Puti Andini seolah menelanjangi gadis dari tanah seberang ini. Tiba-tiba mereka keluarkan suara aneh dari mulut masing-masing. Mereka mendongak ke langit sambil usap-usap kepala masing-masing. Lalu ketika serentak mereka meniup ke atas, langit laksana dilanda topan prahara. Kaki bukit bergetar dan pasir beterbangan.<br />Puti Andini sesaat jadi tertegun. Walau tadi dia Berhasil mendesak Bidadari Angin Timur namun Akan membutuhkan waktu lama baginya untuk dapat<br />Mengalahkan gadis yang mempunyai gerakan cepat Serta pukulan sakti mematikan itu. Kini lawan dibantu Pula oleh delapan manusia aneh berjubah merah, Berkepala botak dan memiliki muka sama semua! Ketika empat dari Delapan Tokoh Kembar mulai Menyerbu puti Andini langsung menyambut dengan Serangan empat payung. Namun ketika empat Tokoh kembar lainnya mulai merangsak ke depan gadis ini serta merta terdesak hebat. Senjata Delapan Tokoh Kembar berupa tiupan-tiupan aneh menghantam terus menerus seolah badai melanda. Walau Puti Andini sempat merobekdada pakaianTokoh Kembar nomor 3 dan melukai pinggul Tokoh Kembar nomor 7 namun dia harus mengorbankan<br />empat payungnya yang hancur dilanda angin dahsyat tiupan lawan!<br />Akhimya dalam keadaan tak berdaya Puti Andini terpojok di celah antara dua batu karang. Tokoh Kembar nomor 4 tertawa mengekeh. Sambil usap-usap kepala botaknya dia menyergap Puti Andini, langsung merangkul gadis ini. Dua kawannya segera memegangi tangan si gadis ketika Puti Andini berusaha melepaskan diri. Lalu due orang lagi memegangi kakinya. Puti Andini kemudian digotong ke balik dinding karang di kaki bukit sebelah barat.<br />"lngat! Aku yang tua! Jadi aku yang mendapat giliran pertama!" terdengar si botak nomor 1 berkata setengah berteriak. Tujuh saudaranya walaupun mengomel tapi agaknya tak bisa berbuat apa-apa.<br />"Manusia-manusia keji terkutuk! Lepaskan diriku!" Terdengar jeritan Puti Andini dari balik batu karang. Lalu terdengar suara seperti pakaian dirobek.<br />Di kaki bukit sebelah timur salah seorang berselu-bung kain putih berkata pada kawan di sebelahnya. "Saatku untuk bergerak. Kau tunggu di sini. Awasi Dewa Tuak. Kalau dia pergi lekas beri tahu aku! Jangan coba merayunyal"<br />Sang teman tertawa di balik selubung kain yang menutupi wajahnya. "Hik ... hik! Siapa suka pemabuk sialan itu? Lekas bertindak sebelum<br />gadis malang itu kehllangan kehormatannyal" Ketika temannya pergi orang ini cepat bergerak mendekati Dewa Tuak lalu membisikkan sesuatu.<br />Dewa Tuak yang tengah asyik berpesta tukar- Tukaran tuak dengan lblis Pemabuk terkejut besar.<br />"Kau siapa?!" tanya Dewa Tuak dengan pandang menyelidik. Kalau saja matanya bisa menembus pakaian aneh orang di hadapannya itu dia tidak akan begitu bingungnya.<br />”Siapa aku tak usah kau perdulikan ... !'<br />"baik! Katakan di mana dia sekarang?”<br />Orang berselubung menunjuk ke pedataran pasir ”dia yang di sebelah depan. Lekas kau ikuti dia. Aku punya firasat dia butuh pertolonganmu!"<br />Tanpa banyak bicara lagi Dewa Tuak serahkan tabung bambunya pada lblis Pemabuk lalu dia meng- hambur kearah pedataran pasir. sebelum berkelebat pergi orang yang berselubung menghampiri Ratu Duyung. "lzinkan aku meminjam dua anak buahmu!" Walau tidak tahu apa sebenamya yang hendak dilakukan orang itu Ratu duyung anggukkan kepala. Sesaat kemudian kelihatan tiga orang berlari melintasi pedataran pasir menuju kebukit sebelah barat. Di depan sekali adalah orang berselubung tadi. Di belakangnya menyusul dua anak buah Ratu Duyung yang mengenakan pakaian ketat.<br />Tak lama setelah temannya berlalu orang berselu-bung yang satunya diam-diam merasa khawatir. Delapan tokoh Kembar tidak bisa dianggap remeh. 'selain mereka berjumlah banyak, masing-masing memiliki tingkat kepandaian yang sangat tinggi. Senjata utama mereka adalah tiupan aneh yang mampu membobol dinding karang, sanggup meng-hancurkan batu. Maka orang ini lantas mendekati Tua Gila. Dengan cepat dia menerangkan apa yang hendak dilakukan temannya dibantu oleh dua anak buah Ratu Duyung serta Dewa Tuak.<br />"Kalau temanmu itu sudah dibantu oleh tiga orang yang kau sebutkan, perlu apa dikhawatirkan?" ujar Tua Gila sambil tertawa mengekeh tapi sepasang matanya jelalatan seolah mau menyelidik siapa adanyanya di balik pakaian selubung kain putih itu.<br />"Puluhan tahun malang melintang dalam dunia persilatan rupanya otakmu masih belum waras-waras juga!" Orang berselubung kain putih keluarkan suara keras. "Kau tahu Delapan Tokoh Kembar bukan lawan yang bisa dibuat main!"<br />"Heh ... ! Kalau kau tahu mereka tidak bisa dibuat main mengapa kau sendiri tidak membantu?!" tukas Tua Gila yang jadi naik darah karena didamprat kurang waras.<br />"Kalau kau tidak suka turun tangan dan datang ke sini hanya untuk berleha-leha, atau mungkin kau merasa jeri terhadap Delapan Tokoh Kembar, tidak jadi spa. Tapi aku nasihatkan padamu lebih baik kau pulang saja ke Pulau Andalas, cuci kaki. Jangan lupa cebok lalu tidur! Hik ... hik ... hikl"<br />Habis berkata dan mentertawai Tua Gila, orang berselubung kain putih kembali ke tempatnya semula. Panas hati Tua Gila bukan main. "Manusia keparat! Siapa dia adanya! Mengapa menyembunyikan muka dan tubuh di balik kain putih! Suaranya pun disertai tenaga dalam hingga sulit dikenali!"<br />Sambil menggulung ke dua lengan pakaian Putihnya Tua Gila melangkah ke hadapan orang berselubung.<br />"enak saja kau menuduh aku jeri. Ucapanmu Kelewat menghina! Kau akan saksikan bagaimana aku menangani Delapan Tokoh Kembar itu! Tapi ingat! Selesai urusan itu aku akan menelanjangimu hingga ketahuan siapa kau adanya! Jangan-jangan kau seorang musuh dalam selimut!"<br />Sepasang mata yang terlihat dari dua buah lobang Di kepala selubung kain tampak memancarkan sinar Aneh Sesaat Tua Gila jadi tercekat. Lalu cepat-cepat Orang tua ini menyeberangi pedataran pasir, menyusul Rombongan yang telah dahulu ke sana.<br />TUJUH<br />SAMBlL berlari orang yang di sebelah depan embuka kain putih panjang yang selama ini menutupi kepala dan tubuhnya. Begitu kain terbuka kelihatanlah wajah dan bentuk tubuhnya yang asli. Astagal Temyata dia adalah lblis Putih Ratu Pesolekl Sambil terus berlari si nenek tua ini merapal mantera tertentu hingga sesaat kemudian dirinya berubah menjadi seorang gadis csntik jelita, membuat dua orang anak buah Ratu Duyung terkesiap heran<br />"Jangan terpukau Kalian nanti bisa celaka lkutl apa yang aku lakukan Jangan berani membantah" Dua gadis anak buah Ratu Duyung mengiyakan. Ke tiga orang itu sampai di kaki bukit sebelah barat tepat pada saat Delapan Tokoh Kembar hendak melakukan kekejian atas diri Puti Andini yang saat itu nyaris mereka telanjangi. lblis Pulih Ratu Pesolek yang sudah berganti rupa menjadi seorang gadis cantik berseru lantang.<br />"Lelaki-lelaki jantan Delapan Tokoh Kembar! Apa sedapnya kalian menggagahi pemuda banci<br />berbaju merah itul Lebih baik bersenang-senang dengan kamil"<br />Habis berkata begitu lblis Putih Ratu Pesolek lalu singkapkan dada pakaiannya hingga sepasang payudaranya terlihat jelas oleh Delapan Tokoh Kembar. Mendengar teriakan lblis Putih Ratu Pesolek itu tentu saja DelapanTokoh Kembar yang sedang sibuk hendak melakukan kekejian terhadap Puti Andini menjadi terkejut. Mereka putar kepala memandang kearah lblis Putih Ratu Pesolek dan sama-sama temganga terkesiap melihat apa yang dipertunjukkan Mereka sepertinya tidak percaya kalau Puti Andini adalah pemuda banci. Namun memang jika mereka bandingkan dada Puti Andini yang agak rata biasa -biasa saia denqan dada lblis Putih Ratu Pesolek yang begitu menggairahkan maka ucapannya tadi termakan juqa oleh delapan lelaki berkepala kuning botak ini.<br />Selagi Delapan Tokoh Kembar seolah-olah terhipnotis<br />lblis Putih Ratu Pesolek memberi isyarat pada dua orang anak buah Ratu Duyung. "Lekaslah singkap dan perlihatkan isi dada kalian yang bagus itu?”<br />Dua gadls cantik anak buah Ratu Duyung tentu saja terkejut besar karena tidak menyangka akan disuruh berbuat begitu.<br />'Kami ..." keduanya menjadi gagap dan bersemu jengah \wajah masing-masing.<br />"jangan pikir segala apa! Jangan tololl kita Semua tengah menghadapi bahaya besar Lekas Lakukan apa yang aku bilang barusanl" sentak lblis Putih Ratu Pesolek. dua gadis sesaat masih bingung. Dia memandang pada lblis Putih Ratu Pesolek, pada Delapan tokoh Kembar yang kini tampak menyeringai lalu pada Puti Andini yang saat itu masih terbaring di<br />tanah dalam keadaan pakaian tidak karuan.<br />"Lekas!Kalian tunggu apa lagil" lblis Putih Ratu Pesolek jadi jengkel. Dua gadis anak buah Ralu Duyung akhimya melakukan juga apa yang dikatakan si nenek yang menyamar jadi gadis cantik itu.<br />Delapan Tokoh Kembar yana memang punya sifat suka bersenang-senang membelalak beiar ketika kini melihal tiga pasang payudara putih dan besar-besar segar membusung menantang keluar.<br />Tenqqorokan mereka turun naik sedang cuping hidung mengembang mengeluarkan suara nafas memburu. Tujuh orang yang kepaianya berangka 2 sampai 8 memandang pada saudara tua .mereka nomor 1. Yang nomor satu in1 kedap kedipkan matanya, Lidah dijulurkan pulang balik. Namun tampak ada bayangan rasa rasa<br />bimbang. Melibat gelagat yang tidak baik ini lblis Putih Ratu Pesolek segera keluarkan ucapan.<br />"Kami bertiga masih perawanl Apa kalian semua<br />mau berlaku bodoh menggauli pemuda banci itu?<br />Mendapalkan perempuan palsu padahal yang asll<br />siap melayani kalian?”<br />Tokoh kembar nomor 1 maju selangkah. Enam saudaranya mengikuti. Namun tiba-tiba yang nomor 4 mendekati dan berbisik.<br />"Kakak, kau dan saudara-saudara yang lain silahkan mengambil tiga gadis itu, aku biar tetap dengan pemuda banci itu saja ...."<br />Si nomor satu pelototkan mata tapi kemudian menyeringai sementara saudara-saudaranya yang lain terlawa bergelak. "Saudara kita si nomor 4 ini sejak dulu memang punya kelainanl Ha ... ha ... ha Didahului oleh si nomor 1, diikuti oleh yang lain-lain kecuali si nomor 4, tujuh bayangan merah berkelebat. Kalau tadi masih bisa diatur siapa yang fuluan kini keadaan jadi kacau karena semua bersirebut cepat untuk dapat menyentuh tiga gadis cantik di depan mereka.<br />Hanya beberapa langkah lagi tujuh orang tokoh Kembar akan sampai ke tempat tiga gadis Cantik tiba-tiba gadis paling depan yakni lblis Putih Ratu Pesolek hantamkan langan kanannya. Selarik Angin keras menyambar ke kepala Tokoh Kembar Nomor 3. Dua anak buah Ralu Duyung<br />tidak tinggal diam. Entah kapan mereka mengambii tahu-tahu masing2 sudah memegang senjata yang sangat diandalkan yakni sebatang longkat besi yang ujungnya meman-carkan cahaya biru angker. Ketika senjata2 itu dipu-kulkan ke depan, dua iarik sinar biru menggebu!<br />”kita tertipu” teriak Tokoh Kembar nomor 1 lalu cepat mendorong adiknya yang nomor 3. Sang adik Selamat dari serangan iblis putih ratu pesolek, tetapi adiknya yang lain yakni yang nomor 6 agak terlambat<br />Menyingkir.<br />' ”wusssss"<br />Angin keras mengandung tenaga dalam tinggi Menghantam dada si nomor 6. Membuatnya terjung-kal dan jatuh terjengkang. Pakaian merahnya di Bagi-an dada nampak berlobang hangus. Kulit tubuhnya kelihatan merah seperti terpanggang. Kedua matanya<br />mendelik dan dari sela bibimya mengucur keluar darah segar Jelas dla terluka parah disebelah dalam tetapi hebatnya dalam keadaan seperti itu dia masih sanggup melompat bangkit.<br />Disebelah kiri tiga lelaki botak yang menghadapi langsung serangan dua sinar biru cepat jatuhkan diri lalu melompat ke depan susupkan masing-masing satu pukulan maut ke arah dua orang anak buah Ratu Duyung. Dua gadis yang diserang segera menghantam dengan tongkat besi masing-masing. Dua sinar biru berkiblat.<br />Tiga lelaki botak yang berada dl barisan paling depan cepat melompat mundur. Mereka sudah mendengar kecantikan gadis-gadis dari taut selatan ini. Tetapi mereka juga pernah mendengar kalau para gadis itu tidak bisa dibuat main.<br />llmunya tidak rendah dan memiliki senjata yang memancarkan sinar biru yang mampu menjebol batu bahkan dinding besil Bisa dibayangkan bagaimana kalau sinar itu sampai menghantam diri mereka bersaudaral<br />"Bentuk Barisan Menggusur Bumi!" Tokoh Kembar nomor 1 berteriak keras. Tujuh lelaki botak berjubah merah segera membentuk barisan memanjang dari sisi kiri ke sisi kanan. Tangan kanan diangkat tinggi-tinggi ke atas dengan telapak terkembang Telapak tangan kiri diletakkan di atas kepala mereka yang botak dan dicat kuning.<br />"Menggusur Bumil Hantaml"<br />Tujuh mulut meniup serentak ke arah lblis Putih Ratu Pesolek dan dua orang anak buah murid Ratu Duyung. Mula-mula terdengar suara menggemuruh laksana ombak bergulung disertai badai menghantam. Dua gadis berpekikan. Tongkat besi mereka terlepas mental entah ke mana. lblis Putih Ratu Pesolek sendiri keluarkan seruan tegangl Sangyul hitam besar di atas kepalanya terlepas mental dan kini nampak rambutnya riap-riapan acak-acakan.<br />"Jahanam! Kalian merusak dandanankul" teriak Iblis Putih Ratu Pesolek namun saat itu bersama dua Gadis lainnya tubuhnya telah mencelat mental akibat Tiupan angin dahsyat yang keluar dari tujuh mulut Manusia botak berjubah merah! bagaimanapun mereka kerahkan tenaga luar dan dalam untuk bertahan namun tetap saja ketiga-tiganya terseret mental sejauh dua tombak dan terkapar dipasir begitu punggung masing-masing melabrak dinding karang!<br />Untuk beberapa saat lamanya ke tiga gadis itu Terhenyak nanar di atas pasir. Dari sela mulut dan Liang telinga dua anak buah Ratu Duyung kelihatan Ada darah mengalir. lblis Putih Ratu Pesolek sendiri Merasakan dadanya mendenyut sakit, mata perih Sekali dan telinga berdenging sakitl Akibat tiupan Angin dahsyat tadi pakaian yang melekat di tubuh Mereka jadi tidak karuan, robek di sana-sini.<br />Tokoh Kembar nomor 1 tertawa mengekeh. "ha ... ha ... ha .... Ayo bangun dan ikut kami ke Bali dinding karang sanal" Si botak nomor 1 melangkah mendekati lblis Putih ratu Pesolek. Ketika dia hendak menjamah Dada perempuan yang dilihatnya sebagai seorang Perempuan cantik jelita ini, tiba-tiba lblis Putih Ratu PePesolek lepaskan satu satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Sinar hitam menderu Ganas!<br />"wuuutttl"<br />”jahannam! Awas serangan!" teriak si botak noMor seraya menyingkir. Dia selamat tapi saudaranya si botak nomor 5 yang ada di belakangnya terlambat mengelak. Dengan telak sinar hitam pukulan sakti yang dilepaskan lblis Putih Ratu Pesolek menghantam mukanya. Si botak nomor 5 terpental sampai tiga tombak. Ketika tubuhnya terkapar di pasir semua saudaranya jadi berteriak kaget. Tubuh itu tidak punya kepala lagi. Sudah hancur dihantam pukulan sakti lblis Putih Ratu Pesolek dan hancurannya bertebaran mengerikan ke mana-manal<br />Kemarahan pun meledak!<br />"Bentuk Barisan Menerjang Laut Menjaring<br />Bumi!" teriak Tokoh Kembar paling tua.<br />Tujuh lelaki botak berjubah merah berkelebat<br />memutari tiga gadis.<br />"Menerjang Laut Menjaring Bumil Hantaml" Enam mulut meniup. Tiga gadis menjerit kaget ketika dapatkan mereka seolah terjebak dalam satu jaring yang tidak berwujud. Mereka menggapai-gapai kian kemari berusaha untuk keluar dari jaring yang tidak terlihat itu. Namun beberapa bayangan merah mendahului berkelebat. Tahu-tahu ketiga gadis itu merasakan diri masing-masing tegang kaku tak bisa bersuara, tak bisa bergerak iagil Ketiganya telah ditotok! Tokoh Kembar nomor 2, 3, 6 dan 7 serta merta melompat. Siap untuk menghabisi ke tiga gadis<br />itu dengan tendangan dan hantaman tangan ke arah<br />batok kepala<br />"Jangan bunuhl Aku ingin mengerjai mereka habis-habisan! Gotong mereka ke balik gundukan batu karang besar sana!" Yang berteriak adalah Tokoh Kembar nomor 1 yang marah besar atas kematian adiknya nomor 5. Tiga gadis itu lalu di bawa ke balik gundukan Batu karang. Tokoh Kembar nomor 1 mengikuti Sambil membuka ikat pinggang jubah merahnya.<br />********************<br />DELAPAN<br />TOKOH kembar nomor 4 memanggul tubuh Puti Andini ke balik satu gundukan batu karang besar lalu membaringkannya di tanah. Gadis ini walaupun bisa bersuara tapi tak mampu bergerak karena sebelumnya sudah ditotok.<br />"Jahanam! Berani kau berbuat kurang ajar aku bersumpah menanggalkan kepala mengorek jantungmul"<br />Si jubah merah ganda menyeringal dan usap-usap kepala botaknya yang benvama kuning. "Sebelum kau menanggalkan kepalaku aku akan lebih dulu menanggalkan pakaianmul Ha... ha ... ha”<br />”Sebelum kau mengorek jantungku aku akan lebih<br />dulu ... ha ... ha ... ha ...."<br />"Breemt .... breettt!"<br />Si botak merobek pakaian merah Puti Andini yang sebelumnya sudah tidak karuan rupa karena sudah robek di sana-sini. Sumpah maki si gadis sama sekali tidak diacuhkan si botak. Dengan<br />nafas memburu dia menanggalkan jubah merahnya.<br />"Kakak-kakakku tolol semua! Termakan tipuan orang! Aku tahu kau bukan pemuda banci! Kau seorang gadis sungguhan dan pasti masih perawan asli! Ha ... ha ... hal"<br />Ketika Tokoh Kembar nomor 4 ini hampir hendak melakukan perbuatan bejatnya itu tiba-tiba ada satu benda halus menjirat pergelangan kaki kirinya. Sebelum dia sempat memeriksa tiba-tiba kaki itu terbetot ke belakang. Tak ampun lagi si botak terbanting keras ke tanah. Mukanya berkelukuran. Tulang hidungnya patah. Dari hidung dan bibirnya yang pecah berkucuran darah.<br />Satu tangan menyambar jubah merah milik lelaki Itu lalu melemparkannya ke atas tubuh Puti Andini. Sambil menggembor marah Tokoh Kembar nomor 4 menoleh ke belakang. Dia melihat seorang Kakek berpakaian putih, memiliki rambut den janggut serta kumis putih tegak beberapa langkah di belakannya sambil memegang sehelai benang putih yang sangat halus. Benang inilah yang telah mengikat pergelangan kaki kirinya. Dia berusaha melepaskan ikatan benang. Namun benang halus itu bukan benang sembarangan. Dalam dunia persilatan dikenal dengan nama Benang Kayangan dan sebegitu jauh hanya dua atau tiga orang tokoh sakti<br />saja yang mampu memutusnya.<br />"Jahanam!" sumpah si botak nomor 4. Sekali lagi Dia mencoba bangkit tetapi untuk kedua kalinya Orang tua yang memegang benang menyentak hingga si botak yang hanya mengenakan kolor ini amblas terjengkang. Tua Gila, orang tua yang memegang benang Tertawa mengekeh.<br />"Sungguh memalukan! Dalam dunia persilatan Masih saja ada tokoh-tokoh keji dan kotor sepertimu Dan saudara-saudaramu, Kalau tidak segera disingkirkan pasti bisa menimbulkan malapetaka besar di kemudian hari! Apakah kau sudah siap menerima kematian botak kuning nomor 4?!"<br />"Tua bangka keparat! Kau yang akan mampus duluan.!”<br />"Ha ... ha ... ha! Sayang sebelum berjalan ke neraka kau tidak punya kesemptan mengucapkan selamat tinggal pada saudara-saudaramu!"<br />Tokoh Kembar nomor 4 meniup ke arah Tua Gila. Satu gelombang angin menderu keras. Walaupun tiupan ini merupakan serangan maut yang tidak bisa dibuat main namun dibanding jika Delapan Tokoh Kembar meniup secara serentak maka ke hebat-annya tentu saja jauh berkurang.<br />Sambil membungkuk menghindarkan serangan tiupan angin maut itu Tua Gila sentakkan kuat-kuat benang yang dipegangnya. Tubuh si botak<br />nomor 4 melayang ke udara. Mula-mula seperti layangan tubuh Ru dikedat-kedutnya beberapa kali hingga si botak nomor 4 merasa lutut dan pangkal pahanya seperti hendak tanggal. Dia menjerit kesakitan. Tua Gila tertawa geiak-gelak seperti anak-anak yang bermain kegirangan. Lalu tangannya menyentak lagi.<br />"Wuutttttttttt!"<br />Sosok si botak nomor 4 berputar di udara laksana titiran. Tua Gila ulur benang kayangannya. Tubuh si botak mencuat sesaat lalu kembali berputar. Kali ini karena benang telah diulur maka lingkaran putaran tubuhnya jadi melebar. Akibatnya ketika tubuh itu berdesing ke arah sebatang poho besar dasi botak tak sanggup menyelamatkan diri maka<br />"praaak!"<br />Tak ampun lagi kepala botak itu hancur mengerikan. Wamanya yang kuning kini berubah menjadi merah!<br />Tua Gila sentakkan tangan kanannya. Jiratan benang kayangan di pergelangan kaki kiri si botak nomor 4 yang kini sudah jadi mayat terlepas. Dengan cepat Tua Gila gulung dan simpan kembali benang sakti Itu ke balik pakaian putihnya. Lalu dia melangkah mendekati Puti Andini yang masih tergeletak dalam keadaan tertotok. Sekali memeriksa saja dia sudah mengetahui di bagian mana si gadis tertotok. Setelah melepaskan totokan itu Tua Gila berkata :.<br />"Cucuku, lekas kenakan pakaian ini!" Dari batik<br />puqgung pakaiannya Tua Gila mengeluarkan sehelai baju dan celana panjang putih.<br />"Kalau sudah, aku sarankan agar kau segera kembali ke Pulau Andalas. llmumu cukup tinggi. Tapi untuk berani Menantang badai di tanah Jawa ini belum saatnya. Katakan pada gurumu Sabai Nan Rancak bahwa Kitab Putih Wasiat Dewa yang dicarinya tidak berJodoh dengan dirinya ataupun dirimul Masing-masing manusia sudah ditakdirkan oleh Yang Kuasa untuk memiliki dan mencapai segala apa adanya sampai di tingkat yang sudah ditentukannya. Soal dendam kesumatnya di masa lalu terhadap diriku biar nanti aku yang akan menyelesaikan. Kau anak baik. Aku percaya kau bisa lebih baik lagi menghadapi tantangan hidup inil"<br />Habis berkata begitu Tua Gila berkelebat pergi dari tempat itu. Untuk beberapa lamanya Puti Andini alias Dewi Payung Tujuh masih terbaring terdiam. sebelumnya dia marah besar jika dipanggil cucu oleh orang tua itu. Namun setelah dirinya diselamatkan diam-diam dia merasa ada keperihan yang mendalam di lubuk hatinya. Dari arah pedataran pasir<br />terdengar bentakan-bentakan orang yang berkelahi.<br />Puti Andini sadar di mana dia berada saat itu. Segera dia bangkit dan mengenakan pakaian yang diberikan Tua Gila dengan cepat.<br />****************<br />Kembali pada apa yang terjadi atas diri lblis Putih Ratu Pesolek dan dua anak buah Ratu Duyung. Di balik gundukan batu karang di ujung bukit sebelah selatan enam orang berjubah merah turunkan tubuh tiga gadis cantik yang mereka gotong ke tanah.<br />Tokoh Kembar nomor 1 berpaling pada lima saudaranya. "Kalian harap bersabar dan tetap tinggal di tempat Aku akan memberi pelajaran dan hajaran pada tiga gadis keparat ini. Tidak ada satu manusia pun boleh menipu Delapan Tokoh Kembarl"<br />Habis berkata begitu si botak nomor 1 ini sibakkan jubah merahnya lalu melangkah mendekati lblis Putih Ratu Pesolek. "Biang racun penipu! Pembunuh adikku nomor lima Kau pantas mendapat bagian lebih dulul” .<br />lalu dilepaskannya totokan pada urat gagu yang menutup jalan suara lblis Putih Ratu Pesolek. "Aku ingin dengar bagaimana suara teriakanmul" "Kau hendak melakukan apa?l" tanya si nenek<br />yang saat itu bemujud sebagai gadis cantik. "Mau memperkosaku? Hik ... hikl Aku memang sudah lama<br />tidak main-main dengan lelakil Ayo lakukan segera.<br />Apa kau sudah tahu caranya? Hik ... hik ... hikl"<br />Tokoh Kembar nomor 1 merah padam mukanya. nafsunya untuk memperkosa tertindih oleh kemarah-an luar blasa. Kaki kanannya bergerak. Tendangan keras menghantam dada lblis Putih Ratu pesolek dengan telak hingga tubuh perempuan ini mencelat jauh dan jerit kesakitan menggelegar dari mulutnya. Tubuhnya terhampar di atas pasir. Ada darah mengucur di sela bibimya.<br />”Bangsat pengecutl Berani pada lawan yang Tertotok! Kalau kau tidak segera membunuhku kau akan Menyesal seumur hidupl" kata lblis Putih Ratu Pesolek beitu dilihatnya Tokoh Kembar nomor 1 kembali melangkah mendekatinya.<br />Semula disangkanya si botak No 1 hendak mengha-arnya kembali. Temyata dia tidak menghantamkan tendangan atau pukulan. Melainkan siap untuk melakukan kemesuman terhadap iblis putih Ratu Pesolek yang saat itu bukan saja berada dalam keadaan kaku tegang akibat totokan tetapi juga telah terluka parah di sebelah dalam.<br />Baru saja Tokoh Kembar nomor 1 membungkuk Hendak menggagahi lblis Putih Ratu Pesolek tiba-tiba ada orang berseru. Memperkosa tanpa mabuk lebih dulu apa enaknya! Ha..ha..ha!”<br />Lalu ”byuurr!”<br />Terdengar satu suara menggemuruh laksana ada bau harum minuman keras menyambar jalan pemafasan!<br />”Awas serangan Tuak Kayanganl" teriak si botak nomor 1 memberi tahu adik-adiknya.<br />Saat itu dari arah depan laksana hujan badai menyembur cairan putih ke arah enam Tokoh Kembar.<br />Semua mereka segera mencari perlindungan. Si botak nomor 2 dan nomor 7 bertindak agak terlambat.<br />Walau sempat menyelamatkan diri namun jubah mereka masih terkena sambaran semburan tuak hingga berlubang-lubang. Bagian tubuh mereka yang kena cipratan minuman keras itu laksana ditusuk-<br />tusuk dengan jarum dan menggembung bengkak!<br />"Keparat jahanaml" maki Tokoh Kembar nomor 1. Dia dan kawan-kawannya siap bergabung untuk melancarkan serangan balasan. Namun saat itu datangnya serangan berupa semburan tuak seolah-olah tidak berhenti. Selain itu mereka juga tidak dapat melihat jelas di mana beradanya Dewa Tuak, musuh yang tengah menggempur<br />mereka saat itu. Selagi mereka saling memberi isyarat tiba-tiba terdengar pekik si botak nomor 1. Tubuhnya mendadak roboh ke pasir, kelojotan kian kemari. Sebentar kedua kakinya melejang-lejang, di lain saat dua tangannya berulang kali diturunkan ke bawah perut tapi diangkat lagi, begitu terus-terusan.<br />Di seberang sana Dewa Tuak tertawa mengekeh sambil kedutkan benang sutera yang dipegangnya. Lima saudara Tokoh Kembar nomor 1 terbelalak dan berteriak marah ketika melihat apa yang terjadi. Ternyata dengan benang saktinya Dewa Tuak telah mengikat kuat-kuat anggota rahasia milik kakak tertua mereka. Dapat dibayangkan sakit yang diderita lelaki botak nomor 1 itu. Setiap dia coba hendak merenggut dan memutus benang, Dewa Tuak tarik benangnya hingga Tokoh Kembar nomor 1 menjerit setinggi langit dan kelojotan kesakitan.<br />"Keparatl" teriak si botak nomor 2. Bersama adiknya nomor 3 dan nomor 6 dia melompat dan menghantam untuk memutus benang sutra.<br />"DESSSI Desssl"<br />Benang sutera membal laksana karet! Temyata Tidak sangup diputuskan. Sebaliknya akibat tekanan Dua pukulan saudaranya tadi, benang sutera yang Mengikat anggota rahasianya menjadi semakin mengcengkram. lolongan Tokoh Kembar nomor 1 keras mengidikkan. Darah mulai<br />mengucur dari bagian tubuh di sebelah bawah perutnya.<br />"bunuh jahannam tua berpakaian biru itul" teriak<br />Si kembar botak nomor 2.<br />"bentuk Barisan Menjungkir Langitl" teriak saudaranya yang nomor 6.<br />'Barisan Menjungkir Langitl Hantaml"<br />Maka secepat kilat lima Tokoh Kembar yang ada Di tempat itu segera membentuk barisan aneh, berjejer berselang-seling. Tangan kanan diangkat tinggi-tinggi ke atas. Telapak tangan kiri diletakkan di atas Kepala botak berwama kuning. Mereka mengerahkan Seluruh tenaga dalam. Lalu meniup ke 'satu arah yakni sosok tubuh dewa Tuak!<br />Deru angin yang lebih menyerupai air bah dilanda badai menghantam ke arah Dewa Tuak. Kekehan orang tua ini mendadak sontak menjadi lenyap. Sebelum tubuhnya disapu dia segera kerahkan tenaga dalam pada kedua kakinya hingga sepasang kaki orang tua ini laksana dua tiang raksasa menancap ke pasir amblas sedalam mata kaki beberapa saat berlalu. Dewa tuak kelihatannya sanggup bertahan.<br />Tapi sesaat kemudian terjadilah hal yang mengejutkan. Tubuh orang tua ini tampak bergetar. Keningnya mengernyit. Lalu terdengar jeritan lblis Putih Ralu Pesolek. Kalau saja dia tidak daiam keadaan tertotok walau saat itu<br />menderita luka dalam yang parah pasti dia telah melompat untuk memeluk tubuh Dewa Tuak.<br />Pakaian biru yang dikenakan Dewa Tuak mengeluar-kan suara berderik lalu pecah-pecah di beberapa bagian. Dari seluruh pori-pori yang ada di tubuh dan di mukanya kelihatan keluar keringat bewama merah tanda bercampur darah Darah juga membersit dari pinggiran mata, mulut, lobang hidung serta telinganya! lblis Putih Ratu Pesolek kembali menjerit. Dua anak buah Ratu Duyung yang juga berada dalam keadaan tertotok sama saja, tak bisa berbuat apa-apa.<br />"Kraaakkkl"<br />"Byuuur!"<br />Tabung bambu yang tergantung di punggung Dewa Tuak pecah. Tuak harum yang ada didalamnya tumpah membasahi tubuh bagian belakang orang tua itu. Sepasang kaki Dewa Tuak yang menancap di tanah perlahan-lahan terangkat ke atas. Dewa Tuak tahu sekali dirinya dalam bahaya. Kalau dia tetap bertahan tubuhnya di sebeiah dalam akan hancur luluh. Tapi menyerah begitu saja orang tua yang keras hati ini berpantang sekali. Dia kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Tangan kanannya tidak mau melepaskan gulungan benang sutera yang dipegangnya. Si botak nomor 1 masih menjerit- jerit kesakitan sambil berusaha melepaskan auratnya sebelah bawah dari libatan benang namun sia-sia, darah makin banyak mengucur<br />dari luka yang melebar akibat irisan benang sutera sakti.<br />"Tenaga Dalam Penuh!" Tokoh Kembar nomor 2 Berteriak. Bersama empat saudaranya dia segera Menggembor tenaga daiam. Tubuh Dewa Tuak berqoyang keras. Kedua kakinya tercabut dari tanah. Sebelum tubuh orang tua ini terlempar ke udara Sekonyong-konyorg ada empat bayangan berkelebat. Tiga langsung mendekati Dewa Tuak dari belakang.<br />"Daial-dajal kembar kepala kuning tahil Pengecut main keroyok!" Yang berteriak temyata adalah lblis Pemabuk..<br />"Dewa Tuakl Bertahanlahl Kami membantul" Tiga pasang telapak tangan lalu ditempelkan ke punggung Dewa Tuak. Tiga hawa sakti mengalir ke dalam tubuh orang tua itu. Sesaat tubuh Dewa Tuak bergoncang keras kemudian perlahan-lahan turun kembali keatas pasir, menancap di tanah lebih dalam dari semula.<br />Di depan sana lima Tokoh Kembar berteriak kaget ketika angin maut yang mereka semburkan dari mulut mendadak sontak berbalik menghantam ke arah mereka.<br />"WUUSS!!!"<br />"Selamatkan diril" Tokoh Kembar nomor 2 berteriak.<br />Lima orang berkepala botak kuning itu lalu lari berserabutan. Dua orang melakukan gerakan<br />yang salah hingga mereka saling tabrakan. Saat itu juga angin sakti mereka berbalik datang menyambar. Keduanya mencelat sampai tiga tombak, terkapar di atas pasir. Tewas dengan pakaian dan sekujur tubuh<br />bergelimang darah. Daging tubuh mereka hancur laksana dicacah. Yang tiga orang lagi berhasil mencari selamat dengan menjatuhkan diri bertiarap ke pasir. Begitu angin maut lewat ketiganya cepat berdiri dan melarikan diri. Saat itulah tiga sinar putih berkiblat berturut-turut .<br />Dua orang lagi dari tiga Tokoh Kembar yang masih hidup menjerit keras lalu roboh ke tanah dengan jubah dan tubuh hangus! Yang ke tiga yaitu Tokoh Kembar nomor 3 walau tangan kirinya hangus dihantam sinar putih menyilaukan tapi tadi masih sempat menyelamatkan diri ke balik dinding karang dan menghilang.<br />Ratu Duyung turunkan cermin saktinya. Kilatan cahaya yang keluar dari senjata mustika inilah tadi yang menamatkan riwayat dua Tokoh Kembar. Di belakang Dewa Tuak tiga pasang tangan yang tadi ditempelkan ke punggung orang tua itu perlahan-lahan diturunkan. Walau tidak menoleh namun Dewa Tuak sudah tahu siapa yang barusan menolongnya.<br />"lblis Pemabuk, Tua Gila, Ratu Duyung dan sobat berselubungl Aku mengucapkan terima kasih.<br />Kalau kalian tidak membantu tentu saat ini aku sudah jadi bangkai!"<br />lblis Pemabuk tenggak tuak dari dalam kendi lalu berkata. "Aku tidak merasa membantu. Aku hanya tidak suka melihat orang main keroyok!" Orang berselubung batuk-batuk beberapa kali. Dengan gerakan cepat dia memusnahkan totokan yang menguasai lblis Putih Ratu Pesolek dan dua gadis anak buah Ratu Duyung. Lalu dari balik kain putih yang menutupi sekujur tubuhnya dia mengeluarkan dua butir obat. Sebutir diberikannya pada Dewa Tuak,<br />sebutir lagi pada lblis Putih Ratu Pesolek.<br />"Lekas telan Luka dalam kalian bukan main-main!" Dewa Tuak dan lblis Putih Ratu Pesolek segera Telan obat yang diberikan. Setelah menelan obat dewa Tuak cepat menemui lblis Putih Ratu Pesolek Dan membantunya berdiri. Sementara Ratu Duyung segera pula menolong dua anak buahnya.<br />"Kau tidak apa-apa?" tanya Dewa Tuak pada lblis putih Ratu Pesolek. Tendangan keparat botak nomor satu itu keras Sekali Jahanam betul" jawab lblis Putih Ratu Pesolek yang sampai saat ini masih tetap berwujud sebagai seorang gadis. "Eh, jahanam yang kau kerjai barangnya itu kenapa berhenti berteriak?”'<br />Dewa Tuak dan lblis Putih Ratu Pesolek melangkah<br />mendekati Tokoh Kembar nomor 1. Memandang ke bawah perut orang itu dinginlah tengkuk lblis Putih Ratu Pesolek. Anggota rahasia Tokoh Kembar nomor 1 temyata sudah hancur seperti dlsayat-sayat. Nyawanya tak tertolong lagi karena terlalu banyak mengeluarkan darah.<br />"Sayang bumbung tuakku dihancurkan oleh bangsat yang sudah jadi mayat itu...." Lalu dia berpaling mencari-cari. Dari samping ada yang berkata.<br />"Kau pasti mencari-cari aku! Ini, ambil satu kendiku. lsinya masih penuhl"<br />Dewa Tuak menyeringai pada lblis Pemabuk yang ada di samping kirinya. Dengan cepat disambarnya kendi berisi tuak keras yang diberikan tokoh silat bertubuh pendek gemuk itu. Lalu dibimbingnya tangan lblis Putih Ratu Pesolek dan dibawanya ke batik sebuah batu karang besar. Si gadis tampak tersipu-sipu. Dewa Tuak berkata perlahan. "Perlu apa malu-malu.Aku sudah tahu siapa dirimu. Anak setan murid Sinto Gendeng itu yang memberi tahu."<br />"Ah. ..." lblis Putih Ratu Pesolek keluarkan suara tertahan." Kau Bertahun-tahun aku menyirap kabar dirimu. Tidak tahu apa kau masih hidup atau sudah digondol malaikat maut ke akhiratl" Dewa Tuak tertawa mengekeh.<br />"Aku senang melihat wajahmu muda dan cantik seperti ini. Tapi aku lebih suka melihat wajahmu yang<br />asli!" lblis Putih Ratu Pesolek kembali tersipu-sipu dan merah jengah wajahnya yang jelita. Dia membuat<br />gerakan menggeliat. Sesaat kemudian perwujudannya sebagai gadis cantik jelita itu lenyap. Kini dia kembali ke bentuk aslinya. Seorang nenek berdandan menor mencorong.<br />"Suro Lesmonol" kata si nenek menyebut nama asli Dewa Tuak. "Aku gembira bisa bertemu lagi denganmu. Apakah kau baik-baik saja selama ini?" Dewa Tuak batuk-batuk dan mengangguk-angguk. "Aku juga suka sekali bertemu denganmu. Aku baik-baik, kuharap kau juga begitu. Bolehkan aku menciummu saat ini?”<br />"Tua bangka edan! Kau kira kita berada di mana saat ini?”<br />Dewa Tuak tertawa gelak-qelak. "Aku punya urusan yang belum selesai dengan Pangeran Matahari. Dia membunuh saudarakul" menerangkan lblis Putih Ratu Pesolek. Lalu si nenek hendak berkelebat.<br />Dewa Tuak cepat pegang lengannya dan berkata. "Sebelum pergi kau tidak hendak mencoba tuak Iblis Pemabuk lebih dulu? Minuman ini bisa mempercepat kesembuhanmu ...."<br />lblis Putih Ratu Pesolek terdiam. "Baik, aku akan minum beberapa teguk ..." katanya lalu ulurkan tangan hendak mengambil kendi yang dipegang Dewa tuak. Tapi si kakek malah menjauhkan kendi itu.<br />"Eh, mengapa kau jauhkan?"tanya si nenek heran.<br />"Aku ingin kau minum seperti dulu. Masih ingat...?"<br />Wajah lblis Putih Ratu Pesolek menjadi sangat merah. Dewa Tuak teguk tuaknya sampai mulutnya gembung. Lalu ditariknya lengan si nenek begitu rupa hingga wajah mereka saling bertemu satu sama lain. begitu bibir mereka saling bertemu, Dewa Tuak buka mulutnya, masukkan tuak kedalam mulut lblis Putih Ratu Pesolek yang sudah menunggu dengan mesranya.<br />lblis Putih Ratu Pesolek tepuk tangan kanan Dewa Tuak ketika tangan itu mulai jahil menjalar ke tubuhnya. Dia cepat-cepat telan tuak dalam mulutnya lalu mundur dua langkah.<br />"Eh, kau mau ke mana?' tanya Dewa Tuak.<br />"Sudah kubilang aku ada urusan besar yang perlu diselesaikan dengan Pangeran Matahari!" jawab si nenek. Lalu cepat sekali dia berkelebat tinggalkan tempat itu.<br />SEMBILAN<br />KEHADIRAN Pendekar212 di kaki bukit sebelah timur setelah berhasil membunuh Elang Setan dan Makhluk Pembawa Bala menimbulkan beberapa reaksi di kalangan para tokoh yang ada di tempat itu. Bujang Gila Tapak Sakti sambil berkipas-kipas melambaikan tangannya lalu berteriak.<br />"Anak sablengl Apa kau masih ingat sama Kemala?l"<br />Murid Sinto Gendeng palingkan kepalanya ke arah si gendut itu. Olaknya mengingat-ingat, mulutnya tampak melongo.<br />"Kemala siapa? Aku tidak ingatl" jawab Wiro kemudian. Bujang Gila Tapak Sakti tetiawa bergelak. "Tidak ingat atau pura-pura tidak Ingat Masakan kau lupa pada si Kemala alias Ratih Kiranasari itu .... Ha. .. ha ... ha!"<br />Paras Pendekar 212 berubah. "Aku ingat sekarangl<br />Ada apa dengan dlrinya??<br />"Anak sablengl Harusnya aku yang bertanya ada apa dengan dirinya, bagaimana dia setelah aku tinggalkan kalian berdua-dua Eh, apakah jadi kau<br />tiduri gadis itu untuk memusnahkan ilmu hitam yang menguasai dirinya ... ?l"<br />"Gajah bunting? damprat Pendekar 212. Jaga mulutmu! Ini bukan saat dan tempatnya membica –rakan hal-hal gila seperli itu?<br />Bujang Gila Tapak Sakti betulkan letak kopiah hitam kupluk di atas kepalanya. Dia tertawa gelak-gelak dan terus saja berkipas-kipas.<br />"Sudahlah Kalau kau tidak mau membicarakan hal Itu aku tak mau bicara lagll" kata Bujang Gila Tapak Sakti pula. Sementara itu di dalam keranjang rotan raksasa Si Raia Penidur masih teruS mendengkur.<br />Pipa yang terselip di sela bibimya mengebulkan asap<br />berbau tidak sedap ke seantero tempat.<br />(Mengenai kemala atau Ratih kiranasari harap baca<br />serial Wiro Sablenq beriudul "Pumama Berdarah)<br />Wiro pencongkan mulutnya. Setelah menggaruk kepalanya beberapa kali dia melangkah ke arah kereta kencana putih di samping mana Ratu Duyung tegak memandang ke arahnya dengan sepasang mata blru indah berkilauan. Di atap kereta Kakek segala Tahu masih duduk uncang-uncang kaki dan sesekali kerontangkan kaleng bututnya. Dl tempat lain orang berselubung kain putlh yang kini tinggal satu begitu melihat Wiro Iangsung memaki dalam hati.<br />”dasar anak setan geblek Dalam keadaan seperti ini masih bisa garuk-garuk kepala cengangas-cengengesl Awas kau nanti kugasak dirimu mulai dari kepala sampai ke pantatl'<br />Di samping kereta Ratu Duyung memandang ke arah Wiro dengan hati berdebar. Kerinduannya selama ini seolah terobati begitu melihat Wiro muncul dan kini melangkah ke arahnya.<br />"Dia masih mengenakan pakaian hitam yang aku berlkan dulu. Apakah ini satu pertanda bahwa dla tidak melupakan diriku...?" membathin Ratu Duyung dalam hati penuh harapan. Sebenamya Wiro ingin menemui semua tokoh yang ada di tempat itu, yang telah bersusah payah datang untuk menolongnya. Namun dia harus bergerak cepat.<br />Apalagi saat itu dilihatnya Tiga Bayangan Setan telah menuruni bukit di sebelah barat. Wiro percepat langkahnya mendekati kereta. Sesaat dia tegak di depan Ratu Duyung, memandang penuh kagum akan kecantikan si gadis. Sang Ratu sendiri seperti tersenyum padanya walau jelas kedua matanya tampak berkaca-kaca. Diam-diam gadis ini ingat pada ucapan Tua Gila waktu muncul di tempat itu pertama kali. 'Gadis cantik, mudah-mudahan kau segera mendapatkan jodoh! Aku turut berdoa untukmu!'<br />"Ratu Duyung, aku ingin bicara banyak denganmu. Tapi ..." 'Wiro tak bisa meneruskan ucapannya. Tenggorokannya serasa tersekat. Terlebih ketika dilihatnya sepasang mata biru bagus sang Ratu berkaca-kaca memandang tak berkesip seolah melepas segala kerinduan yang dipendamnya selama<br />ini. Dengan suara perlahan kemudian Wiro berkata.<br />"Ratu Duyung, harap maafkan. Ada sesuatu yang hendak kutanyakan pada orang yang kurang ajar duduk di atas keretamul"<br />Ratu Duyung menganggukkan kepala. Bibimya yang merah bagus membentuk senyum. Senyum bahagia ini seperti tidak mau pupus dari wajahnya yang jelita. Wiro mendongak ke atas kereta.<br />"Kakek Segala Tahul" serunya memanggil. Si kakek memandang ke bawah, tertawa lebar dan goyang-goyangkan tangannya yang memegang kaleng.<br />"Aku perlu petunjukmu tentang kelemahan Tiga Bayangan Setanl lblis Pemabuk pernah mengatakan Tepat tengah hari bolong. Pilih yang di tengah. Kau bisa mengartikan petunjuk itu?!"<br />Si kakek menggeleng. Lalu kerontangkan kaleng rombengnya.<br />"Celaka" keluh Wiro dalam hati. Lalu dia berteriak kembali. "Kek! Aku tidak percaya kau tidak tahu<br />percuma kau dijuluki Kakek Segala Tahu!" si kakek uncang-uncang kakinya lalu menjawab. Gelar apa pun tidak menjadi jaminan bahwa manusia itu bisa seperti Tuhan mengetahui segala sesuatunya. Waktumu hanya tinggal sedikit anak muda.<br />“Lekas kau bertanya pada Si Raja Penidur" Wiro palingkan kepalanya ke arah Si Raja Penidur yang masih ngorok di dalam keranjang rotan Besar.<br />"Kau ini bergurau atau apa. Kau lihat sendiril Dia masih mendengkur begitu, bagaimana aku bisa bertanya ! Kau tahu manusia macam bagaimana dia tidur bisa sampai berbulan-bulan!"<br />”anak tololl Apakah kau sudah bertanya padanya"! Apakah kau kira si gendut sobatmu berjuluk Bujang gila Tapak Sakti itu mau bersusah payah Membawanya ke sini kalau tidak punya maksud tertentu?l"<br />Wiro garuk-garuk kepala.<br />"Maafkan aku Kek," kata Wiro. Lalu dia menghambur ke arah Bujang Gila Tapak Sakti yang duduk Di tanah sambil bersandar pada keranjang rotan Besar tempat si Raja Penidur melingkar tidur.<br />"Heh, mau apa kau datang ke sini?“ Bujang Gila Tapak Sakti membentak tapi wajahnya mengulum senyum dan kipas di tangannya bergerak pulang balik di mukanya yang keringatan.<br />"Gajah bunting Jangan bersikap garang! Ini urusan mati atau hidupl" semprot Wiro.<br />Begitu Wiro mendekati keranjang rotan dengkur Si Raja Penidur bertambah kerasl Sesaat Pendekar 212 merasa ragu. Namun akhimya sambil menepuk paha orang tua bertubuh maha gemuk itu dia bertanya.<br />"Kakek Raja Penidur, harap kau suka bangun dan memberi tahu apa artinya Tepat tengah hari bolong. Pilih yang di tengah ...."<br />Sosok Raja Penidur tidak bergerak sedikit pun. Wiro memandang pada Bujang Gila Tapak Sakti seolah minta tolong. Tapi si gendut satu ini Cuma menyeringai sambil terus berkipas-kipas. Wiro tepuk lagi paha Si Raja Penidur. Kali ini lebih keras. Tiba-tiba kaki itu bergerak.<br />"Kekl Kakek Raja Penidurl Bangun Kek. Aku butuh bantuanmu. ..I" kata Wiro setengah berseru.<br />Si Raja penidur menggeliat dalam keranjang. Dari mulutnya terdengar suara meracau. Matanya terbuka sedikit lalu tertutup lagi.<br />"Kek! Jangan tidur dulul Aku perlu petunjukmul"<br />Mulut Si Raja Penidur kembali meracau. "Apa sih yang diucapkan si gendut ini?” pikir Wiro. Lalu tidak sabaran dicabutnya pipa yang terselip di bibir Raja Penidur. Saat itulah orang tua gemuk<br />ini menggeliat lagi, lalu tiba-tiba dia bangkit dan duduk di atas keranjang rotan itu. Kepalanya yang berat ditenga-dahkan ke langit. Sepasang matanya tertutup mengemyit. Lalu dari mulutnya terdengar ucapan.<br />"Ho .... Oooooo. Sudah tepat tengah hari bolong rupanyal Kalau ada tiga buah kelapa aku akan memukul kelapa yang di tengahl Yang di tengah itu yang paling lezatl Huah ...!” Raja Penidur menguap lebar-lebar lalu tubuhnya terguling ke dalam keranjang rotan. Suara mengoroknya kembali membahana.<br />Murid Sinto Gendeng kecewa besar. Dia belum sempat mengartikan ucapan Si Raja Penidur dan kini manusia raksasa gemuk itu sudah mendengkur kem bali. Dia memandang ke arah bukit di sebelah barat lalu mendongak ke langit.<br />Saat itu matahari tepat berada di titik tertingginya . "Astagal Dia benar. Saat ini tepat tengah hari bolong. Lalu kelapa yang di tengah? Apa maksudnya ? Kurang ajar Mengapa aku begitu tolol" Wiro melompat bangkit. Tapi ketika ingat masih Memegangi pipa Si Raja Penidur dia cepat-cepat Membalik dan selipkan pipa itu kembali ke mulut Raja Penidur. Baru saja dia hendak memutar tubuh Tiba2 diatasnya ada satu bayangan berkelebat Disertai teriakan dahsyat.<br />"bunuhl"<br />Wiro cepat angkat kepalanya. Pada saat itu dari Atas berkelebat tiga Bayangan Setan. Kedua tinjunya Di adu satu sama lain. Bersamaan dengan teriakan Bunuh tadi maka dari tiga guratan di keningnya Memancar sinar aneh. Lalu dari kepalanya yang Botak sebelah itu mencuat keluar asap membentuk Tiga sosok makhluk jejadian bermuka raksasa dengan rambut riap riapan dan taring besar serta mata merah mendelik ganas. Semua orang yang ada di situ tercekat tegang. Tiga makhluk ini bergerak cepat sekali. Ketiganya menghantamkan tangan laksana palu godam ke arah kepala Pendekar 2121 Murid Sinto Gendeng cepat menyingkir meloloskan diri dengan jurus ilmu silat yang didapatnya dari Tua Gila. Lalu sambil melompat ke atas dia berteriak.<br />"Tepat tengah hari bolongl Pilih yang di tengahl"<br />"Wuuutl Wuuutl wuuuttl"<br />Tiga hantaman makhluk-makhluk jejadian tidak mengenai sasaran. Begitu selamat dari serangan maut Wiro berjungkir balik di udara. sesaat kemudian tubuh sang pendekar kelihatan menukik ke bawah. Sambil menukik Wiro tiup tangan kanannya. Gambar kepala Datuk Rao Bamato Hijau muncul di telapak tangannya. Di kejauhan terdengar suara auman harimau yang sosoknya tidak kelihatan. Bukit batu bergetar<br />hebat. Pedataran pasir menggelombang. Semua orang menjadi tercekat.<br />Tiga makhluk raksasa membalik, siap menyerbu kembali. Murid Sinto Gendeng keluarkan jurus ke dua dari ilmu silat Enam Inti Kekuatan Dewa yang dipelajarinya dalam Kitab Putih Wasiat Dewa. Telapak tangan kanan yang terbuka didorongkan perlahan saja. Yang diarah adalah kepala raksasa jejadian yang sebelah tengah!<br />"Praaakkl"<br />Kepala raksasa yang di sebelah tengah hancur berantakan. Darah bermuncratan. Di kejauhan terde-ngar suara lolongan aneh. Dari mulut Tiga Bayangan<br />Setan sendiri melesat jeritan menggidikkan.<br />Tubuh berjubah hitam ini terkapar di tanah. Kepalanya kelihatan hancur mengarikan. Anehnya kepala makhluk jejadian yang dihantam tapi kepala Tiga Bayangan Setan ikut hancur. Dan lebih aneh lagi kehancuran ini menjalar ke seluruh tubuhnya sampai ke kaki Bersamaan dengan itu sosok tiga makhluk jejadian lenyap Kesunyian menegangkan menyelimuti tempat itu.<br />Pangeran matahari laksana disengat kalajengking ketika menyaksikan tewasnya Tiga Bayangan setan. Padahal dia sangat mengandalkan kaki tangannya yang satu ini. Dia usap mukanya berulang kali. Otak liciknya diputar. Dia kerahkan tenaga dalam lalu berteriak membahana.<br />"Para tokoh di bukit timurl Sebelum kita meneruskan urusan di Pangandaran ini aku perlu memberitahu satu hal dan meminta pertanggungan jawab kalianl"<br />'Pangeran bejat! Kau mau pidato atau membaca syair?!" berseru Tua Gila lalu tertawa mengekeh. dewa Ketawa ikut-ikutan tertawa. Dewa Sedih meraungkan tangis dan Kakek Segala Tahu kerontangkan kaleng rombengnya. Tampang Pangeran Matahari menjadi merah padam. namun sambil menyeringai dia berkata.<br />"ketahuilah pendekar 212 telah menghamili kekasihku bidadari angin timur ! Gadis berbaju biru itu yang itu yang bertempur dengan gadis bersenjatakan payung tadi! Pendekar 212 berseru kaget. Yang lain-lain terkesiap Dan keluarkan suara bergumam sambil memandang kearah Wiro.<br />Semua orang menjadi geger. Ratu Duyung merasa sangat terpukul. Dia tutup wajahnya dengan kedua tangan.<br />"Kurang ajar Tuduhannya dusta dan fitnah belakal" teriak Pendekar 212.<br />Pangeran Matahari mendengus. "Temyata kau terlalu pengecut mengakui kebejatanmu Pendekar 212 Nanti bisa kita tanyakan sendiri pada gadis ltu, Saat ini aku akan meminta pertanggungan jawab kalian atas kejadian inil Sayang nenek pikun si Sinto Gendeng guru<br />Pendekar 212 tidak ada di sini hingga tidak bisa kumintakan pertanggungan jawabnyal"<br />"Pangeran sundal! Sinto Gendeng ada di sini, dan dia belum pikun!"<br />Ooooooooooo00000000ooooooo<br />SEPULUH<br />TIBA-TIBA satu suara menggema keras di kaki bukit timur. Orang berselubung kain putih menggerakkan tangan, menarik lepas pakaiannya. Saat itu juga terlihatlah sosoknya yang asli. Ternyata dia bukan lain adalah nenek tinggi kurus berkulit hitam sinto weni alias Sinto Gendeng dari Gunung Gede. Si nenek mengerling ke arah Tua Gila yang sempat terbelalak ketika mengetahui kekasihnya di masa muda itu berada di tempat itu. Kalau para tokoh di kaki buki sebelah timur heran-heran maka musuh mereka yang ada di bukit sebelah barat tampak berusaha menekan rasa kecut yang menimpa diri mereka. Si Muka Bangkai cepat-cepat membisiki muridnya.<br />"Pangeran, keadaan tidak menguntungkan bagi kita. Tujuh dari Delapan Tokoh Kembar telah menemui ajal<br />Jumlah lawan terlalu banyak untuk kita hadapi. Dewa Ketawa, Dewa Sedih, Kakek Segala dan Bujang Gila Tapak Sakti masih belum turun Tangan . Belum lagi Sinto Gendeng yang sangat Berbahaya ini. Bagaimana kalau kita tinggalkan<br />saja Tempat ini. Aku akan mengatur siasat agar kita bisa Melarikan diri dengan selamat."<br />Rahang Pangeran Matahari nampak menggembung. Wajahnya membersitkan kecongkakan dan Kelicikan serta segala akal. Yakin akan kehebatan Kitab Wasiat lblis yang berada di tangannya dia menjawab.<br />"Guru, jika kau mau kabur silahkan saja, Aku Pangerang matahari raja diraja dunia persilatan tidak akan pergi dari sini! Mereka akan kuhabisi satu persatu! Hari ini juga! Hari sepuluh bulan sepuluhl"<br />Sang Pangeran lalu usapdadanya di mana tersimpan Kitab Wasiat Iblis. Mendengar kata-kata muridnya itu walau hatinya jerih tapi Si Muka Bangkai terpaksa tetap berada di tempat itu.<br />"Pandan Arum! Kau harus berani mengatakan siapa yang telah menghamilimu! Aku akan ikut merobek-robek manusia jahanam itu!"<br />Tiba-tiba ada seseorang berteriak disertai satu bayangan biru dan menebamya bau sangat wangi. Paras gadis berbaju biru yang dipanggil dengan nama Pandan Arum menjadi pucat pasi. Tuhuhnya terasa lunglai dan dia tersandar ke dinding batu karang di belakangnya seraya menatap pada seorang<br />gadis yang berpakaian biru dan memiliki ciri-ciri sangat sama dcngan dirinya! Baik wajah, sosok tubuh, wama kulit dan wama rambut maupun pakaian dan wewangian yang dipakainya! Hal ini membuat semua orang yang ada di tempat itu jadi terbelalak!<br />"Ooo ... la-la! Apa yang terjadi?!" seru Tua Gila.<br />"Mengapa sekarang jadi dua?! Dari mana datangnya?"<br />"Kembarannya atau jejadiannya yang muncul ini?!" teriak Dewa Ketawa lalu gelak mengakak. Sauda-ranya si Dewa Sedih tampak cemberut lalu mulai sesenggukan dan menangis.<br />Bujang Gila Tapak Sakti sambil berkipas-kipas berkata. "Ah, aku dikasih yang mana saja akan kuterima! Ha ... ha ... ha!"<br />Bagaimana herannya semua orang yang ada disitu termasuk Pangeran Matahari sendiri, yang paling terkejut adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Sepasang matanya melotot tak berkesip.<br />"Benar-benar ada dua. Berarti gadis yang kutemui di rumah makan itu adalah yang barusan datang ini. Bidadari Angin Timur yang asli. Tapi ...!"<br />Wiro garuk-garuk kepala. "Bagaimana aku benar- Benar bisa memastikan yang mana yang aslil" Selagi kesunyian masih mencengkam di tempat Itu tiba-tiba gadis yang barusan datang berkata Dengan suara lantang.<br />"Kalian semua dengar Aku dan gadis ini adalah Dua saudara kembar. Aku kakaknya dia adikku! Perjalanan hidup telah membuat nasibnya tersesat Dan terhina karena jatuh ke tangan Pangeran Matahari !” si gadis berpaling pada adik kembamya Ialu Berkata "Katakan pada orang-orang ini! Siapa yang Telah menghamilimu! Jangan berani dusta! Jangan Berusaha memfitnah!"<br />Perlahan-lahan gadis yang disebut dengan Nama Pandan Arum itu bergerak dari batu karang Tempatnya tegak bersandar. Kalau tadi tubuhnya terasa lemah lunglai kini dia seolah mendapat satu kekuatan hebat. Keberaniannya menggelegak. Sepasang matanya berkilat-kilat. Dia maju beberapa langkah.wajahnya yang cantik jelita merah menge-lam. Air mukanya menjadi sangat menakutkan.<br />Pandangan matanya diarahkan tak berkesip pada Pendekar 212 Wiro Sableng.<br />“Dia telah menghamiliku!" teriak Pandan arum Lantang hingga semua orang yang ada di tempat itu mendengar jelas. Si gadis memandang<br />menyorot pada Wiro membuat semua orang jadi geram memperhatikan murid Sinto Gendeng itu. Namun tangan kirinya yang diacungkan menunjuk tepat-tepat pada Pangeran Matahari.<br />"Manusia bejat! Tak cukup kau menipu dan memperbudak adikku, Kau juga merampas kehormatannya'” teriak gadis berbaju biru di samping Pandan Arum yang tentunya bagi Wiro kini jelas adalah Bidadari Angin Timur yang asli.<br />Pangeran Matahari mendongak ke langit. Dia keluarkan suara tawa panjang. Sadar kalau tipu muslihatnya terhadap Pendekar 212 tidak mempan bahkan sudah terbongkar maka dia pun menjawab. "Adikmu suka padaku Dla memberikan segala-galanya dengan ikhlas! Siapa yang berani menyalahkan diriku? Ha ... ha... ha ... I"<br />"Manusia setan, iblis dajall terima kematianmul" teriak Pandan Arum. Lalu dengan nekad gadls Ini melompat ke depan seraya menghantamkan kedua tangan, sekaligus melepas due pukulan "Pedang kilat biru”<br />“Pandan arum , jangan!” seru bidadari angin timur. Wiro pun berusaha mencegah, tapi terlambat. Dari balik dad pangeran matahari menderu sinar hitam mengidikan, itulah kesaktian yang keluar dari kitab wasiat iblis bilamana pangeran matahari diserang!.<br />Satu jeritan mengenaskan keluar dari mulut Pandan Arum. Tubuhnya terlempar<br />beberapa tombak dan terkapar di pasir dalam keadaan hanya tinggal tulang belulang dan hangus!.<br />Bidadari Angin Timur meraung keras. Dalam kalapnya dia segera hendak menyerbu Pangeran matahari . Wiro yang melihat bahaya segera melom-<br />pat dan merangkul tubuh gadis itu. Keduanya berguling-guling di pasir.<br />"Lepaskanl"<br />"Bidadari angin Timur ... ."<br />"Kalau kau tidak melepaskan diriku akan kubunuh!"<br />"bidadari Angin Timur, aku mencintaimul Aku tak ingin<br />kau celaka. ... Manusia jahat itu biar aku yang nienghadapinya," kata Wiro. Pandangan matanya melekat tajam ke mata si gadis. Dada bidadari Angin Timur seperti menggemuruh. Suara Isakannya terdengar perlahan.<br />"Cari tempat yang Baik , nanti kita bicara ..." bisik Wiro sambil membelai Rambut pirang si gadis. Walau hal mesra ini Terjadi begitu cepat namun tidak lepas dari perhatian ratu Duyung. Sang Ratu merasa hatinya Seperti disayat sembilu dan palingkan wajahnya ke Arah laut.<br />Sekali lompat saja Pendekar 212 sudah berdiri tiga langkah dari hadapan Pangeran Matahari<br />disambut oleh sang Pangeran dengan seringai mengejek.<br />"Dosamu setinggi gunung sedalam lautanl Hari ini tamat riwayatmul Walau kau punya nyawa rangkap kau tak bakal lolos dari kematianl"<br />Pangeran Matahari sunggingkan seringai mengejek ”<br />"Pendekar 2121 Rupanya kau bersahabat dengan malaikat maut hingga tahu kapan aku akan menemui ajal! Ha. .. ha. .. ha!”<br />"Iblis keji! Pelacur lelaki! “hardik Wiro. "Kembalikan padaku Kapak Naga Geni 212 dan batu mustika pasangannyal"<br />Tampang Pangeran Matahari lampak semerah saga. Seumur hidupnya baru sekali itu dia dimaki orang dengan sebutan pelacur lelaki. "Mulutmu keji amatl Agaknya gurumu si nenek keling itu tidak pernah mengajarkan sopan santunl"<br />Mendengar Eyang Sinto Gendeng dihina begitu rupa Pendekar 212 hampir meledak kemarahannya. Namun ingat kehebatan Kitab Wasiat lblis yang dimiliki lawan maka dia segera menekan amarahnya dan menjawab. "Kabamya kau punya ilmu hebat. Coba perlihatkan padaku barang sejurus dua jurus!" Pangeran Matahari kembali sunggingkan seringai mengejek. "Murid nenek sinting dari gunung Gede ini temyata hanya pandai omong, tapi tak berani menyerangl"<br />Walau hatinya terbakar mendengar kata-kata musuh besamya itu namun Wiro tak sampai terpancing Sadar kalau lawan tak bisa dijebak maka Pangeran Matahari lantas berkata.<br />"Pendekar 212 kau dengar tawaranku. Aku akan mengembalikan kapak dan batu sakti ini padamu. Sebagai imbalan serahkan padaku Kitab Putih Wasiat<br />Dewa ...."<br />"Pangeran bejat! Kitab itu tak ada padanya. Tapi padaku!" satu suara menjawabi ucapan Pangeran Matahari. Ketika sang Pangeran mengangkat kepala dia menjadi kaget. Yang bicara adalah Sinto Gendeng.<br />Di tangannya dia memegang sebuah kitab terbuat dari daun lontar yang dilambai-lambaikannya sambil tertawa terangguk-angguk. Wiro terheran-heran dan tidak habis mengerti bagaimana Kitab putih wasiat Dewa itu bisa berada di tangan gurunya.<br />Pangeran Matahari sendiri menggeram dalam hati. ''Kurang ajar! Jadi kitab yang kucari itu ada padanya!"<br />Iotaknya mulai bekerja untuk mencari akal bagaimana<br />Agar dia segera dapat menguasai kitab tersebut Namun memandang berkeliling dia menjadi kaget karena tempat itu telah dikelilingi oleh musuh Hingga dia dan gurunya terkurung di tengah-tengah.<br />SEBELAS<br />UNTUK menyembunyikan rasa jerihnya Pangeran Matahari keluarkan tawa panjang. "Kalian manusia-manusia hebat tapi temyata pengecut! Silahkan menyerang diriku beramai ramai ... I"<br />Tua Gila tertawa mengekeh. "Kau hadapi Pendekar 212 satu lawan satu. Kami ingin berbincang bincang dengan gurumu Si Muka Bangkai!"<br />lblis Pemabuk tiba-tiba tegak seolah menghadang di hadapan Tua Gila. "Kalian hendak main keroyok?” bentaknya. "Jangan melakukan apa yang jadi pantangan lblis Pemabukl" "Siapa mau main keroyokl Tindakan pengecut itu bukan kau saja yang tidak menyukainya. Kami pun berpantangl Padahal dengan biang dajal seperti dia perlu apa memakai segala peradatan!" jawab Tua Gila.<br />Lalu orang tua ini berkelebat menarik tangan Si Muka Bangkai. Tentu saja kekak bungkuk ini tidak tinggal diam. Secepat kilat dia menghantam ke arah kepala Tua Gila.<br />"Bukkkl"<br />Satu tangan menangkis pukulan Si Muka Bangkai. Temyata yang menangkis adalah Dewa Ketawa. Di sampingnya Dewa Sedih maju pula merangsak. "Muka Bangkai..!' kata Dewa Ketawa sambil teriawa lebar. "Kami berdua belum berbuat pahala! Kau boleh memilih antara aku atau kakakku untuk jadi lawanmu!"<br />Dewa Sedih yang ada di samping Dewa Ketawa langsung saja keluarkan ratapan tinggi. Untuk bebe-rapa lamanya Si Muka Bangkai terdiam tak bisa menjawab. Walau die memiliki kepandaian tinggi namun siapa saja dari dua orang tua aneh itu bukanlah lawan enteng.<br />Di samping kiri tiba-tiba terdengar suara cekikikan. "Si Muka Bangkai mungkin sungkan, mungkin juga jijik menghadapi orang-orang tidak waras seperti kalian. Biar aku yang menantangnyal Dia sudah cukup lama membuat susah orang-orang persilatan. Dia juga yang ikut-ikutan jadi biang racun menyusahkan muridkul"<br />Si Muka Bangkai cepat menekan rasa terkejutnya ketika melihat yang barusan bicara adalah Sinto Gendeng, nenek sakti dari gunung Gede yang adalah guru Pendekar 212. Merupakan satu tokoh rimba persilatan yang sulit dijajagi ilmu kepandaiannya<br />"Muka Bangkai, aku sedih .... Aku sedih tak bisa menolongmul" kata Dewa Sedih pula lalu meratap<br />keras. "Di atas sana aku melihat pintu neraka sudah dibukakan untukmu! Aku melihat teman-temanmu sudah menunggu. Makhluk Pembawa Bala .... Ada Tiga Bayangan Setan dan konconya sl Elang Setan.<br />Ada para Tokoh Kembar Banyak lagi ... Uhhh ... ngerinyal Aku sedih .... Aku sedihl Hik ... hik ... hik!"<br />"Kalian jahanam semua teriak si Muka Bangkai.” Dia memukul ke arah Dewa Sedih. Sebenamya Si Muka Bangkai berlaku cerdik. Saat itu setelah Sinto Gendeng muncul, jika dia boleh memilih maka lebih baik menghadapi Dewa Sedih atau Dewa Ketawa ketimbang Sinto Gendeng. Ternyata Dewa Sedih sudah dapat membaca apa yang ada di benak guru Pangeran Matahari itu. Dengan cepat dia mengelak lalu meraung keras.<br />"Aku sedih, bukan aku yang ingin berkelahi mengapa aku yang hendak digebuk! Hik... hik... hik! Aku lak mau berkelahi! Aku ingin menangis aja! Hikk ... hik ... hikl Muka Bangkai lawanmu Sinto Gendeng, bukan akul"<br />Si Muka Bangkai kertakkan rahang. Ketika Sinto Gendeng menggebrak ke arahnya maka dia tak bisa berbuat lain daripada langsung mendahului menyergap dengan serangan ganas.<br />"Bukkk!"<br />Jotosan keras yang dilepaskan Si Muka Bangkai mendarat di perut lawan. Tapi bukan perut Sinto Gendeng melainkan perut seorang lelaki gendut berpakaian sempit terbalik den berkopiah kupluk!<br />"Gajah buntingl" teriak Wiro. "Apa yang kau lakukan?l Mengapa menyelak di tengah pertempuranl"<br />Si gendut ini yang bukan lain adalah Bujang Gila Tapak Sakti adanya tenang-tenang saja menerima pukulan yang bisa menjebol tembok batu itu, seoiah dia barusan diusap saja! Dia kedipkan mata pada Pendekar 212 lalu tanpa perdulikan Si Muka Bangkai di hadapannya, sambil mengelus perutnya yang barusan dipukul. Bujang Gila Tapak Sakti menjura pada Sinto Gendeng.<br />"Nenek sakti benama Sinto Gendeng. Jauh-jauh aku datang kalau hanya untuk menggotong Si Raja Penidur rasanya kurang afdol kalau tidak diberi kesempatan melawan musuh barang sejurus dua jurus. Karenanya aku harap kau berjiwa besar mau membenkan kesempatan padaku untuk menghadapi ikan lele bungkuk calon mayat bergelar Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat ini!"<br />"Jahanaml Berani kau menghina guruku!" teriak Pangeran Matahari sambil membuat gerakan hendak meryerang Bujang Gila Tapak Sakti. Tapi<br />sang guru cepat menahannya. Sambil tertawa mengekeh Si Muka Mayat berkata.<br />"Ada kerbau bengkak mencari mampusl Apa sulitnya bagi kita memenuhi keinginannya?!" Si Muka Bangkai merasa telah berlaku cerdik sengaja menantang 8ujang Gila Tapak Sakti karena sekarang dia meng-inggap jauh lebih baik melawan si gendut ini daripada menghadapi Sinto Gendeng.<br />"Sinto Gendeng, Rupanya ada orang yang tahu kalau ilmumu sangat cetek untuk menghadapiku, Kau harus berterima kasih pada si gendut ini yang telah menolongmu dari kehilangan muka, Jadi tidak sampai membuat kehilangan jiwa Ha ... ha. .. ha!"<br />Sinto Gendeng tertawa melengking mendengar ucapan guru Pangeran Matahari itu. "Aku tahu, sebenarnya kau jerih menghadapiku, sengaja memilih<br />musuh bayi bongsor ini! Hemm... silahkanl Silahkan Bujang Gila Tapak Sakti, ada orang hendak mengajakmu bermain-main, harap kau suka mela-yaninyal"<br />"Betul, betul! Hayo kau layani keponakanku itu!" teriak Dewa Ketawa lalu tertawa gelak-gelak. Dewa Sedih keluarkan tangisan pendek lalu menimpali. "Dia keponakanku jugal Hik ... hik ... hik!"<br />Kagetlah Si Muka Mayat dan juga Pangeran Matahari mendengar ucapan dua orang kakek aneh itu. "Jika si gemuk ini adalah keponakan dua kakek sinting itu berarti dia memiliki tingkat kepandaian sukar dijajagi! Ah, aku sudah salah memilih lawan. Tapi aku tak bisa mundurl Sialan! Jahanam betul!"<br />Bujang Gila Tapak Sakti rapikan kopiah hitamnya yang kupluk.<br />"Srettl"<br />Dia mengembangkan kipas kertasnya di bawah dagu. Tubuhnya dibungkukkan sedikit. Pantatnya disonggengkan. Matanya dikedip-kedipkan.<br />Dia memasang kuda-kuda dengan gaya yang jelas mengejek lawan!<br />Dewa Ketawa tertawa gelakgelak. Dia berpaling pada Sinto Gendeng dan bertanya. "Sinto, menurutmu apakah hebat kuda-kuda yang dipasang keponakanku itu?"<br />"Cukup hebat sobatku Dewa Ketawa. Mungkin ini yang dinamakan kuda-kuda kerbau bunting siap melahirkan anakl"<br />Ledakan tawa para tokoh silat golongan putih menggetarkan tempat itu. Tampang Si Muka Mayat dan Pangeran Matahari menggembung merah mengelam.<br />"lkan lele bungkuk! Majulah! Silahkan kau cari bagian tubuhku yang empuk! Tapi awas! Jangan kau berani memukul perut atau merogo selangkanganku Nanti bayiku benar-benar berojol! Ha ... ha ... ha!"<br />Kembali tempat itu dibuncah oleh gelak tawa. Si Muka Mayat yang tidak dapat lagi menahan marahnya membentak garang.Tubuhnya yang bung-kuk melesat ke depan. Dua jotosan susu! Menyusul dengan tendangan kaki kanan. Setiap serangan mengeluarkan sinar hitam. Jotosan atau tendangan belum mendekati sasaran namun sinar hiiam sudah menderu lebih dulu.<br />"Jurus Tiga Bangkai bangkil dari Kubur! Apa hebatnyal" kata Bujang Gila Tapak Sakti menyebut jurus yang dimainkan lawan. Bukan saja Si Muka Bangkai tapi Pangeran Matahari pun kaget luar biasa mendengar ucapan Bujanq Gila Tapak Sakti.<br />"Heran! Bagaimana jahanam gendut ini tahu jurus serangan yang aku mainkan" kertak Si Muka Rongkai dalam hati. Penasaran dia lipat gandakan tenaga dalamnya. Tiga larik sinar hitam tampak mencuat lebih terang.<br />Semua orang menahan nafas. Serangan Si Muka Bangkai sudah begitu dekat siap untuk menghantam tubuhnya tapi Bujang Gila Tapak Sakti masih saja cengangas-cengenges.<br />Tiba-tiba si gendut itu kibaskan kipas kertasnyal<br />"W utt...!"<br />Selarik sinar putih menebar melengkung.<br />"Drett ... dre tt... drett!"<br />Seperti sebilah pedang sinar putih yang menyambar keluar dari kipas di tangan Bujang Gila Tapak Sakti menabas tiga larik sinar serangan, mengeluarkan suara benturan keras tiga kali berturut- turut!<br />Si Muka Bangkai merasa seolah ada air bah menghantam tubuhnya. Kalau dia tidak lekas membuang diri ke samping dan berjungkir balik niscaya tubuhnya akan terjengkang di pasir! Kakek bungkuk ini marah sekali. Seumur hidup baru kali itu serangannya dipatahkan lawan secara mudah. Dari mulutnya keluar suara menggembor. Sepasang matanya laksana mau melompat dari rongga cekung di muka tengkoraknya. Tubuhnya yang bungkuk semakin menekuk ke bawah. Ketika lututnya hampir<br />bersatu dengan betis tiba-tiba tubuh Si Muka Bangkai<br />berputar laksana gasing. Lalu<br />"desss!"<br />Seolah membal tubuh itu melesat ke atas. Bujang GilaTapak Sakti yang mengira akan mendapat serangan dari depan tertipu. Baru saja dia mendongak untuk menjajagi di mana lawan berada, tubuh si kakek telah menukik deras laksana elang menyambar. Dua tangannya didorongkan ke depan.<br />Bujang Gila Tapak Sakti hanya melihat dua kilauan cahaya hitam. Tahu-tahu sepasang tinju Si Muka Bangkai sudah berada di depan hidungnya Guru Pangeran Matahari telah mengeluarkan jurus hebat bemama "Mayat Bangkit Dari Kubut"!<br />"Wuuttt"<br />Bujang Gila Tapak Sakti kibaskan kipas kertasnva.<br />"Bukl Bukl"<br />Kipas kertas beradu dengan dua lengan Si muka Bangkai. Kakek ini terpekik kesakitan. Sambil me lompat mundur dia hantamkan tumitnya ke dada, lawan.<br />"Breetttl"<br />Bujang Gila Tapak Sakti menggeram marah ketika dapatkan kipas kertasnya robek besar. Tiga batang kayu kecil penyanggah kipas patahl Selagi dia dilanda amarah begitu rupa kaki kanan Si Muka Bangkai mendarat di dadanya.<br />Tubuh gendut ratusan kati itu terhuyung sesaat lalu roboh ke pasir! Dewa Sedih keluarkan raungan keras. Dewa Ketawa membwka mulut lebar-lebar tapi tidak ada suara ketawa keluar dari mulut itu! Para tokoh silat golongan putih tampak tercekat. Untuk beberapa lamanya Bujang Gila Tapak Sakti terhampar di pasir tanpa bergerak membuat semua orang jadi cemas.<br />Saat itu tiba-tiba Pangeran Matahari berkelebat, kirimkan tendangan ke kepala Bujang Gila Tapak Sakti!<br />"Nah ... nah! Guru dan murid mulai licik!" Eyang Sinto Gendeng berteriak. Dari balik pakaian rombengnya dia keluarkan sebatang tongkat kayu butut. Tongkat itu dilemparkannya ke depan Pangeran Matahari yang tengah menyerang. Saat itu juga dari dada sang Pangeran melesat keluar satu sinar hitam menggidikkan. Hawa panas menyungkup tempat itu.<br />Tongkat kayu butut hancur berkeping-keping, berubah menjadi asap hitam dan akhimya lenyap Pedataran pasir yang kena hantam pukulan sakti yang memancar dari Kitab Wasiat Iblis, berlobang hitam selebar dua tombak dan terbongkar sampai setengah tombak. Pasir beterbangan ke udara menutupi pemandangan. Ketika pasir surut sosok gemuk Bujang Gila Tapak Sakti tak ada lagi ditempat semula.<br />Sekonyong-konyong terdengar bentakan-bentakan marah Si Muka Bangkal. Ketika semua orang berpaling ke arah kanan terlihat bagaimana sosok gemuk Bujang Gila Tapak Sakti melangkah mendorong si kakek bungkuk, memaksanya mundur<br />menaiki bukit karang. Sambil mundur Si Muka Bangkai hantamkan tinjunya kiri kanan ke perut dan dada Bujang Gila Tapak Sakti. Tapi seperti tidak merasakan pemuda gemuk itu terus saja<br />merangsak maju hingga Si Muka Bangkai dibuat mundur terus terusan sampai ke atas bukit.<br />Melihat gurunya diperlakukan seolah dipermainkan begitu rupa Pangeran Matahari segera hendak berkelebat membantu.<br />"lblis licik! Curang cukup sekalil" Sinto Gendeng berteriak marah tapi tidak mau melakukan serangan. Dia berpaling pada muridnya.<br />"Anak setanl Musuh besarmu sudah kepingin mampus, mengapa kau masih berdiam diri?l"<br />Mendengar ucapan gurunya Pendekar 212 cepat berkelebat ke hadapan Pangeran Matahari. Sang Pangeran mendongak lalu tertawa mengakak.<br />"Hari sepuluh bulan sepuluh Hari bersejarah bagi dunia persilatan Hari ini sudah ditakdirkan tamatnya riwayat Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng! Ha ... ha ... ha Gurumu memanggilmu Anak Setanl Aku lebih suka memanggilmu Anak Anjing! Ha ... ha... ha ... l Anak Anjing ayo serang dirikul Cari bagian yang kau sukai...Dihina dengan sebutan Anak Anjing sama sekali tidak membuat murid Sinto Gendeng terpancing untuk menyerang. Malah sambil bertolak pinggang dia tertawa bergelak. Puas tertawa dia berkata dengan suara keras.<br />"Pangeran Matahari, kalau kau memanggil aku Anak Anjing tentunya kau merasa sebagai Bapak Anjing! Ha ... ha ... hal Nah Bapak Anjing, mengapa kau tidak segera memberi pelajaran pada Anak Anjing?”<br />Gelap kelam tampang Pangeran Matahari. Rahangnya menggembung. Pelipisnya kiri kanan bergerakgerak.<br />"Manusia tidak tahu diril Apa kau kira ada jalan selamat bagimu saat ini?l" Wiro menyeringai. "Dalam Kitab Putih Wasiat Dewa ada kalimat berbunyi Mana ada jalan selamat kalau bukannya jalan Tuhan?!"<br />"Hemmm .. Begitu?l" Pangeran Matahari sunggingkan senyum mengejek.<br />"Bagiku jalan selamat adalah jalanmu menuju neraka! Sebelum kutunjukkan jalan itu aku kembali ajukan tawaran padamu. Kapak sakti dan batu mustikamu ada padaku! Aku mau-mau saja menyerahkan dua senjata itu dengan - satu syarat Serahkan padaku Kitab Putih Wasiat Dewal"<br />Wiro kembali tertawa bergelak. "Pangeran Matahari,<br />seumur-umur mungkin mimpimu untuk mendapatkan kitab sakti itu tak bakal kesampaian. Biar aku memberitahukan saja padamu ada bait-bait dalam Kitab Putih Wasiat Dewa berbunyi begini. Musuh manusia yang ke dua adalah yang datang dari dalam, yaitu dirinya sendiri .... Semuanya berpangkal pada lupa diri. Hanya manusia yang bertakwa dan kokoh iman yang sanggup lolos dari malapetaka ini. ... Minta tolong dan minta ampun hanya pada Yang Satu ...."<br />Sesaat mulut Pangeran Matahari tampak komat-kamit. "Aku tidak tahu sejak kapan kau menjadi seorang penyairl Tapi orang yang mau mampus biasanya memang suka berbuat anehl" Habis berkata begitu Pangeran Matahari meludah ke tanah lalu tertawa terbahak-bahak.<br />Di hadapannya Pendekar 212 malah unjukkan sikap aneh. Dia membuka mulutnya lebar-lebar dan menguap berulang kali. "Lama-lama aku mengantuk melihat sikapmu Pangeran Matahari! Katanya kau mau jadi raja diraja dunia persilatan. Tapi kulihat bisanya kau hanya tertawa melulu! Lama-lama kau bisa dijuluki Si Raja Badut! Itu lebih baik dari Pelacur Lelaki yang kubilang tadil"<br />Dewa Ketawa gelak mengekeh. Dewa Sedih menggerung sedang para tokoh silat golongan putih lainnya keluarkan senyum bergumam. Panas telinga Pangeran Matahari mendengar ejekan itu.<br />"Pendekar banci! Aku yakin kau terlalu pengecut untuk memulai perkelahian Takut menyerangku! Biar aku membuka pintu akhirat untukmu dengan jurus pertamal" Habis berkata begitu Pangeran Matahari menyergap ke depan, lancarkan satu serangan tangan kosong.<br />Oooooooo00000000000ooooooo<br />DUA BELAS<br />KITA kembali dulu pada perkelahian antara Bujang Gila Tapak Sakti dengan Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat. Semakin hebat dia didesak ke atas bukit semakin bertubi-tubi pukulan yang dilancarkan Si Muka Bangkai ke tubuh lawannya. Namun Bujang Gila Tapak Sakti tidak bergeming sedikit pun.<br />Sekujur tubuh si kakek telah basah kuyup oleh keringat. Kekuatannya lambat laun terasa seperti terkuras. Tepat di lereng bukit batu karang orang tua Ini tertatih-tatih kehabisan nafas. Pada saat itulah Bujang Gila Tapak Sakti pergunakan kedua tangannya mendekap kepala Si Muka Bangkai. Semula semua orang termasuk Si Muka Bangkai sendiri mengira Bujang Gila Tapak Sakti akan memuntir putus lehemya. Namun apa yang terjadi kemudian membuat semua orang terheran-heran kecuali Dewa Ketawa yang adalah paman Bujang Gila Tapak Sakti.<br />Dari kepala Si Muka Bangkai yang didekap Bujang Gila Tapak Sakti tampak keluar kepulan asap. Sekujur tubuh si kakek bergetar hebat.<br />Kepalanya terasa dingin seolah dipendam ke dalam lobang es. Rasa dingin ini menjalar ke sekujur tubuhnya. Dia berusaha meronta melepaskan diri. Namun hawa dingin membuat dia sulit menggerakkan kedua tangannya.<br />Tangan-tangan itu temyata telah tegang. Menyusul badan dan kedua kakinya menjadi kaku. Kepulan asap semakin menjadi-jadi. Udara di sekitar situ terasa dingin sekali. Rahang Si Muka Bangkai berderak-derak. Matanya yang cekung berputar liar. Setiap dia menghembuskan nafas tampak asap dingin mengepul keluar dari lobang hidung dan mulutnya. Orang tua ini kelihatan seperti hendak berteriak. Namun lidahnya terasa kelu!<br />Bujang Gila Tapak Sakti telah menghantam Si Muka Bangkai dengan ilmu kesaktian yang mengeluarkan Hawa sangat dingin. Hanya selang beberapa lama sekujur tubuh kakek bungkuk itu telah putih kaku dari kepala sampai ke kaki. Dari hidung, telinga, mulut dan kedua matanya yang cekung mengalir darah kental Bujang Gila Tapak Sakti lepaskan ke dua tangannya dari kepala Si Muka Bangkai yang telah jadi mayat kaku. Dia rapikan kopiah kupluk di atas kepalanya lalu dengan tenang menuruni bukit karang di sebelah barat itu dan sengaja melangkah mendekati Pangeran Matahari. Dari belakang ditepuknya bahu sang Pangeran yang saat itu siap hendak menyerang Wiro. Begitu<br />Pangeran Matahari melangkah mundur dan berpaling dia tertawa lebar dan menunjuk ke lereng bukit sebelah barat.<br />"Gurumu berpesan, kalau kau menyusulnya ke neraka jangan lupa membawa selimut tebal. Katanya di sana dingin sekali!”<br />Pangeran Matahari terkejut besar. "Kau apakan guruku?” terlaknya menggeledek.<br />Tenang saja Bulang Gila Tapak Sakti menjawab. "Aku tidak mengapa-apakannya. Hanya merubahnya menjadi mayat kaku diberl esl"<br />"Guru!!"<br />teriak Pangeran Matahari. Dla hendak menghambur ke lereng bukit tapi dengan gerakan enteng si gendut Bujang Gila Tapak Sakti menggaet kaki kanannya. Kalau tidak cepat mengimbangi diri niscaya sang Pangeran sudah jatuh berkelukuran Saking marahnya Pangeran Matahari melupakan gurunya dan berbalik menyerang Bujang Gila Tapak Sakti. Yang diserang jatuhkan diri lalu hampir tak dapat dipercaya tubuhnya yang gendut luar biasa itu sengaja digelindungkannya di bukit batu karang itu.<br />"Pendekar 212 harap kau mau sedikit berbaik hati pada Pangeran Matahari. Dia sedang berduka barusan kematian gurunya. Kalau kau bunuh dia harap wajah dan tubuhnya tidak dirusak agar di<br />akhirat Si Muka Bangkai masih mampu mengenali muridnya itu!"<br />Bujang Gila Tapak Sakti tertawa gelak-gelak. Dewa Ketawa, lblis Pemabuktak ketinggalan sedang Kakek Segala Tahu setelah begitu lama berdiam diri kini kerontangkan kaleng rombengnya Amarah Pangeran Matahari tidak terperikan. Dia melompat ke hadapan Wiro dan Bujang Gila Tapak Sakti.<br />"Kalian berdua aku sendiril Apa kalian kira aku takut?!"<br />Maka Pangeran Matahari berkelebat memulai serangan. Sebenamya dia ingin menghabisi Bujang Gila Tapak Sakti yang telah membunuh gurunya saat itu juga. Namun Pendekar 212 menghadang di depannya. Segala kemarahan ditumpahkannya pada murid Sinto Gendeng. Dia membuka serangan dengan melepas pukulan Gerhana Matahari. Udara di<br />tempat itu mendadak seolah menjadi redup. Dari tangan kanannya melesat dengan ganas sinar hitam, merah dan kuningl Selagi Wiro berkelit selamatkan diri Pangeran Matahari cabut Kapak Maut Naga Geni<br />212dan batu hitam pasangannya dari pinggang. Lalu dengan mengerahkan tenaga dalam penuh dia menyerbu murid Sinto Gendeng.<br />Dua mata kapak mengeluarkan sinar panas berkilauan. Suaranya menggemuruh. Pasir teluk beterbangan. Salah atau terlambat sedikit<br />Pendekar 212 membuat gerakan tak ampun senjata mustika miliknya sendiri akan menjadi tuan pembunuhnya! Sadar akan kehebatan Kiiab Wasiat lblis yang ada di balik pakaian Pangeran Matahari, Wiro tidak berani melakukan serangan balasan. Berkat aliran kekuatan aneh yang memancar dari tubuh harimau putih Datuk Rao-Bamato Hijau Wiro kini mampu bergerak sangat cepat. Tubuhnya laksana bayang-bayang berkelebat kian kemari mengelakkan serangan Kapak Naga Geni 212 yang dilancarkan Pangeran Matahari. Wiro sengaja keluarkan ilmu silat orang gila yang dipelajarinya dari Tua Gila. Tua Gila sendiri terkagum-kagum melihat kehebatan ilmu silatnya yang dimainkan Wiro. Dia yakin akan sangat sulit bagi lawan untuk bisa mencelakai Wiro. Belasan jurus berlalu tanpa Pangeran Matahari berhasil menyentuh tubuhnya. Namun bagaimanapun juga Wiromenyadari bahwa dia tidak mungkin bertahan terus menerus. Apalagi saat dia ingat akan petunjuk dalam Kitab Putih Wasiat Dewa yang mengatakan: Menyerang adalah awal kekuatan sedang bertahan adalah akhir kekuatan ilmu silat. Dalam menghadapi musuh jahat, lebih dulu bertindak adalah tindakan sempuma daripada bertahan menunggu datangnya bencana.<br />Ratu Dyung dan tokoh silat golongan putih menyadari kendala yang dihadapi Pendekar 212 dalam menghadapi musuh besamya itu. Mereka tak mungkin menolong. Berarti Wiro harus mampu bertindak sendiril<br />Maka Wiro mulai berkelahi dengan cara memutari lawan. Dia berusaha mengintai kelengahan Pangeran Matahari. Serangan berputar merupakan satu-satunya serangan yang mungkin bisa membawa hasil. Namun Pangeran Matahari yang cerdik dan tahu gelagat segera melompat memunggungi dinding bukit karang. Dengan demikian Wiro tidak dapat lagi mengitarinya dan kini kembali Pangeran Mataharl melancarkan serangan dengan Kapak Maut Naga Geni 212. Serangan sang Pangeran datang tidak putus-putusnya laksana curahan air terjun.<br />Benteng pertahanan Wiro jadi jebol juga akhimya ketika Pangeran Matahari mulai menyerangnya dengan lidah api yang keluar dari mata Kapak Naga Geni 212 setiap diadu dengan batu mustika hitam. Murid Sinto Gendeng dibikin kalang kabut. Pakaian dan tubuhnya hangus di beberapa bagian. Sakitnya bukan alang kepalang. Dengan kertakkan geraham menahan sakit Wiro bertahan terus sambil memutar otak. Yang paling cemas menyaksikan koadaan Pendekar 212 saat itu adalah Ratu Duyung dan Bidadari Angin Timur. Mereka seperti jadi gatal tangan ingin membantu.<br />Jurus demi jurus berlalu cepat. Pendekar 212 terdesak hebat. Dalam satu gebrakan gencar Wiro sempat terhalang oleh gundukan tinggi batu karang di belakangnya. Sebelum dia mati langkah, Wiro segera melompat ke kiri. Pada saat<br />itu pula Kapak Maut Naga Geni 212datang berkelebat. Walau murid Sinto Gendeng ini berhasil mengelak namun ujung salah satu mata kapak masih sempat mengirls bahu kirinya. Asap mengepul dari luka di bahu itu. Tubuh Wiro serta merta diselimuti hawa panas. Goresan luka menghitam dan menggembung dengan cepat Tampang Wiro tak hentinya mengerenyit menahan sakit!<br />Di hadapannya Pangeran Matahari tertawa bergelak sambil terus putar-putar Kapak Naga Geni 212 di tangan kanan.<br />"Celakal" Baru saja Wiro mengeluh serangan lawan kembali menggempur betiubi-tubi. Di tangan Pangeran Matahari Kapak Naga Geni 212 seolah lenyap. Yang kelihatan hanya kilauan sinar putih panas disertai suara angker seperti ribuan tawon mengamuk. Dalam satu gebrakan maut Wiro terjepit di antara dua gundukan batu karang. Kapak Maut Naga Geni 212 kembali berkiblat dad arah kirinya. Dari samping kanan batu hitam miliknya datang menyambar, dijadikan senjata pemukul oleh lawan. Mengelak ke kiri tubuhnya terhalang oleh gundukan batu karang. Begitu juga jika dia selamatkan diri engan melompat ke kanan. Celah di antara dua gundukan karang terlalu sempit hingga dia tidak bisa lolos dari kejaran dua senjata miliknya sendiri yang datang menghantam.<br />Wiro membuat gerakan untuk mengelakkan sambaran Kapak Maut Naga Geni 212 lebih dulu Temyata serangan itu hanya tipuan belaka. Ketika dia baru saja menyelamatkan diri dengan memiringkan tubuh ke kanan, dari arah yang bersamaan datang menyambar batu mustika hitam! Wiro hendak menangkis. Untung dia segera ingat. Tangkisan dibatalkan untuk menghindari melesatnya sinar maut dari Kitab Wasiat lblis yang ada di balik dada pakaian Pangeran Matahari. Yang kemudian mampu dilakukannya hanyalah membuang diri ke samping. Bahu kanannya selamat dari hantaman batu hitam namun rusuknya berada dalam keadaan terbuka.<br />"Kraakkk!"<br />Ratu Duyung keluarkan pekik tertahan. Para tokoh lainnya terkesima dengan mata melotot! Ratu Duyung tahu apa yang terjadi dengan Wiro. Maka dia pun berteriak. "Wiro bertahan terus! Putar otakmu! Kau pasti bisa menemukan kelemahan lawanl"<br />"Ratu Duyung! Mengapa cuma berleriak-teriak saja dari pinggir kalangan! Lebih baik kau bergabung dan membantu Anak Anjing ini!"<br />Ratu Duyung tidak melayani ucapan Pangeran Matahari. Diamdiam dia berdoa agar Wiro mampu memecahkan kelemahan lawan. Akibat hantaman batu mustika hitam tadi salah satu tulang iga di sisi kanan Pendekar 212 melesak<br />patah. Sakitnya bukan kepalang. Seumur hidup baru<br />sekali ini Wiro merasa sakit begitu rupa hingga keringat dingin memercik di sekujur tubuhnya!<br />Pangeran Matahari tertawa lebar. "Pendekar 212, sayang sekali kau harus mati secara pengecut Sama sekali tidak berani balas menyerang!<br />Wiro kertakkan geraham. Dia terpaksa mengalirkan sebagian tenaga dalamnya ke bagian yang cidera. Nafasnya terasa sesak. Gerakannya menjadi agak lamban. "Gila Aku harus bertahan mati-matian, Aku harus menemukan cara menghadapi Pangeran keparat ini! Kalau tidak cepat atau lambat dia pasti akan membantaiku!" Wiro tidak mengkhawatirkan tulang iganya yang patah. Yang ditakutkannya adalah racun Kapak Maut Naga Geni 212 yang melukai bahunya sebelah kiri. Tubuhnya sudah terasa panas tanda racun senjata itu mulai bekerja.<br />Setelah hampir enam puluh jurus baku hantam murid Sinto Gendeng mulai mendapatkan akal, menemukan<br />cara terbaik menghadapi musuh besamya itu sekaligus menghindari sinar hitam mematikan melesat keluar dari Kitab Wasiat Iblis.<br />Wiro yakin sinar hitam mematikan yang keluar dari Kitab Wasiat lblis yang ada di dada Pangeran<br />Matahari tidak akan keluar terus menerus seperti air yang mengucur. Berarti bagaimanapun singkatnya ada sedikit waktu antara semburan sinar pertama dengan semburan berikutnya.<br />"Pangeran Matahari, apakah kau tidak ingin cepat-cepat menemui gurumu di akhirat?!" Wiro berseru lalu tertawa mengejek.<br />"Pendekar jahanaml Apa kau kira aku bisa terpancing<br />dengan akal bulusmu itul" Sang Pangeran menyahuti walau hatinya panas.<br />"Kau sudah terluka Ajalmu hanya tinggal menunggu waktul" Lalu kembali Pangeran Matahari kiblatkan Kapak Maut Naga Geni 212. Serangannya lebih dipercepat disertai tipuan-tipuan mematikan! Hebatnya dalam keadaan masih memegang batu hitam di tangan kiri, dengan tangan yang sama dia mampu melepaskan dua pukulan sakti berturut-turut yaitu pukulan "Gerhana Matahari" dan "Merapi Meletus".<br />Teluk Penanjung laksana dihantam gempa. Dua letusan keras menggelegar. Ditambah berkiblatnya alnar menyilaukan disertai menghampamya hawa panas luar biasa. Murid Sinto Gendeng secepat kilat melompat dan berlindung di balik satu gundukan besar batu karang. Dari sini untuk pertama kalinya dia lancarkan serangan dengan pukulan Sinar Matahari.<br />Pada saat itu juga dari dada sang Pangeran melesat keluar sinar hitam menggidikkan. Sinar putih dan sinar hitam beradu dahsyat di udara. Kembali teluk Penanjung di Pangandaran itu seperti diguncang gempa dan topan prahara. Batu karang tempat Wiro bersembunyi pecah berantakan dengan warna berubah menjadi kehitaman dan mengepulkan asap. Secepat kilat Pendekar 212 berkelebat ke balik batu karang yang lain. Dari sini sekali lagi dia melepas pukulan "Sinar Matahari". Ketika Kitab Wasiat lblis membalas serangan itu dengan lesatan sinar hitam, untuk kesekian kalinya teluk Penanjung bergetar hebat. Pasir beterbangan ke udara menutup pemandangan.<br />"Hemmm ..." murid Sinto Gendeng bergumam penuh arti. Kini dia telah menemukan satu akal untuk menghantam musuh besamya itu. Kali ketiga dia berkelebat, Wiro sengaja mencari batu karang<br />yang paling dekat jaraknya dengan Pangeran Matahari.<br />Didahului bentakan keras Wiro munculkan kepala dari balik batu karang lalu menghantam. Kali ini pukulan sakti itu tidak diarahkannya pada lawan tapi sengaja dihantamkan menyusur pasir teluk. Begitu sinar putih menderu, laksana disapu topan, pasir di teluk itu beterbangan ke udara. Dl depan sana sinar hitam kembali melesat dari dada sang Pangeran. Wiro hanya punya waktu singkat sekali. Selagi pemandangan tertutup pasir<br />yang beterbangan di udara Wiro kerahkan ilmu meringankan tubuhnya dan melesat ke arah Pangeran Matahari.<br />Selagi melayang di udara dia tiup tangan kanannya. Serta merta di telapak tangan Pendekar 212 muncul gambar harimau kepala putih bermata hijau. Begitu berada di atas lawandan mengira Pangeran Matahari tidak sempat melihat gerakannya Wiro langsung dorongkan telapak tangan kanannya dalam jurus keenam dari Enam Inti Kekuatan Dewa yang disebut Tangan Dewa Menjebol tanah. Yang diarah adalah kepala Pangeran Matahari.<br />Tapi temyata sang Pangeran masih sempat melihat Saat itu juga dari balik dadanya di mana tersembunyi Kitab Wasiat lblis menderu sinar hitam mematikan.<br />Kalau Wiro berseru kaget karena tak mengira lawan maslh bisa melihat gerakannya, sebaliknya Pangeran Matahari juga keluarkan seruan tertahan dan terbelalak karena tlba-tiba dia melihat kepala lawannya berubah menjadi kepala seekor harimau putih. Perubahan Ini terus berlangsung sampai ke kaki. Dl lain kejap satu sosok harimau putih mengaum keras dan seolah keluar dari tubuh Wiro, melompat ke arah Pangeran Matahari.<br />"Datuk Rao Bamato Hijaul" desis Pendekar 212 dengan lidah bergetar. Sinar hitam berkiblat menghantam harimau putih. Binatang sakti bemama Datuk Rao Bamato Hijau Ini terlempar ke belakang sejauh empat tombak.<br />Auman keras menggelegar keluar dari mulutnya. Terjadi satu hal yang hebat. Sinar hitam sakti Kitab Wasiat lblis melesat terus ke depan, berusaha menghancurkan Datuk Rao Bamato Hijau. Tetapi tidak berhasil. Hal ini membuat Pangeran Matahari terkejut besar dan kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Sebaliknya harimau putih dengan segala kesaktian yang dimilikinya berusaha bertahan. Dia bukan saja mampu menahan serangan sinar hitam yang mematikan itu malah perlahan-lahan binatang Ini mulai menyedot sinar hitam itu hingga perlahan-lahan masuk ke dalam mulutnya.<br />Tersedotnya sinar hitam Kitab Wasiat lblis membuat tubuh Pangeran Matahari ikut terbetot ke depan. Dadanya mendenyut sakit. Kitab Wasiat lblis yang terikat ke dadanya terasa bergetar. Pangeran matahari kerahkan tenaga luar dalam untuk balas menarik . Tapi gagal. Dia memaksa bertahan walau sedikit demi sedikit kedua kakinya terseret ke depan.Rasa sakit di dadanya bertambah-tambah. Dengan Mata mendelik dia melihat bagaimana harimau putih Di depannya seolah menelan sinar hitam sakti Kitab wasiat Iblis. Akibatnya tubuhnya semakin terbetot<br />ke depan. Dia coba memukul, namun tangannya seolah kaku. Kedua kakinya kembali terseret. Tubuhnya semakin dekat dengan harimau putih.<br />Ketika Pangeran Matahari berusaha bertahan habis-habisan dari sedotan harimau putih, isi dadanya seolah terbetot keluar. Dari mulutnya me<br />nyembur darah. Semakin dia bertahan semakin keras sedotan harimau putih dan semakin banyak darah yang keluar dari mulutnya. Tubuhnya saat demi saat menjadi lemas. Mukanya yang congkak memutih pucat. Dia berteriak keras ketika sinar hitam terakhir lenyap ke dalam mulut harimau putih.<br />Datuk Rao Bamato Hijau mengaum keras. Mulutnya yang bertaring besar mengerikan menyambar ke dada Pangeran Matahari.<br />"Breetttl"<br />Baju hitam sang Pangeran robek besar di bagian dada. Dia keluarkan seruan keras ketika dilihatnya Kiab Wasiat lblis miliknya kini berada dalam gigitan harimau putih bermata hijau itu. Dia berusaha merebut sambil hantamkan Kapak Maut Naga Geni 212 ke kepala Datuk Rao Bamato Hijau. Namun kapak hanya menyambar setengah jengkal di depan hidung harimau bermata hijau itu. Sebelum Pangeran Matahari menyerang den berusaha merebut kitab itu kembali, Datuk Rao Bamato Hijau seperti menyantap daging segar memasukkan Kitab Wasiat lblis ke dalam mulutnya, mengunyahnya lalu ditelan habis.<br />Pangeran Matahari berteriak seperti menggerung. Lemaslah Pangeran Matahari melihat apa yang terjadi. Walau sosok harimau putih itu lenyap seolah masuk kembali ke dalam tubuh Pendekar 212 namun manusia segala cerdik segala licik dan segala congkak itu sudah leleh nyalinya. Setelah kirimkan serangan beruntun dengan Kapak Naga Geni 212 dia memutar tubuh dan menghambur ke atas bukit karang.<br />Ini adalah satu hal yang tidak pernah diduga oleh Wiro dan semua orang yang ada di situ. Pangeran Matahari yang berkepandaian tinggi itu ketakutan dan melarikan diri!<br />*<br />* *<br />TlGA BELAS<br />PENDEKAR 212 tentu saja tidak mau melepas-kan musuh besamya ini. Apalagi sang Pangeran masih memegang Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu hitam miliknya. Sekali dia berkelebat Wiro berhasil menyusul Pangeran Matahari di ujung paling atas bukit karang yang menjorok ke laut.<br />”Buntu! ”<br />Pangeran Matahari tak bisa meneruskan larinya. Di bawah sana menghadang jurang batu karang yang dalam dan taut biru gelap.<br />"Pendekar jahanam! Aku mengadu jiwa dengan-mu Paling tidak kita sama-sama mati" teriak Pangeran Matahari lalu babatkan Kapak Maut Naga Geni 212 ke arah Wiro. Murid Sinto Gendeng cepat menghindar. Saat Itu gambar kepala harimau putih bermata hijau masih melekat di tangan Wiro. Namun setelah lawan tidak lagi memilikl Kitab Wasiat lblis yang mengeluarkan sinar hitam mematikan, Wiro merasa tidak perlu mengandalkan llmu Pukulan Harimau Dewa itu. Dia lngin menghadapi musuh besamya itu secara jantan dengan llmu yang dimiliki sebelu mnya.<br />Maka tanpa pikir panjang lagi Wiro menghantam kan tangan kanannya ke puncak bukit tempat lawannya berpijak, melepas pukulan "Dewa Topan Menggusur Gunung".<br />Pangeran matahari tidak tinggal diam. Dengan tangan kiri dia balas melepas pukulan 'Merapi meletus“. Dua pukulan saktl bertemu. Satu letusan keras menggelegar di puncak bukit karang. Batu karang tempat berpijak Pangeran Matahari hancur berantakan.<br />Untung dia cepat melompat selamatkan diri ke bagian yang lebih rendah. Namun di saat yang sama Pendekar 212 telah melesat ke bagian bukit<br />yang lebih tinggi. Dari sini murid Sinto Gendeng berkelebat ke bawah sambil keluarkan jurus "Kepala Naga Menyusup Awan" disusul "Kilat Menyambar Puncak Gunung".<br />Dalam keadaan melayang turun murid Sinto Gendeng hantamkan dua tangannya secara beruntun.<br />"Bukkkl Bukkkkl"<br />Darah muncrat dari hidung dan mulut Pangeran Matahari yang hancur dilanda jotosan tangan kiri Wiro. Pukulan tangan kanan Pendekar 212 menyusul melabrak pipinya sebelah kiri hingga tulang pipi dan rahangnya remuk, mata kiri luka parah, melesak ke dalam! Tubuhnya yang tidak punya daya kekuatan itu mencelat mental ke arah<br />jurang batu karang yang terbentang di balik bukit! Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu hitam sakti terlepas dari tangannya. ikut jatuh ke dalam jurang batu karang.<br />"Celakal" seru Wiro. Dia berusaha mengejar namun terjatuh. Dia terkapar menelungkup dengan sekujur tubuh bergetar. Dengan susah payah dia berusaha bangun. Racun Kapak Naga Geni 212 yang masuk ke dalam tubuhnya bekerja tambah keras!<br />Pada saat dua senjata mustika warisan Eyang SInto Gendeng dari gunung Gede itu melayang jatuh Ke jurang, sehelai benang putih berkilat melayang di udara. Dengan kecepatan luar biasa benang ini melibat kapak Maut Naga Geni 212 dan batu hitam sebelum kedua senjata ini jatuh masuk ke dalam jurang batu karang.<br />"Benang sutera sakti!" seru Wiro gembira. Dia sudah tahu siapa yang menolongnya, bukan lain Dewa Tuak. Begitu kapak dan batu tersentak ke arahnya dengan cepat Pendekar 212 menyam bamya. Dia berhasil memegang Kapak Naga Geni 212 dan batu hitam sakti. Lalu berpaling ke bawah.<br />Di lereng bukit dilihatnya Dewa Tuak menyeringai<br />adanva.<br />"Dewa Tuak, aku sangat berterima kasih. ..." Wiro<br />membunqkuk. Namun cidera yang dideritanya membuat dia tiba-tiba melosoh jatuh. Beberapa orang berkelebat ke atas bukit karang.<br />”Anak setan! Lekas kau telan obat pemunah racun inil" kata Sinto Gendeng lalu tanpa menunggu lebih lama sebutir benda hitam disumpalkannya ke dalam mulut Wiro.<br />"Pendekar hebat Kau terluka ya? Ha ... ha ... ha...?" Bujang Gila Tapak Sakii telah berada pula di sana sambil berkipas-kipas dengan kopiah hitamnya.<br />Lalu dengan tangan kirinya ditepuk-tepuknya sekujur tubuh Wiro. Ketika tangan yang besar dan<br />berat itu menepuk keras di bekas luka dan patahan tulang iganya, Wiro yang tak dapat menahan sakit menjerit keras. Bujang Gila Tapak Sakti tertawa bergelak. Apa yang dilakukannya tadi bukanlah satu tindakan usil belaka. Tapi sebenamya dia lelah melakukan pengobatan.<br />Sinto Gendeng mengerenyit ketika melihat luka di bahu kiri Wiro lenyap tidak berbekas. Wiro sendiri merasa dadanya lega, kekuatannya timbul kembali dan tulang iganya yang patah tidak lagi terasa sakit inilah kehebatan Bujang Gila Tapak Sakti. Memiliki kesaktian untuk mengobali orang dengan cara aneh.<br />Pendekar 212 menarik nafas dalam. Setelah selipkan kapak dan simpan batu hitamnya dia berlutut dan menengadahkan tangannya ke atas.<br />"Terima kasih Tuhan. Kau telah menolongku! Datuk Rao Bamato Hijau sahabatku, aku juga berterima kasih padamu!"<br />"Kita memang patut bersyukur! Pangeran Matahari sudah mati! Dunia persilatan selamat dari malapetaka besarl" Terdengar suara seseorang dari kaki bukit. Semua kepala menoleh ke bawah. Yang bicara temyata adalah Si Raja Penidur. Dedengkot aneh dunia persilatan ini kelihatan duduk dalam keranjang rotannya. Mengepulkan asap pipanya dua kali, menggeliat lalu berguling kembali ke dalam keranjang. Tidur lagi!<br />Mengetahui para tokoh silat temyata sudah berada di sekelilingnya. Wiro segera pula menghaturkan terima kasih atas semua bantuan mereka. Lalu sang Pendekar jatuhkan diri di depan Sinto Gendeng.<br />"Eyang, harap maafkan kalau muridmu ini telah membuatmu susah. Aku mengaku terus terang telah banyak berbuat salah! Terima maaf dan penghormatanku!"<br />"Anak setan Sekian lama kau tidak pernah muncul. Diberi tugas malah bertingkah seenaknyal"<br />Eyang Sinto Gendeng menjawab dengan muka cemberut.<br />"Sinto, kau ini tidak berubah. Terhadap muridmu seperti anjing dan kucing saja. Kalau tidak bertemu kau bilang kangen. Kalau sudah bertemu kau selalu memarahinya! Sudah, serahkan saja Kitab Putih Wasiat Dewa itu padanya. Lalu kita tinggalkan tempat ini!"<br />Sinto Gendeng berpaling. Kalau saja bukan Tua Gila yang berkata pasti sudah didampratnya. Dari balik pakaiannya Sinto Gendeng keluarkan Kitab Putih Wasiat Dewa yang asli lalu diletakkannya di atas kepala sang murid. "Ambil dan lekas kau simpan Jangan sampai dicuri orang lagil"<br />"Guru, bagaimana kitab itu bisa berada di tanganmu?" bertanya Pendekar212 seraya menyimpan kitab sakti itu di balik pakaian hitamnya.<br />"Tidak lain karena ketololanmu Cinta membuta kan mata dan hati serta perasaanmu Bukankah kau hendak menyerahkan kitab ini dulu pada gadis yang berpura-pura menjadi Bidadari Angin Timur padahal dia adalah kaki tangan dan kekasih Pangeran Matahari?l Sebelum kau melakukan perbuatan gila itu aku dan Iblis Putih Ratu Pesolek menyiasati. Kaml muncul dengan pakaian aneh berupa selubung kain putih. Kau kami robohkan dengan asap beracun. Selagi kau pingsan Kitab Putih Wasiat Dewa yang asli kami ambil dari balik pakaianmu, kami ganti dengan<br />yang palsu. Kitab palsu itulah yang kemudian kau serahkan pada bidadarimu itu!"<br />Wiro manggut-manggut berulang kali. "Guru, aku berterima kasih atas semua pertolonganmu .... Juga padamu ..." kata Wiro seraya berpaling pada lblis Putih Ratu Pesolek yang tegak di samping Dewa Tuak.<br />"Aku juga berterima kasih padamu," kata Wiro pada si nenek. Perempuan tua berdandan menor ini tersenyum dan kedipkan matanya.<br />Sunyi Sesaat lalu terdengar suara sesenggukan Dewa Sedih. dewa Ketawa mulai mesem-mesem lalu tertawa perlahan makin lama makin keras.<br />"Guru, aku mencium bau wangi sekali. Biasanya<br />kau ... !'<br />"Anak setan Jaga mulutmu" bentak Sinto Gendeng pada muridnya sambil pelototkan mata.<br />lblis Putih Ratu pesolek tertawa cekikikan. "Pendekar 212, aku yang memberikan minyak wangi pengharum tubuhnya,. Katanya dia takut. Kalau tidak pakai minyak wangi kau akan mudah mengenali tubuhnya yang selalu bau pesing!"<br />Dewa Ketawa, Bujang gila Tapak Sakti dan Dewa tuak tertawa gelak-gelak. Kakek Segala Tahu ke rontangkan kaleng bututnya, iblis pemabuk setelah Ikut tertawa mengekeh lalu teguk tuak kerasnya dari Dalam kendi tanah.<br />"Kalian edan semua!" teriak Eyang Sinto gendeng.<br />Dia menarik lengan Tua Gila. "Ayo kita tinggalkan<br />Tempat ini.<br />”Anak setan, jaga dirimu balk-baikl"<br />"Eyang, tunggu dulu Ada satu hal yang ingin Aku kutanyakan. Hal sangat pentingl" Berteriak Wiro ketika Sinto Gendeng hendak berkelebat pergi bersama Tua Gila.<br />"Anak setan! Kau benar-benar ingin kutampar Apa lagi keperluanmu?!" bentak Sinto Gendeng marah Tapi dia hentikan juga langkahnya.<br />Wiro membawa gurunya ke tempat yang agak jauh, hanya Tua Gila yang mendatangi mendekati<br />mereka. Wiro lalu menceritakan dengan cepat hal<br />ihwalnya dengan Ratu Duyung.<br />"Eyang, menurutmu apakah aku harus memenuhi permintaannya. Tidur dengan dia agar dia bisa bebas dari kutukan itu? "<br />"Hemmmm ...." Sepasang mata Sinto Gendeng berputar-putar. Dia melirik pada Tua Gila di sampingnya. Sambil menyikut rusuk si kakek dia berkata.<br />"Kalau kau tanyakan hal itu pada tua bangka ini, pasti dia akan menjawab lakukan saja! Sekarang menurutmu sendiri bagaimana anak setan?!"<br />Wiro jadi bingung dan garuk-garuk kepala.<br />"Aku berhutang budi dan nyawa padanya. Tapi aku juga takut berdosa ... l"<br />Eyang Sinto Gendeng tertawa mengekeh. "Urusan dosa adalah urusan manusia dengan Tuhannya. Urusanmu adalah antara manusia<br />dengan manusia. Aku tidak akan mengatakan ya atau tidak. Semua terserah padamu!" Sinto Gendeng lalu puntir telinga muridnya hingga Wiro meringis kesakitan.<br />Sesaat kemudian bersama Tua Gila dia sudah berkelebat lenyap dari tempat itu! Hanya suara cekikikannya yang masih terdengar di kejauhan.<br />Wiro ingat pada Bidadari AnginTimur, tepat pada saat gadis itu hendak meninggalkan tempat itu sambil mendukung mayat adik kembarnya. "Bidadari Angin Timur, aku turut sedih atas kematian adikmu. Bisakah kite bicara dulu sebelum kau pergi?"<br />Bidadari Angin Timur menatap paras Wiro. Dalam<br />hati dia membatin. "Dia tadi mengatakan terus terang bahwa dia mencintai diriku. Apakah aku mencintainya ...?"<br />"Wiro, aku sedang berduka. Jika umur sama panjang dan kita bisa berjumpa lagi pasti kita bisa<br />bicara panjang lebar. Saat ini aku harus pergi dulu... . Aku harus mengurus jenazah adikku ini."<br />"Aku mendengar kau menyebut nama adikmu. Pandan Arum. Kalau aku boleh tahu namamu sendiri siapa sebenamya?"<br />Bidadari Angin Timur hanya menarik nafas panjang.<br />"Namaku biarlah tersimpan dulu untuk menjadi kenangan bagimu. Suatu ketika aku akan<br />memberi tahu .... Maafkan aku. Aku harus pergi sekarang ...."<br />Wiro perhatikan kepergian Bidadari Angin Timur dengan berbagai perasaan. Dia merasa sudah saatnya pula untuk meninggalkan tempat itu. Ketika dia berpaling dilihatnya Dewa Tuak dan lblis Putih Ratu Pesolek sudah tak ada lagi di tempat itu.<br />Ratu Duyung dilihatnya melangkah tertunduk menuju kereta kencana putihnya yang telah disiapkan oleh dua orang anak buahnya. Sesaat dia memandang pada Kakek Segala Tahu. Lalu cepat- cepat menemui orang tua itu.<br />"Aku tahu kau hendak menanyakan sesuatu," kata si kakek sambil tertawa lebar dan goyangkan<br />tangan kanannya yang memegang kaleng.<br />"Kau tak usah bertanya. Aku siap memberikan jawaban. Terkadang seseorang harus mengorbankan sesuatu untuk sesuatu yang sudah didapatnyal" Wiro jadi terdiam mendengar ucapan Kakek Segala Tahu itu. Di sebelah sana pintu kerela kencana sudah terbuka. Ratu Duyung siap naik. Saat itu Bujang Gila Tapak sakti datang menepuk bahu Pendekar 212.<br />"Kalau kau tidak suka dengan gadis itu, aku tidak<br />keberatan menggantikanmul Bagaimana?" Si gendut ini bertanya sambil kedip-kedipkan matanya dan berkipas-kipas. Wiro purukkan kopiah hitam di atas kepala si gendut hingga menutupi kedua matanya lalu berlari ke arah<br />kereta pada saat pintu kereta tertutup dan roda-rodanya mulai bergerak.<br />"Ratu Duyungl" panggil Wiro.<br />Kereta berhenti, kepala Ratu Duyung muncul di<br />jendela.<br />"Ada apa Wiro...?<br />"Aku ... apakah aku boleh ikut bersamamu?"<br />Ratu Duyung mengetuk dinding kereta. Kendaraan itu berhenti.<br />"Ah, ini merupkan satu kejutan bagiku Setahuku setiap tamu yang datang ke tempat kediamanku adalah atas undangan atau kehendakku. Apakah kau menerima undangan Wiro...?"<br />Paras Pendekar 212 menjadi kemerahan.<br />"Aku juga tidak ingin mengecewakan orang lain ...."<br />"Maksudmu Ratu?" tanya Wiro.<br />"Bidadari Angin Timur. ..!'<br />"Dia ... !' Lama Wiro terdiam. "Aku terlalu banyak mengharap padanya. Ternyata ... !' Wiro tidak meneruskan ucapannya.<br />"Begitu? Tapi kurasa masih ada seorang gadis menunggu kepastian darimu ...."<br />"Eh, siapa?"<br />"Lihat ke sana. Dekat batu karang besar itu tegak seorang gadis berpakaian putih ... !'<br />Wiro berpaling ke arah yang dikatakan Ratu Duyung. Di sana dilihatnya Dewi Payung Tujuh tegak memandang ke arahnya.<br />Dia gadis baik. Hanya sayang termakan perintah<br />gurunya tanpa dia dapat menimbang ... !'<br />"ltulah hidup. Setiap kita akan menghadapi satu<br />atau beberapa persoalan yang kita tidak bisa memecahkannya sendiri. Sementara orang lain tak ada yang mau menolong ...."<br />Wiro terdiam. Ucapan Ratu Duyung merupakan suatu sindiran baginya. Ratu Duyung mengetuk dinding kereta. Kendaraan itu bergerak. Murid Sinto gendeng tertegak diam dan hanya bisa garuk-garuk kepala.<br />"Agaknya Ratu Duyung tidak senang lagi terhadapku. Mungkin dia marah, mungkin juga cemburu... !'<br />Wiro membatin seolah menyesali diri sendiri. tapi tiba-tiba dilihatnya pintu kereta terbuka lalu ada tangan halus melambai memanggilnya. Melihat hal ini tanpa menunggu lagi Pendekar 212 segera lari mengejar kereta dan melompat masuk melalui pintu yang dibukakan oleh Ratu Duyung!<br />Di pedataran pasir terdengar suara riuh orang tertawa, menangis dan bertepuk tangan. Ternyata mereka adalah para tokoh silat golongan putih yang masih ada di tempat itu. Wiro keluarkan kepala lalu melambaikan tangan pada semua mereka sampai akhimya mereka lenyap di kejauhan.<br />Di kaki bukit kereta putih itu berputar. Ketika Wiro merasakan kereta itu bergerak menuruni pantai Dan dia melihat air laut maka terkejutlah Wiro. "Ratu .... Kita ini mau ke mana?"<br />Ratu Duyung menatap ke depan dan menjawab.<br />” bukankah katamu kau mau ikut ketempatku?” ”betul.... tapi ini .....mengapa kereta menuruni pantai masuk kedalam laut?”<br />Ratu duyung tertawa panjang. "Apa kau lupa bahwa jalan ketempat kediamanku adalah melewati laut selatan ini?"<br />"Kau dan anak buahmu orang sakti. Aku bisa mati tenggelam dalam air laut ....“<br />"Akan kita lihat nanti apa kau benar-benar mati....”<br />kata Ratu Duyung pula sementara air laut telah mencapai pinggiran jendela. Dalam takutnya berusaha membuka pintu kereta. Ratu Duyung menarik baju hitamnya. Ketika dia berpaling pandangan mata Pendekar 212 bertemu dengan sepasang mata biru bagus sang Ratu.<br />"Aku... aku tak ingin mati tenggelam” kata wiro<br />"Aku juga tidak," jawab ratu duyung dengan tenang dan sambil tersenyum Wiro jadi ternganga lalu garuk-garuk kepala dan akhimya ikut-ikutan tersenyum. Lalu dengan suara perlahan dia berkata.<br />"Matipun tak jadi apa karena aku tidak akan mati sendirian. Ada seorang ratu yang bakal menemani diriku di dasar laut!"<br />Ratu Duyung tertawa panjang. Suara tertawa yang seperti bulu perindu itu membuat Wiro tidak sadar kalau air laut sudah mencapai lehemya.<br />TAMAT<br />SEGERA MENYUSUL :<br />TUA GILA DARl ANDALASscorpionsGunshttp://www.blogger.com/profile/05792078590560618820noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3447348503049306634.post-61599068739156901852008-11-18T23:53:00.000-08:002008-11-18T23:54:16.969-08:00Wasiat Sang Ratu<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgs0fvL3qKWOcfV0lJPl8kgQWkhceDjC5O0aAXIkCU4oLSLnWNzn7EjibWzf3nN1M7btYKZsKP5qKhQAXaswJLpCinlfzFobhHUQmPz001fPYUdc_FTxOSxVKSa2IM4LcBH8KpdQdu0i-vq/s1600-h/1_581966274l.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgs0fvL3qKWOcfV0lJPl8kgQWkhceDjC5O0aAXIkCU4oLSLnWNzn7EjibWzf3nN1M7btYKZsKP5qKhQAXaswJLpCinlfzFobhHUQmPz001fPYUdc_FTxOSxVKSa2IM4LcBH8KpdQdu0i-vq/s320/1_581966274l.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5270273830163869570" /></a><br />WIRO SABLENG<br />PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212<br />Karya: BASTIAN TITO<br />DELAPAN SABDA DEWA<br />SATU<br />WALAU matahari tertutup awan kelabu tebal namun udara di<br />permukaan laut terasa panas bukan main. Wiro pandangi baju dan<br />celana putih kotor yang terletak di lantai perahu. Dia berpikir-pikir<br />apakah akan menanggalkan pakaian hitam pemberian Ratu Duyung<br />yang saat itu dikenakannya lalu menggantikannya dengan pakaian<br />putih dekil itu. Dia tak biasa berpakaian serba hitam seperti itu.<br />Mungkin itu sebabnya dia merasa sangat panas. Memandang<br />berkeliling Wiro tidak melihat lagi perahu yang ditumpangi Dewa<br />Ketawa. Di kejauhan kelihatan beberapa pulau bertebaran di<br />permukaan laut.<br />Sesaat wajah cantik jelita serta sepasang mata biru mempesona<br />Ratu Duyung terbayang di pelupuk mata Pendekar 212. “Gadis<br />aneh..,” kata Wiro dalam hati. “aku tidak mau munafik kalau merasa<br />tidak suka kepadanya dan ingin bertemu dia lagi. Tapi mengingat<br />permintaannya…”<br />Wiro geleng-geleng kepala sambil usap tengkuknya, “Menurut<br />penglihatan Ratu Duyung lewat cermin saktinya ada sebuah pulau<br />aneh yang terdiri dari gunung, bukit dan batu merah melulu. Dia tak<br />mampu melihat lebih jelas karena ada satu daya tolak luar biasa.<br />Mungkin sekali itu tempat kediaman Raja Obat? Letaknya jauh di<br />tenggara. Berarti di jurusan sebelah sana…” Wiro berpikir-pikir.<br />“Mungkin terletak jauh di balik gugusan pulau itu.” Setelah<br />memandang ke langit, Wiro akhirnya memutuskan untuk menuju ke<br />pulau itu. Di membelokkan perahunya kearah tenggara.<br />Menjelang sore sinar sang surya meredup dan udara yang<br />tadinya sangat panas perlahan-lahan terasa sejuk. Lalu tiba-tiba saja<br />dia teringat pada manusia bercaping yang tubuhnya penuh koreng<br />itu.<br />“Aku tak dapat memastikan siapa adanya itu manusia sialan<br />yang dijuluki Makhluk Pembawa Bala itu! Mengapa dia berusaha<br />membunuhku secara licik! Lalu kemana dia kaburnya? Kukira<br />sarangnya di sekitar lautan sini. Kalau bertemu jangan harap aku<br />mau memberi ampun…”<br />Selagi pendekar 212 berpikir-pikir seperti itu, mendadak<br />sepasang telinganya mendengar suara sesuatu diantara desau angin<br />laut. Suara itu datang dari sisi kiri kanan perahu yang tengah<br />dikayuhnya. Murid Sinto Gendeng palingkan kepalanya ke kanan. Dia<br />tak dapat melihat apa-apa tapi dia yakin sekali di bawah permukaan<br />air laut ada sesuatu yang bergerak mendekati perahunya. Wiro<br />palingkan kepala ke kiri. Hal yang sama dirasakannya. Ada benda<br />bergerak meluncur cepat mendekat perahu dari arah kiri. Hatinya<br />berdetak tidak enak.<br />“Ikan buas tidak akan secerdik itu menghadang perahu dari<br />dua arah berlawanan,” pikir Pendekar 212. “Heemm… saatnya aku<br />mencoba ilmu menembus pandang yang diberikan Ratu Duyung!”<br />Cepat Wiro atur jalan darah dan kerahkan tenaga dalamnya<br />pada kedua matanya. Dia memandang lekat-lekat ke arah permukaan<br />air laut di sebelah kiri perahu dan kedipkan sepasang matanya dua<br />kali.<br />“Huh!” Murid Sinto Gendeng jadi melengak sendiri. Dengan<br />ilmu Menembus Pandang yang didapatnya dari Ratu Duyung saat itu<br />samar-samar dia melihat sesosok tubuh manusia berkulit sangat<br />hitam. Di tangan kanannya dia memegang sebuah benda berbentuk<br />tombak pendek bermata dua. Ketika Wiro palingkan pandangannya<br />ke kanan hal yang sama terlihat. Seorang berkulit sangat hitam<br />menyelam dalam laut, meluncur cepat ke arah perahunya, membawa<br />senjata tombak bermata dua!<br />Dua makhluk dalam air mencapai tepi perahu dalam waktu<br />yang bersamaan.<br />“Byarr! Byarr!”<br />Dua makhluk yang menyelam mencuat ke permukaan air. Saat<br />itu juga Wiro melihat dua sosok manusia berkulit sangat hitam,<br />berambut pendek memiliki mata tanpa alis berwarna merah. Bibir<br />mereka yang tebal juga berwarna sangat merah.<br />Wiro perhatikan bagian tubuh dua makhluk yang menyembul<br />dari permukaan air laut itu. Pada bahu kiri kanan dan bagian<br />tengkuk ada sebentuk daging berbentuk daging berbentuk sirip.<br />Selain itu tubuh keduanya penuh otot tanda memiliki kekuatan luar<br />biasa. Salah satu kehebatan mereka adalah kemampuan untuk<br />berenang jarak jauh dan menyelam di bawah permukaan air laut.<br />“Siapa kalian?” bentak Pendekar 212 Wiro Sableng.<br />Dua makhluk hitam menyeringai. Ternyata bukan Cuma mata<br />dan mulut mereka saja yang berwarna merah, tapi lidah dan gigi<br />mereka pun berwarna merah. Anehnya barisan gigi-gigi mereka<br />berbentuk kecil-kecil runcing seperti gigi ikan. Dan lidah serta<br />barisan gigi-gigi itu bergelimang cairan merah seperti darah!<br />Dari mulut kedua mahkluk hitam ini kelular suara jeritan<br />keras. Lalu sosok tubuh mereka melesat ke udara. Tombak hitam<br />bermata dua yang mereka pegang menderu ke arah rusuk kiri dan<br />kepala bagian kanan Wiro.<br />“Kurang ajar!” maki Wiro. Secepat kilat dia jatuhkan tubuh ke<br />lantai perahu. Bersamaan dengan itu Wiro hantamkan pendayung di<br />tangan kanannya ke tubuh makhluk di sebelah kanan.<br />“Bukkk!”<br />“Traakk!”<br />Kayu pendayung menghantam dada makhluk hitam sebelah<br />kanan dengan telak. Kayu pendayung patah dua sebaliknya makhluk<br />yang kena digebuk cuma menyeringai. Masih memegangi patahan<br />kayu pendayung, Wiro gulingkan diri ke bagian kepala perahu. Ketika<br />dia baru saja sempat berdiri dua mahkluk yang masih berada dalam<br />air laut bergerak mendekatinya dan langsung menyerbu lagi.<br />Kali ini mereka pergunakan tombak masing-masing untuk<br />menusuk bagian bawah perut Pendekar 212!<br />Sambil melompat cepat ke udara Wiro keluarkan jurus “kincir<br />padi berputar”. Kaki kanannya membabat deras ke arah kepala<br />makhluk berkulit hitam di sebelah kiri perahu sedang untuk yang di<br />sebelah kanan dia lepaskan pukulan “kunyuk melempar buah”.<br />“Praakk!”<br />Tendangan kaki kanan Wiro menghantam kepala makhluk<br />sebelah kiri.<br />“Pecah kepalamu!” ujar Wiro begitu dilihatnya lawan mencelat<br />mental lalu amblas ke dalam laut.<br />Makhluk di sebelah kanan keluarkan pekik keras melihat<br />kawannya kena tendangan Wiro. Tubuhnya melesat ke atas dan coba<br />menusukkan tombaknya ke arah tenggorokan Pendekar 212. tapi<br />gumpalan angin sakti yang keluar dari tangan kanan Wiro<br />menghantam dadanya lebih dulu. Seperti temannya, makhluk yang<br />satu ini terpental dan masuk ke dalam laut diiringi jerit<br />menggidikkan.<br />Wiro menarik nafas lega. Dalam hati dia mengomel. “Belum<br />lama merasa tenteram tahu-tahu ada saja orang-orang yang ingin<br />membunuhku. Siapa mereka…? Kaki tangan orang tua berpenyakit<br />kulit berjuluk Makhluk Pembawa Bala itu? Atau…,” belum sempat<br />Wiro mengakhiri kata hatinya tiba-tiba di kiri kanannya terdengar<br />teriakan keras.<br />“Huaahhh!”<br />“Huaahhh!”<br />Dua makhluk berkulit hitam yang tadi disangkanya sudah<br />menemui ajal dan tenggelam tiba-tiba mencelat muncul dari dalam<br />laut. Tubuh mereka melesat ke udara demikian tingginya hingga di<br />lain kejap keduanya telah berada di atas Wiro.<br />Meskipun terkejut besar melihat kejadian itu karena<br />menyangka dua makhluk tadi telah menemui ajalnya namun Wiro tak<br />punya kesempatan untuk berpikir lebih lama. Begitu dia mendongak<br />untuk melihat kedudukan lawan, dari udara makhluk-makhluk aneh<br />ini telah menukik, lancarkan serangan berupa tusukan tombak ke<br />punggung dan bagian belakang kepala!<br />“Mereka tidak main-main. Mereka memang ingin<br />membunuhku!” ujar Wiro. Secapt kilat dia melompat lalu jatuhkan<br />diri ke lantai perahu. Dua serangan terus memburu. Wiro balikkan<br />tubuhnya. Dua tangan yang dialiri tenaga dalam tinggi menggeprak<br />ke samping. Kaki kanan menghantam ke udara. Inilah jurus yang<br />disebut “membuka jendela memanah matahari”.<br />Hantaman tangan Wiro memukul mental dua tombak di tangan<br />dua lawannya. Sementara tendangan kaki kanan menyodok masuk<br />ke perut salah satu dari dua makhluk berkulit hitam itu.<br />“Buukk!”<br />Makhluk yang kena hantaman tendangan menjerit keras. Tapi<br />tubuhnya tidka mental karena dengan cepat kedua tangannya<br />mencekal pergelangan kaki Wiro. Selagi Wiro berkutat berusaha<br />melepaskan cekalan itu, makhluk kedua berkelebat dan hantamkan<br />satu jotosan ke dada Pendekar 212!<br />Wiro merasa dadanya seperti amblas! Tangan kanannya<br />dihantamkan ke belakang melepaskan pukulan “benteng topan<br />melanda samudra”, membuat makhluk hitam di belakangnya<br />menjerit keras dan mental masuk ke dalam laut. Sambil menahan<br />sakit Wiro berusaha lepaskan kakinya yang dicekal. Perahu kecil<br />bergoyang keras. Tiba-tiba si makhluk berteriak keras dan gerakkan<br />kedua tangannya yang mencekal kaki Wiro. Saat itu juga tubuh<br />murid Sinto Gendengn itu mencelat ke udara lalu melayang jatuh ke<br />dalam laut!<br />Di dalam air, Wiro cepat berenang berusaha mencapai perahu.<br />Dia tahu dua lawan yang dihadapinya memiliki kepandaian luar biasa<br />dalam hal berenang dan menyelam. Menghadapi mereka di dalam<br />laut besar sekali bahayanya, apalagi saat itu dia telah cidera akibat<br />pukulan salah satu lawan. Namun sebelum Wiro berhasil mencapai<br />perahu, salah satu kakinya tiba-tiba kena dicekal lawan yang tahutahu<br />sudah berada di belakangnya. Dia kerahkan tenaga dalam lalu<br />sambil menendang membuat gerakan jungkir balik di dalam air.<br />Kakinya memang bisa lolos namun begitu dia berbalik dua lawan<br />sudah menggempurnya kembali.<br />“Makhluk-makhluk hitam ini rupanya tahan pukulan dan<br />tendangan. Biar kuhantam dengan pukulan sinar matahari. Tapi…”<br />Wiro jadi meragu. Seumur hidup dia belum pernah melepaskan<br />pukulan sakti itu di dalam air. Apakah dia sanggup melakukannya<br />dan apakah pukulan sakti itu bisa ampuh seperti jika dilepaskan di<br />daratan?<br />Makhluk pertama hanya tinggal satu tombak di depan Wiro.<br />Murid Sinto Gendeng segera salurkan tenaga dalamnya ke tangan<br />kanan. Semula dia agak meragu namun ketika melihat tangan itu<br />sebatas siku ke bawah berubah menjadi putih menyilaukan maka<br />legalah Wiro. Dia segera lipat gandakan tenaga dalamnya.<br />Di depan sana makhluk yang berada paling depan terkesiap<br />dan hentikan gerakannya berenang sewaktu dilihatnya tangan kanan<br />Wiro memancarkan sinar putih menyilaukan dan air laut di sekitar<br />tempat itu mendadak sontak menjadi panas. Dua makhluk perlahanlahan<br />berenang mundur, tak tahan oleh hawa panas yang seperti<br />hendak merebus mereka. Wiro tidak tunggu lebih lama lagi. Dia<br />hantamkan tangan kanannya ke arah makhluk paling depan.<br />Sinar putih menyilaukan berkiblat dalam laut. Satu gelombang<br />air yang mendadak sontak menjadi panas laksana mendidih<br />membuntal deras lalu menyapu dahsyat ke arah makhluk hitam<br />paling dekat. Makhluk ini berusaha menghindar dengan melesat ke<br />kiri tapi gelombang air laut yang panas menyapu lebih cepat.<br />Tubuhnya kelihatan menggeliat merah dan mengepul lalu terlempat<br />jauh kemudian seperti sehelai daun kering melayang jatuh ke dasar<br />laut.<br />“Heemm… mana kawannya…,” ujar Wiro dalam hati sambil<br />memandang berkeliling. Dadanya yang terkena pukulan lawan tadi<br />mendenyut sakit. Napasnya terasa sesak. Dia tak mungkin berada<br />lebih lama dalma air. Napasnya sesak. Air laut mulai tersedot di<br />hidung dan mulutnya. Selagi dia berusaha mengetahui dimana lawan<br />yang kedua tiba-tiba ada satu lengna mencekal lehernya. Ketika dia<br />coba melepaskan diri, tangan yang lain menjambak rambutnya. Dua<br />tangan kemudian bergerak. Gerakannya jelas hendak mematahkan<br />batang leher Pendekar 212!<br />Wiro hantamkan dua sikutnya sekaligus ke belakang.<br />“Bukkk!”<br />“Bukkk!”<br />Hantamannya tepat mendarat di tubuh orang yang<br />mencekalnya dari belakang tapi seolah tidak dirasakan malah<br />cekalan semakin ketat. Kepala Wiro mulai tertekuk ke belakang.<br />Matanya pedas tak mampu dibukakan lagi, apalagi untuk melihat. Air<br />laut mengucur masuk ke dalam tenggorokannya lewat mulut dan<br />hidung!<br />“Celaka! Tamat riwayatku!” ujar Wiro. Dia kumpulkan seluruh<br />tenaga yang ada, kerahkan tenaga dalam. Namun cekalan makhluk<br />yang mencekalnya dari belakang tidak dapat dilepaskan! Sementara<br />itu napasnya sudah menyengal dan kekuatannya laksana punah.<br />Sekujur tubuhnya menjadi lemas walau otaknya masih bisa bekerja.<br />Lawan yang membuat Wiro tidak berdaya ternyata berlaku<br />cerdik. Sambil terus mencekal berusaha mematahkan batang leher<br />Pendekar 212 dia membuat gerakan yang membawa Wiro bergerak<br />semakin jauh menuju dasar laut dimana tekanan air lebih kencang.<br />Tekanan ini membuat Wiro semakin lemas tak berdaya.<br />-- == 0O0 == --<br />DUA<br />PADA saat yang sangat menetukan itu dimana ajal Pendekar<br />212 Wiro Sableng boleh dikatakan hanya tinggal sekejapan mata saja<br />lagi, satu persatu muncul wajah-wajah orang yang paling dekat<br />dengan dirinya. Mula-mula wajah Eyang Sinto Gendeng sang guru si<br />nenek sakti, lalu wajah kakek Segala Tahu, sesaat terbayang tampang<br />Dewa Ketawa. Lalu muncul wajah Bidadari Angin Timur. Terakhir<br />sekali muncul wajah Ratu Duyung.<br />“Ra… tu…” Wiro membuka mulut. “Tolong diriku…” tapi<br />ucapan itu tak pernah keluar. Malah air laut masuk semakin banyak<br />ke dalam mulutnya,. Kepalanya semakin tertekuk ke belakang.<br />Mendadak entah bagaimana muncul satu wajah nenek berwarna<br />putih. Hidungnya kecil dan bagian sekitar mulutnya ditumbuhi bulubulu<br />halus panjang. Nenek ini menyeringai memperlihatkan gigigiginya<br />yang kecil serta lidahnya yang merah. Lalu sepasang matanya<br />yang kehijauan membersitkan sinar menyilaukan yang sesaat<br />membuat Wiro jadi tersentak.<br />“Nenek Neko… Nenek Muka Kucing...” ujar Wiro. Lalu terjadilah<br />satu hal yang luar biasa. Mendadak sontak Wiro ingat sesuatu.<br />“Koppo… Ilmu Mematahkan Tulang!” desisnya. Satu kekuatan seperti<br />muncul dalam diri Pendekar 212. Kedua tangannya bergerak<br />memegang dua jari-jari kedua tangan makhluk hitam yang<br />mencekalnya. Lalu, “Trak… trak.. trak… trak… trakk!”<br />Makhluk hitam menggeliat. Wajahnya menunjukkan kesakitan<br />setengah mati. Mulutnya terbuka lebar. Kedua matanya membeliak.<br />Jari-jari tangannya hancur berpatahan. Tulangnya mencuat keluar.<br />Karena tak sanggup menahan sakit makhluk ini lepaskan cekalan<br />lalu berenang menjauhi Wiro. (Mengenai Nenek Neko dan ilmu<br />mematahkan tulang yang disebut koppo silahkan baca serial Wiro<br />Sableng berjudul Sepasang Manusia Bonsai)<br />Wiro sendiri yang tak ada niat mengejar cepat naik ke<br />permukaan laut. Dia muncul di atas air dengan megap-megap. Ada<br />cairan merah keluar dari mulutnya. Dia memandang berkeliling. Di<br />kejauhan kelihatan perahunya terapung-apung dipermainkan ombak.<br />Dengan susah payah Wiro berenang mencapai perahu itu. Perlahanlahan<br />dia naik ke atas perahu. Rasa sakit pada dadanya belum<br />lenyap. Malah kini napasnya bertambah sesak. Sekujur tubuhnya<br />terasa letih dan tulang-tulangnya laksana tanggal dari persendian.<br />Ketika dia hendak membaringkan tubuhnya di lantai perahu tiba-tiba<br />terdengar suara tawa mengekeh di belakangnya. Wiro putar<br />kepalanya. Sepasang matanya terpentang lebar ketika melihat siapa<br />adanya orang yang duduk berjuntai di atas sebua perahu putih yang<br />tiba-tiba saja muncul di tempat itu tanpa diketahuinya.<br />“Makhluk Pembawa Bala. Manusia celaka…!” Wiro berusaha<br />bangkit tapi tubuhnya yang lemah itu terhenyak kembali ke lantai<br />perahu. Dari balik kain penutup wajahnya kembali terdengar suara<br />tawa mengekeh orang bercaping yang sekujur tubuhnya penuh<br />koreng membusuk.<br />Tiba-tiba sosok Makhluk Pembawa Bala yang mengenakan<br />pakaian sebentuk jubah melesat ke udara. Dia mendarat di atas<br />perahu, sengaja tepat di atas tubuh Wiro. Wiro sendiri saat itu sudah<br />tidak berdaya dan setengah pingsan. Orang yang bercaping tegak<br />dengan satu kaki menginjak perut sedang kaki satunya menginjak<br />dada Wiro. Dia mendongak lalu dari mulutnya kembali terdengar<br />suara tawa bergelak.<br />“Mujur tak dapat diraih, celaka tak bisa ditolak! Kalau dulu kau<br />masih bias lolos dari tangnaku, saat ini jangan harap bisa lepas!<br />Nyawamu memang sudah ditakdirkan harus amblas di tanganku!<br />Ha… ha... ha… ha…!” suara tawa orang bercaping itu lenyap. Kaki<br />kanannya diangkat lalu dihantamkan ke arah tenggorokan Pendekar<br />212 yang terkapar di lantai dalam keadaan pingsan!<br />Hanya setengah jengkal lagi kaki kanan Makhluk Pembawa<br />Bala akan menghancurkan leher dan membunuh Pendekar 212 tibatiba<br />dari laut sekitar perahu melesat enam sosok tubuh. Bagian atas<br />merupakan tubuh gadis cantik berambut panjang menutupi dada<br />yang putih polos sedang bagian bawah merupakan ekor ikan besar.<br />Keenam gadis ini bukan lain adalah anak buah Ratu Duyung<br />penguasa lautan di kawasan itu.<br />“Tahan!”<br />Enam gadis berteriak berbarengan. Gerakan Makhluk Pembawa<br />Bala serta merta terhenti. Memandang berkeliling dan melihat siapa<br />yang ada di sekitar perahu tampangnya yang tertutup kain cadar jadi<br />berubah. Hatinya menjadi tidak enak kalau tidak mau dikatakan<br />gelisah.<br />“Jangan berani mencampuri urusanku!” Makhluk Pembawa<br />Bala membentak.<br />Enam gadis diam saja namun diam-diam mereka luruskan jari<br />telunjuk tangan kanan masing-masing.<br />Melihat tidak ada yang bergerak Makhluk Pembawa Bala cepat<br />teruskan hantaman kakinya ke leher Wiro. Pada saat itu juga enam<br />jari si gadis memancarkan sinar biru. Ketika mereka mengangkat jari<br />masing-masing dan mengacungkan ke arah perahu, enam sinar biru<br />berkiblat, memapas ke arah tempat kosong antara kaki Makhluk<br />Pembawa Bala dengan leher Pendekar 212 yang menjadi sasaran.<br />Makhluk Pembawa Bala berseru keras. Cepat dia tarik<br />serangannya. Kaki kanannya diangkat. Lalu terdengar jeritan orang<br />ini. Tiga ujung jari kakinya putus. Bagian sekitarnya laksana<br />dipanggang. Ujung jubahnya mengepulkan asap pada bagian yang<br />kelihatan hangus.<br />“Kalau kau bermaksud meneruskan niat jahat membunuh<br />lawan yang tak berdaya, kematian akan menjadi bagianmu lebih<br />dulu!,” salah seorang dari enam gadis bertubuh setengah manusia<br />setengah ikan membentak.<br />Mulut orang bercaping yang terlindung di balik kain penutup<br />komat-kamit tapi tak ada suara yang keluar. Dia maklum jangankan<br />enam orang, satu orang saja sulit baginya menghadapi gadis anak<br />buah Ratu Duyung.<br />“Katakan pada Ratumu, lain kali sebaiknya dia sendiri yang<br />dating untuk bertemu muka denganku!”<br />“Ratu kami tidak layak hadir di depan manusia tak berguna<br />sepertimu!” jawab salah seorang gadis.<br />Makhluk Pembawa Bala menggeram dalam hati. Dia melompat<br />dari atas perahu Wiro, masuk ke dalam perahu putihnya.<br />“Sebelum kau pergi dari sini kami perlu mengajukanbeberapa<br />pertanyaan!”<br />Makhluk Pembawa Bala walaupun merasa jeri terhadap enam<br />gadis namun karena merasa ditekan lantas menukas. “Jangan<br />membuat aku jadi marah! Katakan apa mau kalian!?”<br />“Kami perlu tahu siapa kau sebenarnya dan apa perlunya sejak<br />sekian lama gentayangan di kawasan ini!”<br />“Hemm… Itu rupanya pertanyaan kalian?” Makhluk Pembawa<br />Bala mendongak lalu tertawa bergelak. “Katakan pada Ratumu, jika<br />dia mau datang menemuiku baru aku akan menjawab pertanyaan<br />kalian!”<br />“Kau minta mampus! Terima kematianmu!”<br />Enam larik sinar biru menyambar ke arah Makhluk Pembawa<br />Bala. Orang ini cepat menyambar caping di atas kepalanya. Lalu<br />dengan sigap caping yang terbuat dari bambu itu dikibaskannya<br />menangkis serangan enam larik sinar biru.<br />“Wussss!”<br />Makhluk Pembawa Bala menjerit keras. Caping bambu di<br />tangannya hancur berantakam. Kepingan-kepingan caping itu<br />bertebaran di udara dalam keadaan terbakar lalu jatuh ke dalam<br />laut. Si Makhluk Pembawa Bala sendiri mencelat mental dari atas<br />perahu sampai beberapa tombak lalu tercebur masuk ke dalam laut.<br />Enam gadis cantik anak buah Ratu Duyung menunggu sampai<br />beberapa lamanya.<br />“Tubuhnya tidak muncul lagi…,” berkata gadis di ujung kanan.<br />“Pasti dia sudah jadi mayat dan tenggelam ke dasar laut.<br />Beberapa hari di muka baru mayatnya akan mengambang di<br />permukaan laut…,” berkata gadis lainnya.<br />“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” salah satu dari<br />mereka bertanya.<br />“Sesuai perintah Ratu kita harus menolong pemuda ini. Ada<br />darah di sekitar mulutnya. Jelas dia mengalamai luka dalam cukup<br />parah… lekas berikan obat padanya. Aku akan menotok leher dan<br />dadanya.” Lalu gadis itu membuka baju hitam Wiro di bagian dada.<br />Sesaat dia pandangi bagian tubuh yang kokoh penuh otot itu.<br />Pada bagian tengah dada terdapat rajah tiga angka yang tak asing<br />lagi. Angka 212. Entah sadar entah tidak, gadis ini lalu mengusap<br />dada Pendekar 212 dengan lembut. Melihat hal ini kawan di<br />sampingnya berbisik, “Apa yang kau lakukan!? Jangan berani<br />berbuat macam-macam. Kalau sampai Ratu memantau lewat cermin<br />saktinya dan melihat apa yang kau lakukan, kita semua di sini habis<br />dihukumnya! Lekas totok pemuda itu!”<br />Wajah gadis yang barusan mengusap dada Pendekar 212<br />tampak bersemu merah. Dia berpaling dan menjawab, “Tak perlu<br />bicara keras. Jangan munafik. Aku tahu kau pun sebenarnya sangat<br />tertarik pada pemuda gagah ini…”<br />“Sudah! Lekas totok saja tubuhnya. Aku segera akan<br />memasukkan obat ke dalam mulutnya!”<br />Gadis pertama segera mengusapkan dua ujung jarinya di<br />bagian leher dada Pendekar 212. Setelah itu gadis kawannya<br />memasukkan sebutir obat berwarna biru ke dalam mulut Wiro. Sekali<br />lagi gadis pertama mengusap bagian leher Wiro. Obat yang ada di<br />dalam mulut murid Sinto Gendeng meluncur ke dalam<br />tenggorokannya terus ke perut.<br />“Sebelum matahari tenggelam dia akan siuman dan luka<br />dalamnya akan sembuh. Sekarang, sesuai perintah Ratu kita harus<br />mendorong perahu ini ke arah tenggara dan meninggalkannya di satu<br />tempat…”<br />Enam orang gadis itu lantas berenang smbil mendorong perahu<br />kecil di atas mana Pendekar 212 Wiro Sableng masih terbujur dalam<br />keadaan pingsan.<br />-- == 0O0 == --<br />TIGA<br />PANGERAN Matahari merangkul gadis yang duduk di<br />pangkuannya itu lalu dengan penuh nafsu menciumnya berulang<br />kali. “Kekasihku, sebelum kita bersenang-senang di ruangan dalam<br />katakana apa hasil peneyelidikanmu…”<br />Si gadis tersenyum. Sepasang lesung pipit muncul di pipinya<br />kiri kanan. “Salah…” katanya seraya membelai rambut di belakang<br />kepala Pangeran Matahari.<br />“Eh, apa yang salah?” tanya sang Pangeran.<br />“Kita bersenang-senang dahulu baru nanti aku memberitahu<br />hasil penyelidikanku!”<br />Pangeran Matahari tertawa lebar. Ditekapnya kedua pipi si<br />gadis lalu dikecupnya bibirnya lumat-lumat. Sambil menggeliat gadis<br />dalam pelukan menurunkan tangannya ke bawah. Pangeran Matahari<br />cepat memegang tangan itu seraya berkata. “Ingat kekasihku, urusan<br />besar harus dikerjakan lebih dulu. Soal bersenang-senang jika semua<br />sudah rampung seribu hari pun kau suka aku akan melayani…”<br />Si gadis tampak cemberut tapi serta merta pejamkan matanya<br />dan mengeluarkan suara lirih ketika Pangeran Matahari<br />menyelinapkan wajahnya ke balik pakaiannya di bagian dada.<br />“Aku tidak tahan. Benar-benar tidak tahan Pangeran…” bisik si<br />gadis setengah memelas.<br />Pangeran Matahari tarik kepalanya lalu berkata. “Ceritakan<br />padaku hasil penyelidikanmu…”<br />Si gadis melihat sepasang mata Pangeran Matahari memandang<br />tak berkesip. Ada sorotan sinar aneh yang membuatnya jadi tak<br />berani menatap. Dengan sikap manja dia menggelungkan tangan<br />kanannya di leher sang Pangeran lalu bertanya, “Apa saja yang kau<br />ingin ketahui, Pangeran?”<br />“Pertama sudah pasti menyangkut musuh besarku Pendekar<br />212 Wiro Sableng. Menurut dua bersaudara Tiga Bayangan Setan dan<br />Elang Setan, mereka berhasil membunuh Pendekar 212 di bukit di<br />luar Kartosuro. Aku telah meminta mereka membuktikan dengan<br />membawa kepala Wiro Sableng ke hadapanku. Kau sendiri apa yang<br />kau ketahui?”<br />“Kemungkinan mereka memang telah membunuh Pendekar<br />212. Hanya saja berlaku ayal tidak membawa bukti. Tapi setahuku<br />tempo hari mereka telah menyerahkan Kapak Maut Naga Geni 212<br />dan batu sakti hitam milik Pendekar 212. Apakah itu belum cukup<br />dijadikan tanda atau bukti bahwa musuh besarmu itu benar-benar<br />sudah tewas? Atau mungkin dua senjata itu palsu belaka?”<br />Pangeran Matahari mengusap pinggul si gadis lalu gelengkan<br />kepala. “Kapak dan batu sakti itu asli. Tidak palsu. Tapi menyaksikan<br />kepala Pendekar 212 jauh lebih meyakinkan daripada hanya<br />mendengar sekedar laporan dari dua kaki tanganku itu...“<br />“Turut penyelidikanku, juga berdasarkan beberapa keterangan<br />orang-orang kita, Pendekar 212 tidak diketahui lagi berada di mana.<br />Ada yang menduga mayatnya dilarikan orang ke satu tempat di<br />tengah laut di selatan muara Kali Opak....”<br />“Hemmm.... Kalau keteranganmu benar mengapa kaki tanganku<br />di kawasan itu belum datang memberitahu?!” ujar Pangeran Matahari<br />pula seraya mendongak dan usap dagunya yang ditumbuhi janggut<br />pendek kasar.<br />“Kawasan laut selatan berada di bawah pengawasan penguasa<br />tertentu yang memiliki beberapa pembantu. Salah seorang dari<br />mereka adalah Ratu Duyung. Ada tanda-tanda sesuatu telah terjadi di<br />kawasan itu. Beberapa aliran hawa sakti mengalami benturanbenturan<br />aneh....”<br />“Ratu Duyung dari dulu memang tidak pernah mau tunduk<br />terhadap kita...” kata Pangeran Matahari pula. “Sudah saatnya kita<br />memikirkan untuk melakukan sesuatu terhadap makhluk setengah<br />manusia setengah ikan itu....”<br />“Pangeran,” kata gadis yang duduk di pangkuan Pangeran<br />Matahari. “Kalau aku boleh mengusulkan, pada saat sekarang ini<br />sebaiknya kita jangan mencari musuh baru dulu. Salah-salah urusan<br />besar yang tengah kau laksanakan bisa jadi tak karuan... “<br />“Hemmm.... Kau betul. Usulmu aku terima!” kata Pangeran<br />Matahari lalu menghadiahkan satu kecupan di bibir gadis itu.<br />“Kau lihat sendiri Pangeran. Aku tidak seperti gadis-gadis lain<br />yang jadi kekasihmu. Mereka hanya menyediakan badan. Aku bukan<br />cuma badan. Tapi juga pikiran dan sumbang saran....”<br />Pangeran Matahari tertawa gelak-gelak. Sambil menepuk-nepuk<br />bahu si gadis dia berkata. “Itulah kelebihanmu, kekasihku. Itu<br />sebabnya kau mendapat tempat utama di sisiku.”<br />“Kalau begitu apakah sekarang kita bisa bersenang-senang?”<br />tanya si gadis. Lalu kaki kirinya digelungkan ke pinggul sang<br />Pangeran. Pakaiannya yang tipis tersingkap. Ketihatan pahanya yang<br />bagus mulus dan putih.<br />Pangeran Matahari mengusap paha itu berulang kali lalu<br />berkata. “Masih belum saatnya kekasihku. Harap kau suka bersabar.<br />Kau harus kembali melakukan penyelidikan. Aku harus tahu apa<br />yang sebetulnya telah terjadi dengan Pendekar 212. Apa benar dia<br />sudah menemui ajal?”<br />“Nada suaramu masih saja membayangkan rasa was-was<br />Pangeran,” kata si gadis pula. lalu tangannya meraba ke bagian dada<br />Pangeran Matahari. Di balik jubah hitam dan pakaian yang<br />dikenakannya dia menyentuh sebuah benda yang terikat kencang ke<br />dada sang Pangeran. “Kau telah memiliki Kitab Wasiat Iblis. Mengapa<br />harus merasa gelisah dan selalu memikirkan Pendekar 212?”<br />“Ada ujar-ujar mengatakan bahwa punya satu musuh sudah<br />terlalu banyak sedang punya seribu teman masih kurang banyak!”<br />Si gadis tersenyum. “Jadi kau ingin aku menyelidik lag!, pergi<br />dari sini dan melupakan semua kesenangan yang bisa kita dapatkan<br />saat ini?”<br />“Kataku harap kau bersabar. Masanya akan datang aku akan<br />jadi Raja Di Raja dunia persilatan dan kau kekasih tunggalku....”<br />Si gadis menarik napas dalam lalu perlahan-lahan dia berdiri,<br />”Kalau begitu ada baiknya aku minta diri sekarang juga,” katanya. Dia<br />membungkuk sedikit untuk memeluk dan mencium Pangeran Matahari.<br />Namun dengan gerakan nakal dia menggoyangkan bahu dan<br />pinggulnya. Pakaian tipis yang melekat di tubuhnya serta merta<br />merosot jatuh ke lantai. Ketika Pangeran Matahari balas memeluk<br />maka dia merangkul tubuh si gadis. Kalau tadi sang Pangeran selalu<br />menolak ajakan si gadis maka kini dalam keadaan seperti itu dia<br />tidak dapat menahan gelegak darahnya. Dia berdiri dan slap hendak<br />mendukung tubuh si gadis. Tapi tiba-tiba, “Braaakkkl”<br />Pintu ruangan terpentang. Sesosok tubuh masuk dan jatuhkan<br />diri di lantai. Gadis cantik tanpa pakaian terpekik, cepat-cepat<br />menyambar pakaiannya yang tercampak di lantai laiu melompat<br />tinggalkan tempat itu.<br />Pangeran Matahari tak kurang terkejutnya. Tampangnya merah<br />mengelam, rahangnya menggembung hingga wajahnya berubah<br />seperti jadi empat persegi!<br />Orang yang terkapar di lantai hanya mengenakan sehelai cawat<br />hitam. Sekujur tubuhnya mulai dari muka sampai ke kaki berwarna<br />sangat hitam dan liat. Pada dua bahu dan tengkuknya sampai ke<br />punggung ada daging aneh berbentuk sirip ikan. Mata dan bibirnya<br />merah.<br />Pangeran Matahari kerenyitkan kening. Kedua matanya<br />mendelik tak berkesip menyaksikan bagaimana sepasang tangan<br />manusia hitam itu, mulai dari pergelangan sampai ke ujung-ujung jari<br />tampak hancur berpatahan. Tulang-tulangnya mencuat putih<br />menggidikkan.<br />“Jahanam! Apa yang terjadi dengan dirimu! Mana kawanmu?!”<br />Pangeran Matahari membentak seraya melangkah ke hadapan orang<br />hitam yang terkapar di lantai.<br />“Ka... kawanku mati!” jawab orang hitam.<br />“Mati?! Apa yang terjadi?!”<br />“Dia... dia mati dibunuh Pendekar 212....”<br />Tampang Pangeran Matahari berubah. Alisnya berjingkrak dan<br />daun telinganya seperti mencuat mendengar ucapan orang hitam itu.<br />Kaki kanannya ditendangkan ke dada orang itu hingga si hitam ini<br />mencelat dan terbanting ke dinding ruangan.<br />“Lekas katakan apa yang terjadi!” bentak Pangeran Matahari.<br />“Mohon maafmu Pangeran... Kami tidak berhasil menjalankan<br />tugas yang kau berikan. Kawanku terbunuh. Aku sendiri kau bisa<br />saksikan. Kedua tanganku dibikin hancur oleh Pendekar 212!”<br />Kembali sepasang mata Pangeran Matahari memperhatikan<br />kedua tangan orang hitam itu seolah tak percaya. Tulang-tulangnya<br />mencuat berpatahan.... “Ilmu apa yang telah dipakai mencelakai orang<br />ini? Kalau memang Pendekar 212 yang melakukan setahuku dia tidak<br />memiliki ilmu kepandaian begini rupa....”<br />Pangeran Matahari mendongak. Otaknya berpikir keras. Tetap<br />saja dia tidak bisa menerima keterangan si hitam.<br />“Kau berdusta! Ini bukan pekerjaannya Pendekar 212!” bentak<br />sang Pangeran. “Dia tidak punya ilmu kepandaian mematahkan tulang<br />seperti ini! Aku tahu betul!”<br />“Saya bersumpah memang dia yang melakukan. Kami<br />mencegatnya di pantai selatan...”<br />Pangeran Matahari terdiam sesaat. “Jika kau memang telah<br />berhadapan dengan Pendekar 212, aku ingin mencocokkan ciri-ciri<br />jahanam itu dengan apa yang kau saksikan. Bagaimana keadaan<br />rambutnya?”<br />“Hitam lebat dan… dan gondrong..,” jawab si hitam.<br />“Apa dia mengenakan ikat kepala kain putih di keningnya?”<br />Si hitam menggeleng.<br />“Hemmmmm....” Pangeran Matahari bergumam. Kecurigaan<br />bahwa si hitam itu berdusta semakin besar. “Apa dia mengenakan<br />pakaian serba putih?”<br />“Ti... tidak Pangeran. Dia mengenakan baju dan celana hitam....”<br />“Jahanam! Jelas orang itu bukan Pendekar 212! Seumur<br />hidupnya dia tidak pernah mengenakan pakaian hitam! Kau berani<br />mendustaiku!”<br />”Saya bersumpah saya tidak berdusta Pangeran...”<br />“Manusia keparat! Aku tanya padamu, apa benar kawanmu<br />sudah mampus?!” bertanya Pangeran Matahari seraya bungkukkan<br />tubuhnya sedikit.<br />“Dia memang telah menemui ajal Pangeran. Saya menyaksikan<br />sendiri...” jawab si hitam yang masih terkapar di lantai sambil<br />menduga-duga apa maksud pertanyaan Pangeran itu karena<br />sebelumnya dia telah menjelaskan mengenai kematian kawannya.<br />Di hadapan si hitam Pangeran Matahari menyeringai. Tiba-tiba<br />seringai itu lenyap lalu, terdengar suaranya berucap. “Kalau begitu kau<br />susullah temanmu! Aku tidak butuh manusia jelek dan tolol macammu!”<br />Habis berkata begitu Pangeran Matahari ayunkan tangan<br />kanannya. Bersamaan dengan itu dia alirkan tenaga dalam dari bagian<br />dada di mana menempel Kitab Wasiat Iblis. Pangeran Matahari tahu<br />betul bahwa si hitam memiliki ilmu kebal tertentu. Dia tak mau susah.<br />Karenanya dia sengaja meminjam kekuatan ganas yang ada pada kitab<br />iblis itu.<br />“Praakkk!”<br />Kepala manusia hitam rengkah mengerikan. Tubuhnya<br />terbanting ke lantai tanpa nyawa lagi! Masuk ke ruangan dalam<br />Pangeran Matahari dapatkan gadis kekasihnya duduk di atas sebuah<br />bantalan tebal dan empuk. Keadaannya masih polos seperti tadi.<br />Pakaian tipisriya dipergunakan menutupi auratnya yang penting tapi<br />itu pun tidak mampu menutupi seluruh tubuhnya.<br />“Aku hampir yakin kalau Pendekar 212 memang sudah<br />menemui ajal. Tapi aku merasa perlu menunggu sampai Tiga<br />Bayangan Setan dan Elang Setan muncul membawa kepala musuh<br />besarku itu....”<br />“Apakah sampai saat ini kau masih merahasiakan tentang<br />diriku terhadap mereka?”<br />Pangeran Matahari mengangguk.<br />“Sebaliknya bagaimana dengan saudaramu. Aku tidak ingin....”<br />“Kau tak usah khawatir Pangeran. Sudah lama sekali aku tidak<br />mendengar mengenai dirinya. Entah berada di mana...” jawab si gadis<br />yang duduk di atas bantalan empuk sambil menjulurkan kakinya dan<br />balik pakaian tipis.<br />Memandangi tubuh si gadis pikiran sang Pangeran jadi<br />berubah. Kalau sebelumnya dia tidak berniat untuk bersenangsenang<br />kini setelah membunuh lelaki hitam tadi rangsangan dalam<br />dirinya tiba-tiba saja menggelegak. Dia melangkah ke hadapan si<br />gadis. Perlahan-lahan pakaian tipis yang menutupi tubuh si gadis itu<br />ditariknya.<br />-- == 0O0 = --<br />EMPAT<br />SINAR sang surya yang siap tenggelam membuat air laut<br />kemerahan. Enam gadis anak buah Ratu Duyung yang mendorong<br />perahu berhenti berenang. Gadis yang bertindak sebagai pimpinan<br />berkata.<br />“Kita mengantar sampai di sini. Di kejauhan ada sebuah pulau.<br />Ombak akan mendorong perahu dan membawa pemuda ini ke sana.<br />Kita harus segera kembali. Ingat pesan Ratu. Kita tidak boleh berada<br />terlalu dekat dengan pulau-pulau yang banyak bertebaran di sekitar<br />kawasan ini.”<br />Lima gadis lainnya tidak menjawab. Dalam hati sebenarnya<br />mereka ingin mengantar perahu berisi Pendekar 212 itu sampai ke<br />daratan, menunggu sampai dia siuman dari pingsan. Namun<br />kelimanya tak berani membantah.<br />“Mudah-mudahan dia cepat sadar dan selamat. Mari kita<br />kembali...”<br />“Tunggu dulu,” salah seorang dari lima gadis tiba-tiba berkata.<br />“Ada apa?!”<br />“Aku mendengar seperti ada orang menyanyi. Di kejauhan...”<br />Empat gadis lainnya picingkan mata dan pasang telinga. Lalu<br />hampir berbarengan mereka mengiyakan. Gadis yang bertindak<br />sebagai pemimpin sebenarnya juga sudah mendengar apa yang<br />didengar lima temannya. Namun dia cepat berkata. “Suara desau<br />angin laut dan alunan gelombang bisa saja menipu pendengaran kita.<br />Kalaupun memang yang kalian dengar adalah suara orang menyanyi<br />maka itu adalah satu keanehan. Siapa pula yang menyanyi di tengah<br />lautan begini rupa? Dan ingat pelajaran dari Ratu. Dibalik setiap<br />keanehan mungkin tersembunyi satu bahaya. Jadi, kalian tak perlu<br />banyak bicara lagi. Ikuti aku meninggalkan tempat ini!”<br />Enam gadis cantik yang tubuh atas polos sedang sebatas<br />pinggang ke bawah berbentuk ekor ikan besar itu melepaskan tangan<br />masing-masing dari perahu lalu berbalik. Sesaat kemudian<br />keenamnya lenyap masuk ke dalam laut.<br />Perahu tanpa kemudi tanpa dikayuh itu meluncur perlahan<br />dibawa alunan ombak menuju ke tenggara dimana di kejauhan<br />kelihatan sebuah pulau berbentuk aneh. Di sini sama sekali tidak<br />kelihatan pepohonan. Yang tampak hanya kawasan bebatuan. Di<br />bawah sinar matahari yang tenggelam dan udara yang mulai<br />menggelap pulau itu kelihatan angker. Keangkeran itu bisa membuat<br />siapa saja jadi merinding karena dari pertengahan pulau yang gelap<br />dimana terdapat gunung dan bebukitan batu merah tiba-tiba sayupsayup<br />sampai terdengar suara orang menyanyi.<br />Laut selatan tak pernah tenang<br />Gelombang selalu datang menantang<br />Ribuan pagi ribuan petang<br />Tubuh lapuk ini menunggu kedatangan<br />Yang menunggu tua renta malang<br />Yang ditunggu budak malang<br />Apakah saat ini petunjuk Yang Kuasa turun<br />menjelang<br />Mungkinkah ini akhir penantian dan<br />permulaan dari satu harapan<br />Hanya kepada Yang Kuasa tertambat seluruh<br />harapan<br />Agar tubuh tua ini bisa bebas menempuh<br />jalan abadi menghadap Sang Pencipta<br />Orang yang menyanyi itu duduk bersila di atas salah satu<br />puncak batu berwarna merah. Tubuhnya tampak bungkuk dimakan<br />usia. Rambut, kumis dan janggutnya yang putih panjang melambailambai<br />tertiup angin laut. Meskipun tempat itu cukup gelap namun<br />masih bisa terlihat keanehan pada muka orang tua ini. Wajahnya<br />sebelah kanan yaitu mulai dari pertengahan kening, hidung, mulut<br />dan dagu berwarna biru. Di dalam mulutnya senantiasa ada segumpal<br />sirih campur tembakau yang selalu dikunyahnya tiada henti. Bahkan<br />ketika menyanyi tadi sirih itu masih tetap berada dalam mulutnya<br />namun anehnya suaranya bebas lepas seolah-olah mulutnya kosong<br />tak berisi apa-apa!<br />Di hadapan orang tua berjubah putih ini, di atas batu, terletak<br />benda aneh, entah batu entah logam. Benda ini mengeluarkan sinar<br />angker merah kebiruan seperti nyala sumber api yang sangat panas.<br />Namun anehnya yang terpancar dari benda itu bukan hawa panas<br />melainkan satu kesejukan. Makin lama kesejukan itu semakin<br />menjadi-jadi malah kini hawa di tempat itu terasa sangat dingin. Si<br />orang tua bermuka biru sebelah sampai-sampai kertakkan rahang<br />menahan gigil kedinginan.<br />“Saatnya sudah tiba...” kata orang tua bermuka belang dalam<br />hati. Seluruh kekuatan luar dalam dikumpulkannya agar tubuhnya<br />tidak ambruk oleh hawa dingin yang menggempur dari benda bercahaya<br />di hadapannya. Dalam keadaan sekujur tubuh menggigil orang<br />tua ini angkat tangan kanannya. Lengan sampai ke ujung-ujung<br />jarinya yang kurus keriput kelihatan bergetar kaku.<br />“Batu sakti batu pembawa petunjuk...” si orang tua berucap<br />dengan suara bergetar. “Terbanglah tinggi, membubung ke angkasa.<br />Melayanglah turun menukik ke bumi. Cari dan dapatkan anak<br />manusia penerima Delapan Sabda Dewa. Di dalam dirimu ada<br />petunjuk. Di dalam dirinya ada kekuatan untuk menangkal<br />malapetaka. Ingat hanya ada satu kekuatan dan satu kekuasaan di<br />delapan penjuru angin. Gusti Allah tempat semua kekuatan itu<br />berpulang menjadi satu. Batu sakti batu pembawa petunjuk.<br />Terbanglah tinggi membubung angkasa. Melayanglah turun menukik<br />bumi. Cari dan dapatkan anak manusia penerima Delapan Sabda<br />Dewa!”<br />Getaran tangan kanan si orang tua semakin keras. Benda di atas<br />batu di hadapannya bersinar hebat menyilaukan. Didahului dengan<br />teriakan dahsyat orang tua itu pukulkan tangannya ke udara.<br />“Byaaarrr!”<br />“Wussssss!”<br />Benda di atas batu bersinar. Tempat itu laksana diterangi sinar<br />kilat. Lalu terjadi satu hal yang ajaib. Benda terang di atas batu<br />melesat ke udara, mengeluarkan ekor panjang cahaya terang. Di udara<br />benda ini berputar tujuh kali berturut-turut. Lalu dengan kecepatan<br />yang sulit diawasi mata, seperti bintang jatuh benda bercahaya itu<br />melayang turun ke bumi. Tapi tidak kembali ke tempat asalnya semula<br />di atas batu di hadapan si orang tua melainkan ke satu tempat di<br />mana terdapat sebuah batu miring, diapit oleh gugusan batu-batu<br />karang runcing.<br />KITA kembali dulu pada saat tak lama setelah enam gadis cantik<br />anak buah Ratu Duyung melepas perahu kecil di dalam mana<br />Pendekar 212 terbaring dalam keadaan pingsan....<br />Perahu kecil dipermainkan ombak, meluncur perlahan ke arah<br />pantai. pulau yang tertutup batu-batu besar berwarna merah sedang di<br />sebelah depan pulau itu dikurung oleh deretan batu-batu karang<br />runcing laksana memagari.<br />Satu gelombang besar tiba-tiba muncul di tengah laut,<br />menghantam ke arah pulau dalam bentuk ombak yang bukan olaholah<br />dahsyatnya. Perahu kecil dimana murid Sinto Gendeng berada<br />dalam keadaan pingsan mencelat ke udara sampai setinggi lima<br />tombak, hancur berkeping-keping. Tubuh Wiro tampak berputar<br />seperti kitiran lalu melayang jatuh melewati dua puncak runcing batu<br />karang kemudian terhempas di atas sebuah batu miring. Keningnya<br />membentur bagian batu yang menonjol. Terjadi satu hal yang aneh.<br />Pada saat tubuhnya mencelat di atas laut dan jatuh ke atas batu Wiro<br />masih berada dalam keadaan pingsan. Tapi begitu keningnya<br />membentur tonjolan batu yang menimbulkan luka serta kucuran<br />darah, Pendekar 212 mendadak siuman dan sempat bangkit sambil<br />dua tangannya bersitekan ke batu.<br />“Apa yang terjadi dengan diriku. Di mana aku saat ini.... “ Dia<br />memandang berkeliling sementara telinganya mendengar suara<br />deburan ombak tidak henti-hentinya memukul batu-batu karang yang<br />memagari pulau batu merah itu.<br />“Aku mendengar suata deburan ombak. Berarti.... Eh, aku<br />seperti mendengar suara orang menyanyi....” Murid Sinto Gendeng<br />memutar kepalanya, berusaha memandang ke arah datangnya suara<br />nyanyian itu. Dia coba mendengar suara nyanyian yang diulang-ulang<br />itu. Perlahan-lahan dia memutar tubuhnya. Di kejauhan dia hanya<br />melihat puncak-puncak bukit batu yang menghitam dalam kegelapan.<br />“Aku akan pergunakan ilmu pemberian Ratu Duyung. Ilmu<br />Menembus Pandang....” Wiro segera kerahkan tenaga dalam dan atur<br />jalan darah yang menuju ke matanya. Namun dia tidak dapat memusatkan<br />pikiran. Keningnya terasa sakit. Tangannya bergerak meraba.<br />Ada cairan mengalir di keningnya, turun ke pipi kiri.<br />Saat itu keadaan belum gelap benar. Pantulan terakhir cahaya<br />matahari masih bisa membuat Wiro mengenali bahwa cairan merah<br />yang ada di tangannya adalah darah. Darahnya sendiri.<br />“Apa yang terjadi dengan diriku.... Aku terluka,” pikir Wiro. Dia<br />mendadak saja merasa ngeri melihat darahnya sendiri.<br />Pendengarannya dipasang baik baik. “Suara nyanyian itu lenyap. Aneh<br />kalau ada orang menyanyi di tempat ini. Manusia atau jinkah yang<br />menyanyi. Tak jelas apa kata-kata dalam nyanyiannya tadi....”` Wiro<br />siap untuk melihat dengan ilmu Menembus Pandangnya. Tiba-tiba dia<br />jadi tercekat. Di langit dilihatnya satu benda aneh memancarkan sinar<br />sangat terang melayang turun ke bumi.<br />“Bintang jatuh…”piker Wiro. Kemudian disadarinya<br />kalau benda bercahaya itu melayang jatuh ke arahnya.<br />“Astaga!” Wiro berseru kaget. Dia berusaha menggulingkan diri.<br />Tapi benda bercahaya datangnya laksana kilat. Jatuh menghantam<br />kepalanya tepat pada bagian luka di kening sebelah kiri lalu amblas<br />masuk ke dalam kepalanya!<br />“Wusss!”<br />Kepala dan sekujur tubuh Pendekar 212 mulai dari ujung<br />rambut sampai ke ujung kaki bersinar terang benderang. Dia seperti<br />melihat ada ratusan bintang menyilaukan di depan matanya. Saat itu<br />juga sekujur tubuhnya terasa sedingin salju di puncak gunung hingga<br />dia menggigil keras. Rahang menggembung geraham bergemeletakan.<br />Wiro berusaha bertahan. Tapi sia-sia. Sedikit demi sedikit<br />tangannya yang menahan tubuhnya terkulai lemah ke samping.<br />Badannya jatuh terbujur di atas batu miring. Kesadarannya perlahanlahan<br />sirna.<br />Di atas batu miring tubuhnya yang sedingin es itu tidak bergerak<br />sedikit pun. Kedua matanya terpentang lebar. Namun dia tidak melihat<br />apa yang ada di sekitar ataupun di atasnya. Dia seperti orang tidur<br />nyalang. Satu kejadian aneh menyelubungi Pendekar 212. Dia<br />tenggelam ke dalam pusaran waktu dan laksana disedot masuk ke<br />dalam alam pada masa sekitar tujuh puluh tahun yang silam. Anehnya<br />dirinya sendiri seolah-olah berada dalam pusaran waktu itu!<br />-- == 0O0 == --<br />LIMA<br />LAUT utara tampak tenang. Angin bertiup sepoi-sepoi basah. Di<br />langit tak berawan kawanan burung laut terbang melintas di atas kapal<br />besar terbuat dari kayu.<br />Di buritan kapal Ageng Musalamat memeluk kakek berjubah dan<br />bersorban putih erat-erat, mencium kedua pipinya berulang kali dan<br />berusaha menahan titiknya air mata.<br />“Muridku Ageng Musalamat, negeri Cina sangat jauh dari sini.<br />Perjalanan menempuh laut bukan satu hal yang mudah. Kau telah<br />memutuskan untuk menerima undangan Raja di sana. Ini satu<br />kehormatan sangat besar bagi kita semua muridku. Terutama bagi<br />dirimu. Berarti kau punya tanggung jawab sendiri terhadap dirimu.<br />Lebih dari itu kau membawa serta empat puluh orang yang sebagian<br />besar adalah murid-muridmu yang merupakan juga murid-muridku.<br />Keselamatan mereka menjadi tanggung jawabmu.... “<br />“Wali Astanapura yang saya sebut dengan hormat sebagai Eyang<br />Ismoyo Jelantik, guru saya tercinta. Perjalanan besar ini memang<br />bukan tanpa bahaya. Namun dengan bekal ilmu pengetahuan serta<br />kesaktian yang Eyang berikan serta lindungan dan bimbingan dari<br />Tuhan Yang Maha Kuasa, saya dan semua saudara-saudara yang<br />empat puluh akan selamat sampai di tujuan. Lalu selamat pula<br />kembali pulang ke tanah Jawa ini.”<br />Kakek berjubah dan bersorban putih anggukkan kepala.<br />“Bagaimanapun baiknya keadaan dan sambutan orang di sana,<br />satu hal harus kau ingat bahwa negeri itu adalah tanah asing. Jadi<br />kau dan anak-anak harus pandai-pandai membawa diri. Jangan<br />berlaku sombong, jangan sampai menyinggung perasaan orang lain.<br />Jangan pamerkan sedikit ilmu silat dan kesaktian yang kau kuasai.<br />Mungkin di negeri sana semua yang kau miliki itu tidak ada artinya<br />sama sekali. Ingat peribahasa yang mengatakan mulut kamu harimau<br />kamu. Di mana kaki berpijak di situ langit dijunjung. Pesankan pada<br />anak-anak agar jangan lupa sembahyang lima waktu. Itu tiang agama<br />yang harus ditegakkan dimana pun kita berada.”<br />“Terima kasih Eyang. Saya akan selalu ingat baik-baik semua<br />pesan Eyang.... “<br />“Selamat jalan muridku. Doaku bersamamu....”<br />“Selamat tinggal Eyang. Doakan agar kami kembali cepat ke<br />tanah Jawa ini....”<br />Wali Astanapura yang dipanggil oleh muridnya itu dengan<br />sebutan Eyang Ismoyo Jelantik anggukkan kepala. “Kau harus kembali<br />ke sini tetap sebagai orang yang disebut secara lengkap Kanjeng Sri<br />Ageng Musalamat....”<br />“Saya mendengar dan saya berjanji Eyang...” jawab Ageng<br />Musalamat.<br />Eyang Ismoyo berpaling pada seorang pemuda yang tegak di<br />belakangnya sambil memegang sebuah kotak kayu jati berhias ukiran<br />Jepara. Pemuda ini segera menyerahkan peti yang dipegangnya kepada<br />Eyang ismoyo.<br />“Ageng Musalamat,” kata Eyang Ismoyo seraya membuka<br />penutup kotak kayu, “Kotak ini berisi sebuah senjata sakti<br />mandraguna berupa keris. Baik mata keris, hulu maupun sarungnya<br />terbuat dari emas yang ditempa demikian rupa hingga kekuatannya<br />lebih atos daripada baja. Keris ini dibuat oleh seorang empu<br />sakti di Bali yang masih merupakan kakekku. Ketika dibuat<br />senjata ini tidak bernama. Ayahku kemudian memberinya nama<br />yaitu Kiyai Sabrang Tujuh Langit. Aku menitipkan keris sakti ini<br />padamu untuk diserahkan pada Raja, negeri Cina sebagai tanda<br />persahabatan yang tulus.”<br />Eyang Ismoyo membuka penutup peti. Satu cahaya kuning<br />membersit keluar dari kotak, mengenai wajah Ageng Musalarnat<br />hingga lelaki berusia empat putuh tahun ini mengerenyit<br />kesilauan. Meskipun silau namun Musalamat masih dapat melihat<br />sosok keris emas Kiyai Sabrang Tujuh langit yang ada dalam kotak<br />kayu.<br />Si orang tua menutup kotak kayu kembati lalu<br />menyerahkannya pada muridnya seraya berkata. “Simpan senjata<br />mustika ini di tempat yang baik. Kau tidak perlu terlalu<br />mengawasinya. Tak ada seorang pun yang akan sanggup<br />mencurinya....”<br />“Maksud Eyang ada satu kekuatan yang melindunginya?”<br />tanya Musalamat.<br />Eyang Ismoyo menunjuk ke atas. “Tuhan Yang Maha Kuasa<br />yang melindunginya. Siapa saja yang berniat jahat, misal berusaha<br />mencuri atau merampok senjata ini dari pemiliknya yang sah atau<br />selama berada dalam titipan yang sah maka orang jahat itu tak<br />akan sanggup melakukan. Keris ini akan menjadi sangat berat<br />seolah seberat gunung batu!”<br />Ageng Musalarnat menerima kotak kayu itu dengan hatihati.<br />Lalu sang guru berkata. “Sebelum layar terkembang, sebelum<br />kapal besar berlayar, aku ingin melihat kamarmu. Seumur hidup<br />belum pernah aku melihat kamar dalam kapal. Apakah seperti<br />kamar ketiduran tuan puteri...?” Eyang Ismoyo memegang bahu<br />muridnya. Walau sentuhan itu biasa-biasa saja namun Musalamat<br />merasa ada satu hawa aneh yang membuat tubuhnya mengikut<br />kemana telapak tangan sang guru mendorong. Maklumlah<br />Musalamat kalau gurunya bukan hanya sekedar ingin melihat<br />kamar di dalam kapal.<br />Apa yang diduga Musalarnat ternyata benar. Begitu masuk<br />ke dalam kamar di bawah buritan Eyang Ismoyo langsung<br />mengunci pintu. Selagi Musalamat meletakkan kotak kayu jati di<br />dalam sebuah lemari, orang tua itu membuka ikatan kain putih<br />lebar yang menggelung pinggangnya. Dari balik ikatan kain putih<br />dikeluarkannya sebuah benda berupa lembaran-lembaran daun<br />lontar yang sudah sangat tua membentuk sebuah kitab. Sepasang<br />mata Sri Ageng Musalamat cepat melihat apa yang ada di tangan<br />gurunya dan sekilas sempat membaca deretan aksara Jawa kuno<br />yang tergurat di sampul kitab.<br />“Kitab Putih Wasiat Dewa...” kata Ageng Musalamat dalam<br />hati dengan dada berdebar. “Muridku, aku yakin kau pernah<br />mendengar tentang kitab sakti ini...”<br />Ageng Musalamat mengangguk. “Saya sudah lama tahu<br />kalau Eyang memang memilikinya, namun baru sekali melihatnya,”<br />jawab Musalamat sambil matanya tidak lepas dari kitab tua yang<br />berada di tangan sang guru.<br />“Kitab ini dibuat dan ditulis isinya oleh nenek moyang kita<br />ratusan tahun yang silam. Siapa mereka adanya tidak diketahui.<br />Yang jelas pada masa kitab ini diciptakan nenek moyang kita masih<br />belum tersentuh hidup beragama. Mereka menganggap semua<br />kekuatan, semua kesaktian datang dari langit, daripada apa yang<br />mereka sebut para Dewa. Walau demikian apa yang mereka pelajari<br />dan apa yang kemudian mereka ajarkan bukanlah satu perbuatan<br />sesat. Mereka memiliki tata krama peradaban asli yang tidak<br />tercampur dengan kehidupan asing. Banyak dari semua tata krama<br />dan peradaban itu yang kini tetap kita pergunakan sebagai panutan.<br />Muridku, Kitab Wasiat Dewa ini bukan kitab sembarangan. Kitab sakti<br />ini diwariskan padaku sekitar lima belas tahun yang lalu. Aku telah<br />membaca dan mempelajari seluruh isinya. Namun aku merasa kepandaian<br />apa yang aku dapat dari kitab ini masih belum sempurna. Harus<br />banyak waktu yang diperlukan untuk mendalami pelajaran dan<br />kesaktian yang ada di sini. Otak tuaku sudah tumpul. Usiaku sudah<br />lanjut dan tubuhku sudah sangat rapuh. Mungkin aku sudah keburu<br />menemui ajal sebelum aku dapat mengerti seluruh isi kitab ini. Kau<br />masih muda, otakmu masih tajam dan tubuhmu masih kuat. Kurasa<br />kau akan mampu menguasai isi kitab ini jauh lebih cepat dariku. Aku<br />tidak punya orang lain yang dapat kupercaya. Kitab Wasiat Dewa ini<br />kuserahkan padamu. Jagalah baik-baik, selami isinya yang hanya<br />beberapa lembar ini. Kelak kepandaian yang kau miliki dan berasal<br />dari kitab ini akan mampu menegakkan kebenaran dan keadilan,<br />menumpas segala kejahatan. Orang yang memberikan kitab ini padaku<br />pernah mengatakan siapa yang memiliki kitab ini dan<br />mempergunakannya di jalan Allah maka dia akan menjadi penguasa<br />dunia persilatan, pengubur kesesatan dan penumpas kejahatan...“<br />Eyang Ismoyo menyerahkan kitab di tangannya pada Ageng<br />Musalamat. Sang murid yang tidak menduga hal itu akan terjadi<br />tersurut mundur dengan muka pucat.<br />“Eyang... Sa... saya tidak berani menerima kitab sakti ini...” kata<br />Ageng Musalamat dengan suara bergetar.<br />“Kau tidak berani. Apakah kau mau mengatakan apa sebabnya?”<br />tanya Eyang Ismoyo seraya menatap tajam sepasang mata muridnya.<br />“Saya... saya merasa tidak layak memilikinya. Saya insan kecil<br />yang tak mungkin mampu...”<br />“Muridku...” memotong Eyang Ismoyo. “Di mata Tuhan semua<br />manusia itu sama adanya. Yang membedakan kita satu sama lain<br />adalah ketakwaan terhadapNya. Yang membedakan kita satu sama lain<br />ialah dari patuh pada larangan dan kukuh pada ajaranNya. Aku<br />mempercayakan kitab ini untuk diserahkan padamu. Jangan siasiakan<br />kepercayaan itu...”<br />“Eyang...”<br />“Aku pernah mendapat petunjuk dalam mimpi. Kau akan<br />mampu menguasai isi kitab ini dalam enam kali bulan purnama.<br />Selama perjalanan ke negeri Cina yang akan menghabiskan waktu<br />cukup lama, selama berada di atas kapal mulailah membaca dan<br />menyelami serta mempelajari isinya... Terimalah!”<br />Dua tangan Ageng Musalamat tampak gemetaran ketika<br />menerima Kitab Wasiat Dewa yang terbuat dari daun lontar itu.<br />“Terima kasih atas kepercayaan guru. Amanat Eyang tidak akan<br />saya sia-siakan,” Musalamat membungkuk dalam-dalam.<br />Eyang Ismoyo tersenyum. Tiba-tiba dia melangkah ke pintu.<br />Siap hendak membukanya tapi membatalkan niatnya.<br />“Ada apa Eyang?” tanya Ageng Musalamat. “Ada seseorang<br />mencuri dengar pembicaraan kita tadi,” jawab si orang tua.<br />Mendengar ini Ageng Musalamat segera membuka pintu dan<br />memeriksa keluar.<br />“Tak ada siapa-siapa...” katanya. Tapi dia yakin pendengaran<br />sang guru tidak salah.<br />“Orangnya tentu telah menyelinap pergi. Muridku, ada<br />seorang culas di antara empat puluh anak buahmu.”<br />“Saya menyesalkan kebodohan saya. Padahal saya telah<br />memilih mereka dari orang-orang yang paling saya percayai.<br />Agaknya saya harus melakukan penyelidikan. Kalau perlu<br />keberangkatan hari ini saya batalkan.”<br />Si orang tua gelengkan kepala seraya memegang bahu<br />muridnya. “Jangan habiskan waktu untuk melakukan hal itu. Jika<br />kau sudah tahu ada seorang yang bersifat lancung yang harus kau<br />lakukan adalah berhati-hati, selalu bersikap waspada. Bila dalam<br />perjalanan kau berhasil menangkap orang yang culas itu,<br />kuperintahkan padamu untuk melemparkannya ke dalam lautan!<br />Aku pergi sekarang.”<br />Sri Ageng Musalamat cepat menyalami tangan gurunya dan<br />menciumnya dengan khidmat. Lalu orang tua itu diantarkannya<br />sampai ke daratan.<br />Ketika kapal besar itu mulai meluncur meninggalkan pantai<br />utara pulau Jawa, Eyang Ismoyo Jelantik didampingi beberapa<br />orang sahabat dan anak buahnya masih tegak di tepi pantai. Dia<br />baru bergerak sewaktu kapal kayu itu lenyap di batas pemandangan.<br />Dari saku jubahnya dikeluarkannya sebuah tasbih. Lalu<br />sambil melangkah orang tua ini mulai berzikir. Jauh di lubuk<br />hatinya ada suara yang mengatakan bahwa dia tak akan bertemu<br />lagi untuk selama-lamanya dengan muridnya itu.<br />“Entah aku yang akan meninggalkan dunia fana ini lebih<br />dulu, entah dia yang akan mendapat cobaan berat...” membatin si<br />orang tua. “Tuhan, lindungi dia. Jauhkan dia dari segala<br />malapetaka. Selamatkan dia dan seluruh anak buahnya kembali<br />ke tanah Jawa.”<br />-- == 0O0 == --<br />ENAM<br />LAUT malam mengalun tenang. Itu adalah malam pertama<br />kapal kayu yang ditumpangi rombongan Kanjeng Sri Ageng<br />Musalamat dalam pelayaran menuju utara. Setelah beberapa lama<br />berada di anjungan menikmati udara malam di tengah lautan murid<br />Eyang Ismoyo itu turun ke bawah, masuk ke dalam kamarnya. Dia<br />berdiri di atas sebuah kursi kayu lalu menggeser papan kecil di<br />langit-langit ruangan. Dari atas langit-langit kamar dikeluarkannya<br />Kitab Wasiat Dewa. Dengan hati-hati kitab itu diturunkannya lalu<br />duduk di atas ranjang.<br />Ageng Musalamat sengaja menyembunyikan kitab sakti itu di<br />atas loteng kamar tidur karena khawatir ada yang berniat jahat.<br />Apalagi dia sudah mendapat pemberitahuan dari sang guru kalau ada<br />seseorang yang telah mencuri dengar percakapan mereka di dalam<br />kamar.<br />Sejak siang tadi sebenarnya Ageng Musalamat ingin membuka<br />dan membaca isi kitab itu namun hatinya merasa tidak tenang. Hal<br />ini dapat dimaklumi. Beban yang diberikan Eyang Ismoyo dengan<br />menyerahkan kitab sakti itu padanya bukan beban kecil. Kalau<br />sampai dia tidak dapat memegang amanat bukan dirinya saja yang<br />akan celaka tapi rimba persilatan di tanah Jawa akan mengalami<br />bencana.<br />Ageng Musalamat memperbesar lampu minyak di atas kepala<br />tempat tidur. Dengan tangan gemetar dia membalik sampul Kitab<br />Wasiat Dewa.<br />Pada halaman pertama tertera serangkaian tulisan dalam<br />aksara Jawa kuno berbunyi:<br />Bilamana datang kebenaran maka meraunglah<br />para iblis pembawa kejahatan.<br />Kejahatan mungkin bisa berjaya.<br />Tapi pada saat kebenaran dan keadilan muncul<br />tak ada satu kekuatan lain mampu<br />membendungnya.<br />Kejahatan membakar dan merusak laksana api.<br />Tetapi api itu sendiri sebenarnya adalah<br />kekuatan dahsyat<br />Yang diarahkan para Dewa untuk membakar<br />mereka.<br />Bilamana api memusnahkan mereka<br />maka penyesalan tiada berguna.<br />Ageng Musalamat membaca rangkaian kalimat itu sampai tiga<br />kali lalu pejamkan mata merenungi dan meresapi. Sesaat kemudian<br />baru dia membuka halaman kedua Kitab Wasiat Dewa yang terbuat<br />dari daun lontar itu.<br />Di halaman ini terdapat gambar kepala seekor harimau putih<br />yang dikurung oleh lingkaran putih. Pada bagian bawah tertera<br />tulisan berbunyi:<br />Putih lambang kesucian dan kebenaran.<br />Harimau lambang keberanian dan kejantanan.<br />Barang siapa berjodoh dengan kitab ini maka<br />kemana pun dia pergi harimau putih akan<br />menjadi kekuatan, menjaganya dari segala<br />musuh, ilmu hitam dan iblis jahat.<br />Setelah mengerti betul apa yang tertulis di halaman kedua itu<br />maka barulah Ageng Musalamat membalik memasuki halaman<br />ketiga. Di halaman ini terdapat tulisan panjang dalam aksara Jawa<br />kuno berukuran kecil. Ageng Musalamat terpaksa membaca dengan<br />perlahan dan hati-hati agar tidak ada tulisan yang terlewat.<br />Delapan Sabda Dewa<br />Barang siapa berjodoh dengan Kitab Wasiat Sakti<br />dan mampu mempelajari yang tersurat maupun<br />yang tersirat, menguasai yang lahir dan yang<br />batin maka hendaklah dia mencamkan apa-apa<br />yang telah disabdakan.<br />Delapan Sabda Dewa adalah delapan jalur<br />keselamatan.<br />Tanah - Sabda Dewa Pertama<br />Manusia berasal dan dijadikan dari tanah<br />Kepada tanahlah manusia akan kembali<br />Karenanya manusia tidak boleh congkak dan takabur<br />dan harus ingat bahwa dirinya berasal dari<br />gumpalan debu yang hina.<br />Yang kuasa kemudian memberikan kehormatan,<br />menjadikannya makhluk pilihan karena memiliki<br />pikiran yang membedakannya dengan binatang.<br />Tanah bagian dari bumi ciptaan Yang Kuasa diberikan<br />kepada manusia untuk tempatnya berlindung<br />diri, berkaum-kaum dan mencari rezeki.<br />Karenanya tidaklah layak kalau manusia merusak<br />tanah dan bumi untuk maksud-maksud keji serta<br />berbuat kejahatan di atasnya.<br />Tanah dan bumi diberikan Yang Kuasa untuk kebahagiaan<br />ummat manusia. Karenanya manusia<br />wajib berterima kasih dengan jalan<br />memeliharanya. Tanah tempat kaki berpijak.<br />Dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung<br />Ketika tanah dijadikan ajang pertumpahan<br />para Dewa pun gelisah dalam duka dan kecewa<br />Mengapa manusia tidak berpikir dan berterima<br />kasih?<br />Air - Sabda Dewa Ke-dua<br />Lebih dari separuh bumi diciptakan Yang Kuasa<br />dalam bentuk air<br />Air mengalir di bumi dan mengalir di tubuh<br />manusia.<br />Air sumber kehidupan<br />Air membawa berkah<br />Mengapa manusia tidak berpikir?<br />Mengapa manusia berlaku keji mencemari air,<br />membunuh makhluk yang hidup di dalam air dan<br />di atas air<br />Air selalu mengalir dari atas ke bawah<br />Bukankah itu satu petunjuk bahwa mereka yang di<br />atas harus menolong mereka yang di bawah? Pada<br />saat manusia lupa dan tidak berterima kasih<br />atas segala berkah<br />Maka para Dewa berseteru dengan mereka Azab Yang<br />Kuasa pun turunlah<br />Dan air berubah menjadi bencana.<br />Api - Sabda Dewa ke-tiga<br />Ketika kecil menjadi kawan<br />Sewaktu besar menjadi lawan<br />Mengapa manusia tidak mau berpikir dalam mencari<br />manfaat daripada kualat?<br />Api membakar seganas iblis<br />Di dalam tubuh manusia ada api yang mampu merubah<br />manusia menjadi iblis<br />Barang siapa tidak mampu melawan api, bumi dan<br />tanah akan meratap, air akan menangis manusia<br />akan menjadi api puntung neraka.<br />Para Dewa terhempas dalam perkabungan.<br />Udara - Sabda Dewa Ke-empat<br />Udara sumber kehidupan<br />Dihembuskan Yang Kuasa ke dalam jalan pernapasan<br />jantung sanubari manusia<br />Udara tidak terlihat oleh mata, tidak teraba oleh<br />tangan<br />Di dalam yang tidak terlihat dan tidak tersentuh<br />itu ada berkah yang maha besar<br />Mengapa manusia masih mau berlaku culas<br />Mencemari udara dengan berbagai kebusukan<br />Ketika jalan napas tak dapat lagi menerima hawa<br />kotor,<br />Para Dewa siap melihat kematian mengenaskan<br />Mengapa manusia tidak berpikir?<br />Bulan - Sabda Dewa Ke-lima<br />Sumber kesejukan dunia ini muncul dikala malam<br />Tiada keindahan melebihi malam dengan rembulan<br />penuh memancarkan cahayanya yang lembut<br />Mengapa manusia tidak bisa selembut sinar<br />rembulan?<br />Padahal manusia memiliki pikiran, bulan tidak<br />Padahal manusia memiliki hati, rembulan tidak<br />Bukankah kelembutan sinar rembulan mencerminkan<br />perasaan kasih?<br />Kasih dari orang tua terhadap anaknya<br />Kasih seorang pemuda pada gadis curahan hatinya<br />Kasih sesama insan<br />Bahkan binatang pun mempunyai rasa kasih<br />Lalu mengapa manusia terkadang melupakannya?<br />Mengapa kasih dapat berubah menjadi kebencian<br />yang mendatangkan azab dan sengsara?<br />Dari siapa para Dewa akan mendapat jawaban?<br />Matahari - Sabda Dewa Ke-enam<br />Ketika bumi berputar dan matahari menerangi jagat<br />Cahaya terang menjadi berkah bagi seisi alam<br />Yang kuasa tidak ingin para makhluk dalam<br />kegelapan<br />Tetapi mengapa banyak diantara mereka yang sengaja<br />mencari memeluk kegelapan?<br />Tidakkah manusia berpikir<br />Bahwa cahaya hati tak kalah pentingnya dari<br />cahaya matahari?<br />Ketika bumi menjadi gelap karena sinar matahari<br />terhalang rembulan,<br />Apakah manusia merenungi arti semua ini? Mengapa<br />ummat mengeluh teriknya matahari<br />Padahal diakhir dunia kelak mereka akan didera<br />oleh seribu teriknya matahari<br />Padahal bukankah para Dewa telah memberi ingat<br />akan azab setiap dosa?<br />Kayu - Sabda Dewa Ke-tujuh<br />Siapa yang menanam akan menuai<br />Itu janji Maha Pencipta<br />Kebaikan yang ditanam walaupun sebesar zarah<br />Sang Pencipta tiada akan melupakannya<br />Karena Dia Maha Melihat dan Maha Mengetahui<br />Lalu mengapa kemudian manusia merusak benlh,<br />merusak yang tumbuh di atas tanah<br />Padahal mereka perlu tetumbuhan untuk dimakan<br />Padahal mereka butuh pepohonan untuk berlindung<br />Adakah manusia merasa bisa hidup tanpa pohon dan<br />kayu?<br />Ketika badai mengamuk dan pepohonan tumbang sama<br />rata dengan tanah<br />Ketika para Dewa merenung mengingat dosa<br />Ummat manusia masih saja berbuat kerusakan<br />Padahal mereka punya otak untuk berpikir dan<br />punya hati untuk merasa.<br />Batu - Sabda Dewa Ke-delapan<br />Ketika gunung batu meletus<br />Para Dewa bersujud minta ampun<br />Manusia menjerit, terhenyak dalam ketakutan<br />Tapi hanya seketika<br />Sesaat mereka terlepas dari bencana kembali mereka<br />lupa dan tegakkan kepala dengan congkak<br />Batu dijadikan Maha Pencipta agar manusia mempergunakannya<br />untuk melindungi diri dari<br />keganasan alam<br />Agar manusia ingat bahwa keteguhan iman harus<br />dipegang sekukuh batu<br />Ketika iman runtuh seperti runtuhnya gunung batu<br />Para Dewa menangis meminta ampun<br />Apakah mata dan hati manusia telah berubah menjadi<br />batu, buta dan bisu tiada rasa?<br />Kanjeng Sri Ageng Musalamat terpekur lama meresapi apa yang<br />barusan dibacanya. “Delapan Sabda Dewa...” katanya dalam hati<br />sambil memejamkan mata. “Sungguh luar biasa. Tak pernah kubaca<br />tulisan sebagus ini. Pengertiannya bila ditelusuri sangat mendalam.<br />Menurut Eyang Ismoyo buku ini ditulis pada masa orang belum<br />mengenal agama. Tapi aneh sekali, apa yang tertulis di sini, dasar<br />pemikiran sang penulis jelas seperti berasal dari Kitab Suci. Siapa<br />yang dimaksud penulis dengan para Dewa dalam kitab ini? Para tokoh<br />silat, para pemuka agama atau Dewa sungguhan...?”<br />Sri Ageng Musalamat mengusap-usap dagunya “Isi kitab ini<br />mengandung makna bahwa manusia harus ingat siapa dirinya, harus<br />ingat pada ajaran Sang Pencipta, harus hidup perduli diri sendiri dan<br />perduli lingkungan. Delapan Sabda Dewa ditutup dengan rangkuman<br />kalimat agar manusia memiliki iman sekokoh batu.... Lalu dimanakah<br />letak kehebatan buku ini? Mana ajaran-ajaran silat atau ilmu<br />kesaktian yang katanya bisa membuat seseorang menjadi penguasa<br />dunia persilatan? Ah! Aku bersikap bodoh. Yang kubaca baru<br />beberapa halaman. Masih ada halaman lain yang harus kubaca dan<br />kuteliti...”<br />Perlahan-lahan Sri Ageng Musalamat pergunakan jari-jari<br />tangan kanannya untuk membuka halaman berikutnya yakni halaman<br />kelima.<br />Mendadak Ageng Musalamat merasakan satu keanehan. Jari<br />telunjuk dan jari tengah tangan kanannya bergetar keras. Lalu dua jari<br />itu laksana berubah menjadi kayu tak mampu lagi digerakkan.<br />“Astagfirullah, dua jari tanganku menjadi kaku. Tak bisa<br />digerakkan. Aku tak mampu membalikkan halaman keempat untuk<br />membuka halaman ke lima....” Ageng Musalamat kerahkan tenaga<br />luarnya “Celaka! Kini lima jariku semua jadi kaku!” Lelaki itu terkejut<br />dan berubah air mukanya. Selain heran dan terkejut ada sekelumit<br />rasa penasaran dalam dirinya “Membalikkan halaman kitab daun<br />lontar ini api sulitnya. Tapi mengapa jari-jariku mendadak menjadi<br />kaku tak bisa digerakkan?! Kalau aku salurkan tenaga dalam mungkin<br />jari-jariku bisa pulih dan aku mampu membuka halaman kelima....“<br />Berpikir sampai disitu Ageng Musalamat kerahkan tenaga dalam<br />murninya dari pusar ke pergelangan tangan kanan terus ke ujungujung<br />lima jarinya. Tapi apa yang terjadi kemudian membuat lelaki ini<br />keluarkan seruan tertahan dan wajahnya mengerenyit tanda menahan<br />sakit yang amat sangat.<br />Tangan kanannya seperti disambar petir terbanting ke samping<br />dan ada. asap putih mengepul dari tangan itu. Ketika dia<br />memperhatikan ternyata tangan kanannya sebatas siku ke bawah<br />telah berubah menjadi sangat merah laksana tersiram air panas.<br />Selagi Ageng Musalamat tenggelam dalam keterkejutan dan kesakitan<br />yang amat sangat tiba-tiba kamar di mana dia berada itu laksana<br />runtuh oleh suara auman dahsyat. Suara auman harimau. Bersamaan<br />dengan itu hidungnya mencium harum bau kemenyan hingga dalam<br />kesakitan Ageng Musalamat kini juga dilanda rasa ngeri yang<br />membuat bulu tengkuknya merinding!<br />“Ya Tuhan, lindungi diriku. Apa yang sesungguhnya terjadi.<br />Jangan berikan cobaan padaku yang aku tidak sanggup<br />menghadapinya...”<br />Sekali lagi terdengar suara auman dalam kamar kayu yang<br />sempit itu. Seperti disapu angin dahsyat Ageng Musalamat terbanting<br />ke dinding kamar. Tangan kirinya masih memegang Kitab Wasiat<br />Dewa. Kedua matanya membelalak ketika tiba-tiba di hadapannya<br />muncul dua bayang-bayang aneh yang samar-samar membentuk<br />sosok tubuh manusia dan sosok binatang besar!<br />-- == 0O0 == --<br />TUJUH<br />WALAU dua sosok di hadapannya tidak beda seperti asap tipis<br />namun Sri Ageng Musalamat dapat melihat bahwa sosok pertama<br />adalah seorang tua bertampang gagah yang tubuhnya sangat tinggi<br />hingga kepalanya yang berambut putih hampir menyentuh langitlangit<br />kamar. Orang ini mengenakan selempang kain putih dan<br />memegang sebuah tongkat kayu berwarna putih. Sepasang matanya<br />berwarna kebiruan dan menatap tajam pada Ageng Musalamat yang<br />saat itu masih terhenyak di atas ranjang kayu dan tersandar ke<br />dinding kamar.<br />Di sebelah kiri si orang tua, ini yang membuat Ageng Musalamat<br />menjadi menahan napas dan keluarkan keringat dingin tegak seekor<br />harimau putih yang bukan main besarnya, memiliki tinggi tubuh<br />sampai sepinggang orang tua berselempang kain putih itu. Sepasang<br />mata harimau besar ini berwarna kehijau-hijauan, memandang tak<br />berkesip pada Ageng Musalamat.<br />Setelah menenangkan hati dan berusaha tabah, walau suaranya<br />masih gemetar Ageng Musalamat bertanya.<br />“Or... orang tua.... Siapa kau adanya?” Dalam hati dia yakin saat<br />itu bukan berhadapan dengan manusia dan harimau sungguhan.<br />Mungkin jin laut naik ke atas kapal bersama binatang peliharaannya?<br />Atau mungkin kapal yang ditumpanginya itu berpenghuni makhluk<br />halus? Untuk tambah menguatkan hatinya Ageng Musalamat diamdiam<br />membaca berbagai ayat suci dan memahon perlindungan pada<br />Yang Maha Kuasa.<br />“Kanjeng Sri Ageng Musalamat...” orang tua berbentuk bayangan<br />dan menyebut nama lengkap murid Eyang Ismoyo itu. “Seratus tahun<br />lalu aku dikenal dengan nama Datuk Rao Basaluang Ameh. Jazadku<br />sudah lama ditelan bumi. Kalau aku bisa muncui dan berdiri di<br />hadapanmu saat ini, itu tidak lain semata-mata adalah karena<br />Kuasanya Tuhan Seru Sekalian Alam. Harimau putih di sampingku<br />adalah Datuk Rao Bamato Hijau. Seperti diriku dia pun sudah lama<br />bersatu dengan bumi yang dengan Kuasa Allah masih bisa muncul<br />dan ikut bersamaku pada saat-saat diperlukan. Kami datang untuk<br />memberitahu padamu bahwa Kitab Wasiat Dewa tidak berjodoh<br />dengan dirimu...”<br />“Da... Datuk Rao.... Aku tak mengerti maksudmu,” kata Ageng<br />Musalamat.<br />“Kitab Wasiat Dewa yang ada di tangan kirimu itu tidak<br />berjodoh dengan dirimu. Dengan kata lain apa-apa yang ada di<br />dalamnya tidak boleh kau pelajari. Cukup kau hanya berkesempatan<br />membaca sampai halaman ke empat. Dalam empat halaman itu<br />sesungguhnya kau telah mempelajari hal-hal besar yang orang lain<br />tidak pernah mengetahui atau rnenyadarinya sebelumnya....”<br />“Orang tua, harap maafkan kalau kukatakan aku masih tidak<br />mengerti. Izinkan aku bertanya, apa hubunganmu dengan kitab ini?”<br />“Kami adalah sesepuh terakhir yang diserahi tugas untuk<br />menjaga Kitab Wasiat Dewa. Kitab itu tidak boleh jatuh ke tangan<br />orang yang tidak mendapat izin dan ridho. Apalagi kalau sampai<br />mempelajarinya....”<br />“Kitab ini aku terima dari guruku Eyang ismovo Jeiantik yang<br />dikenal dengan panggilan Wali Astanapura...”<br />“Kami tahu hal itu...” kata si orang tua pula. “Beliau<br />menyerahkan disertai pesan bahwa aku harus mempelajari serta<br />menyelami isi kitab ini. Kelak aku akan memiliki ilmu sangat berguna<br />untuk membela keadilan dan kebenaran, menguasai dunia persilatan<br />di jalan Allah, pengubur kesesatan dan penumpas kejahatan.... Dia<br />telah membaca isi buku ini walau katanya tidak tuntas. Karena sudah<br />terlalu tua untuk mempelajari maka diserahkan padaku.... “<br />“Kami tahu, tapi ada yang kau tidak tahu. Ismoyo Jelantik tidak<br />pernah membaca apalagi mempelajari isi Kitab Wasiat Dewa itu.... “<br />Tentu saja Ageng Musalamat jadi terkejut mendengar ucapan<br />orang tua berupa bayangan dan asap itu.<br />“Kami menitipkan Kitab Wasiat Dewa padanya melalui<br />seseorang. Dia menjaga kitab sakti itu selama lima belas tahun tanpa<br />sekali pun berani membuka dan membaca isinya. Itu sesuai dengan<br />pesan kami. Kami juga mengatakan padanya bahwa kitab itu kelak<br />harus diserahkannya pada orang yang sangat dipercayanya. Dan orang<br />itu ternyata adalah dirimu.... “<br />“Kalau kau sudah tahu hal itu berarti tidak ada halangan bagiku<br />untuk mempelajari segala ilmu kesaktian yang ada di dalamnya.”<br />“Tidak Ageng Musalamat. Kau tidak boleh mempelajari isinya.<br />Karena kau hanyalah seorang perantara yang dititipkan untuk<br />menjaga kitab itu baik-baik seperti kau menjaga keselamatan diri dan<br />nyawamu sendiri. Kelak seperti Ismoyo Jelantik, kau pun harus<br />menyerahkan Kitab Wasiat Dewa itu pada seseorang yang paling kau<br />percayai.... “<br />Ageng Musalamat jadi terdiam mendengar ucapan si orang tua.<br />“Kanjeng Sri Ageng Musalamat, apakah kau mendengar dan<br />mengerti apa-apa yang aku ucapkan tadi?” bertanya Datuk Rao<br />Basaluang Ameh.<br />“Aku mendengar, tapi terus terang harap dimaafkan sulit aku<br />bisa mengerti semua ini. Kau menyebut dirimu sudah ditelan bumi<br />seratus tahun yang silam. Bagaimana aku bisa mempercayai hal-hal<br />yang tidak bisa dicerna akal dan pikiran ini...?”<br />“Ada hal-hal yang memang tak bisa dicerna oleh otak manusia,<br />karena semua itu terjadi dengan kodrat dan kuasanya Tuhan. Bila<br />manusia memaksa untuk memecahkannya sedang dia tidak mampu<br />melakukannya maka berarti manusia mendera dan menyiksa dirinya<br />sendiri. Namun apa yang aku katakan padamu tidak termasuk dalam<br />hal-hal yang tak bisa dicerna akal dan pikiran itu. Kami hanya<br />meminta agar kau menjaga Kitab Wasiat Dewa baik-baik, jangan<br />membaca dan mempelajari isi kitab mulai dari halaman lima. Dan<br />bahwa kau harus menyerahkan kitab itu kelak pada seseorang yang<br />sangat kau percayai....”<br />“Siapa orangnya...?” tanya Ageng Musalamat.<br />“Kau akan tahu sendiri pada dua puluh tahun mendatang...”<br />jawab Datuk Rao Basaluang Ameh.<br />“Datuk....”<br />“Kau berjanji akan mematuhi apa yang kami minta?”<br />“Aku tak mungkin berjanji.... “<br />“Kalau begitu bersumpahlah!” kata Datuk Rao Basaluang<br />Ameh.<br />Ageng Musalamat menangkap nada suara yang mengandung<br />ancaman. Lalu dia ingat apa yang terjadi atas dirinya sebelum<br />kemunculan si orang tua dan harimau putihnya. Mula-mula dua jari<br />tangannya kaku, lalu seluruh jari tangannya. Ketika dia memaksa<br />dengan mengerahkan tenaga dalam untuk membuka halaman ke<br />lima dari Kitab Wasiat Dewa, sekujur lengannya bukan saja menjadi<br />kaku tapi juga melepuh merah laksana tersiram air panas! Sesaat<br />Ageng Musalamat memperhatikan tangan kanannya. “Jangan-jangan<br />orang tua ini yang telah melakukannya...” kata Ageng Musalamat<br />dalam hati. “Kalau aku menolak permintaannya pasti dia akan<br />melakukan sesuatu yang lebih hebat dari ini....”<br />“Kanjeng Sri Ageng Musalamat, aku tahu apa yang ada dalam<br />benakmu.” Tiba-tiba Datuk Rao Basaluang Ameh berucap, membuat<br />Ageng Musalamat terkesiap.<br />“Jika kau merasa tidak sanggup menjaga Kitab Putih Wasiat<br />Dewa, lebih dari itu tidak akan berlaku culas membaca seluruh<br />isinya, maka saat ini juga lebih baik kau serahkan kitab itu padakul”<br />Si orang tua angkat tangannya yang memegang tongkat.<br />Tongkat kayu putih itu di arahkannya pada Ageng Musalamat. Saat<br />itu juga tubuh Ageng Musalamat tersedot ke depan. Keningnya<br />menempel di ujung tongkat. Sementara sekujur tubuhnya terasa<br />kaku dan sedingin es! Putuslah nyali murid Eyang Ismoyo ini.<br />“Datuk Rao... Aku, aku berjanji akan menjaga Kitab Wasiat<br />Dewa dan nanti akan menyerahkannya pada orang yang paling<br />kupercaya....“<br />“Kau tidak akan mengingkari janji?”<br />“Tidak Datuk....“<br />“Bagus. Tapi harap kau ingat. Jika kau berlaku curang dan<br />mengingkari janji maka kau akan mendapat malapetaka besar...“<br />“Aku tidak akan mengingkari janji Datuk,” kata Ageng<br />Musalamat pula.<br />Datuk Rao Basaluang Ameh tarik tongkatnya sedikit. Ujung<br />tongkat terlepas perlahan dari kening Ageng Musaiamat. Tapi<br />sebaliknya murid Eyang Ismoyo ini terpental dan terbanting ke<br />dinding kamar.<br />“Kanjeng Sri Ageng Musalamat, kami tahu beban berat<br />bagimu dalam menjaga Kitab Wasiat Dewa. Apalagi kau akan<br />berada di negeri asing. Kau lebih beruntung dari orang-orang yang<br />pernah ketitipan kitab sakti bertuah itu sebelumnya...”<br />“Apa maksud Datuk Rao?” tanya Ageng Musalamat.<br />“Kau akan kami berikan satu jurus ilmu silat Harimau Dewa.<br />Mudah-mudahan bisa kau pergunakan untuk menjaga diri....”<br />“Datuk hendak mengajarkan tlmu silat Harimau Dewa. Di<br />dalam kamar sesempit ini? Bagaimana mungkin...”<br />Ilmu ini tidak perlu dilatih secara lahir. Pada saat kau<br />memerlukan, ilmu itu akan menuntunmu menghadapi musuh…”<br />“Ilmu aneh luar biasa. Jika Datuk tidak bergurau maka saya<br />menghaturkan terima kasih…”<br />“Mendekatlah ke sini Ageng Musalamat. Duduk di lantai di<br />hadapanku,” kata Datuk Rao Basaluang Ameh.<br />Ageng Musalamat turun dari atas ranjang kayu. “Letakkan<br />Kitab Putih Wasiat Dewa di atas pangkuanmu.”<br />Kembali murid Eyang Ismoyo melakukan apa yang dikatakan<br />si orang tua berbentuk samar. Setelah Ageng Musalamat duduk di<br />hadapannya, dari balik selempang kain putihnya Datuk Rao<br />keluarkan sebuah benda yang memancarkan sinar kekuningan.<br />Benda ini ternyata adalah sebuah saluang terbuat dari emas.<br />(Saluang = sebentuk seruling khas Minangkabau yang biasanya<br />terbuat dari bambu).<br />Datuk Rao dekatkan ujung saluang ke mulutnya. Sesaat<br />kemudian menggemalah suara alunan seruling, lembut berhibahiba.<br />Harimau putih besar di samping sang Datuk tiba-tiba<br />melangkah ke hadapan Ageng Musalamat. Orang ini serasa terbang<br />nyawanya ketika binatang itu tiba-tiba mengaum dahsyat lalu<br />membuka mulutnya lebar-lebar. Sekali lahap saja seluruh kepala<br />Ageng Musalamat sampai ke pangkal leher masuk ke dalam<br />mulutnya.<br />Murid Eyang Ismoyo ini tidak sempat merasakan adanya<br />hawa dingin yang keluar dari mulut harimau putih karena dirinya<br />langsung pingsan. Hawa aneh ini menjalar memasuki kepalanya<br />terus mengalir ke tangannya kiri kanan.<br />-- == 0O0 == --<br />DELAPAN<br />PEMUDA berpakaian biru berikat kepala merah dan bertubuh<br />tegap itu sesaat tegak tak bergerak di depan pintu kamar. Dari balik<br />tumpukan peti-peti besar melangkah keluar seorang lelaki separuh<br />baya. Mereka adalah anggota rombongan dan murid-murid Ageng<br />Musalamat. Lelaki yang melangkah dari balik peti menegur pemuda<br />yang berdiri di depan pintu kamar Ageng Musalamat.<br />“Cagak Guntoro, sedang apa kau di situ? Air mukamu kulihat<br />aneh.”<br />Pemuda bernama Cagak Guntoro tersentak kaget oleh teguran<br />yang tiba-tiba itu. “Kakak Munding Sura, syukur kau datang. Aku<br />mendengar suara<br />suara aneh dari dalam kamar pimpinan kita Kanjeng Sri Ageng<br />Musalamat.”<br />Munding Sura tersenyum. “Kau baru sekali ini mengarungi laut<br />naik kapal. Berbagai suara dalam kapal serta suara angin laut tentu<br />telah mempengaruhi pendengaranmu.”<br />“Aku tidak tertipu pendengaran sendiri kakak Munding. Aku<br />barusan dari geladak. Kanjeng Sri Ageng tidak ada di sana. Aku yakin<br />dia berada dalam kamar...”<br />“Malarn belum larut, tidak mungkin Kanjeng Sri Ageng masuk<br />kamar untuk tidur...” kata Munding Sura pula. “Suara-suara aneh apa<br />yang tadi kau dengar?”<br />“Suara seperti orang jatuh. Mungkin juga suara orang<br />dibanting ke dinding. Lalu aku dengar Kanjeng Ageng bicara. Tapi<br />lawan bicaranya tak kedengaran suaranya...”<br />“Kau ngaco Cagak! Apa kau kira pimpinan kita tidak waras<br />bicara sendirian dalam kamar? Hemm... mungkin dia memang sudah<br />tertidur lalu mengigau.... Sebaiknya kita tinggalkan saja tempat ini.<br />Naik ke geladak melihat-lihat laut waktu malam...“<br />Munding Sura hendak berlalu tapi Cagak Guntoro cepat<br />memegang bahunya dan berkata. “Kalau kita pergi begitu saja tanpa<br />menyelidik, bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan dirinya?”<br />“Lalu apa yang ada di benakmu?” tanya Munding Sura.<br />Cagak Guntoro tidak menjawab. Dia melangkah mendekati<br />pintu lalu mengetuk. Tak ada jawaban. Pemuda ini mengetuk sekali<br />lagi. Kini sambil bertanya. “Kanjeng Sri Ageng, kau ada di dalam?”<br />Tetap tak ada jawaban. Cagak Guntoro memandang pada<br />Munding Sura. Lelaki satu ini kini mulai merasa tidak enak.<br />“Buka pintunya. Kalau terkunci buka paksa!” kata Munding<br />Sura.<br />Cagak Guntoro coba membuka pintu. “Dikunci dari dalam...”<br />bisiknya. Lalu pemuda bertubuh kekar dan kuat ini pergunakan<br />bahunya untuk mendorong. Sekali mendorong pintu kamar terbuka.<br />Dia melangkah masuk ke dalam. Munding Sura mengikuti. Namun<br />belum sempat mereka melewati ambang pintu, kedua orang ini<br />melompat mundur sambil berbarengan keluarkan seruan tertahan.<br />Di dalam kamar yang tak seberapa besar itu, Kanjeng Sri Ageng<br />Musalamat tampak terbujur di atas ranjang kayu. Punggungnya<br />tersandar ke dinding. Di tangan kirinya ada sebuah kitab daun lontar<br />dalam keadaan terkembang. Sekujur tubuh Ageng Musalamat tampak<br />tak kurang suatu apa. Namun mukanya inilah yang membuat dua<br />anggota rombongan itu terkejut bukan kepalang bahkan ngeri. Muka<br />itu telah berubah menjadi kepala seekor harimau putih. Kejadian ini<br />hanya terlihat sebentar karena sesaat kemudian perlahan-lahan wajah<br />Sri Ageng Musalamat kembali pulih ke bentuknya semula. Cuma<br />hanya sepasang matanya saja yang kelihatan terkatup.<br />“Apa yang terjadi dengan pimpinan kita? Barusan mukanya<br />seperti harimau...” kata Cagak Guntoro dengan suara bergetar karena<br />masih diselimuti rasa ngeri.<br />“Aku mencium bau kemenyan,” balas berbisik Munding Sura.<br />“Yang begini merupakan tanda-tanda ilmu hitam...”<br />“Tidak mungkin Kanjeng Sri Ageng memiliki ilmu hitam. Kita<br />semua tahu betul hal itu!” kata Cagak Guntoro pula.<br />“Jangan-jangan ada seseorang telah berbuat jahat terhadapnya.<br />Kita harus segera membuat dia sadar...” Munding Sura masuk ke<br />dalam kamar. Namun saat itu perlahan-lahan Sri Ageng Musalamat<br />membuka kedua matanya. Dalam keadaan sadar dia segera ingat akan<br />apa yang barusan dialaminya. Namun tidak bisa memikir panjang<br />karena dilihatnya ada dua orang anak buahnya berada dalam kamar.<br />“Cagak Guntoro, Munding Sura! Ada apa kalian berada dalam<br />kamarku?!” tanya Ageng Musalamat.<br />“Maafkan kami berdua Kanjeng Sri Ageng. Kami tidak<br />bermaksud lancang. Namun tadi Cagak Guntoro mendengar suara<br />gaduh dalam kamar....”<br />“Betul Kanjeng. Saya mendengar suara seperti sosok tubuh<br />terbanting ke dinding.... Kami mengetuk pintu kamar. Juga<br />memanggil-manggil. Tapi tak ada jawaban. Karena khawatir terjadi<br />apa-apa dengan Kanjeng kami lalu memaksa masuk...,” Begitu Cagak<br />Guntoro menerangkan.<br />“Waktu masuk kamar ini terselubung bau kemenyan...”<br />menambahkan Munding Sura. “Begitu masuk kami lihat Kanjeng<br />tersandar ke dinding. Mata<br />terpejam entah tidur entah pingsan. Syukur sekarang Kanjeng<br />sudah bangun. Mohon maafmu kanjeng. Kami minta diri....”<br />“Tunggu...” kata Ageng Musalamat. “Selain suara orang<br />terbanting ke dinding, apa kalian juga mendengar suara-suara lain...?”<br />“Kami mendengar Kanjeng bicara dengan seseorang. Tapi waktu<br />kami masuk tidak ada siapa-siapa di kamar ini selain Kanjeng.... “<br />Menjawab Cagak Guntoro.<br />“Hemmm.... Berarti mereka tidak mendengar suara auman<br />harimau putih itu. Juga tidak mendengar suara seruling dan suara<br />Datuk Rao Basaluang Ameh,” membatin Ageng Musalamat.<br />Munding Sura melirik pada kitab yang ada di tangan kiri Ageng<br />Musalamat dan masih dalam keadaan terbuka. Melihat orang melirik<br />baru Ageng Musalamat sadar. Kitab Wasiat Dewa cepat ditutupnya.<br />Lalu dia bertanya.<br />“Apa kalian masih mencium bau kemenyan di kamar ini?”<br />Dua anak murid menggeleng.<br />“Kalian boleh pergi. Tak usah khawatir. Tak ada apa-apa di sini.<br />Aku berterima kasih kalian punya perhatian atas keselamatanku....<br />Sebelum pergi mungkin ada hal lain yang hendak kalian katakan<br />padaku?”<br />Cagak Guntoro sesaat memandang pada Munding Sura. Pemuda<br />itu memandang maksudnya untuk memberi isyarat pada lelaki itu<br />apakah akan diceritakan saja bagaimana tadi mereka menyaksikan<br />wajah sang Kanjeng berubah seperti muka seekor harimau putih.<br />Namun Munding Sura saat itu cepat-cepat membungkuk hingga<br />Cagak Guntoro terpaksa mengikuti meninggalkan kamar itu.<br />Sampai di geladak Munding Sura memegang lengan Cagak<br />Guntoro lalu bertanya berbisik. “Waktu di dalam kamar tadi kau<br />berada lebih dekat ke tempat tidur Kanjeng Sri Ageng. Apa kau sempat<br />memperhatikan kitab daun lontar yang dipegang Kanjeng?”<br />“Sempat, tapi aku tak tahu buku apa. Tulisannya kecil-kecil.<br />Lagi pula ditulis memakai huruf Jawa kuno. Aku tidak begitu pandai<br />membaca tulisan Jawa kuno... Kenapa kau menanyakan kitab itu?”<br />“Aku khawatir kitab itu ada hubungannya dengan keadaan<br />Kanjeng tadi...”<br />“Hem, bagaimana kau bisa menduga begitu kakak Munding<br />Sura?” tanya Cagak Guntoro. Munding Sura terdiam lalu mengangkat<br />bahu. “Kurasa Kanjeng tidak suka kita membicarakan apa yang tadi<br />kita saksikan. Sebaiknya kita lupakan saja kejadian itu....”<br />“Kurasa begitu...” kata Cagak Guntoro. Lalu dia menepuk bahu<br />Munding Sura dan berbisik. “Lihat, Kanjeng Sri Ageng ada di ujung<br />buritan sana....<br />Memang ada baiknya dia berada di laut terbuka begini beranginangin.<br />Dalam kamar terus-terusan udaranya kurang sehat. Panas dan<br />pengap.”<br />*<br />* *<br />Sambil berpegangan pada pagar kayu kokoh di buritan kapal<br />sebelah kiri Ageng Musalamat meraba dadanya. Di balik pakaiannya<br />tersimpan Kitab Putih Wasiat Dewa. Setelah apa yang tadi terjadi di<br />dalam kamar, kitab itu tak akan ditinggalkannya ke mana pun dia<br />pergi. Memandang ke arah lautan luas yang menghitam dalam<br />kegelapan malam Ageng Musalamat merenungi apa yang<br />telah,dialaminya.<br />“Dua puluh tahun.... Menurut orang tua yang muncul secara<br />aneh itu aku harus menyerahkan Kitab Wasiat Dewa pada seorang<br />yang paling aku percayai. Padahal Eyang Ismoyo jelas-jelas mengatakan<br />jika aku mempelajari keseluruhan isi kitab ini aku akan<br />menjadi penguasa dunia persilatan. Hemmm... mengapa orang tua itu<br />berdusta? Kalau saja sebelumnya dia menceritakan terus terang padaku<br />bahwa kitab ini tidak berjodoh rasanya bebanku tidak akan<br />seberat ini. Atau mungkin dia sendiri tidak mengetahui kalau dirinya,<br />dan juga diriku hanya ketitipan saja sebelum Kitab Wasiat Dewa<br />sampai di tangan orang yang benar-benar berjodoh? Lalu siapa pula<br />gerangan orang yang beruntung itu?”<br />Ageng Musalamat menarik napas dalam berulang kali. “Waktu<br />kutanya apakah ada hal lain yang hendak disampaikan, Cagak<br />Guntoro kulihat seperti hendak mengatakan sesuatu. Tapi Munding<br />Sura cepat-cepat keluar hingga pemuda itu tak sempat bicara. Atau<br />mungkin Munding Sura tidak mau Cagak Guntoro mengatakan.<br />Mengatakan apa? Aku harus menyelidik.”<br />Lama Sri Ageng Musalamat merenung dan berpikir-pikir di<br />buritan kapal. Dia baru beranjak dari situ ketika angin laut terasa<br />semakin kencang dan lembab.<br />Ketika dia mendorong pintu kamar dan masuk ke dalam,<br />langkah Ageng Musalamat serta merta terhenti. Peti kayu berukir<br />tempat disimpannya keris Kiyai Sabrang Tujuh Langit dilihatnya<br />tercampak di lantai. Ageng Musalamat cepat mengambil dan membuka<br />tutupnya untuk memeriksa. Tujuh cahaya emas membersit<br />menyilaukannya. Hatinya lega mendapatkan senjata mustika itu<br />masih berada dalam peti.<br />“Peti ini sebelumnya berada di atas meja kecil sana. Bagaimana<br />mungkin tahu-tahu berada di lantai? Pasti ada seseorang yang coba<br />mencurinya...“ Lalu Ageng Musalamat ingat akan keterangan Eyang<br />Ismoyo. Barang siapa bermaksud jahat dan mencuri keris sakti itu<br />maka senjata itu akan berubah beratnya laksana segunung batu!<br />Ageng Musalamat coba mereka-reka. “Ada seseorang menyelinap<br />masuk. Mengambil peti berisi keris. Ketika coba membawanya keluar<br />kamar tiba-tiba keris menjadi sangat berat hingga dia tidak mampu<br />mengangkat dan lepas dari pegangannya. Pengkhianat terkutuk.<br />Pencuri laknat. Ada pengkhianat dan pencuri di atas kapal ini.<br />Celakanya dia adalah salah seorang dari murid-muridku!”<br />Dengan mengepalkan tangan Ageng Musalamat tinggalkan<br />buritan. Cagak Guntoro ditemuinya lebih dulu. Pemuda ini terduduk<br />di salah satu sudut kapal. Kaki kanannya tampak bengkak dan luka.<br />Seorang kawannya sibuk menguruti kaki yang cidera itu.<br />“Hemm.... Dia rupanya,” kata Ageng Musalamat dalam hati. Dia<br />melangkah mendekati orang yang mengurut dan menepuk bahunya.<br />“Pergilah... Biar aku yang meneruskan mengurut kakinya.”<br />“Kanjeng.... Tak usah. Biarkan saja dia...” kata Cagak Guntoro.<br />Namun pandangan mata pimpinan mereka membuat pemuda yang<br />tadi mengurut segera berdiri dan tinggalkan tempat itu. Setelah mereka<br />berada berdua saja Ageng Musalamat berjongkok di depan Cagak<br />Guntoro. Sambii memegang kaki kanan pemuda itu dia berkata.<br />“Hemmm... Cidera kakimu cukup parah. Apa yang terjadi Cagak<br />Guntoro?”<br />“Kakiku kejatuhan salah satu besi penahan tiang layar kapal...“<br />“Pasti kau tidak berhati-hati. Malu rasanya pemuda sehebatmu<br />bisa dihajar lawan tidak bernapas seperti besi itu!” Ageng Musalamat<br />menyeringai. Lalu tangan kirinya bergerak memegang kaki kanan muridnya<br />itu. Pegangan sang Kanjeng bukan pegangan sembarangan<br />karena disertai tenaga yang kuat hingga Cagak Guntoro teraduh-aduh<br />kesakitan.<br />“Dengar, aku bisa meremukkan tulang kakimu mulai dari ujung<br />jari sampai ke mata kaki...” kata Ageng Musalamat dengan suara<br />tajam dan pandangan mata tak berkesip.<br />“Kanjeng.... Apa maksudmu?” tanya Cagak Guntoro sambil<br />menahan sakit.<br />“Katakan apa yang sebenarnya terjadi! Kakimu itu cidera<br />bukan karena kejatuhan besi kapal!”<br />“Aku tidak berdusta Kanjeng. Perlu apa....”<br />“Waktu aku berada di buritan kau menyelinap masuk ke dalam<br />kamarku. Berusaha mencuri peti kayu berisi keris Kiyai Sabrang<br />Tujuh Langit! Benda sakti itu tiba-tiba menjadi berat dan kau tidak<br />mampu memegangnya. Peti kayu terlepas dari tanganmu, jatuh<br />menimpa kaki kananmu hingga hampir remuk!” Cagak Guntoro<br />tampak berubah mukanya.<br />“Kanjeng... aku tak pernah berdusta padamu.... Mengingat<br />budimu aku menghormati lebih dari menghormati orang tua<br />sendiri...“<br />“Kedua orang tuamu sudah mati! Tak perlu disebut-sebut. Aku<br />tidak percaya pada keteranganmu. Ingat, kau dulu kupungut dari<br />pasar sewaktu jadi pengemis kecil, kurus kering dan korengan. Hebat<br />kalau kau menyebut segala budi. Kau memang telah membuktikan.<br />Dengan mencuri keris itu tapi gagal karena kau tidak tahu<br />bagaimana saktinya senjata itul”<br />Wajah Cagak Guntoro tampak pucat sekali. Dia menggelenggelengkan<br />kepalanya berulang kali. “Menurut pesan Eyang Ismoyo<br />manusia culas sepertimu layak dibuat mampus. Tapi aku masih mau<br />memberi pengampunan. Kedudukanmu sebagai murid aku cabut.<br />Derajatmu sekarang sama dengan pembantu yang harus melayani<br />semua anggota rombongan! Kalau kelak nanti tidak terbukti bahwa<br />memang bukan kau yang hendak mencuri senjata mustika itu maka<br />aku akan memikirkan untuk memulihkan kedudukanmu kembali!”<br />Kanjeng Sri Ageng Musalamat bantingkan kaki kanan Cagak<br />Guntoro ke lantai lalu berdiri dan tinggalkan tempat itu.<br />“Kanjeng!” panggil Cagak Guntoro. “Kau keliru Kanjeng. Aku<br />bersumpah bahwa aku tidak....”<br />Ageng Musalamat tidak perduli. Dia melangkah terus dan<br />akhirnya lenyap di.balik tumpukan peti-peti besar. Di tangga yang<br />menghubungkan bagian bawah dengan geladak kapal kayu besar itu<br />Ageng Musalamat berpapasan dengan Munding Sura. Anak muridnya<br />ini segera ditariknya ke salah satu sudut di bawah tangga.<br />“Aku perlu penjelasan darimu Munding Surya. Kuharap kau<br />menjawab dengan jujur. Jangan berani berdusta!”<br />Walaupun heran dengan tindakan pemimpinnya itu namun<br />Munding Sura menjawab juga. “Kanjeng Sri Ageng, apa yang hendak<br />kau tanyakan?”<br />“Sewaktu kau dan Cagak Guntoro berada di kamar, aku<br />menanyakan pada pemuda itu apa ada hal lain yang hendak<br />dikatakannya. Dia seperti hendak mengatakan sesuatu padaku.<br />Namun kau seolah memberi isyarat agar dia tidak bicara. Lalu kalian<br />berdua cepat-cepat meninggalkan kamarku. Aku yakin ada sesuatu<br />yang kalian tidak mau mengatakan!”<br />“Kanjeng....”<br />“Aku menunggu Munding Sura. Katakan cepat!”<br />“Waktu kami masuk ke dalam kamar, kami lihat Kanjeng Sri<br />Ageng duduk di atas ranjang kayu, tersandar ke dinding kamar. Kami<br />tidak tahu apakah saat itu Kanjeng tengah tidur atau pingsan. Cuma<br />kami melihat wajah Kanjeng tidak seperti biasanya....”<br />“Maksudmu?” tanya Ageng Musalamat.<br />“Muka Kanjeng tidak seperti muka manusia....”<br />“Munding Sura!” bentak Ageng Musalamat. “Jangan kau bicara<br />ngelantur...“<br />“Saya tidak ngelantur. Juga tidak dusta Kanjeng. Saat itu kami<br />lihat muka Kanjeng telah berubah menjadi muka seekor harimau<br />putih...“<br />Kalau ada petir menyambar di depannya mungkin tidak<br />demikian terkejutnya Ageng Musalamat. “Mukaku berubah menjadi<br />muka seekor harimau putih katamu?!”<br />Dalam keadaan tercekat Munding Sura anggukkan kepala.<br />Ageng Musalamat tegak tak bergerak. Ingatannya kembali pada<br />apa yang terjadi di kamarnya. Muncul sosok Datuk Rao dan seekor<br />harimau putih. Lalu harimau putih itu mendekatinya dan membuka<br />mulut lebar-lebar. Sewaktu binatang ini memasukkan kepalanya ke<br />dalam mulutnya, dia jatuh pingsan. “Orang ini tidak berdusta,”<br />membatin Ageng Musalamat. Lalu dia ingat pada ucapan Datuk Rao.<br />“Kau lebih beruntung dari orang-orang yang pernah ketitipan kitab<br />sakti bertuah itu sebelumnya... Kau akan kami berikan satu jurus<br />ilmu silat Harimau Dewa. Mudah-mudahan bisa kau pergunakan<br />untuk menjaga diri...“<br />“Berarti....” Ageng Musalamat usap-usap dagunya, “Datuk Rao<br />memang telah memberikan satu ilmu padaku. Ilmu silat Harimau<br />Dewa...”<br />-- == 0O0 == --<br />SEMBILAN<br />KEDATANGAN rombongan Kanjeng Sri Ageng Musalamat<br />disambut utusan khusus Raja Tiongkok di pelabuhan Seochow.<br />Bersama utusan tersebut ikut pula beberapa orang pejabat penting di<br />Kotaraja. Raja Tiongkok ternyata bersikap arif bijaksana. Karena tahu<br />rombongan tamu yang datang adalah orang-orang Muslim maka dia<br />sengaja mengirimkan orang-orang seagama untuk menyambut<br />kedatangan Ageng Musalamat dan rombongan. Seorang penterjemah<br />yang juga disediakan oleh Raja ikut hadir di tempat itu dan kelak akan<br />mendampingi Ageng Musalamat kemana dia pergi.<br />Di antara rombongan penjemput terdapat seorang anak lelaki<br />kurus berusia sembilan tahun. Setelah upacara penyambutan resmi<br />selesai sesuai yang telah diatur, anak ini maju ke muka membawa<br />sebuah pipa panjang khas Tiongkok yang sudah diisi tembakau.<br />Seseorang membakar tembakau itu hingga menebar asap yang harum.<br />Si anak lalu menyerahkan pipa pada Ageng Musalamat.<br />“Ah, rupanya para sahabat di sini tahu kalau aku dulunya<br />adalah perokok berat. Sejak beberapa tahun belakangan ini aku<br />berusaha mengurangi merokok karena kurang baik untuk kesehatan.<br />Sekarang melihat pipa sebagus ini serta tembakau seharum ini aku<br />berpikir-pikir apakah mampu menahan selera merokok?” Kanjeng Sri<br />Ageng Musalamat tertawa lebar. Diusapnya kepala anak lelaki itu<br />berulang kali lalu diambilnya pipa panjang yang diserahkan. Langsung<br />saja dia menyedot pipa dalam-dalam dan mengepulkan asapnya tinggitinggi<br />ke udara.<br />“Terima kasih... terima kasih...” kata Ageng Musalamat berulang<br />kali seraya membungkuk. Dia berpaling pada anak lelaki yang<br />barusan menyerahkan pipa padanya dan melihat sesuatu yang sudah<br />lama diharapkannya. “Anak ini walau kurus tapi memiliki bentuk<br />tubuh dan raut tulang yang jarang dimiliki anak lain. Sepasang bola<br />matanya jernih dan pandangannya mencerrninkan satu kekuatan<br />yang tidak mudah goyah. Dalam sejuta belum tentu bisa ditemukan<br />yang seperti dia....”<br />Ageng Musalamat melangkah mendekati si anak lalu bertanya.<br />“Anak gagah, siapa namamu?” Setelah diberi tahu oleh Bu Tjeng si<br />penterjemah apa yang ditanyakan orang si anak dengan sikap tegak<br />dan suara lantang menjawab.<br />“Nama saya Ki Hok Kui. Saya anak petani miskin di desa<br />Chungwei!”<br />“Anak hebat!” memuji Ageng Musalamat. “Orang tuamu pasti<br />bangga punya anak sepertimu...”<br />Setelah Bu Tjeng memberitahu si anak tampak tersenyum lalu<br />membungkuk.<br />“Orang tuaku telah tiada. Mereka meninggal enam tahun lalu<br />waktu terjadi air bah besar di pantai timur!”<br />“Ah...” Ageng Musalamat manggut-manggut terharu. Namun<br />dibalik keharuannya dia melihat sesuatu pada diri Ki Hok Kui. Anak<br />ini tersenyum ketika menjawab pertanyaannya padahal dia<br />mengatakan sesuatu yang sangat menyedihkan dalam kehidupannya.<br />“Anak ini mampu menekan perasaannya. Menjawab kesedihan dengan<br />senyum menghias bibir....”<br />Ageng Musalamat kembali mengusap kepala Ki Hok Kui. “Aku<br />menyesal mendengar kau seorang anak yatim piatu. Nasib kita sama.<br />Aku juga seorang yatim piatu. Tapi kau tak usah takut. Kesusahan<br />hidup membuat seseorang menjadi tabah dan kuat sekuat batu<br />karang yang aku lihat banyak bertebaran di pantai menjelang<br />pelabuhan Seochow!”<br />Ki Hok Kui kembali tersenyum. “Saya memang sudah pernah<br />mendengar Kan-jieng mengucapkan kata-kata itu....” Anak ini<br />menyebut kata Kanjeng dengan Kan-jieng.<br />Tentu saja Ageng Musalamat jadi terkejut. Orang-orang yang<br />ada di sekitar situ juga terheran-heran mendengar ucapan anak itu.<br />“Ki Hok Kui, kau bilang barusan pernah mendengar aku<br />mengucapkan kata-kata itu. Kapan... di mana? Padahal kita baru saja<br />saling bertemu saat ini.”<br />“Dalam mimpi,” jawab Ki Hok Kui pula. “Satu tahun lalu saya<br />pernah bermimpi bertemu dengan seseorang dan bicara seperti itu.<br />Begitu melihat Kan-jieng saat ini saya segera ingat bahwa Kan-jienglah<br />orang yang saya lihat dalam mimpi itu dan bicara pada saya....”<br />Sesaat Ageng Musalamat jadi terkesiap mendengar keterangan si<br />anak. Begitu juga anggota rombongan yang lain. “Ternyata anak ini<br />punya daya ingat yang kuat....” kata Ageng Musalamat dalam hati.<br />“Aku yang baru berusia empat puluh tahunan terkadang sering-sering<br />lupa pada hal-hal yang belum lama terjadi. Hemm.... “<br />Ageng Musalamat tertawa lebar.<br />“Apakah kau punya saudara Ki Hok Kui? Kau tinggal di kota<br />ini?”<br />Ki Hok Kui menggeleng. “Saya tidak punya saudara tidak punya<br />sanak. Saya tinggal di panti asuhan anak-anak terlantar dipimpin<br />seorang guru besar She Pouw bernama Goan Keng. Dia sudah tiga kali<br />naik haji ke tanah suci. Apakah Kan-jieng sudah pernah ke Mekkah?”<br />Ageng Musalamat tertawa gelak-gelak. “Gurumu itu pasti ulama<br />hebat! Aku sendiri belum pernah ke tanah suci. Mungkin aku akan<br />pergi nanti langsung dari daratan Tiongkok ini....” Ageng Musalamat<br />tepuk-tepuk bahu Ki Hok Kui. “Anak gagah, apakah kau akan<br />menyertai rombongan kami ke Kotaraja?”<br />Si anak mengangguk.<br />“Kalau begitu kita berangkat sekarang....”<br />“Kan-jieng dan rombongan silahkan berangkat duluan. Nanti<br />saya menyusul....”<br />“Eh, memangnya kau hendak kemana Hok Kui?” tanya Ageng<br />Musalamat pula.<br />Si anak menunjuk ke langit. “Matahari sudah tinggi Kan-jieng....<br />Saya belum sembahyang Zuhur.”<br />Ageng Musalamat terkejut. “Astagfirullah, semoga Tuhan<br />mengampuni saya dan semua orang yang ada di sini. Kami pun belum<br />sempat sembahyang walau di kapal sudah melakukan solat qasar....<br />Hok Kui, apakah ada mesjid di sekitar sini?”<br />“Tidak ada Kan-jieng. Tapi tak jauh dari sini ada satu bangunan<br />besar yang ditinggalkan pemiliknya. Keadaannya bersih. Airnya<br />banyak untuk wudhu....”<br />“Kalau begitu antarkan kami ke sana. Kita sembahyang<br />berjamaah di tempat yang kau katakan itu.”<br />Ki Hok Kui membungkuk. Lalu tanpa sungkan-sungkan<br />dipegangnya lengan Ageng Musalamat, membawanya ke sebuah<br />bangunan besar yang terletak tak jauh dari sana.<br />*<br />* *<br />Walaupun rombongan mengendarai beberapa kereta dan<br />gerobak serta ada pula yang menunggangi kuda, namuh cuaca yang<br />buruk membuat<br />mereka tidak bisa bergerak cepat. Satu hari menjelang sampai di<br />Kotaraja, menjelang tengah malam rombongan berkemah di dekat<br />sebuah telaga kecil. Ageng Musalamat dan anak buahnya sebenarnya<br />ingin terus berjalan namun kuda-kuda penarik kereta dan gerobak<br />serta kuda-kuda tunggangan perlu beristirahat setelah satu hari<br />suntuk berjalan terus menerus.<br />Di dalam kamarnya setelah selesai metakukan sembahyang<br />sunat dan bersiap-siap untuk merebahkan diri di atas sehelai tikar<br />permadani mendadak telinga Ageng Musalamat mendengar suara<br />derap kaki kuda banyak sekali mengitari tempat perkemahan. Tak<br />lama kemudian terdengar suara bentakan-bentakan keras.<br />Ageng Musalamat yang satu kemah dengan penterjemah Bu<br />Tjeng segera keluar dari dalam kemah. Ketika sampai di luar<br />dilihatnya puluhan anak muridnya serta rombongan orang-orang yang<br />menjemput dari Kotaraja tegak mengurung tujuh orang penunggang<br />kuda. Selain mengenakan pakaian serba hitam, tujuh penunggang<br />kuda ini juga memakai kain hitam penutup wajah masing-masing. Di<br />belakang punggung mereka kelihatan tersembul ujung gagang pedang.<br />Mereka memiliki rambut hitam lebat. yang dikuncir di atas kepala.<br />Anehnya rambut di sebelah atas ikatan kuncir berwarna kuning keemasan.<br />“Kami datang mencari kepala rombongan tamu yang datang dari<br />seberang!” Penunggang kuda di sebelah kiri depan berseru. Tidak<br />seperti enam temannya, dia satu-satunya yang mengenakan mantel<br />merah. Agaknya dialah yang jadi pimpinan rombongan tak dikenal itu.<br />Bu Tjeng segera memberitahu Ageng Musalamat apa yang<br />diucapkan orang itu.<br />“Ini aneh, bagaimana dia tahu diriku dan apa perlunya<br />mencariku?” bisik Ageng Musalamat.<br />“Sebentar lagi persoalannya akan jelas. Lu Liong Ong, pimpinan<br />utusan Raja tengah melangkah ke hadapan penunggang kuda<br />bermantel merah itu,” kata Bu Tjeng berikan jawaban.<br />Lu Liong Ong, seorang lelaki bertubuh kurus tinggi, berpakaian<br />merah dan mempunyai kedudukan cukup tinggi di Kotaraja serta<br />memiliki kepandaian silat melangkah ke depan kuda tunggangan si<br />mantel merah.<br />“Aku Lu Liong Ong pimpinan rombongan penjemput tamu dari<br />tanah Jawa. Tamu Raja tidak boleh diganggu. Jika kau ada keperluan<br />harap beritahu padaku. Tapi lebih dulu harap beritahu siapa kalian<br />adanya! Satu hal lagi sebagai tamu tidak diundang harap kau<br />memakai sopan santun peradatan. Turun dari kudamu jika kau bicara<br />denganku!”<br />Orang bermantel terdengar mendengus. “Lu Liong Ong!” orang<br />ini keluarkan suara lantang. “Kami tahu kau pejabat tinggi salah satu<br />orang kepercayaan Raja! Karena kami menghormatimu maka kami<br />tidak berniat untuk cari urusan dengan kalian orang-orang Kerajaan!”<br />“Aku minta kau turun dari kuda kalau bicara denganku! Enam<br />orang anak buahmu lekas kau perintahkan untuk melakukan hal<br />yang sama!”<br />Kembali orang bermantel mendengus di balik kain hitam<br />penutup mukanya. Dia memandang berkeliling pada enam orang anak<br />buahnya. Lalu masih duduk di atas kuda orang ini kibaskan mantel<br />merahnya ke kiri. Angin deras menderu ke arah Lu Liong Ong<br />membuatnya agak sempoyongan. Cepat orang ini kerahkan tenaga dan<br />atur kuda-kuda kedua kakinya hingga dia tidak sampai jatuh oleh<br />sambaran angin mantel yang hebat itu!<br />Sambil tertawa pendek lelaki bermantel merah melompat dari<br />punggung kudanya. Dia tidak langsung melompat turun tapi melayang<br />dulu ke atas lalu ketika kedua kakinya yang berkasut menginjak<br />tanah tidak sedikit suarapun terdengar. Rupanya orang ini sengaja<br />menunjukkan kehebatan ilmu meringankan tubuhnya kepada semua<br />orang yang ada di situ, terutama kepada Lu Liong Ong yang diketahuinya<br />memiliki kepandaian tinggi.<br />“Hemm.... Orang ini sengaja memamerkan ginkangnya,”<br />membatin Lu Liong Ong. (ginkang = ilmu meringankan tubuh)<br />Enam penunggang kuda lainnya segera pula melompat turun<br />dari tunggangan masing-masing.<br />Begitu berdiri berhadap-hadapan Lu Liong Ong segera berkata.<br />“Sekarang katakan siapa kalian ini dan apa maksud kedatangan<br />kalian ke sini! Muncul dengan menutupi wajah dengan kain bukan<br />tindakan orang-orang bermaksud baik!”<br />“Menurut aturan kami tidak layak memberitahu siapa kami<br />adanya. Tapi mengingat kau adalah pejabat Kerajaan, kami sedikit<br />berlaku murah. Kalau kami sudah memberitahu harap kau jangan<br />banyak cingcong lagi!”<br />“Katakan saja langsung siapa kalian!” kata Lu Liong O.ng<br />menahan jengkel.<br />“Kami utusan Lo Sam Tojin, Ketua Perkumpulan Kuncir Emas.<br />Kami datang untuk menjemput pimpinan orang-orang yang datang<br />dari Jawa...” (Tojin = Paderi Kun Lun Pay, satu dari beberapa partai<br />besar di daratan Tiongkok)<br />Terkejutlah semua orang-orang Kerajaan yang ada di tempat itu.<br />Ageng Musalamat sendiri walau tetap berlaku tenang namun wajahnya<br />jelas berubah. Dia segera minta keterangan pada penterjemah Bu<br />Tjeng.<br />“Orang-orang itu bermaksud menjemputmu... Itu istilah<br />halusnya. Sebenarnya mereka hendak mengambilmu secara paksa....”<br />“Mau menculikku?!”<br />-- == 0O0 == --<br />SEPULUH<br />SI PENERJEMAH, Bu Tjeng, mengangguk membenarkan. “Tapi<br />mengapa? Siapa mereka sebenarnya?” tanya Ageng Musalamat.<br />“Selama beberapa tahun Lo Sam Tojin dikenal sebagai salah satu<br />pengurus tinggi Partai Kun Lun. Diantara dia dan para pengurus<br />partai terjadi satu perselisihan besar. Paderi itu memutuskan<br />meninggalkan Kun Lun. Beberapa orang yang dekat dengan dia ikut<br />serta. Mereka membangun satu perkampungan di lembah Pek-hun<br />dan mendirikan satu perkumpulan yang mereka beri nama<br />Perkumpulan Kuncir Emas.<br />“Dari satu perkampungan kecil, lembah Pek-hun menjadi satu<br />kawasan pemukiman besar. Jumlah para pengikut Lo Sam Tojin<br />semakin banyak. Ada selentingan bahwa mereka akan membentuk<br />sebuah partai sebagai sempalan dari Kun Lun Pay. Setahu kami<br />Perkumpulan Kuncir Emas bukan perkumpulan baik-baik. Mereka<br />sering melakukan perampokan dan pembunuhan walau yang mereka<br />rampok dan bunuh adalah orang-orang kaya pelit atau pejabat-pejabat<br />yang diketahui melakukan korupsi.”<br />Lu Liong Ong rangkapkan dua tangan di depan dada. Lalu<br />bertanya. “Apakah Lo Sam Tojin memberitahu padamu apa<br />maksudnya menjemput tamu kami yang datang dari Jawa itu?”<br />Lelaki bermantel merah kembali tertawa pendek. “Kami bukan<br />anak buah yang tidak tahu diri! Berani bertanya pada pimpinan hal<br />yang tidak layak kami ketahui! Kau sebagai orang luar apalagi! Kami<br />datang untuk menjemput orang itu. Mana dia! Lekas suruh dia<br />keluar!”<br />“Selama orang itu berada bersama kami, sebagai tamu Raja<br />maka tidak ada satu orang lainpun boleh memintanya! Aku sudah<br />tahu apa kata-kata menjemput yang kau sebutkan! Kalian sebenarnya<br />hendak merampas orang itu dari tangan kami! Mau menculik tamu<br />Raja!”<br />“Kalau kau sudah tahu mengapa tidak segera menyerahkan<br />orang itu pada kami?!”<br />“Aku perintahkan kau dan anak buahmu segera meninggalkan<br />tempat ini!” bentak Lu Liong Ong.<br />“Lu Liong Ong, tadi kami sudah bilang kami mengambil sikap<br />hormat terhadap kalian orang-orang Kerajaan dan tidak ingin mencari<br />urusan. Tapi jika kau berani menampik permintaan Lo Sam Tojin<br />maka itu adalah satu penghinaan besar yang harus kau bayar dengan<br />mahal!”<br />Lu Liong Ong turunkan kedua tangannya yang sejak tadi<br />dirangkapkan di depan dada. “Kami memang sudah lama mendengar<br />dan mengawasi tindak tanduk kalian orang-orang Perkumpulan<br />Kuncir Emas! Kalian tidak bisa dikatakan sebagai orang baik-baik.<br />Tinggalkan tempat ini. Kembali pada pimpinan kalian. Katakan pada<br />Lo Sam Tojin. Jika dia tidak segera membubarkan perkumpulannya<br />maka pasukan Kerajaan akan datang menyerbu. Lo Sam Tojin akan<br />ditangkap dan diadili. Aku yakin hanya ada satu putusan pengadilan<br />baginya. Yaitu hukum pancung batang leher!”<br />Orang bermantel merah tertawa gelak-gelak. Enam temannya<br />ikut-ikutan tertawa.<br />“Lu Liong Ong! Kami tahu kau seorang pembesar Kerajaan. Tapi<br />mulutmu lebih besar dari kedudukanmu! Kalau kau menuduh kami<br />ini orang-orang jahat mengapa tidak segera turun tangan menangkap<br />kami?!”<br />Ditantang seperti itu walau dia jadi marah tapi Lu Liong Ong<br />tetap tenang.<br />“Saatnya akan tiba! Pasukan Kerajaan akan menyerbu lembah<br />Pek-hun menumpas habis kalian semual Kalian masih untung saat ini<br />kami tengah membawa rombongan tamu dari seberang laut. Jadi<br />sebaiknya pergunakan kesempatan bagus ini untuk cepat-cepat<br />angkat kaki!”<br />Orang bermantel tertawa gelak-gelak. Lalu dia berpaling pada<br />enam anak buahnya dan berkata. “Kawan-kawan, percuma bicara<br />dengan manusia satu ini! Bereskan dia!”<br />Mendengar kata-kata pimpinan mereka enam orang berseragam<br />hitam melompat ke depan. Mereka menebar demikian rupa hingga Lu<br />Liong Ong terkurung di tengah-tengah.<br />Melihat kejadian ini Ageng Musalamat cepat tinggalkan kemah.<br />Namun langkahnya tertahan oleh pegangan Ki Hok Kui. Anak ini<br />mengatakan sesuatu cepat sekali. Ageng Musalamat berpaling pada<br />Bu Tjeng.<br />Orang ini segera memberitahu. “Hok Kui mengkhawatirkan<br />keselamatanmu. Dia ingin kau masuk kembali ke dalam kemah<br />karena orang itu datang hendak menculikmu.”<br />Ageng Musalamat tersenyum. “Anak baik! Kau tak usah<br />mengkhawatirkan keselamatanku… Kalau ada orang hendak berbuat<br />jahat terhadap rombongan, walau aku dan teman-teman adalah rombongan<br />tamu tapi kami tak bisa lepas tangan begitu saja.”<br />“Kalau Kan-jieng berkata begitu mana saya berani melarang.<br />Berarti kita akan menonton satu perkelahian seru!” kata Ki Hok Kui<br />pula lalu cepat cepat mengikuti Ageng Musalamat.<br />Sementara itu di depan sana, dalam gelapnya malam enam<br />orang anggota Perkumpulan Kuncir Emas telah menyerang Lu Liong<br />Ong. Mereka memiliki kepandaian tidak rendah. Namun yang diserang<br />adalah seorang pejabat yang sejak masa mudanya telah membekal diri<br />dengan ilmu silat tangan kosong. Enam penyerang terkejut ketika<br />gebrakan pertama yang mereka buat tidak dapat menyentuh tubuh<br />lawan. Keenamnya cepat menyerbu kembali. Perkelahian berlangsung<br />hebat. Saat itulah Ageng Musalamat berteriak pada beberapa orang<br />anak buahnya.<br />Lima anak murid Ageng Musalamat, yang memiliki kepandaian<br />tinggi segera melompat masuk ke dalam kalangan perkelahian. Melihat<br />ini Lu Liong Ong berteriak. Bu Tjeng cepat mendekati Ageng<br />Musalamat dan berkata. “Pimpinan kami meminta agar kau menyuruh<br />mundur lima orang itu!”<br />“Tapi dia dikeroyok secara curang!” jawab Ageng Musalamat.<br />“Tak usah khawatir, Lu Liong Ong akan mampu menghadapi<br />mereka. Lagipula beberapa orang anggota prajurit Kerajaan yang ada<br />di antara kami akan membantu!”<br />Mendengar ucapan Bu Tjeng itu Ageng Musalamat terpaksa<br />menyuruh murid-muridnya mundur. Bersamaan dengan mundurnya<br />mereka, maka melesatlah selusin prajurit Kerajaan ke tengah kalangan.<br />Kalau tadi orang-orang Kuncir Emas yang mengeroyok maka<br />kini keadaan jadi terbalik. Mereka yang jadi sasaran keroyokan.<br />Perkelahian tangan kosong berjalan seru. Walau dikeroyok<br />begitu rupa orang-orang Kuncir Emas mampu bertahan bahkan<br />dengan membentuk satu barisan aneh mereka membuat tembok<br />pertahanan yang kokoh dan sekaligus mampu melancarkan seranganserangan<br />balasan. Prajurit-prajurit Kerajaan mulai terdesak. Dua<br />orang tergelimpang muntah darah akibat dimakan tendangan lawan.<br />Lu Liong Ong kertakan rahang. Otaknya yang cerdik serta<br />matanya yang tajam cepat melihat dimana letak kelemahan barisan<br />pertahanan enam orang anggota Kuncir Emas itu. Dia melesat ke<br />salah satu ujung barisan lalu menggempur habis-habisan. Lawan<br />pertama terkapar di tanah dengan leher patah akibat hantaman<br />pinggiran tangannya yang sekeras besi. Sesaat kemudian korban<br />kedua menyusul. Orang ini mencelat mental dan jatuh tepat di depan<br />lelaki bermantel. Dia menggeliat-geliat beberapa kali lalu terhenyak tak<br />berkutik lagi. Bagian tubuh di bawah perutnya pecah akibat<br />tendangan kaki kanan Lu Liong Ong.<br />Prajurit-prajurit Kerajaan. pengawal rombongan yang mendapat<br />semangat berhasil pula merobohkan dua orang anggota Perkumpulan<br />Kuncir Emas. Dua orang yang masih tinggal walau kini menghadapi<br />lawan yang jauh lebih banyak namun mereka tidak menjadi takut.<br />Malah sambil keluarkan bentakan-bentakan seperti kalap keduanya<br />menyongsong serangan lawan. Orang bermantel merah yang tak mau<br />melihat korban jatuh lebih banyak dipihaknya berteriak keras dan<br />melompat ke tengah kalanggn perkelahian. Dia sempat merobohkan<br />dua prajurit yang menyerang anak buahnya hingga mencelat mental<br />dan menemui ajal dengan kepala pecah!<br />“Tahan! Lu Liong Ong aku lawanmu!”<br />Lu Liong Ong melompat mundur lalu menyeringai.<br />“Korban sudah jatuh dipihakmu dan pihakku! Memang pantas<br />kau harus bertanggung jawab! Atas nama Kerajaan lekas menyerah<br />dan berlutut!”<br />“Pejabat jahanam! Makan dulu tanganku ini!” bentak si mantel<br />merah. Tapi dia tidak mengirimkan jotosan atau pukulan. Tangan<br />kanannya berkelebat mengibaskan mantel merahnya.<br />“Wussss!”<br />Mantel itu bertabur di udara. Sinar merah memancar dalam<br />kegelapan malam. Angin deras menghantam ke arah Lu Liong Ong.<br />“Orang itu memiliki tenaga dalam tinggi,” membatin Ageng<br />Musalamat yang menyaksikan jalannya perkelahian dan melihat<br />bagaimana tubuh Lu Liong Ong terhuyung-huyung hampir jatuh.<br />Selagi dia berusaha mengimbangi diri, lawan datang menyergap dan<br />lancarkan satu jotosan ke pelipis kirinya!<br />Lu Liong Ong pergunakan lengan kiri untuk menangkis.<br />“Bukkkk!”<br />Dua lengan saling beradu. Entah karena kedudukan kedua kaki<br />Lu Liong Ong yang belum kokoh, entah karena keadaan tubuhnya<br />yang miring atau entah karena lawan memiliki tenaga yang lebih kuat,<br />beradunya dua lengan itu membuat pejabat Kerajaan itu terjatuh<br />keras ke tanah. Sebelum dia sempat bangkit lawan bermantel<br />mendatangi dengan satu tendangan ke arah tulang rusuknya.<br />Lu Liong Ong berteriak keras. Hanya setengah jengkal lagi<br />tendangan lawan akan menghancurkan tulang-tulang rusuknya Lu<br />Liong Ong, gulingkan tubuhnya. Si mantel merah tersaruk ke depan<br />namun cepat menguasai diri. Di tanah dilihatnya Lu Liong Ong<br />membuat gerakan aneh. Setelah beberapa kali berguling tubuh itu<br />melesat ke atas. Di udara seperti melenting tubuh Lu Liong Ong<br />berkelebat ke arah si mantel merah. Inilah jurus silat bernama soan<br />hong liap in yang berarti “angin berpusing mengejar awan.”<br />Orang bermantel keluarkan seruan kaget ketika tahu-tahu kaki<br />kanan lawan menderu ke arah lehernya. Ini benar-benar merupakan<br />serangan mematikan. Dia cepat melompat hindarkan diri. Meski<br />serangan mematikan. Meski lehernya selamat tapi dia masih kurang<br />cepat. Kaki Lu Liong Ong mendarat di bahu kirinya. Tubuhnya<br />mencelat sampai dua tombak lalu tergelimpang di tanah.<br />Ageng Musalamat mengira paling tidak tulang bahu si mantel<br />merah itu telah remuk dan tak sanggup lagi berdiri. Namun apa yang<br />terjadi mem buatnya diam-diam merasa kagum akan kekuatan si<br />kuncir emas itu. Setelah keluarkan suara menggembor pendek orang<br />ini melompat bangkit. Lu Liong Ong tampak agak tercekat ketika<br />melihat lawannya tidak cidera malah masih sanggup berdiri dan<br />melangkah ke arahnya.<br />“Lu Liong Ong, kesempatanmu untuk berdoa pada Thian hanya<br />sedikit. Nyawamu hanya tinggal beberapa kejapan saja!”<br />“Manusia sombong tapi tolol! Lo Sam Tojin sengaja mengutusmu<br />kemari untuk mencari mati!”<br />Si mantel merah kembaii keluarkan suara menggembor. Lalu<br />didahului bentakan keras tubuhnya berkelebat. Sinar merah<br />mantelnya bertabur. Lu Liong Ong merasa kedua matanya perih. Ada<br />hawa aneh keluar dari bawah mantel. Sesaat dia tidak dapat melihat<br />apa-apa. Tapi telinganya masih mampu mendengar datangnya<br />serangan. Dengan cepat dia melompat ke kiri.<br />“Bukkkkk!”<br />Lu Liong Ong mengeluh tinggi. Mantel merah menghantam<br />punggungnya hingga tak ampun lagi pejabat Kerajaan ini terpental ke<br />depan. Untung dia masih sempat menggapai roda sebuah gerobak<br />hingga tak sampai jatuh ke tanah. Namun baru saja dia membalikkan<br />badan, satu tendangan menghajar dadanya. Lu Liong Ong tersandar<br />ke badan gerobak. Dadanya seolah remuk. Napasnya sesak. Sewaktu<br />dia coba menarik napas dalam-dalam darah mengucur dari mulutnya.<br />Beberapa orang anak buahnya berseru kaget melihat kejadian ini.<br />Saat itu si mantel merah sudah berkelebat lag!. Tangan<br />kanannya bergerak menjambak rambut Lu Liong Ong. Tangan kirinya<br />menelikung leher si pejabat. Sekali dua tangan itu bergerak pasti<br />patahlah tulang leher si pejabat dan nyawanya tidak ketolongan lagi!.<br />Ketika si mantel merah siap mematahkan leher Lu Liong Ong, di<br />udara malam, melewati kepala beberapa orang yang ada di tempat itu,<br />melesat satu bayangan putih. Tahu-tahu si mantel merah merasakan<br />ada satu tangan memegang bahu kirinya. Mendadak sontak tangan<br />kirinya menjadi sangat berat dan kaku tak bisa digerakkan iagi.<br />Bersamaan dengan itu di belakangnya ada satu suara menegur dalam<br />bahasa yang tidak dimengertinya.<br />“Orang gagah bermantel merah. Kau telah memenangkan<br />perkelahian. Lawan dalam keadaan tidak berdaya. Tak ada untungnya<br />bagimu membunuh tuan Lu Liong Ong....”<br />Si mantel merah berpaling. Pandangannya membentur wajah<br />Ageng Musalamat yang memandang tersenyum padanya.<br />“Kau pasti orang asing yang datang dari negeri seberang itu...”<br />Ageng Musalamat masih tersenyum. Tidak menjawab karena<br />memang dia tidak tahu apa yang dikatakan si mantel merah.<br />Sebaliknya si mantel merah juga tidak mengerti apa yang tadi<br />diucapkan Ageng Musalamat.<br />Ki Hok Kui segera mengguncang lengan Bu Tjeng. Anak ini cepat<br />berkata. “Paman Bu Tjeng, kau harus lekas ke sana. Dua orang itu<br />saling bicara dalam bahasa yang mereka tidak mengerti satu sama<br />lain!”<br />“Kau benar!” kata Bu Tjeng lalu melompat dan berdiri di antara<br />Lu Liong Ong dan si mantel merah yang masih mencekal si pejabat<br />tapi tak sanggup meneruskan maksudnya membunuh orang itu.<br />Ageng Musalamat kembali mengatakan sesuatu pada si mantel<br />merah. Bu Tjeng cepat menterjemahkan. “Orang ini memintamu agar<br />melepaskan pejabat Lu Liong Ong. Katanya tak ada gunanya<br />membunuh. Dia juga menanyakan ada tujuan apa dari Lo Sam Tojin<br />hingga kau diutus untuk menjemputnya?”<br />Si mantel merah yang sedang beringas perlahan-lahan<br />mengendur amarahnya. Sepasang pandangan mata lembut Ageng<br />Musalamat membuat dia merasa kecut. Cekalan dan jambakannya<br />pada Lu Liong Ong dilepaskan hingga pejabat ini jatuh ke tanah<br />setengah sadar setengah pingsan. Beberapa orang prajurit segera<br />menggotongnya ke tempat aman.<br />“Orang asing. Ketua Perkumpulan Kuncir Emas Lo Sam Tojin<br />ingin bertemu denganmu. Itu sebabnya dia mengutusku untuk<br />menjemputmu dan membawamu ke lembah Pek-hun tempat<br />kediamannya.”<br />“Ah, Ketuamu tentu seorang yang sangat baik hati. Belum<br />pernah bertemu tapi telah sudi mengundangku datang ke tempatnya.<br />Kau kembalilah ke danau Pek-hun. Sampaikan salam hormatku pada<br />Ketuamu Lo Sam Tojin. Katakan padanya bahwa saat ini aku sedang<br />menjadi tamu Kerajaan. Jika ada kesempatan dan Kerajaan memberi<br />izin aku akan datang sendiri menyambanginya di lembah itu...”<br />Habis berkata begitu Ageng Musalamat membungkuk memberi<br />hormat. Ketika dia hendak membalikkan badan si mantel merah<br />berseru.<br />“Orang asing! Tunggu!”<br />Si mantel merah cepat melangkah ke hadapan Ageng<br />Musalamat. “Peraturan di Perkumpulan Kuncir Emas sangat keras.<br />Jika seorang ditugaskan untuk menjalankan sesuatu dan tidak<br />berhasil maka hukumannya sangat berat. Lo Sam Tojin akan memisahkan<br />kepalaku dari tubuhku!”<br />Sepasang alis mata Ageng Musalamat berjingkat ketika dia<br />mendengar terjemahan ucapan si mantel merah dari Bu Tjeng.<br />“Jika kau tidak sanggup mengikuti aturan Perkumpulan,<br />mengapa tidak keluar saja?”<br />“Itu lebih celaka lagi! Lo Sam Tojin akan membunuhku dan<br />seluruh keluargaku!”<br />“Ah... Rupanya susah juga hidup ini bagimu...” kata Ageng<br />Musalamat sambil usap-usap dagunya.<br />“Sebelum pergi Lo Sam Tojin mengatakan sesuatu padaku...”<br />“Hemmm, aku ingin mendengarkan....”<br />“Katanya, jika aku tidak bisa membawamu ke lembah Pek-hun<br />maka sebagai gantinya aku harus mendapatkan keris emas yang<br />hendak kau persembahkan pada Raja....”<br />Ageng Musalamat terkejut. Bagaimana orang ini bisa tahu aku<br />membawa keris itu, pikirnya.<br />“Rupanya kabar menebar secepat kilat dan tak ada rahasia yang<br />bisa dipendam di negeri ini. Aku memang membawa sebilah keris<br />emas. Jika Ketuamu berpesan begitu, aku tidak keberatan<br />menyerahkannya padamu. Silahkan kau mengambilnya sendiri.”<br />Beberapa orang anak murid Ageng Musalamat maju ke hadapan<br />pimpinan mereka, serentak menegur keras menyatakan ketidak<br />senangan mereka. Lu Liong Ong sendiri yang setengah sadar setengah<br />pingsan melompat bangun begitu diberitahu Bu Tjeng apa yang<br />hendak dilakukan Ageng Musalamat.<br />“Tamu terhormat Kanjeng...! Jika kau serahkan keris itu<br />padanya maka itu adalah satu penghinaan besar bagi Raja dan rakyat<br />Tiongkok!” kata Lu Liong Ong setengah berteriak lalu perlahan-lahan<br />jatuh terduduk di tanah.<br />“Sahabatku pejabat Lu Liong Ong, kau tak usah khawatir...<br />Lihat saja apa yang akan terjadi,” kata Ageng Musalamat sambil<br />tersenyum dan kedipkan matanya.<br />Ageng Musalamat memberi isyarat agar si mantel merah<br />mengikutinya. Lalu dia melangkah menuju kemah. Hampir semua<br />orang yang ada di tempat itu mengikuti.<br />Sampai di dalam kemah yang diterangi lampu minyak Ageng<br />Musalamat menunjuk pada sebuah peti kecil terbuat dari kayu yang<br />terletak di atas tumpukan barang.<br />“Buka penutup peti dan lihat isinya...” Ageng Musalamat<br />berkata pada si mantel merah. Bu Tjeng cepat menterjemahkan<br />ucapan Ageng Musalamat. Si mantel merah tampak ragu. Agaknya dia<br />khawatir orang akan menjebaknya.<br />Namun setelah melihat Ageng Musalamat memandang<br />tersenyum dan anggukkan kepala padanya, orang ini segera dekati<br />peti kayu jati berukir itu. Dia ulurkan tangan membuka penutup peti.<br />Begitu tutup terbuka tujuh larik sinar kuning membersit keluar. Si<br />mantel merah lindungi matanya yang kesilauan dengan telapak<br />tangan kiri.<br />“Apakah benda itu yang diminta oleh Ketuamu paderi Lo Sam?”<br />tanya Ageng Musalamat.<br />Si mantel merah mengangguk setelah mendengar kata-kata Bu<br />Tjeng. Ageng Musalamat kembali bicara. Bu Tjeng kembali<br />menterjemah. “Kau boleh mengambil senjata itu, membawanya pergi<br />dan menyerahkan pada Lo Sam Tojin.”<br />”Ah.... Terima kasih... terima kasih...” kata si mantel merah<br />sambil membungkuk berulang kali. Dia tidak menyangka kalau orang<br />akan menyerahkan keris emas itu semudah itu padanya. Peti kayu<br />cepat ditutupnya lalu dengan pergunakan dua tangan dia mengangkat<br />peti dari tumpukan barang.<br />Baru satu langkah berjalan mendadak tampang si mantel merah<br />yang tersembunyi di balik kain hitam mengerenyit. Tubuhnya<br />terhuyung ke depan. Peti kecil berisi keris Kiyai Sabrang Tujuh Langit<br />itu seperti berubah menjadi sebuah batu besar yang amat berat.<br />Bagaimanapun dia mengerahkan tenaga tetap saja dia tak sanggup<br />bertahan. Kedua bahunya membuyut ke bawah. Dan tangannya<br />menjadi panjang. Tak sanggup bertahan dengan tenaga kasar dia<br />kerahkan tenaga daiam.<br />“Krakk! Kraaak!”<br />Si mantel merah menjerit keras. Sambungan tulang bahunya<br />kiri kanan tanggal dari persendian. Peti kayu lepas dari pegangannya<br />dan bukkk!<br />Peti jatuh menimpa kakinya. Kasut yang melindungi kakinya<br />berlubang besar. Tulang kakinya remuk dan kasut itu tampak merah<br />tanda kakinya cidera berat dan berdarah. Si mantel merah menjerit<br />berulang kali sambil berjingkat-jingkat kesakitan.<br />Ageng Musalamat membungkuk mengambii peti kayu berisi<br />keris sakti. Lalu dengan tangan kirinya dipegangnya bahu si mantel<br />merah.<br />“Katakan pada Ketuamu, kau telah berusaha tapi tak sanggup<br />membawa keris daiam peti ini. Mungkin senjata ini tidak berjodoh<br />dengan dirinya. Kau boleh pergi sekarang...“<br />Si mantel merah hendak berteriak marah. Tapi ketika dilihatnya<br />orang bicara dengan tersenyum padanya dan lagi-lagi seperti ada sinar<br />aneh memancar dari sepasang mata Ageng Musalamat maka tanpa<br />banyak bicara lagi dia segera keluar dari dalam kemah.<br />-- == 0O0 == --<br />SEBELAS<br />MALAM pertama sampai ke Kotaraja rombongan Ageng<br />Musalamat dibawa ke istana Raja. Sebelum jamuan makan malam<br />yang dihadiri oleh para pejabat tinggi Kerajaan serta undangan<br />khusus dimana di antaranya terdapat beberapa tokoh Muslim, Ageng<br />Musalamat menyerahkan keris sakti Kiyai Sabrang Tujuh Langit pada<br />Raja. Sebagai balasan, Raja memberikan seuntai tasbih yang terbuat<br />dari batu giok berwarna hijau pekat. Tasbih itu bukan tasbih biasa<br />karena mampu menolak racun serta memiliki kekuatan besar.<br />Perjamuan itu menjadi semarak karena dipertunjukkan<br />berbagai tarian dari beberapa propinsi. Menjelang tengah malam,<br />perjamuan baru selesai dan rombongan diantar ke tempat bermalam<br />yakni sebuah bangunan besar di luar tembok selatan istana.<br />Selama dua hari rombongan diajak melihat-lihat beberapa<br />tempat berpemandangan indah. Pada malam ketiga sesuai yang telah<br />diatur kedua belah pihak mengadakan pertmuan lagi di sebuah<br />gedung yang biasanya dipakai untuk pertunjukan termasuk<br />perunjukan kepandaian silat. Acara kali ini tidak dihadiri oleh Raja,<br />tapi beberapa pejabat penting termasuk Kepala Barisan Pengawal<br />Raja dan Kepala Balatentara Tiongkok Daerah Timur ikut hadir. Lu<br />Liong Ong sendiri tidak kelihatan karena kabarnya masih dalam<br />perawatan akibat perkelahian dengan anak buah Lo Sam Tojin tempo<br />hari.<br />Tuan rumah menyuguhkan beberapa pertunjukan silat tangan<br />kosong dan mempergunakan senjata diseling dengan pertunjukan<br />akrobat. Setelah itu giliran murid-murid Ageng Musalamat ganti<br />memperlihatkan kebolehan mereka. Bagian ketiga yang merupakan<br />bagian penutup adalah pertandingan persahabatan antara pihak<br />tuan rumah dan tamu dari tanah Jawa. Agaknya dalam rangka<br />persahabatan dan saling menghormat, kedua belah pihak tidak<br />berani menurunkan tangan keras. Walau begitu pertandingan itu<br />berjalan cukup seru dan tidak henti-hentinya mendapatkan<br />sambutan tepuk tangan dari semua yang hadir.<br />Ketika pemandu acara bersiap-siap untuk menutup acara<br />malam itu tiba-tiba sebuah benda kuning melesat di udara lalu<br />menancap di atas panggung. Ketika semua orang memperhatikan<br />benda itu ternyata adalah sebatang besi sepanjang stu tombak yang<br />pada ujungnya terikat sebuah bendera besar berwarna kuning. Pada<br />bagian tengah bendera, dalam lingkaran merah terlihat gambar<br />berupa kunciran rambut.<br />“Bendera Perkumpulan Kuncir Emas!” seru semua orang yang<br />mengenali. Tempat itupun menjadi gempar. Belum berhenti getaran<br />besi bendera yang menancap di lantai panggungm belum reda suara<br />gaduh orang-orang yang gempar tiba-tiba terdengar suara tawa<br />mengekeh panjang. Lampu-lampu besar di ruangan itu berkelapkelip.<br />“Braakk!”<br />Loteng di atas panggung ambruk.<br />Saat itu juga sesosok bayangan melayang turun dan tegak<br />tepat di samping kanan bendera kuning.<br />“Lo Sam Tojin!” beberapa orang yang duduk di barisan depan<br />sampai terlonjak dari kursi masing-masing saking kagetnya. Ageng<br />Musalamat sendiri yang ada di barisan kursi terdepan mendadak saja<br />merasa berdebar. Kedua matanya memandang tak berkesip pada<br />orang yang di atas panggung.<br />Orang di atas panggung ternyata adalah seorang kakek<br />mengenakan jubah paderi berwarna serba hitam. Mukanya berwarna<br />kuning muda. Sepasang alis, bibir, dan rambut yang dikuncir, dicat<br />dengan warna kuning tua! Sosok tubuhnya yang kurus tinggi<br />membuat keseluruhan diri orang ini menjadi angker untuk<br />dipandang. Apalagi sepasang matanya tak bisa diam, selalu jelalatan.<br />Di tangan kirinya dia memegang sebatang tongkat besi berwarna<br />kuning.<br />“Apakah kalian sudah selesai mempertunjukkan kebodohan<br />masing-masing?!” Tiba-tiba Lo Sam Tojin, Ketua Perkumpulan Kuncir<br />Emas keluarkan ucapan lantang lalu tertawa mengekeh.<br />“Tak ada yang menjawab! Bagus! Itu berarti kalian menyadari<br />kebodohan masing-masing!” seru Lo Sam Tojin lalu kembali tertawa<br />bergelak-gelak.<br />Seseorang berpakaian kebesaran militer yang duduk di barisan<br />depan tegak dari kursinya lalu membentak. Orang ini adalah Suma<br />Tiang Bun, Kepala Barisan Pengawal Istana.<br />“Lo Sam Tojin! Tindakanmu sungguh kurang ajar sekali! Lekas<br />turun dari panggung dan tinggalkan tempat ini!”<br />“Ah…! Ternyata pejabat-pejabat di Kotaraja ini tidak angkuh<br />semua!” Lo Sam Tojin menjawab.<br />“Apa maksudmu?!” sentak Suma Tiang Bun dengan mata<br />mendelik.<br />“Beberapa hari lalu, seorang pejabat bernama Lu Liong Ong<br />sesumbar jual omongan besar mau menyerbu kediamanku di lembah<br />Pek-Hun dan mau menangkap diriku! Mana dia orang she Lu itu?<br />Aku tidak melihatnya di tempat ini! Aku sengaja datang jauh-jauh<br />kemari. Tapi ternyata tidak ditangkap. Malah seorang jenderal<br />bernama Suma Tiang Bun dengan sikap hormat memintaku untuk<br />berlalu. Ha… ha… ha…!”<br />Merah padam muka Kepala Barisan Pengawal Istana itu. Dia<br />cepat memandang berkelliling dan siap berteriak pada para pengawal<br />untuk memberi perintah agas segera menangkap Lo Sam Tojin tapi<br />alangkah terkejutnya Jenderal ini ketika melihat tidak satupun<br />anggota pengawal ada di ruangan itu. Malah seputar dinding ruangan<br />kelihatan sekitar dua puluh orang berpakaian hitam, dengan wajah<br />tertutup kain hitam, rembut kuning dikucir di atas kepala!<br />Di atas panggung Lo Sam Tojin kembali tertawa mengekeh.<br />“Jenderal Suma!,” teriak Lo Sam Tojin, “kau tak usah khawatir.<br />Semua anak buahmu berada di gudang belakang. Semua tertidur<br />pulas. Tapi tanpa napas alias mati semua! Ha… ha… ha…!”<br />Terkejutlah Suma Tiang Bun mendengar ucapan Lo Sam Tojin<br />itu. Dia cepat berpaling pada seorang lelaki gemuk pendek yang tegak<br />di sampingnya. Orang ini adalah Jenderal Tjia, Kepala Balatentara<br />Daerah Timur.<br />“Jenderal, aku minta bantuanmu. Lekas himpun kekuatan.<br />Lucuti semua anggota Kuncir Emas yang ada di tempat ini. Aku akan<br />menangkap paderi sesat itu hidup-hidup!”<br />Jenderal Tjia mengangguk. “Hati-hati Jenderal Suma. Lo Sam<br />Tojin terkenal sangat lihay! Aku akan naik ke panggung<br />membantumu begitu selesai menyusun kekuatan!”<br />Begitu Jenderal Tjia bergerak. Suma Tiang Bun berkelebat ke<br />atas panggung. Lo Sam Tojin segera menyambutnya dengan ejekan.<br />“Ha… ha…! Aku jadi sungkan berhadapan denganmu Jenderal<br />Suma! Kau mengenakan pakain bagus dan mewah. Aku Cuma<br />memakai pakaian butut terbuat dari kain blacu hitam! Heh,<br />pakaianmu itu tentu mahala harganya! Gajimu tentu besar! Ha…<br />ha… ha..!”<br />“Tojin sesat! Tutup mulutmu! Aku masih memberi kesempatan<br />terakhir kepadamu. Tinggalkan tempat ini!”<br />“Ho… ho! Terus terang aku kemari bukan mencarimu. Tapi<br />mencari orang lain! Sebelum aku menemukan orang itu jangan<br />harapa aku akan minggat dari sini!”<br />“Kau akan menyesal. Sebentar lagi pasukan besar akan<br />mengurung tempat ini. Kau dan anak buahmu tak bakal bisa keluar<br />hidup-hidup dari sini!”<br />“Heemm... begitu?!” dua mata Lo Sam Tojin berputar-putar dan<br />jelalatan kian kemari. “mari kita main-main sebentar. Sudah lama<br />aku tidak mengukur sampai dimana tingkat kepandaian seorang<br />Jenderal sepertimu!”<br />“Kalau kau memang minta digebuk, aku tuan besarmu tidak<br />akan sungkan-sungkan lagi!” kata Suma Tiang Bun lalu melompat ke<br />depan melancarkan serangan.<br />“Ha… ha! Hanya jurus Ouw liong cut tong! Siapa takut?!” ejek<br />Lo Sam Tojin. Lalu sapukan tongkat besinya ke depan. (Ouw liong cut<br />tong = Naga hitam keluar goa).<br />Jenderal Suma Tiang Bun tentu saja terkejut ketika mendengar<br />Lo Sam Tojin menyebut nama jurus serangan yang dilancarkannya.<br />Sebenarnya ini bukan satu hal yang mengherankan. Jenderal Suma<br />dulunya pernah belajar pada seorang tokoh silat gemblengan Kun<br />Lun Pay. Sedang Lo Sam Tojin sendiri adalah salah seorang sesepuh<br />itu. Jadi dia sudah tahu semua jurus-jurus ilmu silat Partai.<br />“Jenderal Suma! Kalau kepandaianmu cuma sebegitu sungguh<br />mengherankan, Raja mau mengangkatmu jadi Kepala Barisan<br />Pengawal Istana! Lihat baik-baik. Aku akan hadapi seranganmu<br />dengan jurus yang sama!”<br />Lalu Ketua Perkumpulan Kuncir Emas itu sisipkan tongkat<br />besi kuningnya. Ketika serangan lawan berupa jotosan keras siap<br />melabrak dadanya Lo Sam Tojin berteriak keras.<br />“Jurus ouw liong cut tong sejati!”<br />Baik Jenderal Suma yang di atas panggung maupun semua<br />orang yang berada di bawah panggung tidak sempat melihat kapan<br />paderi melancarkan serangan tahu-tahu…<br />“Buukkk!”<br />Jenderal Suma terpental satu tombak ke belakang. Dari<br />mulutnya terdengar erang kesakitan. Ketika dia memperhatikan<br />tangan kanannya ternyata tangan itu telah membengkak merah.<br />Rasa sakit masih dapat ditahan oleh sang Jenderal, tetapi amarah<br />tak mampu dibendungnya. Didahului bentakan dahsyat dia<br />melompat ke depan. Kini terjadi perkelahian seru. Lima jurus<br />Jenderal Suma Tiang Bun merangsek lawannya dengan seranganserangan<br />ganas. Tapi Lo Sam Tojin berubah laksana bayang-bayang.<br />Memasuki jurus ke tujuh Jenderal Suma keluarkan seluruh<br />kepandaiannya. Tenaga dalam dikerahkan penuh. Tubuhnya yang<br />besar berkelebat mengeluarkan deru angin kencang. Lo Sam Tojin<br />berseru keras ketika dapatkan dirinya tenggelam dalam tekanan<br />serangan lawan. Kini dia tidak menyerang dengan sepasang<br />tangannya melainkan pergunakan lengan jubah untuk mengebut<br />gempuran lawan.<br />“Wuuss…! Wuuss…!”<br />Dua larik sinar hitam menderu keluar dari ujung lengan jubah<br />hitam sang paderi. Sinar di sebelah kanan berhasil dielakkan<br />Jenderal Suma. Namun sinar yang menyambar dari arah kiri<br />menghantam dadanya dengan telak. Untuk kedua kalinya orang ini<br />terpental. Mukanya tampak pucat. Kedua kakinya kelihatan bergetar<br />keras. Dari mulutnya ada darah meleleh. Sang Jenderal menderita<br />luka dalam yang cukup parah.<br />“Paderi keparat! Biar kupatahkan kepalamu dari tubuh detik<br />ini juga!” kertak Suma Tiang Bun.<br />“Srett!”<br />Dia cabut pedang yang tersisip di pinggangnya. Sekali dia<br />menggerakkan tangan maka sinar putih bertabur menyambar ke<br />leher Lo Sam Tojin.<br />Si kakek ganda tertawa. Tangannya bergerak ke pinggang.<br />Selarik sinar kuning berkiblat.<br />“Traangg!”<br />Bunga api memercik di atas panggung ketika pedang Suma<br />Tiang Bun beradu keras dengan tongkat besi Lo Sam Tojin.<br />Celakanya, karena sejak pertama tangn kanan sudah cidera maka<br />genggamannya pada gagang pedang tidak teguh. Akibatnya begitu<br />bentrokan senjata, pedang di tangan Jenderal Suma terlepas mental.<br />Di atas pangung Lo Sam Tojin angkat tongkat besinya ke<br />udara. Semua orang terkesiap ketika melihat bagaimana pedang<br />Jenderal Suma yang mencelat mental ke udara, laksana disedot,<br />melayang turun lalu menempel pada badan tongkat besi kuning.<br />Dengan cepat Lo Sam Tojin ambil pedang itu. Lalu dia tertawa<br />mengekeh.<br />“Jenderal Suma! Aku akan membelah tubuhmu dengan pedang<br />milikmu sendiri! Bersiaplah untuk menghadapa Giam lo ong! Ha…<br />ha… ha…!” (Giam lo ong = malaikat maut).<br />Jenderal Suma berusaha menyelamatkan diri dari sambaran<br />pedang dengan melompat ke belakang. Dia menyambar sebuah<br />jambangan di kiri panggung. Sewaktu pedang kembali membabat dia<br />menangkis dengan jambangan itu. Jambangan yang terbuat dari<br />porselen hancur berantakan. Di lain kejap pedang di tangan Lo Sam<br />Tojin menderu dari atas ke bawah, mengarah batok kepala Jenderal<br />Suma. Rupanya tojin ini benar-benar hendak membuktikan katakatanya<br />yaitu ingin membelah tubuh sang Jenderal!<br />Sementara itu di bawah panggung lima puluh anggota pasukan<br />Kerajaan yang dibawa Jenderal Tjia bertempur seru melawan dua<br />puluh orang anak buah Lo Sam Tojin. Walau mereka berjumlah lebih<br />sedikit namun Karena rata-rata memiliki kepandaian tinggi dalam<br />waktu singkat mereka berhasil merobohkan lima prajurit. Jenderal<br />Tjia sendiri saat itu yang telah melihat bahaya maut mengancam<br />Jenderal Suma segera melompat ke atas panggung. Selagi tubuhnya<br />melayang di udara dia lepaskan satu pukulan tangan kosong<br />mengandung tenaga dalam tinggi.<br />Lo Sam Tojin sama sekali tidak menghindar sewaktu<br />merasakan ada sambaran angin menyerang ke arah sepuluh jalan<br />darah di sisi kirinya. Sambil meneruskan bacokannya ke kepala<br />Suma Tiang Bun, kakek ini putar tongkat kuningnya. Sinar kuning<br />bertabur. Angin laksana badai mendera ke arah tubuh Jenderal Tjia.<br />Orang gemuk pendek ini berseru kaget ketika tubuhnya terpental ke<br />bawah panggung. Selagi dia berusaha mengimbangi diri agar tidak<br />jatuh terbanting di lantai, tombak besi di tangan Lo Sam Tojin tahutahu<br />melayang. Demikian cepatnya sambaran tongkat besi ini hingga<br />Jenderal Tjia tak mampu selamatkan diri. Tongkat besi menancap di<br />ulu hatinya! Orang banyak yang ada di tempat itu menjadi gempar.<br />Terlebih ketika melihat bagaimana pedang di tangan Lo Sam Tojin<br />siap pula membelah kepala Jenderal Suma!<br />-- == 0O0 == --<br />DUA BELAS<br />SESAAT lagi Jenderal Suma akan menjadi mayat dengan<br />kepala terbelah tiba-tiba dari bawah panggung, dari barisan kursi<br />paling depan melesat satu bayangan putih. Bersamaan dengan itu<br />ada sambaran angin menderu ke arah Lo Sam Tojin yang membuat<br />kakek bermuka kuning ini terhuyung-huyung. Walau dia masih<br />sanggup meneruskan bacokannya namun mata pedang meleset jauh,<br />tak dapat membelah kepala Jenderal Suma melainkan hanya<br />membelah angin. Satu tangna kemudian menarik leher pakaian<br />Suma Tiang Bun hingga Jenderal ini terpisah jauh dari Lo Sam Tojin.<br />Semua orang berseru terkesiap. Bahkan para prajurit dan anak<br />buah Perkumpulan Kuncir Emas tanpa diberi aba-aba sama-sama<br />hentikan pertempuran dan memandang ke atas panggung.<br />Di atas panggung saat itu tegak seorang lelaki tinggi tegap<br />mengenakan jubah putih. Kulitnya coklat dan di tangan kirinya dia<br />memegang seuntai tasbih.<br />“Tamu asing itu! Dia menyelamatkan Jenderal Suma!”<br />seseorang berseru. Suasana menjadi gempar sesaat namun segera<br />sirap. Semua mata ditujukan ke atas panggung.<br />Sepasang mata Lo Sam Tojin yang selalu jelalatan tak bisa<br />diam kini terpentang lebar, memandang tak berkesip pada orang<br />berjubah putih di hadapannya yang bukan lain adalah Kanjeng Sri<br />Agengn Musalamat. Lo Sam Tojin usap-usapkan tangan kirinya ke<br />dagu. Pedang di tangan kanan tiba-tiba dihunjamkan ke bawah<br />hingga menancap di lantai panggung.<br />“Dicari susah sekali! Dijemput tak mau datang! Tahu-tahu saat<br />ini muncul di hadapanku! Jadi inilah orang asing dari tanah Jawa<br />yang katanya memiliki kepandaian tinggi, datang membawa sebilah<br />keris emas sakti untuk Raja Tiongkok! Ha... ha... ha!”<br />Karena tidak tahu apa yang dikatakan Lo Sam Tojin, Ageng<br />Musalamat hanya tersenyum dan membungkuk. Sang paderi makin<br />keras tawanya. Tiba-tiba kakinya bergerak menendang ke arah badan<br />pedang yang menancap di lantai panggung.<br />“Desss!”<br />“Wuuut!”<br />Pedang yang menancap melesat ke atas, berputar laksana<br />baling-baling, menyambar ke arah Ageng Musalamat.<br />Ageng Musalamat gerakkan tangan kanannya yang memegang<br />tasbih. Tasbih ini adalah hadiah yang diterima Ageng Musalamat dari<br />Raja Tiongkok sebagai balasan keris Kiyai Sabrang Tujuh Langit yang<br />diberikannya pada Raja.<br />“Tring.. tring... tring!”<br />Terdengar suara berdentringan beberapa kali. Bunga api<br />memijar enam kali berturut-turut. Ageng Musalamat terkejut dan<br />cepat melompat ketika tangannya yang memegang tasbih terasa pedih<br />seperti ditusuk puluhan jarum. Sebaliknya Ketua Perkumpulan Kuncir<br />Emas tak kalah kagetnya. Hantaman tasbih di tangan Ageng<br />Musalamat walau ditujukan pada pedang yang berputar namun ada<br />hawa aneh yang membuatnya melangkah mundur terhuyung-huyung.<br />Sementara itu pedang yang kena hantaman tasbih jatuh<br />berdentrangan di bawah panggung.<br />“Orang asing, aku mengagumi kehebatanmu!” kata Lo Sam Tojin<br />seraya membungkuk.<br />Ageng Musalamat balas menghormat.<br />“Aku tak punya waktu lama. Aku ingin kau ikut bersamaku ke<br />lembah Pek-hun sekarang juga. Orang sepertimu aku perlukan untuk<br />bantu membangun Partai Kuncir Emas...“ Lalu Lo Sam Tojin berikan<br />tanda dengan isyarat tangan agar Ageng Musalamat mengikutinya.<br />Ageng Musalamat gelengkan kepala dan goyangkan tangannya.<br />Melihat ajakannya ditolak marahlah Lo Sam Tojin. Ke dua tangannya<br />didorongkan ke muka. Gerakannya perlahan saja. Tapi apa yang<br />terjadi sungguh mengejutkan. Dari ujung dua lengan jubahnya<br />melesat angin sederas topan. Panggung bergoncang. Tirai-tirai tebal<br />bergoyang keras bahkan ada yang robek. Di atas panggung tubuh<br />Kanjeng Agung Musalamat bergoncang hebat.<br />“Jatuh!” teriak Lo Sam Tojin seraya lipat gandakan tenaga<br />dalamnya. Mukanya yang kuning kelihatan seperti mengkerut.<br />Goncangan di tubuh Ageng Musalamat semakin hebat. Jubah<br />putihnya tampak robek di beberapa bagian. Dia bertahan sambil<br />membungkuk dan mengepalkan tinju. Tasbih di tangan kanannya berputar-<br />putar kian kemari.<br />“Jatuh!” teriak Lo Sam Tojin, sekali lagi.<br />Ageng Musalamat bertahan mati-matian agar tidak roboh.<br />Lantai panggung yang dipijaknya tiba-tiba berubah panas laksana dia<br />menginjak bara api!<br />“Kalau aku bertahan, cepat atau lambat aku akan jatuh! Orang<br />tua bermuka kuning ini memiliki tenaga dalam luar biasa! Aku harus<br />mencari jalan mengalahkannya tanpa menghinanya!”<br />Ageng Musalamat melirik pada pecahan jambangan porselen<br />yang bertebaran di lantai panggung sebelah kiri. Mulutnya dikatupkan<br />rapat-rapat. Tenaga dalamnya dikerahkan ke kaki kanan. Tiba-tiba<br />kaki itu dihentakkannya ke lantai panggung. Laksana senjata rahasia,<br />puluhan pecahan porselen menghambur ke arah Lo Sam Tojin. Selagi<br />Ketua Perkumpulan Kuncir Emas ini berteriak kaget, puluhan<br />pecahan porselen menancap di sekujur pakaian hitamnya. Pecahan<br />porselen ini menancap demikian rupa laksana disisipkan dengan hatihati<br />dan rapi hingga tak ada bagian tubuh Lo Sam Tojin yang terluka<br />ataupun tergores!<br />Kalau saja mukanya tidak dilapisi cat kuning maka semua<br />orang akan melihat bagaimana wajah Lo Sam Tojin telah berubah<br />sepucat mayat! Kakek ini menyadari kalau mau Ageng Musalamat tadi<br />pasti mampu membunuhnya dengan tusukan puluhan pecahan<br />porselen itu.<br />“Orang asing...” kata Lo Sam Tojin dengan suara bergetar. “Aku<br />menaruh kagum padamu! Aku juga menaruh hormat! Kalau aku tidak<br />bias membawamu ke lembah Pek-hun untuk kujadikan guru besar<br />Perkumpulan Kuncir Emas, pelajaran yang kau berikan saat ini cukup<br />membuatku puas. Aku berterima kasih untuk semua itu...” Lo Sam<br />Tojin membungkuk berulang kali.<br />Ageng Musalamat membalas penghormatan itu dengan cara<br />yang sama yaitu membungkuk pula beberapa kali. Pada saat itulah<br />tiba-tiba tangan kanan Lo Sam Tojin bergerak dan!<br />“Kanjeng guru! Awas!” Seseorang berteriak dari bawah<br />panggung.<br />Ageng Musalamat cepat mengangkat kepalanya. Sebenarnya<br />tadipun dia sudah mendengar ada suara menderu datang dari depan.<br />Ketika melihat ke depan terkejutlah dia!<br />Lima ekor ular aneh berwarna hitam dengan sirip di kepala dan<br />di badan melesat ke arahnya.<br />“Ular iblis pencabut nyawa!” teriak beberapa orang di bawah<br />panggung.<br />Ular terbang yang diberi julukan, “ular iblis pencabut nyawa” itu<br />adalah senjata rahasia paling berbahaya yang jarang dikeluarkan Lo<br />Sam Tojin. Di tempat penyimpanannya di dalam sebuah kantong di<br />balik pakaiannya lima ular itu tak ubahnya seperti kayu kaku. Tapi<br />begitu melesat di udara berubah seolah ular sungguhan. Melesat<br />dengan membuka mulut lebar-lebar. Siap untuk mematuk sasaran!<br />Ageng Musalamat tanpa pikir panjang jatuhkan diri ke atas<br />lantai panggung. Tasbih di tangan kanan diputar sebat. Tiga ular<br />beracun lewat di atasnya, menancap pada tiang kayu panggung. Dua<br />lainnya dihantam hancur dengan tasbih.<br />Lo Sam Tojin menggereng marah. Dia menerjang ke depan,<br />menyerang dengan ganas dan tenaga dalam penuh. Lima jari<br />tangannya terpentang, mencuat ke depan dan mendadak Ageng<br />Musalamat melihat lima jari kiri kanan tangan lawannya berubah<br />menjadi cakar besi membara! Inilah ilmu hitam yang paling<br />diandalkan oleh Lo Sam Tojin yang selama ini tidak satu musuhpun<br />sanggup menghadapinya.<br />Orang banyak di bawah panggung, terutama para pejabat tinggi<br />yang tahu betul akan keganasan ilmu yang dimiliki Ketua<br />Perkumpulan Kuncir Emas itu jadi tercekat. Mereka tidak bisa<br />menduga lain. Ageng Musalamat akan menemui ajal dengan muka<br />terkoyak, perut jebol dan isi perut membusai.<br />Tapi apa yang terjadi kemudian membuat semuanya secara<br />tidak sadar keluarkan seruan tertahan hampir berbarengan.<br />Di atas panggung Lo Sam Tojin melihat muka Ageng<br />Musalamat berubah menjadi kepala seekor harimau putih. Selagi<br />dia tertegun kecut lawan telah melompat ke hadapannya. Ageng<br />Musalamat merasakan terjadi keanehan atas dirinya. Sepasang<br />tangan dan ke dua kakinya bergerak diluar kendalinya. Tasbih<br />dalam genggamannya menderu menabur sinar angker. Dia<br />mendengar suara bergedebukan berulang kali. Lalu…<br />“Praaakkk!”<br />Rahang kiri Lo Sam Tojin remuk. Tubuhnya terpelanting<br />namun sungguh hebat. Mukanya yang kuning babak belur.<br />Sepasang matanya menggembung bengkak dan mengeluarkan<br />darah. Hidungnya remuk sedang mulutnya pecah! Tapi hebatnya<br />kakek ini masih mampu berdiri walau kini kepalanya kelihatan<br />miring. Ludah campur darah disemburkannya ke arah Ageng<br />Musalamat hingga jubah putih orang ini penuh dengan noda<br />merah.<br />Ageng Musalamat jadi mendidih amarahnya. Tapi sikapnya<br />tetap tenang. Ketika lawan berusaha menyergapnya dengan satu<br />serangan kilat, tangan Ageng Musalamat kiri kanan menderu ke<br />depan, menghujani muka dan dada Lo Sam Tojin. Ketika paderi<br />ini terhuyung-huyung, berusaha berdiri sambil memegang tirai<br />panggung, kaki kanan Ageng Musalamat mendarat di dagunya.<br />Darah menyembur. Tubuh Lo Sam Tojin mencelat ke bawah<br />panggung, jatuh di antara orang banyak. Tidak berkutik lagi,<br />tidak bernapas lagi!<br />“Lo Sam Tojin mati! Lo Sam Tojin mati!” teriak beberapa<br />orang.<br />Tempat itu menjadi gempar. Beberapa orang anggota Kuncir<br />Emas yang tahu bahaya secepat kilat ambil langkah seribu<br />menyelinap di antara orang banyak lalu menghilang.<br />Di atas panggung Ageng Musalamat memandang ke bawah.<br />Tadi sewaktu dia membungkuk dan tidak sempat melihat<br />datangnya serangan lima ular iblis pencabut nyawa, seorang di<br />bawah sana berteriak mengingatkannya. “Kanjeng guru! Awas!”<br />Dia kenal suara itu. Dia merasa telah ditolong dan diselamatkan.<br />Pandangan Ageng Musalamat membentur sosok Cagak Guntoro,<br />murid yang telah dihukumnya karena menduga keras dialah yang<br />berusaha mencuri keris Kiyai Sabrang Tujuh Langit.<br />“Berarti... Jangan-jangan aku telah salah menjatuhkan<br />hukuman,” kata Ageng Musalamat dalam hati.<br />-- == 0O0 == --<br />TIGA BELAS<br />KEMATIAN Lo Sam Tojin Ketua Perkumpulan Kuncir Emas<br />menggegerkan daratan Tiongkok kawasan timur. Di pegunungan Kun<br />Lun orang-orang Kun Lun Pay mengadakan pesta besar atas kematian<br />orang yang mereka anggap sebagai pengkhianat itu. Lima orang<br />utusan khusus Ketua Partai datang menemui Kanjeng Sri Ageng<br />Musalamat. Mereka membawa hadiah-hadiah besar dan<br />menyampaikan undangan Ketua Partai agar Ageng Musalamat suka<br />berkunjung ke markas mereka.<br />Dengan sangat hati-hati Ageng Musalamat menolak menerima<br />hadiah itu. Dia hanya mau berjanji jika ada kesempatan akan<br />menerima undangan dan berkunjung ke pegunungan Kun Lun.<br />Namun utusan Ketua Partai Kun Lun memaksa agar Ageng Musalamat<br />mau menerima hadiah itu. Setelah saling bersitegang akhirnya<br />Ageng Musalamat mengalah. Namun semua hadiah kemudian<br />disampaikannya kepada beberapa panti asuhan, termasuk panti asuhan<br />di Hsin Yang yang diurus oleh Pouw Goan Keng dimana Ki Hok Kui<br />tinggal.<br />Ketika berita tewasnya Lo Sam Tojin sampai ke istana, Raja<br />meminta Ageng Musalamat datang. Kepadanya Raja menghadiahkan<br />satu daerah subur tak jauh dari Hsin Yang. Di situ dibangun belasan<br />rumah yang dapat didiami oleh Ageng Musalamat dan rombongannya<br />selama mereka suka. Raja juga menawarkan satu jabatan penting bagi<br />Ageng Musalamat namun dengan halus kedudukan bagus itu<br />ditolaknya.<br />Lama kelamaan tempat kediaman Ageng Musalamat semakin<br />berkembang luas hingga menjadi satu kota kecil dimana hampir<br />semua penduduknya adalah orang-orang Muslim. Dalam rimba<br />persilatan di daratan Tiongkok nama Ageng Musalamat menjadi satu<br />nama besar. Maklum saja karena selama ini tidak ada satu orang<br />pandai bahkan pihak Kerajaan yang mampu mengalahkan atau<br />menangkap Lo Sam Tojin. Ageng Musalamat disejajarkan ketinggian<br />ilmunya dengan tokoh-tokoh kang-ouw di daratan Tiongkok pada<br />masa itu. (kang-ouw = dunia persilatan)<br />Diam-diam beberapa Partai berusaha memperebutkan Ageng<br />Musalamat dengan maksud agar orang sakti ini mengajarkan<br />kepandaiannya pada mereka. Namun Ageng Musalamat lebih suka<br />memilih diam di tempat yang telah diberikan Raja padanya. Di sini dia<br />membuka satu perguruan silat yang jumlah muridnya selalu<br />bertambah. Ki Hok Kui termasuk salah seorang murid yang paling<br />disukai dan dipercaya Kanjeng Sri Ageng Musalamat. Anak yang<br />cerdik ini bukan saja menimba ilmu silat dari gurunya itu, tapi juga<br />dengan tekun mempelajari bahasa dan tulisan Jawa.<br />Sampai dua tahun dimuka jabatan Kepala Balatentara Daerah<br />Timur yang ditinggal Jenderal Tjia masih tetap lowong. Untuk<br />sementara jabatan tinggi ini dirangkap oleh Jenderal Suma Tiang Bun.<br />Namun entah dari mana asalnya tersiar kabar bahwa Raja akan<br />mengangkat Ageng Musalamat menduduki jabatan Kepala Balatentara<br />Daerah Timur itu.<br />Tanpa melakukan penyelidikan benar tidaknya berita itu<br />Jenderal Suma terlanjur merasa jadi tidak suka terhadap Kanjeng Sri<br />Ageng Musalamat karena menganggap orang ini bisa merampas<br />kedudukan rangkap yang sebenarnya sangat ingin dipertahankannya.<br />Rasa tidak sukanya itu ditebar demikian rupa hingga satu<br />demi satu dia berhasil mengumpulkan orang-orang penting<br />bergabung dengan dia untuk tidak menyukai Ageng Musalamat yang<br />bagaimanapun juga adalah orang asing. Tindakan Jenderal Suma<br />tidak sampai disitu saja. Dia berkali-kali menghadap Raja untuk<br />memberikan laporan yang memburukkan nama Ageng Musalamat.<br />Ageng Musalamat sendiri bukan tidak tahu kalau banyak<br />orang-orang tertentu tidak suka padanya. Namun dia tidak ambil<br />perduli. Sikapnya pada orang-orang yang membencinya itu biasabiasa<br />saja. Dia lebih memperhatikan pengembangan kota kecilnya<br />yang melebar hingga berdampingan dengan Hsin Yang. Akhirnya<br />keseluruhan kota dijadikan satu dan diberi nama Hsin Yang.<br />Setelah bertahun-tahun tinggal di Hsin Yang rasa betah<br />perlahan-lahan mengikis rasa rindu terhadap tanah Jawa. Bahkan<br />akhirnya Ageng Musalamat nikah dengan seorang penduduk asli<br />seagama. Perbuatannya ini diikuti pula oleh hampir semua anak<br />buahnya. Akibatnya Hsin Yang semakin berkembang dan tak dapat<br />lagi dikatakan kota kecil. Sebagian penduduknya hidup dari bertani<br />dan sebagian lainnya mencoba berdagang. Nama kota Hsin Yang<br />menjadi harum seharum nama Kanjeng Sri Ageng Musalamat.<br />Jumlah pengikut dan anak murid Ageng Musalamat bukan hanya<br />ratusan tapi sampai ribu-ribuan. Cagak Guntoro yang telah<br />dibebaskan dari hukuman sejak lima belas tahun lalu hidup<br />berbahagia dengan seorang istri dan dua anak. Munding Sura<br />menempuh jalan berbeda. Sampai saat itu dia tidak kawin dan sering<br />mengelana sampai berbulan-bulan untuk mengembangkan ilmu silat<br />pada penduduk setempat.<br />Ratusan keluarga besar Ageng Musalamat hidup rukun di Hsin<br />Yang membentuk satu kekuatan besar yang lambat laun membuat<br />para penjahat tinggi di Kotaraja merasa kurang enak. Ketidak enakan<br />ini disulut pula oleh Jenderal Suma Tiang Bun.<br />TANPA terasa telah dua puluh tahun Ageng Musalamat<br />bermukim di Tiongkok. Selama berumah tangga sayangnya dia tidak<br />dikarunia anak. Karena itu rasa kasih sayangnya banyak tercurah<br />pada murid terpandainya yakni Ki Hok Kui. Boleh dikatakan selama<br />dua puluh tahun Ki Hok Kui tidak menyianyiakan kesempatan. Pada<br />saat dia berusia tiga puluh hampir seluruh ilmu kepandaian Ageng<br />Musalamat berhasil diserapnya. Bahasa Jawanyapun tak kalah<br />medok dengan orang-orang yang datang dari tanah Jawa itu.<br />Keberadaan Ageng Musalamat yang tumbuh menjadi satu<br />kekuatan besar rupanya tidak lepas dari perhatian Raja. Suatu hari<br />dia dipanggil ke istana. Ternyata satu pertemuan penting yang dihadiri<br />oleh pejabat-pejabat tinggi termasuk Jenderal Suma telah diatur.<br />Dalam pertemuan Raja mengumumkan bahwa Kanjeng Sri Ageng<br />Musalamat diangkat menjadi Tikoan berkedudukan di Hsin Yang<br />dengan daerah kekuasaan tak terkira luasnya. Sekali ini Ageng<br />Musalamat merasa sungkan untuk menolak keputusan Raja itu.<br />(Tikoan = jabatan sederajat Bupati)<br />Kalau Raja merasa gembira mendapatkan Ageng Musalamat<br />menerima jabatan yang diberikannya, tidak begitu dengan orang-orang<br />yang tidak menyukainya. Di bawah pimpinan Jenderal Suma yang<br />pernah diselamatkan nyawanya oleh Ageng Musalamat maka<br />disusunlah satu fitnah besar untuk menjatuhkan Tikoan baru itu.<br />“Heran,” kata Jenderal Suma pada kawan-kawannya. “Ilmu<br />pemikat apa yang dipakai oleh Jawa itu. Aku sudah berkali-kali<br />memberi tahu Raja akan perbuatan-perbuatannya yang buruk dan<br />berbahaya. Eh malah Raja mengangkatnya menjadi Tikoan....”<br />Seorang perempuan tinggi semampai berpakaian bagus dan<br />berdandan mencolok memegang bahu Jenderal Suma. Dia adalah<br />salah seorang tokoh silat istana yang berhasil ditarik Jenderal Suma<br />Tiang Bun ke dalam kelompoknya. “Untuk menjatuhkan batu karang,<br />ombak besar tak boleh putus asa. Jika dia tidak bisa kita jatuhkan<br />dengan jalan halus, jalan kasar bisa kita pergunakan. Bukankah<br />bekas anak buah Lo Sam Tojin di lembah Pek-hun yang ribuan<br />banyaknya itu bersumpah untuk membalas dendam kematian Ketua<br />mereka? Lagi pula aku ada satu rencana besar yang bisa kita<br />jalankan. Selain itu bukankah kita bisa memperalat orang Jawa anak<br />murid si Kanjeng yang satu itu untuk memberi lebih banyak<br />keterangan tentang ilmu-ilmu yang dimiliki Ageng Musalamat?”<br />“Hemmm.... Apa rencana besar yang barusan kau katakan itu<br />Louw Bin Nio?”<br />Perempuan separuh baya itu tersenyum dan kedipkan matanya<br />dengan genit. “Jika kau ingin tahu bukan di sini tempatnya,” jawab<br />Louw Bin Nio sambil memandang pada orang-orang yang ada di situ.<br />Mendengar ucapan ini dan melihat pandangan Louw Bin Nio semua<br />orang yang ada di situ menjadi maklum. Satu persatu mereka<br />meninggalkan tempat itu.<br />“Ikuti aku,” kata Louw Bin Nio sambil menggoyangkan<br />pinggulnya yang besar. Perempuan ini adalah seorang tokoh silat<br />istana yang sejak masih gadis secara diam-diam telah menjadi kekasih<br />gelap Jenderal Suma.<br />Louw Bin Nio membawa lelaki itu ke dalam sebuah kamar.<br />Begitu pintu dikuncinya langsung die memeluk Jenderal Suma dengan<br />penuh nafsu seraya berbisik dengan mata berkilat-kilat.<br />“Sudah berapa lama kita tidak berkasih-kasihan Suma Tiang<br />Bun...”<br />“Hampir dua minggu. Maafkan aku Bin Nio Urusanku banyak<br />sekali akhir-akhir ini....”<br />“Sekarang lupakan semua urusan itu. Darahku sudah panas<br />Suma. Cepat buka bajuku dan aku akan membuka bajumu!” Lalu jarijari<br />tangan Louw Bin Nio bergerak. Dia bukan membuka pakaian<br />Jendera Suma secara wajar tapi merobeknya dengan penug nafsu.<br />Justru hal inilah yang disukai sang Jenderal Perempuan itu bisa<br />memuaskannya dengan hubungan badan yang aneh-aneh sementara<br />istrinya yang gemuk di rumah hanya merupakan sosok dingin<br />sedingin salju di puncak Thay San.<br />-- == 0O0 == --<br />EMPAT BELAS<br />SALAH satu tantangan dalam hidup manusia ialah kemampuan<br />untuk bertahan terhadap godaan. Sejak Adam tergoda oleh setan hingga<br />memakan buah larangan lalu bersama Hawa diusir dari Taman<br />Firdaus, sejak itu pula setan senantiasa membayangi manusia,<br />menggoda agar melakukan kesesatan. Hal ini yang terjadi dengan diri<br />Kanjeng Sri Ageng Musalamat.<br />Selama dua puluh tahun dia sanggup bertahan terhadap<br />hasutan setan yang selalu mendorongnya agar membuka halaman ke<br />lima Kitab Putih Wasiat Dewa yang selalu dibawanya kemana-mana.<br />Malam itu entah mengapa, sewaktu hasutan setan menghantuinya,<br />dia tidak berdaya melawan. Semakin dilawan semakin keras dorongan<br />untuk ingin mengetahui apa sebenarnya yang ada di halaman ke lima<br />dan halaman berikut kitab sakti itu. Dalam keadaan bimbang<br />akhirnya Ageng Musalamat naik ke atas loteng rumah dimana terletak<br />sebuah ruangan tempat dia biasa bersunyi diri.<br />Dari balik jubah putihnya dikeluarkannya Kitab Putih Wasiat<br />Dewa. Dadanya berdebar keras, tangannya gemetar. Tengkuknya<br />mendadak merasa dingin. Kitab yang hendak dibukanya ditutupnya<br />kembali. Pada saat itulah setan menghasut melalui suara hatinya.<br />“Kanjeng Sri Ageng Musalamat, apa yang kau khawatirkan? Kau<br />tidak disuruh merenangi lautan api atau mendaki gunung batu<br />membara. Apa susahnya membalik halaman kitab itu? Jangan mau<br />dibodohi Datuk Rao Basalauang Ameh. Dia tidak ingin kau menjadi<br />penguasa dunia persilatan. Itu sebabnya dia melarangmu. Tapi<br />sekarang kau berada jauh dari tanah Jawa. Mana mungkin dia<br />mengetahui. Sekali kau membuka halaman ke lima kitab sakti itu,<br />dunia persilatan berada di tanganmu. Raja Tiongkok kelak akan<br />memberikan jabatan yang lebih tinggi bagimu...”<br />Ageng Musalamat menggigit bibirnya sendiri. Berkali-kali dia<br />menarik napas dalam. Akhirnya keputusannya bulat. Tangan<br />kanannya walaupun masih gemetar bergerak membuka halaman ke<br />lima Kitab Putih Wasiat Dewa!<br />Begitu halaman ke lima Kitab Putih Wasiat Dewa terbuka,<br />terpentanglah sepasang mata Kanjeng Sri Ageng Musalamat! Ternyata<br />halaman itu kosong! Tak ada gambar tak ada tulisan. Dibaliknya<br />halaman-halaman berikutnya. Sama! Kosong!<br />“Orang menipuku...“ kata Ageng Musalamat terperangah.<br />“Datuk Rao Basaluang Ameh mendustaiku. Halaman kelima dan<br />halaman lainnya ternyata tidak ada apa-apanya!”<br />Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara tiupan seruling di<br />kejauhan. Suaranya mengalun lembut berhiba-hiba lalu menderam<br />suara auman binatang. Ageng Musalamat tercekat. Parasnya menjadi<br />pucat pasi.<br />“Datuk Rao...” desisnya.<br />Baru saja dia menyebut nama itu di hadapannya muncul dua<br />kepulan asap putih yang dengan cepat berubah membentuk sosok<br />tubuh Datuk Rao Basaluang Ameh dan temannya si harimau putih<br />bernama Datuk Rao Bamato Hijau.<br />Datuk Rao menatap dengan pandangan rawan pada Ageng<br />Musalamat. Sadar bahwa ia telah melanggar pantangan Ageng<br />Musalamat jatuhkan diri hendak merangkul kaki Datuk Rao. Tapi<br />orang tua itu mundur dua langkah hingga dia menangkap angin.<br />“Sayang sekali... Sayang sekali Kanjeng Sri Ageng Musalamat!<br />Pada saat-saat terakhir imanmu runtuh! Padahal kau telah mengulang<br />berpuluh kali membaca Sabda Dewa yang ke delapan. Imanmu tidak<br />sekokoh batu! Kau juga telah puluhan kali membaca Sabda dewa ke<br />tiga. Di dalam tubuh manusia ada api. Mengapa manusia tidak<br />berpikir mencari manfaat dari pada kualat?!”<br />“Maafkan diriku Datuk! Aku mengaku bersalah, mengaku<br />berdosa. Aku akan melakukan apa saja yang bisa menebus dosa<br />kesalahanku!” kata Ageng Musalamat setengah meratap.<br />“Mengapa kau tergoda melanggar pantangan, Ageng<br />Musalamat?”<br />“Aku terhasut setan Datuk! Aku mohon maafmu. Lagi pula<br />ketika halaman ke lima Kitab Wasiat Dewa kubuka, tidak ada apaapanya.<br />Halaman itu kosong!”<br />Datuk Rao tersenyum. “Matamu tidak seperti mata malaikat.<br />Matamu. nyalang tapi penglihatanmu dihilangkan oleh Yang Maha<br />Kuasa hingga kau hanya mampu melihat halaman kosong!”<br />Tenggorokan Ageng Musalamat turun naik. Matanya membeliak<br />dan wajahnya seputih kain kafan.<br />“Aku mohon ampunmu Datuk. Tolong diriku...”<br />“Kesalahan telah dibuat. Larangan telah dilanggar. Penyesalan<br />tak ada gunanya Ageng Musalamat. Aku tidak tahu nasib apa yang<br />akan menimpamu. Aku hanya ada dua pesan terakhir. Pertama hatihatilah.<br />Kedua jangan lupa amanat agar kau menyerahkan Kitab<br />Wasiat Dewa pada orang yang paling kau percaya!”<br />Datuk Rao angkat saluang emasnya lalu mulai meniup. Suara<br />seruling itu seperti tadi mengalun lembut berhiba-hiba. Datuk Rao<br />Bamato Hijau membuka mulut keluarkan suara auman. Bersamaan<br />dengan sirnanya suara auman lenyap pulalah sosok asap ke dua<br />makhluk itu.<br />*<br />* *<br />Sepanjang malam Kanjeng Sri Ageng Musalamat tak bisa<br />memicingkan mata. Menjelang pagi ketika sepasang matanya sempat<br />hendak terpicing tiba-tiba di luar terdengar derap kaki kuda,<br />menyusul suara pintu digedor. Beberapa orang yang bertugas sebagai<br />pengawal di gedung Tikoan itu ikut menghambur ke pintu depan.<br />“Tikoan! Tikoan Kan-jieng Musalamat! Bangun! Buka pintu!”<br />Ageng Musalamat terduduk di atas ranjang. Telinganya dipasang<br />kembali khawatir kalau-kalau tadi ia mendengar suara dalam mimpi.<br />“Tikoan Musalamat! Buka pintu! Cepat!”<br />“Eh, itu suara Ki Hok Kui. Ada apa dia pagi-pagi buta begini<br />menggedor pintu. Setahuku dia berada di timur...”<br />Kanjeng Sri Ageng Musalamat yang jadi Tikoan di Hsin-Yang<br />itu cepat-cepat turun ke bawah. Begitu pintu dibuka masuklah<br />muridnya Ki Hok Kui bersama Cagak Guntoro dan beberapa orang<br />pengawal.<br />°”Ada apa Hok Kui? Mukamu pucat dan napasmu sesak?”<br />Ageng Musalamat berpaling pada Cagak Guntoro. Muridnya yang<br />satu ini juga sama keadaannya dengan Ki Hok Kui.<br />“Lekas tinggalkan kota ini Tikoan. Seluruh penduduk harus<br />diberitahu agar segera mengungsi!” kata Ki Hok Kui yang kini<br />telah menjadi seorang lelaki gagah berusia tiga puluh tahun dan<br />telah mewarisi hampir seluruh ilmu silat dan kesaktian Ageng<br />Musalamat, kecuali ilmu Harimau Dewa.<br />“Tinggalkan kota?! Mengungsi?! Eh kalian ini tidak habis<br />minum-minum dan mabok?!” ujar Ageng Musalamat.<br />“Demi Tuhan, Kan-jieng....”<br />“Katakan ada apa?!” Ageng Musalamat membentak.<br />“Pasukan Kerajaan. Ribuan jumlahnya. Mereka hendak<br />menyerbu ke sini! Mereka hendak membunuh kita semua! Hsin<br />Yang hendak dimusnahkan sama rata dengan tanah!”<br />Paras Ageng Musalamat jadi berubah.<br />“Bicara yang benar Hok Kui, jangan terburu-buru...”<br />Ki Hok Kui atur jalan napasnya lalu menuturkan, “Raja<br />menerima laporan dari Jenderal Suma Tiang Bun bahwa Kan-jieng<br />berserikat dengan orang-orang Mongol untuk meruntuhkan<br />takhta Raja Tiongkok. Ada yang melihat Jenderal Suma membawa<br />sepucuk surat rampasan yang katanya adalah dari Raja Mongol<br />ditujukan pada Kan-jieng. Isinya rencana penyusunan kekuatan<br />serta siasat penyerbuannya ke Kotaraja....”<br />“Fitnah!” teriak Ageng Musalamat dengan kedua tangan<br />dikepal.<br />“Kan-jieng tahu Jenderal Suma sudah sejak lama tidak<br />menyukai Kan-jieng. Dia memang memfitnah. Celakanya Raja<br />begitu saja mempercayai. Sebelum matahari terbit balatentara<br />Kerajaan terdiri dari enam gelombang masing-masing berjumlah<br />dua ribu orang akan sampai di sini. Selagi ada waktu harap Kanjieng<br />mencari jalan selamat...”<br />Ageng Musalamat gelengkan kepala. “Bahaya sebesar<br />apapun yang akan datang aku tidak akan pergi. Kau dan Cagak<br />Guntoro lekas beritahu penduduk dan ungsikan mereka. Aku<br />tetap di sini. Aku akan menghadapi Jenderal culas itu!”<br />”Tapi Kan-jieng Jenderal Suma tidak sendirian. Dia<br />membawa enam tokoh silat istana, dua orang tokoh silat golongan<br />hitam dan kekasihnya yaitu Louw Bin Nio yang dikenal dengan<br />julukan Tjui-hun Hui-mo (Iblis Terbang pencabut Nyawa) Dan ada<br />yang melihat Munding Sura bersama Jenderal Suma!”<br />Terkejutlah Ageng Musalamat. Dia sudah lama mendengar<br />hubungan gelap Jenderal Suma dengan Louw Bin Nio. Perempuan<br />satu ini kabarnya memiliki ilmu silat yang sangat tinggi dan<br />merupakan tokoh nomor satu dalam barisan tokoh silat istana!<br />Lain dari itu dia tidak menduga kalau Munding Sura murid yang<br />dulu begitu dipercayanya ternyata adalah seorang pengkhianat.<br />“Seribu Jenderal Suma boleh datang. Seribu tokoh silat<br />istana boleh muncul di hadapanku dan seribu Louw Bin Nio boleh<br />unjukkan diri di sini. Tapi aku tidak akan melarikan diri. Aku tidak<br />akan meninggalkan Hsin Yang!”<br />Dari balik pakaiannya Ageng Musalamat keluarkan Kitab<br />Wasiat Putih Dewa lalu menyerahkannya pada Ki Hok Kui.<br />Ternyata muridnya inilah orang yang paling dipercayanya.<br />“Hok Kui, selamatkan kitab ini dan segera tinggalkan tempat<br />ini!”<br />“Kan-jieng!” seru Ki Hok Kui. “Saya tidak akan pergi! Saya<br />siap bertempur bersama Kan-jieng!”<br />“Jangan berani membangkang Hok Kui!”<br />“Saya ingin mati bersama Kan-jieng!” teriak Ki Hok Kui.<br />“Plaaaakkkk!”<br />Satu tamparan melayang di pipi Ki Hok Kui. Tamparan yang<br />dilancarkan penuh kemarahan itu sanggup meremukkan tulang<br />rahang manusia. Tapi jangankan cidera, bergeming sedikitpun<br />tidak! Inilah kehebatan Ki Hok Kui hingga dia dijuluki Tiat Tow Hou<br />atau Harimau Kepala Besi.<br />“Hok Kui! Ini perintah! Kalau kau tidak melaksanakan<br />kubunuh kau saat ini juga!” teriak Ageng Musalamat.<br />Ki Hok Kui mundur dua langkah. Ageng Musalamat maju<br />mendatangi dan dengan cepat memasukkan Kitab Wasiat Dewa ke<br />dalam baju muridnya itu. “Kitab itu lebih berharga dari nyawaku!<br />Kau harus menyelamatkannya Hok Kui!”<br />Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara menderu seperti air<br />bah mendatangi. Menyusul suara tiupan terompet.<br />Paras Ki Hok Kui berubah. “Astaga! Saya tidak menyangka<br />balatentara Kerajaan ternyata datang lebih cepat.... “<br />“Lekas pergi dari sini Kui Hok!” bentak Ageng Musalamat. Dia<br />berpaling pada Cagak Guntoro dan berkata. “Bangunkan istri dan<br />para nelayan. Ungsikan mereka ke tempat yang aman. Sejauh<br />mungkin dari Hsin Yang.” Ketika Ageng Musalamat melihat Hok<br />Kui masih berdiri di tempat itu diapun berteriak marah. “Kau<br />tunggu apa lagi?!”<br />Dengan muka pucat dan berusaha keras menahan titiknya<br />air mata Ki Hok Kui melangkah mundur ke pintu. Sebelum<br />berkelebat dia berkata. “Kan jieng guruku tercinta, saya berdoa<br />untuk keselamatanmu!”<br />-- == 0O0 == --<br />LIMA BELAS<br />PERAHU kecil itu terapung-apung dipermainkan ombak. Di<br />dalamnya terbujur satu sosok tubuh hanya tinggal ku!it pembalut<br />tulang, mengenakan pakaian yang nyaris hancur. Kulitnya yang tadi<br />putih kini kelihatan merah kehitaman karena disengat sinar matahari.<br />Dua matanya yang Terpejam perlahan-lahan terbuka. Dia berusaha<br />mengangkat tubuhnya dari lantai perahu yang mulai lapuk dan hanya<br />menunggu hancur. Orang ini bukan lain adalah Ki Hok Kui, murid<br />terpandai dan paling dipercaya Ageng Musalamat.<br />Setelah mengetahui bahwa balatentara Kerajaan secara ganas<br />benar-benar menghancurkan Hsin Yang dan membantai setiap orang<br />yang mereka temui di kota itu termasuk gurunya, Ki Hok Kui lalu<br />menyelamatkan diri ke timur. Kalau bukan mengingat amanat sang<br />guru dia sudah bertekad bulat untuk mati bersama di Hsin Yang. Kini<br />dia mendapat beban berat untuk menyelamatkan Kitab Putih Wasiat<br />Dewa. Dia sudah selamat tapi kitab itu hendak diapakannya? Kalau<br />dibawa akan dibawa kemana, kalau diserahkan akan diserahkan pada<br />siapa?<br />Seperti mendapatkan satu kekuatan gaib Ki Hok Kui walau<br />berada dalam keadaan sangat lemah duduk di lantai perahu. Dua<br />matanya yang cekung rnenatap tak berkesiap.<br />“Pulau..” desisnya. Digosoknya dua matanya dengan rasa tidak<br />percaya. Betulkah yang dilihatnya di kejauhan itu adalah sebuah<br />pulau? Kalau pulau rnergapa keseluruhannya berwarna merah?<br />Tiba-tiba dia mendengar satu suara seperti berdesir di<br />belakangnya. Perlahan-lahan kepalanya dipalingkan. Pucatlah paras<br />cekung Ki Hok Kui.<br />“Astaga! Bagaimana mungkin mereka bisa mengejar sampai di<br />sini!”<br />Ratusan tombak di belakang perahu kecil Hok Kui kelihatan<br />sebuah kapal layar besar. Dari bendera yang berkibar di tiang utama<br />jelas kapal itu adalah kapal Kerajaan Tiongkok. Apa sebenarnya yang<br />telah terjadi?<br />Setelah balatentara Kerajaan menghancurkan Hsin Yang dan<br />membantai semua orang yang mereka temui di kota itu, Ki Hok Kui<br />terpaksa melarikan diri dan dia memilih arah timur yang lebih banyak<br />diketahui seluk beluknya. Sewaktu Ki Hok Kui sampai di Nanchang,<br />Jenderal Suma mengetahui dari Munding Sura bahwa Ki Hok Kui<br />diduga masih hidup. Selain itu sewaktu tempat kediaman dan mayat<br />Ageng Musalamat diperiksa Kitab Putih Wasiat Dewa tidak ditemukan.<br />Munding Sura yakin kitab itu teiah diserahkan oleh Ageng Musalamat<br />kepada Hok Kui untuk diselamatkan.<br />Jenderal Suma memutuskan untuk mengejar Hok Kui yang saat<br />itu dikabarkan melarikan diri menuju kota pelabuhan Seochow.<br />Tujuan sang Jenderal bukan saja untuk mengikis habis semua anak<br />murid Ageng Musalamat tapi juga untuk mendapatkan Kitab Putih<br />Wasiat Dewa. Maka pengejaranpun diteruskan sampai di Seochow. Di<br />sini diketahui bahwa Ki Hok Kui telah membeli sebuah perahu kecil<br />dan melaut tanpa diketahui kemana tujuannya. Namun Munding Sura<br />mempunyai dugaan dan hal ini diberitahukannya pada Jenderal Suma<br />Tiang Bun. Menurut pendapatnya besar kemungkinan Ki Hok Kui<br />melarikan diri menuju tanah Jawa. Pemburuan di lautpun<br />dilakukan. Namun karena nakhoda kapal pengejar tidak begitu<br />memahami kawasan laut selatan, satu bulan kemudian baru<br />mereka berhasil mengejar perahu Kui Hok.<br />Kui Hok sendiri yang buta pelayaran ternyata bukannya<br />menuju pantai utara pulau Jawa, tapi tersesat ke pantai selatan.<br />Di kawasan inilah Jenderal Suma berhasil mengejarnya.<br />Dari atas kapal layar lima buah perahu diturunkan. Masingmasing<br />perahu berisi tiga penumpang. Perahu terdepan ditumpangi<br />Jenderal Suma bersama Munding Sura dan seorang tokoh silat<br />istana. Perahu kedua yang meluncur di samping perahu sang<br />Jenderal ditumpangi oleh Louw Bin Nio alias Tjui-hun Hui-mo (Iblis<br />Terbang Pencabut Nyawa) didampingi dua orang tokoh silat<br />golongan hitam. Tiga perahu lainnya masing-masing berisi seorang<br />perwira tinggi Kerajaan dan dua tokoh silat.<br />Dalam waktu singkat perahu kecil Kui Hok Kui segera<br />terkejar. Lima perahu besar mengurungnya. Lima belas orang<br />berkepandaian tinggi langsung menyerang. Ada dengan tangan<br />kosong dan ada pula dengan senjata. Malah beberapa orang<br />sengaja melepaskan senjata rahasia secara licik. Iblis Terbang<br />Pencabut Nyawa sesuai dengan gelarnya dan memiliki ginkang<br />(ilmu meringankan tubuh) yang lihay melancarkan serangan<br />laksana terbang. Berkelebat kian kemari sambil kiblatkan sebilah<br />golok panjang.<br />Walaupun memiliki ilmu tinggi hingga dijuluki Harimau<br />Kepala Besi, namun jika harus menghadapi lima belas lawan yang<br />hebat tidak mungkin Kui Hok Kui untuk menyelamatkan diri.<br />Apalagi keadaannya saat itu sangat lemah pula. Jenderal Suma<br />berulang kali berteriak agar Hok Kui menyerahkan Kitab Putih<br />Wasiat Dewa yang sudah sempat terlihat tersembul dari balik dada<br />bajunya. Tapi Hok Kui pantang menyerah.<br />“Louw Bin Nio!” teriak Jenderal Suma yang sudah tidak<br />sabaran. “Bunuh bangsat itu. Rampas kitab putih di dadanya!”<br />“Dengan senang hati kekasihku!” jawab Iblis Terbang<br />Pencabut nyawa. “Tapi biar kupesiangi dulu tubuhnya!” Habis<br />berkata begitu perempuan ini melesat ke atas perahu Hok Kui.<br />Goloknya membuat putaran ganas empat kali berturut-turut.<br />“Crass! Craass! Crass! Craass!”<br />Jeritan-setinggi langit menggelegar keluar dari mulut Hok<br />Kui. Golok Louw Bin Nio ternyata telah membabat buntung dua<br />tangan di bagian bahu dan sepasang kakinya di pangkal paha!<br />Darah membanjiri lantai perahu.<br />Iblis Terbang Pencabut Nyawa tertawa panjang. Ketika dia<br />hendak merampas Kitab Putih Wasiat Dewa dari balik baju Hok<br />Kui, murid Ageng Musalamat ini perlaku nekad. Dengan sisa<br />tenaga yang ada tanpa tangan dan kaki dia gulingkan tubuh,<br />mencebur masuk ke dalam laut!<br />“Munding Sural Lekas terjun! Kejar dan ambil kitab di balik<br />bajunya!” teriak Jenderal Suma. Tidak pikir panjang lagi si<br />pengkhianat ini segera melompat masuk ke dalam laut. Justru<br />pada saat itulah seekor ikan hiu ganas meluncur mendatangi. Di<br />atas lima perahu, empat belas penumpangnya hanya bisa tercekat<br />ketika melihat air laut mendadak berwarna merah.<br />Jenderal Suma memandang berkeliling lalu berteriak keras. Tiga<br />belas orang lainnya sama tersentak kaget. Ternyata di sekitar perahu<br />mereka belasan ikan hiu ganas muncul berkeliaran.<br />“Kembali ke kapal!” teriak Jenderal Suma Tiang Bun. Empat<br />perahu cepat dikayuh kembali ke kapal. Malang bagi perahu yang<br />ditumpangi Jenderal Suma. Dua ekor ikan hiu besar menabrak<br />perahunya hingga terbalik. Tubuhnya dan tubuh tokoh silat yang<br />terbalik dari atas perahu segera disambar belasan ikan hiu!<br />Louw Bin Nio sang kekasih gelap memekik laksana kemasukan<br />setan. Kalau tidak dipegangi dia pasti akan melompat ke dalam laut<br />menyusul Suma Tiang Bun.<br />*<br />* *<br />Di atas batu miring sosok tubuh Pendekar 212 tidak bergerak.<br />Sekujur badannya dibungkus hawa aneh sedingin es. Sepasang<br />matanya nyalang tapi dia tidak dapat melihat apa-apa. Tiba-tiba<br />“Wusss!” Sekujur tubuh murid Eyang Sinto Gendeng itu mengeluarkan<br />cahaya terang benderang. Lalu sekali lagi terdengar suara,<br />“Wusss!”<br />Dari kepala Pendekar 212 melesat keluar sebuah benda bersinar<br />terang. Benda ini melayang ke udara dalam kecepatan luar biasa dan<br />akhirnya lenyap seolah ditelan langit malam.<br />Bersamaan dengan itu tubuh kaku Wiro Sableng tampak<br />menggeliat lalu bergerak duduk. Dia memandang celingak-celinguk<br />terheran-heran. Kepalanya dipegang berulang kali. Akhirnya murid<br />Sinto Gendeng ini garuk-garuk kepalanya.<br />“Aneh, barusan ini aku bermimpi atau bagaimana? Aku melihat<br />seorang bernama Kanjeng Sri Ageng Musalamat. Aku melihat Kitab<br />Putih Wasiat Dewa. Lalu ada seorang Jenderal Cina melakukan<br />hubungan badan dengan seorang perempuan berdandan menor<br />bergelar Tjui-bihun... Tjui... Ah setan! Tak tahu aku menyebutnya<br />dalam bahasa Cina!” Wiro kembali garuk-garuk kepala.<br />“Ki Hok Kui... Lelaki Cina yang dibuntungi tangan dan kakinya<br />itu. Dia yang terakhir sekali memiliki kitab Putih Wasiat Dewa. Tapi<br />dia kecebur masuk ke dalam laut!” Wiro garuk-garuk kepala lagi dan<br />kembali memandang berkeliling. Lalu dia ingat pada Delapan Sabda<br />Dewa. Dan bicara seorang diri.<br />“Delapan Sabda Dewa... Tanah, Air, Api, Udara, Bulan, Kayu...<br />Batu! Astaga mengapa aku bisa mengingatnya?!” Baru saja Wiro<br />berkata begitu tiba-tiba di kejauhan terdengar suara orang bernyanyi.<br />Laut Selatan tak pernah tenang<br />Gelombang selalu datang menantang<br />Ribuan pagi ribuan petang<br />Tubuh lapuk ini menunggu kedatangan<br />Yang menunggu tua renta malang<br />Yang ditunggu budak malang<br />Apakah saat ini petunjuk Yang Kuasa turun<br />menjelang<br />Mungkinkah ini akhir penantian dan<br />permulaan dari satu harapan<br />Hanya kepada Yang Kuasa tertambat seluruh<br />harapan<br />Agar tubuh tua ini bisa bebas menempuh<br />jalan abadi menghadap Sang Pencipta.<br />“Tempat aneh nyanyian aneh. Orangnya pasti aneh!,” kata Wiro<br />pula sambil garuk-garuk kepala dia turun dari batu miring itu dan<br />melangkah ke arah datangnya suara nyanyian tadi.<br />T A M A TscorpionsGunshttp://www.blogger.com/profile/05792078590560618820noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3447348503049306634.post-11567401783142145582008-11-18T23:52:00.001-08:002008-11-18T23:52:44.242-08:00bocah gendeng wiro sablgengSATU<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212<br />Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />Upload by mercenary_007<br />PENDEKAR 212 Wiro Sableng garuk garuk kepala. Lalu pada Dewa Ketawa yang duduk di<br />hadapannya dia berkata. “Aku tetap tidak bisa percaya kalau saat ini kita berada di<br />awang awang. Kau lihat sendiri Sobatku Gendut. Bangunan, taman, pedataran, lalu di<br />sebelah sana malah ada bukit! Mana mungkin semua ini menggantung di udara. Mana<br />mungkin ada dunia di atas dunia?!”<br />Kakek gendut berbobot 200 kati itu elus elus dadanya yang gemberot. Lalu<br />penyakitnya kambuh. Dia mulai tertawa. Mula mula perlahan. Tambah lama makin<br />keras hingga Wiro terpaksa tekap kedua telinganya.<br />“Anak tolol! Aku sudah bilang mengapa meributi segala hal yang tidak bisa<br />sampai dalam akal kita manusia biasa? Tempat ini, termasuk para penghuninya, jadi<br />termasuk Ratu Duyung bukanlah makhluk biasa. Mereka mampu hidup di dua alam.<br />Darat dan air….”<br />“Berarti mereka sebangsa kodok?” ujar Wiro sambil menyengir. Membuat tawa<br />si gendut semakin keras. “Ada satu hal lagi yang aku tidak mengerti. Kulihat Sang Ratu<br />maupun gadis gadis yang ada di sini tidak ada bedanya dengan manusia biasa. Mengapa<br />Sang Ratu disebut Ratu Duyung? Bukankah duyung sejenis makhluk bertubuh sebagian<br />manusia sebagian lagi ikan?”<br />“Memang begitulah keadaan asli tubuh mereka…” jawab Dewa Ketawa. “Kau<br />tidak percaya? Ha…ha…ha…?!<br />“Kau sendiri melihat. Mereka bicara seperti kita. Memiliki kecantikan seperti<br />bidadari. Berjalan dengan dua kaki yang mulus mulus. Bukan dengan ekor ikan….”<br />“Jika kau suka, kau bisa membuktikan sendiri!” kata Dewa Ketawa pula sambil<br />senyum senyum. “Eh, membuktikan bagaimana maksudmu? Kau tahu caranya? Atau<br />punya ajian yang bisa dirapal hingga mampu melihat bentuk asli mereka?!”<br />“Tak perlu ajian. Tak perlu segala macam rapalan. Cukup dengan mata telanjang.<br />Asal tahu rahasianya….”<br />“Kalau begitu tunjukkan padaku rahasia itu!” ujar Wiro.<br />Dewa Ketawa tak segera memberitahu tapi seperti biasanya dia tertawa dulu,<br />membuat murid Sinto Gendeng jadi tidak sabaran.<br />“Kau lihat pohon besar itu, Sobatku Muda?!” tanya si kakek gendut sambil<br />menunjuk pada sebatang pohon besar yang tumbuh miring di kejauhan. Wiro<br />mengangguk. “Di balik pohon itu ada satu jalan kecil menurun. Di ujung penurunan ada<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />sebuah telaga berair biru. Nah telaga ini tempat mandi gadis gadis anak buah Ratu<br />Duyung. Terkadang mereka pergi ke sana untuk istirahat sambil bercengkrama….”<br />“Jadi kau menyuruh aku mengintip anak gadis mandi?”<br />“Terserah padamu. Kau bilang mau melihat bentuk asli gadis gadis itu….”<br />Wiro garuk garuk kepala. “Kalau ketahuan aku mengintip bagaimana??”<br />“Wah, akibatnya memang berat. Tapi itu urusanmulah!” jawab Dewa Ketawa dan<br />orang tua bertubuh gemuk luar biasa ini kembali tertawa. Setelah tawanya reda dia<br />berkata. “Kau tahu, cuma itu satu satunya cara kalau mau mengetahui keadaan<br />sebenarnya para gadis di sini. Ujud asli mereka akan kelihatan bila tubuh mereka basah<br />atau mereka masuk ke dalam air. Baik air tawar maupun air laut….”<br />“Bagaimana kalau mereka misalnya terguyur air hujan?” tanya Wiro pula.<br />“Anak setan! Macam macam saja pertanyaanmu! Mengapa tidak kau tanya<br />bagaimana kalau terguyur air kencing?! Ha… ha… ha…! sambil usap usap dua matanya<br />yang sipit kakek gemuk ini kemudian berkata dengan suara sengaja diperlahan<br />lahankan. “Ada satu hal yang mau kubilang padamu….”<br />“Hemmm…. Apa? Kelihatannya seperti kau mau menceritakan satu rahasia besar<br />saja!”<br />“Betul! Kau rupanya punya firasat!” jawab si kakek. Wiro cepat menekap mulut<br />orang tua ini ketika dia mulai menunjukkan hendak tertawa kembali.<br />“Ayo cepat, kau mau bilang apa?” tanya Wiro.<br />“Ratu Duyung itu sebenarnya suka padamu…” bisik Dewa Ketawa.<br />“Jangan ngaco! Kau mengada ada saja!”<br />“Sobatku Muda, aku tidak bicara bohong…!”<br />“Bagaimana kau bisa tahu? Memangnya dia bilang padamu?!”<br />“Aku segera tahu pada pertama kali bertemu dengannya. Beberapa hari lalu.<br />Memang dia tidak mengatakan terus terang. Tapi dari sikap dan ucapannya cukup<br />tersirat dia menyukai dirimu….”<br />Wiro memandang dengan mata membesar pada si gendut tua itu.<br />“Agaknya dia sudah lama mendengar tentang kau. Dia menjadi salah seorang<br />dari banyak gadis yang mengagumi dirimu. Namun….”<br />“Namun apa?”<br />“Rasa sukanya kurasa serta merta lenyap ketika melihat keadaan dirimu.<br />Ternyata kau seorang pemuda hitam gosong bermuka macam pantat kuali! Ha… ha…<br />ha…”<br />“Orang tua sialan…! Maki Wiro dalam hati.<br />Si kakek gendut geleng gelengkan kepala. “Memang aku suka bergurau Sobatku<br />Muda. Tapi percayalah, aku yakin betul Ratu Duyung diam diam jatuh hati padamu!”<br />Wiro memandang ke arah pohon besar. Di sampingnya Dewa Ketawa berkata.<br />“Tadi kulihat ada serombongan gadis menuju ke sana. Pasti mereka pergi mandi.<br />Sebaiknya kau lekas menyelidik….”<br />“Kau tak mau ikut mengintip?!” tanya Wiro.<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />“Aku sudah terlalu tua untuk pekerjaan macam begini. Itu bagian yang muda<br />muda sepertimu….”<br />Wiro menyeringai. “Aku tidak percaya pada tua bangka berminyak sepertimu ini.<br />Jangan jangan kau sudah duluan mengintip. Kalau tidak dari mana kau bisa tahu.”<br />“Ha… ha… ha…! tawa si kakek gendut membahak lepas.<br />Wiro tinggalkan orang tua itu. Dengan cepat dia melangkah menuju pohon<br />besar. Seperti yang dikatakan Dewa Ketawa, di balik pohon itu memang ada sebuah<br />jalan kecil. Jalan ini terbuat dari batu batu hitam, berupa tangga tangga kecil menurun.<br />Keadaan di tempat itu sunyi. Angin bertiup sepoi sepoi. Wiro menuruni jalan kecil<br />dengan hati hati. Setengah panjangnya jalan yang menurun Wiro menangkap suara<br />gelak tawa di bawah sana.<br />“Si gendut tidak dusta. Memang ada serombongan gadis di bawah sana…” kata<br />Wiro dalam hati. Dia belum dapat melihat apa yang ada di bawahnya karena tertutup<br />oleh rerumpunan pohon pohon setinggi kepala. Dengan dada berdebar murid Sinto<br />Gendeng melangkah terus menuruni jalan batu. Debaran dadanya mencapai puncak<br />sewaktu dia sampai di ujung jalan. “Pemandangan luar biasa…” kata sang pendekar<br />dalam hati. Dia cepat menyelinap ke balik sebuah batu besar dan mengintai di balik<br />kerapatan semak belukar berbunga aneh.<br />Di bawah sana kelihatan sebuah telaga berair biru. Di salah satu tepiannya,<br />terdapat gundukan batu batu hitam tersusun rapi seolah ditata oleh tangan manusia.<br />Dari celah susunan batu batu hitam itu mengucur air jernih yang kemudian jatuh masuk<br />ke dalam telaga.<br />Mata Pendekar 212 Wiro Sableng tidak berkesip memperhatikan empat orang<br />gadis yang ada di dalam telaga, berenang sambil bercanda satu sama lain. Dari<br />tempatnya mengintai jelas empat gadis itu mandi bertelanjang dada. Di tepi telaga tiga<br />orang gadis lainnya duduk bermalas malas. Yang satu menyisir nyisir rambutnya dengan<br />sebuah sisir berbentuk tulang ikan. Dua lainnya asyik mengobrol.<br />Salah seorang dari gadis yang mandi keluar dari telaga lalu bergabung dengan<br />tiga temannya.<br />“Astaga!” murid Sinto Gendeng keluarkan seruan kaget ketika melihat keadaan<br />tubuh gadis yang barusan keluar dari dalam telaga itu. Bagian atas auratnya berada<br />dalam keadaan polos tanpa penutup sama sekali. Lalu tubuh sebelah bawah, inilah yang<br />membuat Wiro jadi tercengang, mata melotot mulut ternganga. Tubuh bagian bawah<br />gadis itu berbentuk ekor ikan besar berwarna perak berkilat. Ujungnya bergerak gerak<br />kian kemari. Masih tak percaya Wiro gosok gosok kedua matanya. “Tak bisa kupercaya<br />kalau tidak kulihat sendiri. Berarti keadaan Ratu Duyung tidak beda dengan keadaan<br />anak buahnya itu…” kata Wiro dalam hati.<br />Selagi gadis yang barusan keluar dari telaga bercakap cakap dengan teman<br />temannya, salah seorang gadis di tepi telaga tampak bangkit. Sesaat dia berdiri di atas<br />sebuah batu lalu “byurrr”! Gadis itu terjun ke dalam telaga.<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />“Aneh, dia masuk ke dalam telaga. Kenapa tidak membuka pakaian hitamnya<br />dulu…? pikir Wiro. Dia terus memperhatikan. Lalu pemuda ini kembali melengak<br />keheranan. Ternyata begitu tubuhnya masuk ke dalam air, pakaian hitam yang melekat<br />di tubuhnya lenyap secara aneh. Di saat yang sama sepasang kakinya berubah menjadi<br />ekor ikan besar, bergerak gerak kian kemari.<br />“Baru sekali ini aku melihat keanehan gila macam begini!” ujar Wiro seraya<br />geleng geleng kepala.<br />Baru saja dia berkata seperti itu tiba tiba terdengar suara suitan suitan keras dari<br />beberapa penjuru. Tujuh gadis di telaga kelihatan kaget. Wiro sendiri tak kalah kejutnya<br />karena tahu tahu tempat dimana dia berada telah dikurung oleh enam orang gadis lain<br />anak buah Ratu Duyung. Keenam gadis ini menunjukkan wajah galak. Masing masing<br />mengangkat tangan kanan seraya tudingkan jari telunjuk mereka lurus lurus kearah<br />Wiro. Ujung ujung jari mereka memancarkan sinar biru pertanda mengandung satu<br />kekuatan dahsyat.<br />Sadar kalau dirinya tertangkap basah Wiro jadi salah tingkah. Dia melangkah<br />mundur namun cepat kembali ke tempat semula ketika dari ujung jari salah seorang<br />gadis melesat keluar sinar biru yang menghancurkan batu di belakang kaki Wiro.<br />“Tetap di tempatmu! Jangan berani bergerak sampai Ratu datang!” salah<br />seorang dari enam gadis membentak.<br />Rerumputan pohon bunga di sebelah kiri tiba tiba tersibak. Ratu Duyung muncul<br />diiringi dua orang anak buahnya. Sesaat dia menatap pada Wiro dengan pandangan<br />dingin. Lalu dia memberi isyarat. Empat orang anak buahnya segera mendekati Wiro.<br />Dua orang menarik tangan Wiro ke depan.<br />“Ratu, tunggu dulu!” seru Wiro. “Jangan salah mengerti. Aku tidak bermaksud<br />jahat….”<br />“Kau sudah tertangkap basah melakukan perbuatan kurang ajar. Masih hendak<br />mengelak?!” bentak Ratu Duyung. “Ikat tangannya!”<br />Dua gadis anak buah Ratu Duyung kembali menarik tangan Wiro ke depan.<br />Lengannya disilang satu sama lain lalu gadis ketiga maju mendekat. Ujung jarinya yang<br />memancarkan sinar biru digerakkan.<br />“Rrrttttttt!”<br />Terjadilah satu hal luar biasa. Larikan sinar biru yang keluar dari ujung jari si gadis<br />berputar menjerat kedua pergelangan tangan Wiro, tidak beda seperti ikatan seutas tali.<br />Hanya saja tali yang mengikat erat Wiro saat itu berbentuk aneh yaitu berupa lingkaran<br />mengeluarkan sinar biru. Ketika Wiro berusaha melepaskan ikatan itu ternyata dia tak<br />mampu menggerakkan tangannya sedikit pun.<br />“Bawa dia ke bukit Batu Putih!” Ratu Duyung berikan perintah.<br />Dua orang anak buahnya segera mendorong tubuh Pendekar 212.<br />“Ratu,” kata Wiro begitu dia sampai di hadapan Ratu Duyung. “Aku tidak<br />bermaksud berbuat yang bukan bukan. Apa lagi berani berlaku kurang ajar. Apa yang<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />kulakukan terdorong dari rasa ingin tahu. Apa yang ada di sini di luar kemampuan akalku<br />untuk mencerna. Aku…”<br />Ratu Duyung goyangkan kepalanya. Empat orang gadis dengan cepat membawa<br />Wiro meninggalkan tempat itu. Setelah melalui jalan cukup jauh dan berliku liku mereka<br />sampai di satu pedataran batu. Semua batu yang menumpuk di sini berwarna putih. Di<br />langit sang surya bersinar sangat terik seolah hanya beberapa jengkal saja di atas kepala.<br />Wiro merasa tubunya seperti dipanggang. Dia ditarik kebalik sebuah batu besar. Ketika<br />sampai di balik batu itu terkejutlah Wiro. tersandar pada batu besar itu terpentang<br />sosok tubuh gendut Dewa Ketawa. Dua larik sinar biru membentuk tali mengikat<br />tubuhnya ke batu besar itu hingga dia tidak mampu bergerak sedikit pun. Keringat<br />membasahi sekujur tubuhnya. Kulitnya kelihatan merah oleh teriknya sinar matahari.<br />“Walah…! Sobatku gendut! Kau sudah duluan rupanya!” ujar Wiro.<br />“Hemmmm….” Dewa Ketawa menyahut dengan gumaman. Sesaat kemudian dia<br />mulai tertawa tawa.<br />“Dasar manusia kurang waras. Dalam keadaan seperti ini masih bisa ketawa dia!”<br />kata Wiro dalam hati setengah merutuk.<br />Wiro sandarkan pada sebuah batu besar di samping Dewa Ketawa diikat.<br />Seorang gadis tudingkan ujung jarinya ke tubuh Pendekar 212. Ketika jari itu digerakkan<br />maka larikan sinar biru berubah menjadi tali berkilauan, mengikat Wiro ke batu di<br />belakangnya. Keadaan ini tidak beda dengan si Dewa Ketawa. Bedanya dua tangannya<br />masih tetap terikat tali bersinar biru.<br />“Ratu, kami menunggu perintahmu selanjutnya!” Seorang gadis anak buah Ratu<br />Duyung berkata.<br />*<br />* *<br />DUA<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />BARUsaja salah sorang gadis berkata begitu sosok Ratu Duyung muncul dan tegak<br />sepuluh langkah di hadapan Wiro dan Dewa Ketawa. Dia memandang pada kedua orang<br />itu beganti ganti lalu berkata.<br />“Menyesal aku telah menganggap kalian sebagai tamu tamu terhormat.<br />Ternyata kalian sama tak dapat dipercaya!”<br />Wiro menatap wajah cantik Ratu Duyung sesaat lalu berpaling pada Dewa<br />Ketawa dan berbisik. “Sobatku Kerbau Bunting! Kau bilang dia menaruh hati padaku.<br />Kau lihat sendiri! Buktinya aku diikatnya seperti ini!”<br />Dewa Ketawa balas memandang Wiro lalu mukanya berubah. Sesaat kemudian<br />dia tertawa gelak gelak.<br />“Gendut gila! Bagaimana dalam keadaan seperti ini kau masih bisa tertawa?!”<br />damprat Wiro.<br />“Sssst…. Jangan memaki bicara tak karuan. Umur mungkin tak bakal lama. Kita<br />tidak tahu hukuman apa yang bakal dijatuhkan orang orang itu. Yang jelas kalau aku<br />mati pasti masuk sorga, kau jelas minggat ke neraka! Ha… ha… ha!”<br />“Enak saja kau bicara!” tukas Wiro lalu dia berpaling pada Ratu Duyung. “Ratu<br />kalau aku memang bersalah, aku minta maaf. Tapi sobatku si gendut ini mengapa harus<br />ikut menerima hukuman? Yang salah cuma aku sendirian. Harap kau suka<br />membebaskannya….”<br />Para gadis anak buah Ratu Duyung menatap pimpinan mereka menunggu apa<br />yang harus mereka lakukan selanjutnya. Sebaliknya Sang Ratu memandang pada<br />Pendekar 212. Dalam hati dia berkata. “Aku melihat jiwa kesatria dalam dirinya. Tapi jika<br />aku tidak menjatuhkan hukuman bagaimana wibawaku di mata para gadis ini….”<br />“Ratu, kami menunggu perintahmu!” seorang gadis berkata ketika dilihatnya<br />Ratu Duyung hanya tegak tak bergerak, menatap ke arah Wiro. “Hukuman apa yang<br />harus kami jatuhkan terhadap dua orang ini?!”<br />Ratu Duyung mendehem beberapa kali. Lalu berucap. “Orang bernama Dewa<br />Ketawa telah berbuat dosa, melakukan kesalahan. Kalau bukan karena mulutnya maka<br />kawannya ini tidak akan berbuat dosa kesalahan! Hukuman baginya adalah hukuman<br />cabut lidah selama tiga hari!”<br />Dewa Ketawa…!” Wiro keluarkan seruan saking terkejutnya mendengar apa yang<br />dikatakan Ratu Duyung. Dia berkata dengan suara keras pada Sang Ratu. “Ratu Duyung!<br />Sudah kubilang kawanku ini tidak bersalah. Aku yang jadi biang kerok! Bebaskan dirinya<br />biar aku yang menerima semua hukuman. Kau boleh membunuhku agar puas! Seumur<br />hidup belum pernah aku melihat perempuan sepertimu. Cantik selangit tapi kejam<br />selangit tembus!”<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />Ucapan Pendekar 212 itu membuat wajah Ratu Duyung menjadi merah. Namun<br />sikapnya tetap tenang. Sebaliknya di samping terdengar suara Dewa Ketawa tertawa<br />gelak gelak.<br />“Kerbau Bunting!” teriak Wiro. “Orang hendak mencabut lidahmu, kau malah<br />tertawa gelak gelak!” Kau benar benar sudah gila!”<br />“Ah, hukuman cabut lidah itu Cuma tiga hari mengapa harus ditakutkan?!” jawab<br />Dewa Ketawa lalu kembali tertawa terbahak bahak.<br />“Lakukan hukuman!” Ratu Duyung memberi perintah.<br />Seorang gadis maju mendekati Dewa Ketawa yang seolah tidak peduli dan masih<br />saja terus tertawa.<br />“Dewa Ketawa! Selamatkan dirimu! Lekas lari dari tempat ini!” Wiro kembali<br />berteriak.<br />Kakek gendut itu berpaling padanya. “Kau sendiri apa sudah mencoba untuk<br />bebaskan diri?!” balik bertanya Dewa Ketawa.<br />Wiro jadi penasaran. Dia kerahkan tenaga untuk melepaskan diri. Sampai<br />tubuhnya basah oleh keringat ternyata dia tidak mampu melepaskan diri dari ikatan tali<br />aneh yang mengeluarkan cahaya biru itu. Malah makin dipaksa tubuhnya terasa menjadi<br />lemah.<br />“He… he…! Bagaimana? Apa kau mampu?” Tanya Dewa Ketawa sambil tertawa<br />dan pencongkan hidungnya mengejek Wiro. “Sebelumnya aku sudah mencoba, tapi tak<br />ada gunanya. Mereka memiliki ilmu aneh. Aku yang tua tidak mampu apalagi kau yang<br />masih bau pesing! Ha…ha…ha!”<br />“Gendut sialan!” maki Wiro.<br />“Lakukan hukuman!” Tiba tiba Ratu Duyung berseru, memberi perintah untuk<br />kedua kalinya.<br />Dua orang gadis maju ke hadapan Dewa Ketawa.<br />“Dewa Ketawa, sebelum hukuman dijatuhkan, kau kami beri kesempatan untuk<br />tertawa sepuasmu!” kata Ratu Duyung pula.<br />Kakek gendut itu pandangi sang Ratu sesaat. “Kau mau berbaik hati memberi<br />kesempatan. Aku berterima kasih untuk itu,” kata Dewa Ketawa pula. Lalu dia mulai<br />tertawa. Mulutnya makin lebar dan suara tawanya semakin keras. Gadis di samping<br />kanan tiba tiba jentikkan jarinya. Saat itu juga tubuh Dewa Ketawa menjadi kaku. Suara<br />tawanya lenyap dan mulutnya dalam keadaan terbuka lebar.<br />“Cabut lidahnya!” perintah Ratu Duyung.<br />Gadis di sebelah kiri kini yang maju. Tangannya bergerak cepat ke arah mulut<br />Dewa Ketawa yang terbuka lebar. Wiro merasa ngeri untuk menyaksikan. Dia<br />membuang muka.<br />“Kreeeeekk!”<br />Tenguk Pendekar 212 merinding dingin mendengar suara itu. “Pasti lidahnya<br />sudah dicabut….! Manusia manusia ganas!” Perlahan lahan Wiro palingkan kepalanya.<br />Dilihatnya Dewa Ketawa masih dalam keadaan kaku ternganga. Mulutnya penuh darah.<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />Wiro memperhatikan. Ternyata dalam mulut kakek gendut itu tak ada lagi lidah!<br />Sewaktu Wiro berpaling ke kanan dia melihat seorang gadis anak buah Ratu Duyung<br />tengah meletakkan sebuah benda merah panjang bergerak gerak di atas baki kecil<br />terbuat dari kerang. Lidah Dewa Ketawa! Wiro merasa kepalanya pening dan seperti<br />mau muntah.<br />“Sekarang giliran pemuda berkulit hitam!” Tiba tiba terdengar suara Ratu<br />Duyung.<br />Murid Sinto Gendeng tersentak.<br />“Ratu…!” serunya.<br />“Kesalahan ada pada kedua matanya yang berani mengintip orang mandi.<br />Butakan dua mata itu selama tiga hari!”<br />“Ratu! Apa yang hendak kau lakukan?! Aku mohon!”<br />Teriakan Wiro itu tak ada gunanya. Saat itu seorang gadis anak buah Ratu<br />Duyung yang bertubuh jangkung mendatanginya lalu menjentikkan tangannya. Serta<br />merta sekujur tubuh Wiro menjadi kaku. Mulutnya pun tak mampu bersuara lagi! Gadis<br />yang barusan menotok Wiro secara aneh maju lebih dekat. Dua tangannya bergerak<br />cepat sekali ke arah matanya kiri kanan. Wiro merasa sepasang matanya dingin sekali.<br />Tapi hanya sesaat. Di lain kejap rasa dingin itu berubah dengan sengatan panas yang<br />sakitnya bukan main. Wiro hendak berteriak namun mulutnya terkancing gagu! Pada<br />saat itu juga dia tidak melihat apa apa lagi selain gelap mengelam dan menggidikkan.<br />“Ya Tuhan! Apa yang dilakukan mereka padaku?! Aku tak bisa melihat! Mereka<br />mencungkil kedua mataku! Aku benar benar buta!”<br />Darah mengucur dari kedua mata Pendekar 212 yang kini hanya merupakan<br />rongga dalam dan besar mengerikan. Darah mengucur membasahi pipi. Dewa Ketawa<br />yang menyaksikan kejadian itu cuma mampu kerenyitkan mata, tak bisa bergerak tak<br />bisa keluarkan suara. Kalau saja dia tidak dalam keadaan tertotok, setelah menyaksikan<br />kengerian itu sudah pasti dia akan tertawa gelak gelak. Ketika berpaling ke samping<br />dilihatnya gadis jangkung tadi tengah meletakkan dua buah benda bulat putih hitam di<br />atas sebuah baki kecil dari kerang laut.<br />“Gila! Apa betul dua benda itu sepasang mata anak setan itu…?” pikir Dewa<br />Ketawa. Perutnya terasa mual. Tenggorokkannya seperti mau muntah. Tengkuk orang<br />tua gendut ini jadi merinding. “Benar benar gila! Seumur hidup rasa rasanya baru sekali<br />ini aku merinding ngeri!” Lebih lebih ketika dia coba melirik memperhatikan ke<br />samping, melihat bagaimana keadaan muka Pendekar 212 sekarang! Muka pemuda ini<br />kini terpentang tanpa sepasang mata!<br />“Dunia aneh…Bagaimana mereka bisa melakukan keganasan ini?! Tapi…eh,<br />apakah aku merasa sakit sewaktu lidahku dicabut? Memang aku melihat ada darah<br />mengucur dari mulut. Tapi mengapa aku taidak merasa sakit sama sekali? Kuharap<br />Sobatku Muda itu juga tidak merasa sakit walau kedua matanya dicungkil begitu rupa!<br />Hukuman gila macam apa ini! Aku kepingin tertawa, tapi mengapa tidak bisa? Celaka!<br />Kalau aku nanti tak mampu tertawa lagi selama lamanya akan kuobrak abrik tempat ini!<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />Akan kuhajar mereka semua! Tapi apakah aku tega melakukan itu terhadap para gadis<br />yang cantik cantik itu? Ratu Duyung kau membuat aku betul betul sengsara. Hidup<br />tanpa tawa…. Rasanya lebih baik mati saja!”<br />*<br />* *<br />TIGA<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />Malam terasa lebih dingin dari malam malam sebelumnya. Ini adalah malam ketiga atau<br />malam terakhir Pendekar 212 Wiro Sableng dan kakek gendut berjuluk Dewa Ketawa<br />menjalani hukuman, diikat secara aneh ke batu putih besar. Wiro dalam keadaan tanpa<br />mata dan dilanda sakit terus menerus. Dewa Ketawa masih untung. Walau lidahnya<br />dicabut namun tidak mengalami rasa sakit sedikitpun. Malah saat itu dia tengah tertidur<br />nyenyak. Dari tenggorokkannya terdengar suara mengorok aneh padahal dia dalam<br />keadaan tertotok hingga tak mampu bergerak dan seharusnya juga tak mampu<br />bersuara.<br />Sepasang telinga murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede tiba tiba mendengar<br />sesuatu. Bersamaan dengan itu dia merasakan adanya tekanan tekanan halus yang<br />menggetarkan batu yang dipijaknya.<br />“Dewa Ketawa, bangunlah!” ujar Wiro. Tapi suaranya tidak keluar. Pemuda ini<br />lupa kalau dirinya berada dalam keadaan tertotok hingga tak mampu bersuara. Ketika<br />dia tidak mampu mendengar suaranya sendiri baru dia sadar. Dalam hati dia berkata.<br />“Ada seseorang mendekati tempat ini. Pasti Ratu Duyung…Hemmm… Mau apa dia<br />kemari? Menambah siksaan lagi?! Sialan! Kalau saja mereka tidak mencungkil mataku<br />pasti aku dapat melihat tampang makhluk cantik tapi kejam itu! Kalau saja mulutku bisa<br />berucap pasti sudah kusemprot dia saat ini!”<br />Langkah langkah orang yang mendatangi lenyap. Namun Wiro dapat menduga<br />kalau orang itu berhenti dan tegak sekitar beberapa langkah di hadapannya. Dia dapat<br />mendengar hembusan napas orang ini dan hidungnya mencium bau tubuhnya yang<br />harum.<br />“Saudara…” satu suara perempuan menegur.<br />“Hemmm… bukan Ratu Duyung,” membatin Pendekar 212.<br />Lalu ada jari jari tangan mengelus pangkal lehernya. Serta merta jalan suara Wiro<br />terbuka dan dia mampu berbicara namun yang keluar saat itu adalah suara mengeluh<br />setengah mengerang.<br />“Kau pasti tersiksa dalam hukumanmu…” perempuan di hadapan Wiro kembali<br />berkata.<br />“Namanya saja dihukum. Siang dipanggang sinar matahari, malam diguyur<br />embun dan udara dingin! Dan kedua mataku yang dicungkil sakitnya bukan kepalang.<br />Uh…! Katakan siapa kau adanya?! Kau bukan Ratu Duyung. Apa kau disuruh perempuan<br />itu datang tanpa setahunya…”<br />“Uh…” Wiro mengeluh lagi. “Lalu apa maksud kedatanganmu diam diam<br />kemari?”<br />“Kami…Maksudku anak buah sang Ratu yang melakukan hukuman telah<br />kesalahan tangan. Sebelum dia menjatuhkan hukuman, dia lupa mematikan indera<br />perasaan luarmu hingga selama ini kau pasti sangat tersiksa….”<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />“Kau ini bicara gila atau bagaimana? Setelah dua hari dua malam dipentang di<br />sini kau datang dan bicara segala hal yang membuat aku jengkel! Dengar baik baik…<br />Kalau aku nanti dilepas aku akan membalas semua ini! Bilang sama Ratumu dan pergi<br />dari sini!”<br />“Jangan salah sangka. Aku datang untuk menolongmu…”<br />Wiro menyeringai. “Kau mampu membebaskanku?!”<br />“Tidak….”<br />“Kalau begitu lekas minggat dari hadapanku!” bentak Pendekar 212.<br />“Dengar dulu. Sebenarnya aku memang bisa membebaskanmu. Tapi aku tak<br />akan melakukan ketololan itu!”<br />“Mengapa tidak mau? Ketololan apa maksudmu?!”<br />“Kami di sini hidup di bawah perintah Ratu Duyung dan kami semua harus patuh.<br />Jika sampai salah dan dijatuhi hukuman, nasib kami akan celaka seumur hidup. Tak ada<br />jalan kembali….”<br />“Tak ada jalan kembali? Apa maksudmu?” bertanya murid Sinto Gendeng.<br />“Aku tak bisa memberi penjelasan. Kuharap saja kelak kau bisa tahu sendiri.<br />Sekalipun aku mendorong membebaskan dirimu…”<br />“Dan mengembalikan dua mataku!” ujar Wiro pula.<br />“Ya…. Ya… membebaskan dan mengembalikan dua matamu….”<br />“Tunggu dulu… Jika dua mataku dikembalikan apa penglihatanku bisa wajar<br />seperti semula? Kau tahu bola mata itu punya ribuan urat kecil kecil. Apa bisa bertaut<br />lagi ke asalnya?”<br />“Jika dua matamu dipasang kembali penglihatanmu akan wajar seperti semula.<br />Malah…” Anak buah Ratu Duyung hentikan ucaapannya.<br />“Malah apa….?”<br />“Maafkan aku. Aku tak bisa memberi keterangan lebih jauh…. Seperti kataku tadi<br />sekalipun kau bebaskan dan dua matamu kupasang lagi kau tak mungkin lolos dari<br />tempat ini. Jangankan manusia biasa, setan atau jin pun tidak bisa keluar dari tempat ini<br />jika tidak dikehendaki oleh Ratu Duyung….”<br />“Tobat, tempat celaka macam apa ini!” kata Wiro mengumpat dan memaki.<br />“Dengar, aku hanya bisa menolong melenyapkan rasa sakit yang kau rasakan<br />saat ini…”<br />“Percuma….! Setelah dua hari dua malam aku dipentang tersiksa seperti ini kau<br />baru datang! Aku yakin kau hanya hendak menyiasati diriku….”<br />“Kau salah sangka….” Kata anak buah Ratu Duyung lalu ujung jari tangan kirinya<br />ditusukkan ke dada Wiro. Saat itu juga segala rasa sakit yang diderita Pendekar 212<br />serta merta lenyap.<br />“Hmmm….”Murid Sinto Gendeng bergumam.”Ternyata kau tidak dusta….Aku<br />menghaturkan terima kasih.”<br />“Sekarang aklu harus pergi. Sebelum pergi aku terpaksa menutup jalan suaramu<br />kembali…”<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />“Tunggu!” ujar Wiro. “Dua mataku itu, kau tahu dimana disimpannya?”<br />“Sang Ratu sendiri yang menyimpan. Kurasa di kamar tidurnya….”<br />“Sudah….Aku pergi sekarang…..”<br />“Sebentar, katakan siapa namamu….”<br />“Di tempat ini tidak satu pun dari kami mempunyai nama….”<br />“Benar benar edan! Masakan orang tidak punya nama….?!”<br />”Aku tidak bisa menerangkan . Aku harus pergi….”<br />“Wiro berpikir, mengingat ingat. “Aku tahu…. Kau pasti gadis jangkung yang<br />menotok dan mencungkil kedua mataku….”<br />Si gadis tercekat.<br />“Gadis jangkung, aku ingin tahu mengapa kau mau menolongku?” bertanya<br />Wiro.<br />“Mengapa kau mau bersusah susah menolongku?”<br />“Sebenarnya aku akan menolong sejak hari pertama kau dibawa dan diikat di<br />tempat ini. Tapi penjagaan ketat sekali. Temanmu si gemuk itu lebih beruntung karena<br />perasaannya dihilangkan lebih dulu hingga walau lidahnya dicopot dia tidak merasa apa<br />apa…”<br />“Kau belum menjawab mengapa kau menolongku!” kata Wiro kembali.<br />“Tak bosa kuterangkan. Aku mendengar ada yang datang….” Lalu cepat sekali<br />gadis di hadapan Wiro pergunakan telunjuk tangan kanannya menggurat leher pemuda<br />itu. Saat itu juga Pendekar 212 tak bisa bicara lagi.<br />*<br />* *<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />SIANG hari ketiga. Matahari bersinar terik. Panasnya bukan kepalang<br />seolah<br />berada tepat di atas kepala. Baik Dewa Ketawa maupun Wiro saat itu tiba tiba<br />mendengar langkah langkah kaki mendatangi. Lebih dari satu orang. Lalu terdengar<br />suara seseorang yang dikenalinya bukan lain suara Ratu Duyung.<br />“Hukuman telah berakhir. Kembalikan lidah tamu bernama Dewa Ketawa itu ke<br />dalam mulutnya!”<br />Sepi sesaat. Lalu Wiro mendengar langkah langkah kaki mendekati sosok Dewa<br />Ketawa yang terpentang dalam keadaan terikat di batu putih. Sepasang mata kakek sakti<br />ini perhatikan gadis jangkung melangkah ke hadapannya. Di sebelahnya ada gadis lain<br />yang melangkah sambil membawa baki dari kerang. Di atas baki kelihatan sebuah benda<br />merah berdarah bergerak gerak.<br />“Gila! Itu lidahku sendiri!” Dia merasa ngeri melihat lidahnya sendiri yang lenyap<br />selama tiga hari.<br />Gadis jangkung ambil benda di atas baki kerang. Tangannya bergerak cepat.<br />“Cleeppp!”<br />Wiro sempat mendengar suara itu. Sunyi sesaat . Dewa Ketawa berusaha<br />menggerakkan mulutnya tapi tak mampu karena masih dalam keadaan tertotok.<br />“Lidah sudah dipasang kembali Ratu. Kami menunggu perintah lebih lanjut!”<br />anak buah sang Ratu yang bertubuh jangkung memberi tahu.<br />“Lepaskan ikatan tali sakti biru!” Ratu Duyung menjawab.<br />Gadis jangkung acungkan jari telunjuk tangan kanannya. Ujung jari<br />membersitkan sinar biru. Ketika ujung jari itu diarahkan pada tali yang melibat tubuh<br />Dewa Ketawa, terdengar suara letupan berkepanjangan. Tali itu serta merta lenyap<br />tanpa bekas. Dewa Ketawa merasa lega namun dia masih tak mampu bersuara dan<br />bergerak.<br />“Lepaskan totokannya. Buka jalan darah dan pengunci uratnya!” Terdengar<br />kembali suara Ratu Duyung.<br />Anak buah Sang Ratu yang bertubuh jangkung usapkan tangan kanannya di atas<br />leher Dewa Ketawa lalu menekan bagian dada orang tua itu dengan ujung jarinya.<br />“Eh…eh…eh!” terdengar suara Dewa Ketawa. Dia gerakkan kedua tangannya.<br />Mulutnya dubuka lebar lebar. Lalu terdengar suara tawanya menggelegar. “Tiga hari<br />tiga malam tak bisa ketawa! Sekarang aku mau tertawa sepuas puasnya!” katanya<br />sambil pukul pukulkan tangan kanannya ke dada!<br />Semua orang yang ada di tempat itu, termasuk Ratu Duyung yang berkepandaian<br />paling tinggi diantara mereka getaran hebat pada gendang telinga masing masing.<br />Mereka terpaksa tutup jalan pendengaran dengan telapak tangan. Malang bagi Penekar<br />212 karena dia masih dalam keadaan terikat dan tertotok tak bisa pergunakan dua<br />tangan untuk menekap telinga. Dua lobang telinganya seperti ditusuk paku! Kepalanya<br />seperti meledak ledak.<br />“Kalau setan alas Kerbau Bunting ini tidak hentikan tawanya, telingaku bisa<br />pecah!” ujar Wiro dalam hati.<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />Mendadak Dewa Ketawa memang hentikan tawanya. Sambil menatap kearah<br />Ratu Duyung dalam hati dia berkata. “Aneh, mengapa suara tertawaku jadi begitu<br />dahsyat? Seolah olah ada satu kekuatan hebat dalam tubuhku. Bukan… bukan di<br />tubuhku, tapi di mulutku! Tepatnya di lidahku! Hemmm…. Apa sebenarnya yang telah<br />dilakukan perempuan cantik ini padaku? Ada satu keanehan, satu rahasia dibalik<br />hukuman yang dijatuhkannya padaku. Jangan jangan…<br />Setelah menatap sejurus lagi pada Ratu Duyung Dewa Ketawa lalu berkata. “Ratu… Aku<br />yang tua ingin bertanya….”<br />Ratu Duyung angkat tangan kanannya dan memotong ucapan Dewa Ketawa.<br />“Hukumanmu sudah diakhiri. Kau kini bebas pergi. Sebenarnya sesuai undangan<br />masih ada dua hari waktu tersisa bagimu di tempat kami. Namun dengan berat hati aku<br />terpaksa memintamu untuk pergi sekarang juga… Di lain waktu mungkin kami akan<br />melayangkan undangan lagi untukmu berkunjung ke sini….”<br />Ratu Duyung berpaling pada empat orang anak buah yang ada di dekatnya lalu<br />berkata. “Antarkan tamu kita ke Pintu Gerbang Perbatasan….”<br />Dewa Ketawa hendak mengatakan sesuatu namun sadar kalau tak ada<br />kemungkinan lagi baginya untuk membuka mulut, apalagi membantah putusan sang<br />Ratu maka diapun menjura lalu berkata. “Ratu Duyung, aku mengucapkan terima kasih<br />atas segala kebaikanmu…” habis berkata begitu Dewa Ketawa berpaling pada Wiro.<br />“anak ini… kalau aku pergi nasib apa yang bakal menimpanya. Mudah mudahan saja dia<br />mendapatkan sesuatu yang tidak lebih buruk dari aku…” Sekali lagi Dewa Ketawa<br />menjura pada Ratu Duyung lalu dia melangkah mengikuti empat orang anak buah Ratu<br />Duyung yang mengapitnya meninggalkan tempat itu.<br />“Heran tua Bangka gendut itu!” Pendekar 212 berkata dalam hati. “Sudah<br />dijatuhi hukuman malah masih mau bilang terima kasih. Dasar gendut geblek!”<br />“Ratu, kami siap menjalankan perintah selanjutnya!” Gadis jangkung anak buah<br />Ratu Duyung memberi tahu sesaat kemudian.<br />Sang Ratu mengangguk. Seorang anak buahnya yang lain muncul sambil<br />membawa sebuah baki kerang. Di atas baki itu terletak dua buah benda yang bukan lain<br />adalah sepasang mata Pendekar 212.<br />“Kembalikan kedua matanya!” ujar sang Ratu.<br />Gadis bertubuh jangkung melangkah ke hadapan Wiro. Gadis yang membawa<br />baki kerang juga ikut mendekat. Saat itu Wiro mencium bau harum memasuki jalan<br />pernapasannya. “Hemmm….pasti dia ini gadis yang kemarin mendatangiku….” Selagi<br />Wiro berpikir seperti itu tiba tiba dia mendengar suara “Cleppp! Clepp!” Bersamaan<br />dengan itu dia merasa ada dua benda berhawa sejuk masuk ke dalam rongga matanya<br />kiri kanan. Di saat yang sama kegelapan selama tiga hari tiga malam menyungkup<br />pemandangannya kini lenyap.<br />“Astaga! Aku bisa melihat lagi!” Wiro berteriak dalam hati. Yang pertama sekali<br />dilihatnya adalah satu wajah cantik berada dekat di depannya. Wajah gadis jangkung<br />anak buah Ratu Duyung. “Ah, si penolongku ternyata berwajah paling cantik diantara<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />semua gadis di tempat ini…” ujar Wiro. Walau tidak mengerti bagaimana semua ini bisa<br />terjadi, namun disamping bersyukur sifat usilnya kembali muncul. Wiro kedipkan mata<br />kirinya pada gadis jangkung di hadapannya, membuat gadis ini menjadi merah wajahnya<br />dan cepat cepat melangkah mundur. Tapi langkahnya tertahan ketika sang Ratu<br />memberi perintah.<br />“Lepaskan ikatan. Bebaskan dirinya dari totokan!”<br />Gadis jangkung kembali maju mendekati Wiro. Tangan kanannya diangkat.<br />Telunjuk diacungkan. Begitu ujung jarinya mengeluarkan sinar biru segera dia arahkan<br />ujung jari itu pada tali biru sakti yang mengikat sekujur tubuh Wiro ke batu putih.<br />Seperti waktu tadi membebaskan Dewa Ketawa tali sakti itu keluarkan suara letupan<br />berkepanjangan dan baru berhenti setelah seluruh tali gaib secara aneh.<br />Dengan ujung jari yang sama gadis jangkung itu kemudian mengusap leher Wiro<br />dan menotok dadanya. Serta merta jalan suara yang membuat sang pendekar menjadi<br />gagu musnah. Begitu dia bisa kedipkan mata kirinya pada si gadis jangkung seraya<br />berkata. “Terima kasih…”<br />Wiro usap kedua matanya dan memandang berkeliling. Pemandanganku benar<br />benar pulih seperti semula. Malah… eh… Apa benar ini? Dua mataku malah lebih tajam<br />dari sebelumnya. Aku seperti mampu melihat…. Pendekar 212 berpaling pada Ratu<br />Duyung dan menatap perempuan cantik jelita ini lekat lekat.<br />“Ratu, kami menunggu perintahmu selanjutnya. Apakah tamu yang satu ini akan<br />kami antar juga ke Pintu Gerbang Perbatasan?”<br />“Dia tidak akan meninggalkan tempat ini!” jawab sang Ratu yang membuat<br />Pendekar 212 jadi terkejut.<br />“Ratu, menurutmu hukumanku telah berakhir. Kau telah membebaskan kawanku<br />si gendut Dewa Ketawa itu. Mengapa kau masih menahan diriku di sini…?” Tanya Murid<br />Sinto Gendeng.<br />Ratu Duyung tidak menjawab. Menolehpun tidak pada Wiro. Sebaliknya sambil<br />memutar tubuh meniggalkan tempat itu dia berkata pada anak buahnya. “Antarkan<br />tamu ini ke Ruang Penantian!”<br />*<br />* *<br />EMPAT<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />Yang disebut Ruang Penantian ternyata sebuah ruangan kecil berbentuk segitiga.<br />Dua dinding terbuat dari batu berwarna merah sedang bagian depan terbuka<br />merupakan jalan masuk. Empat orang anak buah Ratu Duyung memberi isyarat agar<br />Wiro duduk di sebuah batu rata pada sudut segi tiga sebelah dalam. Setelah Wiro duduk<br />di atas batu itu salah seorang anak buah Ratu Duyung berkata.<br />“Tetap di tempatmu sampai Ratu kami datang. Jangan coba coba meninggalkan ruangan<br />ini walau satu langkahpun!”<br />Pendekar 212 garuk garuk kepala. “Rupanya aku masih sebagai tawanan di<br />tempat ini…” katanya.<br />Gadis yang tadi berkata menjawab. “Hanya Ratu yang layak memberi tahu peri<br />keadaan dirimu di tempat ini1”<br />Wiro melirik pada belahan baju hitam di bagian dada si gadis yang begitu lebar<br />hingga buah dadanya tersembul menantang. “Kalau kau bersedia menemaniku di<br />ruangan ini sampai seribu haripun aku bisa betah berada di sini…”<br />“Plakkk!”<br />Satu tamparan mendarat di pipi Wiro. Tidak terasa tapi cukup membuat Murid<br />Sinto Gendeng ini jadi tersentak. Ketika dia bangkit berdiri hendak memegang tangan si<br />gadis yang menampar, sambil mundur dua langkah gadis itu acungkan jari telunjuk<br />tangan kanannya kearah Wiro. Melihat ujung jari yang memancarkan cahaya biru itu<br />Pendekar 212 menjadi bimbang dan perlahan lahan dia duduk kembali ke atas batu rata<br />di sudut ruangan.<br />Gadis yang barusan menampar putar tubuhnya. Tiga temannya mengikuti. Wiro<br />hanya bisa usap usap pipi. Namun mendadak dia terlonjak karena dari atas bagian yang<br />terbuka dari mana dia digiring masuk tiba tiba tujuh buah tiang besi sebesar betis<br />menderu turun. Tujuh tiang ini berwarna merah membara dan memancarkan hawa<br />panas! Sadarlah kini Wiro kalau dia memang masih tetap menjadi tawanan!<br />“Kurang ajar!” maki murid Sinto Gendeng. Dia melangkah ke arah tujuh besi tapi<br />terpaksa mundur oleh hawa panas tang membersit. “Aku punya dugaan diriku akan<br />diperlakukan semena mena. Sebaiknya aku mencari jalan lolos!” Maka murid Sinto<br />Gendeng segera siapkan satu pukulan sakti. Setelah mengerahkan tenaga dalam dia<br />hantamkan tangan kanannya ke arah deretan besi besi panas membara.<br />“Wutttt!”<br />Pukulan “segulung ombak menerpa karang” menghantam empat jeruji besi<br />dengan telak. Empat tiang besi itu memancarkan sinar merah menyilaukan dan panas<br />luar biasa hingga Wiro melompat mundur ke sudut ruangan. Ketika dia memandang ke<br />depan ternyata empat tiang besi itu jangankan ambrol, cacat sedikit pun tidak!<br />Penasaran Pendekar 212 segera siapkan pukulan “sinar matahari” Tangan<br />kanannya serta merta berubah menjadi putih laksana perak berkilauan. Pada saat dia<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />hendak menghantam ke depan tiba tiba sesosok tubuh muncul diseberang tiang tiang<br />besi itu. Satu suara menggema di Ruang Penantian.<br />“Mengapa menghabiskan tenaga? Tidak ada satu pukulan saktipun yang sanggup<br />menembus pagar besi panas itu!”<br />Wiro turunkan tangannya. Memandang ke depan dilihatnya Ratu Duyung tegak<br />seorang diri di seberang ruangan.<br />“Ratu, apa maksudmu menahan diriku di sini?!” tanya Wiro.<br />Sang Ratu tidak segera menjawab tapi melangkah mendekati tiang tiang besi.<br />Lalu enak saja kedua tangannya memegang dua tiang yang panas dan merah membara<br />itu. Padahal jangankan tangan manusia, sepotong besipun jika ditempelkan ke tiang<br />yang membara itu pasti akan leleh! Sebaliknya sang Ratu tenang tenang saja seolah<br />memegang tiang besi yang dingin!<br />“Aku tidak menahanmu. Aku hanya ingin kepastian!” Rati Duyung menjawab.<br />Wiro megerenyit tak mengerti. “Kepastian apa?”<br />“Bahwa kau dan kawanmu Dewa Ketawa itu tidak menipuku!”<br />“Eh, memangnya aku sudah berbuat apa? Aku memang mengaku salah telah<br />mengintip anak anak gadismu mandi di telaga. Tapi aku sudah menerima hukuman!<br />Sekarang sepertinya kau sengaja mencari cari kesalahan lain…Apa sebenarnya yang ada<br />dalam pikiranmu Ratu? Mengapa kau tidak membebaskan diriku seperti kau<br />membebaskan Dewa Ketawa?”<br />Ratu Duyung menjawab. “Pada saatnya kaupun akan kubebaskan. Tapi aku perlu<br />membuktikan satu hal bahwa kau benar benar Pendekar 212 dan bahwa kulitmu yang<br />hitam itu benar benar akibat sejenis obat…”<br />“Astaga! Bukankah Dewa Ketawa sudah meyakinimu bahwa aku adalah<br />Pendekar 212 dan kau telah mempercayainya….”<br />“Betul, tapi dalam hidup keyakinan itu bisa berubah. Karenanya aku perlu<br />membuktikan. Kau berkata bahwa kulitmu yang hitam akibat obat yang kau telan.<br />Diberikan oleh seseorang untuk menyelamatkan nyawamu. Kau juga menerangkan<br />warna kulitmu yang hitam itu bisa hilang bila tersentuh sinar bulan purnama. Nah itu<br />yang harus kita buktikan. Jika ternyata kelak sentuhan sinar rembulan tidak merubah<br />kulitmu, berarti kau telah menipuku. Kau bukan Pendekar 212 Wiro Sableng!”<br />Sesaat Wiro jadi terdiam. “Apa yang aku lakukan padamu adalah sesuai dengan<br />yang diucapkan penolongku. Kalau dia berdusta apakah aku bisa disalahkan?”<br />“Mungkin si penolong yang berdusta, mungkin juga kau!” Kita akan buktikan.<br />Dua malam lagi bulan purnama empat belas akan muncul. Itu saatnya kau akan<br />membuktikan siapa dirimu…”<br />“Dua malam lagi….?” Mengulang Wiro. “Menurut perhitunganku bulan purnama<br />baru muncul di langit sekitar dua belas hari lagi!”<br />Ratu Duyung tertawa. “Di tempat ini waktu berputar sepuluh hari lebih cepat<br />dari duniamu sana. Kau tenang tenang saja menunggu di ruangan ini. Jika memang kau<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />Pendekar 212 sejati dan apa yang dikatakan penolongmu benar, mengapa harus<br />takut…?”<br />“Siapa bilang aku takut?!” tukas Wiro yang tidak dapat lagi menahan jengkelnya.<br />Ratu Duyung membalikkan tubuhnya. Waktu membalik belahan bajunya di<br />bagian pinggul tersingkap lebar. Jantung Wiro jadi berdegup keras malihat paha, pinggul<br />dan bahkan bagian pinggul sebelah atas sang Ratu. Sesaat kemarahannya menjadi<br />kendur. Tanpa banyak bicara dia duduk di atas batu datar.<br />“Kau tentu lapar. Aku akan suruh anak buahku mengantarkan buah buahan,”<br />kata Ratu Duyung pula sebelum berlalu dari tempat itu. Murid Sinto Gendeng tak<br />menjawab. Matanya masih memandangi sosok tubuh bagian bawah sang Ratu sampai<br />akhirnya perempuan cantik itu lenyap di balik kelokan lorong batu.<br />Berada sendirian karena tak tahu apa yang harus dilakukannya Wiro duduk<br />bersandar ke dinding batu merah. Dia ingat pada gurunya Eyang Sinto Gendeng. Lalu<br />pada si Raja Penidur dan Kakek Segala Tahu. Dia seperti menyesali karena menganggap<br />gara gara tiga orang sakti itulah dia sampai tersesat dan kini mendekam di ruangan ini.<br />Dia ingat pula pada kitab Putih Wasiat Dewa yang sampai saat ini masih belum jelas<br />dimana beradanya. Lalu muncul tampang buruk orang bercaping dan berpenyakit cacar<br />dengan perahu putihnya itu. Wiro menarik napas panjang. Tiba tiba dia ingat pada<br />Bidadari Angin Timur. Sejak peristiwa mereka mencebur masuk ke dalam telaga<br />beberapa waktu lalu dia merasa ingin selalu dekat dengan gadis itu. “Di mana dia<br />sekarang…? Ah, waktu di atas perahu putih…Kalau saja dia melihatku…Lalu bila aku bisa<br />selamat keluar dari sini kurasa lebih baik mencari gadis itu lebih dulu dari pada mencari<br />Kitab Putih Wasiat Dewa. Aku merindukannya! Gila! Apa ini yang dinamakan jatuh<br />cinta?!” Murid Sinto Gendeng garuk garuk kepala. Ketika ingatannya sampai pada<br />senjata mustikanya, Wiro jadi menarik napas dalam lagi. “Tiga Bayangan Setan, Elang<br />Setan…. Dua bangsat itu akan kupecahkan kepala mereka!”<br />Wiro bangkit berdiri lalu melangkah mundar mandir di ruangan yang tak<br />seberapa besar itu. Tiba tiba dia mendengar langkah langkah kaki di ujung lorong. Tak<br />Lama kemudian muncul seorang gadis berpakaian hitam. Di tangannya dia membawa<br />sebuah baki berisi beberapa macam buah buahan. Pada pinggangnya tergantung<br />sebuah kendi kecil. Sesaat kemudian gadis ini sampai di depan tujuh tiang besi merah<br />panas. Dia menatap Wiro sebentar lalu baki dimiringkannya. Aneh!” Walau baki<br />dimiringkan, buah buahan yang ada di atasnya sama sekali tidak berjatuhan! Lewat<br />celah kecil antara dua buah tiang besi si gadis meloloskan baki berikut buah buahan itu.<br />Baik baju hitam maupun tangannya sama sekali tidak cedera ketika bersentuhan dengan<br />dua tiang besi.<br />“Lekas ambil…” kata si gadis pada Wiro.<br />“Aku tidak lapar.!” Jawab Pendekar 212.<br />“Jangan tolol!” si gadis membentak halus. Karena Wiro tak mau mengulurkan<br />tangan untuk mengambil baki berisi buah buahan itu si gadis lalu melemparkan baki ke<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />dalam ruangan. Baki jatuh tepat di atas batu datar, tidak bersuara dan tak satupun<br />buah buahan di atasnya menggelinding jatuh!<br />“Ini…!” si gadis ulurkan kendi kecil.<br />“Apa isi kendi itu?” tanya Wiro.<br />“Air!” jawab si gadis. “Itu diberikan atas perintah Ratu. Dan aku menambahkan<br />sejenis bubuk ke dalamnya agar kau mampu bertahan selama dua hari…”<br />“Hemmm…. Kau bermaksud baik padaku. Aku mengucapkan terima kasih,” kata<br />Wiro seraya ulurkan tangan kirinya untuk menerima kendi kecil itu. Begitu Wiro<br />memegang kendi, si gadis cepat ulurkan jari jarinya memegang lengan Pendekar 212<br />dan berbisik.<br />“Dengar, aku bisa menolongmu keluar dari tempat ini. Kau bisa bebas kembali ke<br />duniamu. Tapi dengan satu perjanjian…”<br />Wiro pandangi wajah si gadis. Dia memang cantik namun dibandingkan dengan<br />gadis jangkung serta sang Ratu kecantikannya belum bisa menyamai.<br />“Perjanjian apa?” tanya Pendekar 212.<br />“Kau harus ganti menolongku.”<br />Wiro garuk garuk kepalanya.” Setahuku tak seorangpun di tempat ini bisa<br />membebaskan diriku. Ratumu sangat sakti dan para pengawaknya, teman temanmu itu<br />menjaga setiap sudut dengan ketat.”<br />Gadis itu tersenyum. “Mereka semua memang tidak bisa berbuat apa apa karena<br />mereka tidak tahu apa yang aku tahu.”<br />Eh, apa yang kau ketahui!”<br />“Aku tahu rahasia membuka tujuh tiang besi panas itu. Aku juga tahu rahasia<br />yang mereka tidak tahu…”<br />Wiro tersenyum. “Kau gadis baik. Tapi pertolonganmu mungkin akan sia sia<br />belaka. Kau bisa celaka kalau sang Ratu mengetahui pengkhianatanmu…”<br />“Aku tidak berkhianat pada siapapun, juga terhadap sang Ratu. Aku hanya ingin<br />membebaskan diri keluar dari tempat ini. Dan cuma kau yang bisa menolongku!”<br />“Aku tak mampu menolong diriku sendiri. Bagaimana aku bisa menolongmu?”<br />tanya Wiro.<br />“Kau pasti bisa. Dengar, aku akan segera membuka tujuh tiang besi panas ini.<br />Setelah itu kau akan menyebadaniku di situ…”<br />“A…Apa?!” tanya Wiro dengan bola mata membesar lalu melirik ke belahan<br />dada si gadis dengan jantung berdebar. “Mengapa aku harus menyebadanimu?!”<br />“Itu satu satunya jalan. Dengar, kita tidak punya waktu banyak. Nanti akan<br />kuterangkan…”<br />Wiro geleng gelengkan kepala. Dalam hati dia berkata. “Waktu aku ketahuan<br />mengintip mereka mandi, mataku dicopot tiga hari. Kalau aku tertangkap basah<br />menyebadani gadis satu ini pasti anuku akan ditanggalkan. Bukan cuma tiga hari! Bisa<br />bisa selama lamanya! Celaka diriku!”<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />Selagi Wiro berpikir begitu tiba tiba dia mendengar suara berdesir. Astaga! Wiro<br />melihat tujuh jalur tiang besi panas membara perlahan lahan naik ke atas! Makin lama<br />makin tinggi. Pada saat ketinggian mencapai sepinggul tiba tiba satu bayangan<br />berkelebat menyusul bentakan keras.<br />“Tidak kusangka! Ada pengkhianat di tempat ini!”<br />Gadis di depan Wiro menjadi pucat pasi. Keluarkan suara tertahan lalu jatuhkan<br />diri ketakutan setengah mati!<br />*<br />* *<br />LIMA<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />Ratu Duyung tegak dengan tangan kiri diletakkan di pinggang. Dia lambaikan<br />tangan kanannya. Tujuh tiang besi yang tida naik ke atas perlahan lahan kembali turun<br />menutup ruangan segi tiga itu.<br />“Berdiri!” bentak sang Ratu.<br />Gadis baju hitam yang mendekam di lantai perlahan lahan berdiri. Tubuhnya<br />bergetar hebat dan wajahnya seputih kain kafan.<br />“Kau tahu kesalahanmu?!” bentak sang Ratu.<br />“Sa…Saya tahu Ratu….”<br />“Katakan!”<br />“Saya …. Saya berkhianat. Saya hendak membebaskan pemuda ini. Saya tahu<br />saya salah…”<br />“Itu kesalahan pertama dan bisa kuanggap kecil. Tapi lekas katakan kesalahanmu<br />yang kedua yang sangat besar dan tak ada ampunannya!”<br />“Saya….. saya hendak membuka satu rahasia pada pemuda ini. Saya<br />mengajaknya……”<br />“Cukup!” bentak sang Ratu. “Kau tahu apa hukuman yang bakal kau terima?!”<br />Si gadis mengangguk dan jatuhkan diri ke lantai. Kelihatannya dia pasrah<br />menerima hukuman karena tak mungkin mengelak tak mungkin minta ampun.<br />Ratu Duyung angkat tangan kanannya. Jari telunjuk tiba tiba mengeluarkan<br />cahaya biru angker. Perlahan lahan jari itu ditudingkan, turun ke arah sosok tubuh anak<br />buahnya yang berlutut di lantai.<br />Ujung jari bergerak tiga kali berturut turut. “Wuttt! Wuttt! Wuttt!”<br />Cahaya biru berkiblat. Gadis di lantai keluarkan pekikan panjang. Lalu terputus!<br />Ketika Wiro menatap ke depan, dinginlah tengkuk murid Sinto Gendeng ini!<br />Diantara kepulan asap yang menebar bau sangit seperti daging dipanggang Wiro<br />melihat sisa tubuh si gadis kini hanya tinggal jerangkong alias tulang belulang berwarna<br />biru!<br />“Ilmu kesaktian apa yang barusan dilancarkan perempuan ini hingga dalam<br />sekejapan bukan saja membunuh anak buahnya tapi juga merubahnya menjadi<br />jerangkong!” Murid Sinto Gendeng membatin. Lalu pandangannya dialihkan pada wajah<br />Ratu Duyung yang tampak dingin, tenang seolah tak ada terjadi apa apa di tempat itu.<br />Dia membunuh gadis cantik anak buahnya seperti membalikan telapak tangan saja! Saat<br />dia memandangi Ratu Duyung seperti itu, sang Ratu tiba tiba palingkan mukanya ke<br />arahnya. Pandangan mereka saling beradu. Untuk beberapa lamanya tak ada yang mau<br />menghindar ataupun berkesip. Pendekar 212 tak mau menghindar ataupun berkesip.<br />Pendekar 212 tak mau mengalah. Dia memandang terus hingga diam diam Ratu Duyung<br />merasa getaran aneh menjalari tubuhnya. Perempuan ini masih berusaha terus<br />menantang pandangan Wiro namun akhirnya sambil menjentikan dua jari tangan<br />kanannya dia memandang ke langit langit di atasnya. Tak lama setelah suara<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />jentikannya menggema di sepanjang lorong batu, empat orang gadis berpakaian hitam<br />muncul.<br />“Singkirkan sampah tak berguna ini!” kata sang Ratu sambil menggoyangkan<br />kepalanya ke arah tulang belulang yang bergeletakan di lantai.<br />Empat anak buah Ratu Duyung segera melakukan apa yang diperintahkan. Tak<br />lama setelah jerangkong biru diangkat dari tempat itu Ratu Duyung balikkan tubuhnya.<br />Sebelum mengerling ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.<br />*<br />* *<br />Berselang dua hari empat orang anak buah Ratu Duyung muncul di depan Ruang<br />Penantian. Keempatnya langsung menekap hidung karena penciuman mereka disengat<br />oleh bau pesing.<br />Wiro Sableng tertawa lebar. “Masih untung aku hanya kencing di tempat ini. Kalau aku<br />buang air besar baru kalian rasa! Dua hari disekap tanpa diperkenankan keluar apa tidak<br />gila?!”<br />“Tak usah banyak bicara. Lekas keluar dan ikuti kami!”kata salah seorang dari<br />empat gadis.<br />Kawannya menambahkan. “Jangan coba coba melarikan diri. Selain tak bakal<br />bisa lolos dari tempat ini, salah salah kau bisa menemui ajal seperti gadis yang coba<br />berkhianat dua hari lalu!”<br />Wiro keluar dari Ruang Penantian. Sambil melangkah dia menjawab. “Empat<br />orang gadis cantik minta aku mengikuti. Tolol kalau aku melarikan diri. Mau kalian bawa<br />kemana aku ini?!”<br />“Pertama kau harus membersihkan diri di Pancuran Putih. Setelah itu kau akan<br />kami bawa ke Bukit Awan Putih…” menerangkan salah seorang gadis.<br />Sesuai keterangan yang dikatakan tadi Wiro di bawa ke sebuah tempat dimana<br />terdapat sebuah pancuran yang airnya berwarna aneh yaitu bening putih. Di tempat itu<br />telah tersedia seperangkat pakaian hitam bersih lengkap dengan destar hitam.<br />Wiro memandang pada empat gadis pengawalnya lalu bertanya. “Kalian mau<br />ikut mandi sama sama?”<br />“Jangan berani bicara kurang ajar!” sentak gadis di sebelah kanan. Dia memberi<br />isyarat pada tiga kawannya lalu Wiro selesai mandi dan berpakaian ke empat gadis tadi<br />tahu tahu sudah muncul lagi di tempat itu.<br />“Kalian pengawal pengawalku yang setia!” memuji Wiro sambil tersenyum.<br />“Cuma aku sangsi jangan jangan ketika aku mandi ada di antara kalian yang mengintip!”<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />“Pemuda bermulut lancang! Kalau tidak ingat perintah Ratu membawamu segera<br />ke Bukit Awan Putih mau rasanya kami menghajarmu lebih dulu di tempat in!”<br />Wiro tertawa gelak gelak. “Sobatku cantik, aku hanya bergurau. Jangan diambil<br />hati. Setiap hari kalian selalu menghadapi suasana yang mencengkam. Apa salahnya<br />sekali sekali bergurau?!”<br />Empat orang gadis itu tidak menjawab. Mereka membawa Wiro memasuki<br />sebuah lorong. Ketika keluar dari lorong itu Murid Sinto Gendeng jadi terheran heran. Di<br />depannya dia melihat sebuah dataran tinggi. Ada empat jalur tangga batu menuju ke<br />puncak pedataran di atas mana terdapat sebuah batu besar bulat berwarna hitam<br />legam. Sekitar sepuluh tombak di atas batu kelihatan seperti ada awan putih<br />menggantung. Memandang berkeliling yang membuat Wiro merasa heran ialah tempat<br />itu berada dalam keadaan malam hari. Padahal sebelumnya, ketika dia mandi di<br />pancuran hari masih siang!<br />Agak jauh di sebelah kanan batu hitam budar dan rata tampak di sebelah kanan<br />batu hitam. Meskipun agak jauh namun Wiro segera bisa mengenali. Orang itu bukan<br />lain adalah Ratu Duyung.<br />“Naiki tangga sebelah kanan, langsung tegak di atas batu batu bundar hitam.”<br />Seorang gadis berpakaian hitam bicara pada Wiro.<br />Wiro memandang sekali lagi ke puncak pedataran tinggi.”Malam hari… Apa<br />benar ucapan Ratu Duyung bahwa malam ini bulan purnama empat belas hari akan<br />muncul? Aku sama sekali tidak melihat langit malam. Tak ada bintang bintang. Tempat<br />apa sebenarnya ini…?!”<br />Satu tangan mendorong punggung Wiro seolah memaksanya agar segera<br />menaiki anak tangga batu yang berundak undak sebanyak 77 buah itu. Kakinya terasa<br />pegal dan napasnya agak memburu ketika dia akhirnya sampai di puncak pedataran<br />tinggi dan naik ke atas batu rata hitam. Dari tempatnya berdiri dia memandang<br />berkeliling. Di bawah sana semuanya kelihatan serba hitam. Di sebelah atas<br />pemandangan tertutup oleh awan putih aneh. Wiro palingkan kepalanya ke kiri, ke<br />tempat dimana Ratu Duyung berdiri sambil rangkapkan dua tangan di depan dada.<br />Angin malam bertiup kencang dan dingin menyibakkan belahan bajunya di bagian<br />pinggul hingga auratnya tampak lebih putih dalam gelapnya udara.<br />“Ratu Duyung, aku tak tahu apa rencanamu! Apakah bulan purnama benar benar<br />akan muncul di tempat ini?!” Wiro berseru pada Ratu Duyung.<br />Perempuan cantik itu diam tak bergerak seperti patung, juga tidak menjawab<br />pertanyaan Wiro tadi.<br />“Ratu Duyung! Sebelum sampai di tempat ini hari masih siang! Bagaimana bisa<br />tahu tahu kini hari berubah malam?!”<br />Ratu Duyung tetap tidak mau memberi dan tidak mau menjawab. Wiro lalu<br />mengancam.<br />“Kalau sang Ratu masih tidak bergerak maupun menjawab Wiro segera gerakkan<br />kakinya untuk melompat turun dari atas batu hitam. Namun gerakkannya tertahan<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />ketika mendadak ada hembusan angin luar biasa kencangnya sehingga tubuhnya seperti<br />mau terseret mental dari atas batu hitam. Di sebelah sana dilihatnya pakaian dan<br />rambut Ratu Duyung berkibar kibar tapi tubuhnya tidak bergeming sedikitpun padahal<br />Wiro setengah mati mempertahankan diri agar tidak diseret hembusan angin. Sadar<br />tenaga luar tak mungkin membuatnya bertahan terhadap hembusan angin maka murid<br />Eyang Sinto Gendeng ini segera kerahkan tenaga dalam, salurkan pada ke dua kakinya<br />hingga sepasang telapak kaki Wiro laksana di pantek ke atas batu hitam itu!<br />Perlahan lahan angin keras surut. Bersamaan dengan itu keadaan di tempat itu<br />berubah dari gelap menjadi terang temaram. Ketika dia mengangkat kepalanya Wiro<br />jadi tertegun. Awan putih setinggi sepuluh tombak di atasnya perlahan lahan bergerak<br />ke arah timur. Dari bagian yang tidak terhalang lagi merambas cahaya putih redup.<br />Makin jauh awan bergerak ke timur makin terang cahaya putih itu. Sepasang mata<br />pendekar 212 mulai melihat langit jauh tinggi di atasnya. Bintang bintang bertaburan.<br />“Astaga! Itu langit betulan…” kata Wiro hampir tak percaya.<br />Lalu Pendekar 212 berdegup keras. Sedikit demi sedikit, dari balik sekelompok<br />awan kelabu menyeruak mnuncul bulan purnama empat belas hari. Wiro melirik ke arah<br />Ratu Duyung. “Perempuan itu tidak berdusta…” katanya. Langit dan pedataran tinggi<br />bertambah terang begitu bulan purnama muncul semakin besar dan bulat. Cahayanya<br />yang putih jernih jatuh di setiap benda di pedataran tinggi itu termasuk sosok tubuh<br />Pendekar 212 yang tegak di atas batu hitam. Tiba tiba Wiro merasa sekujur permukaan<br />kulit tubuhnya menjadi panas. Demikian panasnya hingga bukan saja mandi keringat<br />tapi badannya bergetar keras. Kedua kakinya menjadi goyah. Dia kumpulkan seluruh<br />tenaga agar tidak roboh.<br />Lalu entah apa yang terjadi tiba tiba ada letupan letupan kecil disertai kilatan<br />kilatan cahaya putih di sekujur muka dan tubuhnya. Begitu letupan sirna hawa panas<br />lenyap berganti dengan hawa dingin. Demikian dinginya hingga gerahamnya<br />bergemeletukan. Tak sengaja Wiro memperhatikan ke dua tangannya. Dia hampir tak<br />percaya. Kulit tangannya yang selama ini berwarna hitam pekat perlahan lahan berubah<br />menjadi putih.<br />“Kulitku berubah… kembali ke warna semula…!” ujar Wiro gembira. Meskipun<br />tubuhnya saat itu di selimuti rasa dingin luar biasa tapi kegembiraan membuat dia<br />membuka baju hitamnya agar auratnya lebih sempurna terkena siraman cahaya bulan<br />purnama!<br />“Aku sembuh! Aku sembuh! Terima kasih Tuhan…!”kata Wiro angkat kedua<br />tangannya tinggi tinggi.Saat itu terbayang wajah Puti Andini, gadis baju merah<br />berkepandaian tinggi yang muncul dengan payung tujuhnya. “Puti, dimanapun kau<br />berada aku juga menghaturkan terima kasih padamu. Kau tidak berdusta. Kalau tidak<br />berkat obat yang kau berikan aku sudah lama menjadi kerak tanah!”<br />Udara dingin berangsur angsur lenyap. Pada saat itulah empat sosok tubuh<br />berkelebat di sampingnya. Mereka ternyata empat orang anak buah Ratu Duyung.<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />“Ratu meminta kami membawamu ke Ruang Pertemuan… Beliau siap<br />memberikan wasiatnya padamu…” memberi tahu salah seorang dari empat gadis.<br />“Wasiat…Wasiat apa….?” Tanya Wiro. “Maksudmu Kitab Wasiat…?”<br />“Kau akan bertemu langsung dengan Ratu. Tanyakan saja secara langsung….”<br />Gadis di sebelah kanan mengambil baju hitam yang tercampak di atas batu lalu<br />menyerahkannya pada Wiro sambil memberi isyarat agar dia segera mengenakan<br />pakaian itu.<br />Sambil mengenakan pakaiannya Wiro perhatikan dadanya. Rajah tiga angka 212<br />yang selama ini lenyap tertindih warna hitam kulitnya kini muncul jelas kembali. Wiro<br />tersenyum sambil usap usap dadanya. Dia melirik ke arah kiri tempat Ratu Duyung<br />sebelumnya berdiri. Ternyata perempuan itu tak ada lagi di situ.<br />“Hai! Kenapa belum berjalan?! Tunggu apa lagi?!” Gadis di belakang Wiro<br />bertanya sementara tiga kawannya di sebelah depan tampak tak sabaran ketika mereka<br />melihat Wiro tegak di atas batu hitam datar.<br />“Tunggu dulu… Mengapa terburu buru? Aku tak akan kabur…!” jawab Pendekar<br />212. Lalu seperti dia hanya seorang diri saja saat itu murid Sinto Gendeng ini bukan ikat<br />pinggang celana hitamnya. Empat gadis anak buah Ratu Duyung jadi berubah wajah<br />mereka dan ada yang melangkah mundur.<br />“Apa yang hendak kau lakukan?!” salah seorang membentak.<br />“Jangan berani buat kurang ajar di hadapan kami!” satunya lagi menghardik.<br />“Siapa mau berbuat kurang ajar!” jawab Wiro tidak acuh. Begitu ikat pinggang<br />terbuka dan celananya menjadi longgar, dia meneliti ke bagian aurat di balik celana. Lalu<br />sambil mengangkat kepala dan merapikan ikat pinggangnya kembali pemuda ini<br />senyum senyum sendiri.<br />“Pemuda aneh, dia seperti orang kurang waras tertawa sendiri!” bisik gadis<br />sebelah kanan pada kawannya.<br />“Apa sebenarnya yang dilakukan orang ini?” balik bertanya kawannya.<br />Pertanyaan itu sempat terdengar oleh murid Sinto Gendeng. Tenang saja dia<br />menjawab. “Kalian lihat sendiri keajaiban kulitku tadi. Cahaya bulan purnama membuat<br />kulitku yang hitam kembali ke warna aslinya. Tapi aku masih meragu apakah aurat yang<br />terlindung di balik celana ikut berubah warna. Makanya aku perlu menyelidik. Aku tidak<br />mau jadi manusia belang. Putih di atas hitam di bawah. Ternyata….”<br />Wiro tidak teruskan ucapannya malah memandang pada empat gadis itu sambil<br />tertawa lebar. Tentu saja mereka sama ingin tahu apa yang terjadi. Apakah perubahan<br />warna kulit Wiro memang menyeluruh atau hanya setengah setengah. Tapi untuk<br />bertanya tentu saja mereka tidak berani. Sebaliknya Wiro malah menggantung<br />keterangan hingga empat orang anak buah Ratu Duyung itu menunggu sambil saling<br />pandang.<br />“Ternyata…” kata Wiro pula. “Ternyata memang seluruh kulit tubuhku kembali<br />ke warna asal. Termasuk…” Wiro tidak teruskan ucapannya tapi keluarkan suara tawa<br />bergelak.<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />Empat gadis berpakaian hitam ketat tampak bersemu merah wajah masing<br />masing.<br />*<br />* *<br />ENAM<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />Kita tinggalkan dulu Pendekar 212 Wiro Sableng yang tengah diantar menuju Ruang<br />Pertemuan guna menemui Ratu Duyung. Kita ikuti perjalanan Tiga Bayangan Setan dan<br />kawannya yang bernama Elang Setan. Seperti dituturkan dalam Episode II ( Wasiat<br />Dewa) dua orang manusia berhati setan itu setelah merasa berhasil membunuh<br />Pendekar 212 di bukit dekat sumur batu di luar Kartosuro lalu berangkat menuju puncak<br />Gunung Merapi tempat salah satu kediaman Pangeran Matahari. Kapak Maut Naga Geni<br />212 serta batu sakti hitam pasangan senjata sakti itu mereka rampas. Di puncak Gunung<br />Merapi dua senjata mustika itu mereka serahkan pada Pangeran Matahari.<br />Tentu saja sang Pangeran gembira bukan main. Selain sudah memiliki Kitab Iblis<br />kini dia juga menguasai dua senjata sakti milik musuh bebuyutannya itu. Dengan Kitab<br />Iblis berada di tangannya dia merasa yakin walau dua senjata mustika itu masih berada<br />di tangan Wiro dia akan sanggup menamatkan riwayat Pendekar 212. Apalagi kini Wiro<br />tanpa dua senjata yang diandalkan itu!<br />Pertemuan dengan Pangeran Matahari, apalagi dapat menyerahkan Kapak Maut<br />Naga Geni 212 serta batu sakti hitam di pihak lain juga menggembirakan Tiga Bayangan<br />Setan dan Elang Setan. Mereka bukan saja menyenangkan hati Pangeran Matahari, tapi<br />sekaligus juga bermaksud menagih janji mendapatkan obat penawar racun seratus hari<br />yang dulu dicekokan sang Pangeran pada mereka.<br />Celakanya Pangeran Matahari tidak percaya begitu saja bahwa dua orang itu<br />benar benar telah membunuh Pendekar 212. Karena itu dia menyuruh Tiga Bayangan<br />Setan dan Elang Setan untuk membawa potongan kepala murid Sinto Gendeng itu. Tiga<br />Bayangan Setan dan Elang Setan tidak bisa berbuat apa apa karena kembali Pangeran<br />Matahari menipunya dengan berpura pura memberikan obat penawar racun padahal<br />yang mereka telan adalah racun tiga ratus hari!<br />Melewati perjalanan yang jauh dan sulit akhirnya Tiga Bayangan Setan dan Elang<br />Setang sampai di bukit di mana terletak sumur batu itu. Namun mereka sama sekali<br />tidak menemukan mayat Pendekar 212. Tulang belulang atau jerangkongnya pun tidak!<br />“Celaka! Mayat pemuda itu tidak ada lagi di sini! Bekasnya pun tidak kelihatan!”<br />kata Elang Setan.<br />Tiga Bayangan Setan memandang berkeliling. “Bangkai bangkai lainnya masih<br />berserakan di sekitar sini…” katanya memperhatikan tulang belulang beberapa tokoh<br />silat yang menemui ajalnya di tempat itu beberapa waktu lalu.<br />“Jangan janganwaktu kita tinggalkan manusia itu belum benar benar mati…”<br />kata Elang Setan.<br />Tiga Bayangan Setan jadi tak enak mendengar kata kata sahabatnya itu.<br />“Pukulan Raksasa Tiga Bayangan yang keluar dari batok kepalaku bukan pukulan<br />sembarangan! Sekalipun dia punya tiga nyawa, kematian tak bakal lolos dari dirinya!<br />Aku menduga mayatnya dilarikan binatang buas yang menemukannya masih dalam<br />keadaan segar…”<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />“Mudah mudahan saja begitu,”kata Elang Setan, lalu menambahkan, “Tapi jika<br />dilihat mayat mayat lain yang ada di sini, tak satu pun ada yang disentuh binatang<br />buas…” Elang Setan menepuk nepuk baju tebal dekilnya hingga debu yang menempel<br />beterbangan ke udara.<br />“Kita harus mencari akal. Kalau kepala Pendekar 212 tidak bisa kita serahkan<br />pada Pangeran Matahari, berarti nyawa kita berdua tidak ketolongan!” kata Tiga<br />Bayangan Setan pula.<br />Untuk beberapa lamanya dua orang itu duduk di lereng bukit saling berdiam diri.<br />“Kau ingat kejadian waktu kita baru saja membunuh Pendekar 212…..?” Elang<br />Setan tiba tiba membuka mulut.<br />“Kejadian yang mana?” tanya Tiga Bayangan Setan seraya coba mengingat ingat.<br />“Waktu itu di langit ada tujuh buah payung melayang. Seorang perempuan<br />bergantung pada salah satu payung itu…”<br />“Aku ingat sekarang!” kata Tiga Bayangan Setan seraya bangkit berdiri.<br />“Siapapun makhluk yang terbang memakai payung itu pastilah dia seorang<br />berkepandaian sangat tinggi. Pasti dia yang telah mengambil mayat Pendekar 212.<br />“Kita harus menyelidik! Mencari tahu siapa adanya perempuan berpayung itu!”<br />kata Elang Setan pula. “Setahuku tak pernah mendengar tentang seorang sakti<br />berpayung. Kita harus menyebar orang untuk menyirap berita. Bagaimanapun mahalnya<br />urusan ini nyawa kita jauh lebih mahal!”<br />“Apa rencanamu…? Mendatangi Kotaraja mencari berita?” tanya Tiga Bayangan<br />Setan.<br />Elang Setan menggeleng. “Orang berkepandaian tinggi jarang mau berada di<br />tempat ramai seperti Kotaraja. Aku yakin orang berpayung itu bukan tokoh silat berasal<br />dari tanah Jawa ini. Besar kemungkinan dia datang dari seberang. Jika dia orang<br />seberang kemunculannya di sini pastilah membawa satu maksud atau keperluan besar.<br />Mungkin dia juga mencari Kitab Iblis itu!”<br />Tiga Bayangan Setan angguk anggukkan kepala tanda setuju dengan jalan pikiran<br />sahabat atau saudara angkatnya itu. “Kalau dia mencari Kitab Iblis berarti dia akan<br />berhadapan dengan Pangeran Matahari! Tapi mungkin dugaan kita salah. Mungkin dia<br />bukan mencari Kitab Iblis….”<br />“Sebaiknya kita membicarakan persoalan ini sambil meneruskan perjalanan…”<br />“Aku setuju. Tapi kemana tujuan kita dari sini?” tanya Tiga Bayangan Setan pula.<br />“Di Sleman ada dua orang yang perlu kita temui. Pertama seorang bekas juru<br />ramal Kraton berasal dari Blambangan. Orang ini bisa diminta bantuan untuk melihat<br />lihat secara gaib. Orang kedua seorang bekas gembong penjahat bernama Warok Timbul<br />Ireng. Ratusan anak buahnya bertebaran di mana mana. Jika kita bayar cukup tinggi dia<br />bisa mengerahkan orang untuk mencari tahu perempuan berpayung tujuh itu…”<br />Tiga Bayangan Setan tepuk bahu saudara Elang Setan seraya berkata. “Tidak<br />percuma aku punya saudara sepertimu! Otakmu ternyata encer juga! Ha…ha….! Kita<br />akan mengadakan perjalanan jauh. Kita harus mencari kuda tunggangan!”<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />Kedua orang bermuka seram itu segera tinggalkan lereng bukit, berlari cepat<br />menuju ke arah timur.<br />*<br />* *<br />ORANG mengenakan blangkon kuning itu mendera<br />kudanya bertubi tubi agar<br />tunggangannya berlari lebih kencang. Saat itu tempat tengah hari dan sang surya<br />bersinar sangat terik. Disatu persimpangan dia membelok ke kiri memasuki jalan<br />menuju Wates. Dia merasa lega ketika akhirnya sampai di tempat tujuannya, yaitu<br />sebuah rumah minum yang merangkap tempat perjudian gelap. Kabarnya banyak orang<br />orang penting dari Kotaraja yang datang ke tempat ini untuk berjudi. Setelah<br />menambatkan kudanya lelaki berblangkon kuning ini cepat masuk ke dalam rumah<br />minum, langsung menuju ke belakang, terus menaiki tangga ke tingkat atas di mana<br />terletak dua buah ruangan besar perjudian.<br />Bau minuman keras bercampur asap rokok menyambut hidung orang ini begitu<br />dia menyelinap masuk ke dalam ruangan judi di sebelah kiri. Seorang lelaki berbadan<br />tinggi besar, berewokan serta membekal sebilah golok cepat mendatanginya dan<br />mendorong dadanya. Dia adalah salah satu dari empat orang yang bertugas sebagai<br />penjaga di rumah judi itu.<br />“Blangkon kuning, aku tak pernah melihat kowe sebelumnya. Dari tampangmu<br />aku tahu kowe kemari bukan untuk berjudi! Apa mau kowe datang ke sini….?!”<br />“Aku mencari seseorang….”<br />“Ini bukan tempat mencari orang. Tapi tempat judi. Lekas minggat dari sini atau<br />kupuntir rupanya tidak mau tinggalkan tempat itu. Dia segera bertindak masuk kembali.<br />“Manusia sompret! Memang kau minta digebuk!” Pengawal rumah judi itu lalu<br />hantamkan tinju kanannya ke muka si blangkon kuning. Sesaat lagi tinju itu akan<br />meremukkan rahangnya tiba tiba satu tangan berbulu menahan tinjunya. Pengawal ini<br />hendak berteriak marah. Tapi begitu dia berpaling dan melihat siapa adanya orang yang<br />menahan tinjunya cepat cepat melangkah mundur lalu membungkuk.<br />“Dia memang mencariku, kau boleh pergi…”<br />Pengawal tinggi besar itu menyeringai, membungkuk sekali lagi ketika orang<br />yang barusan bicara menyelipkan sekeping uang ke dalam genggamannya. Orang yang<br />memberikan uang ini kepalanya sulah alias botak di sebelah kiri sedang bagian kanan<br />ditumbuhi rambut sangat lebat dan awut awutan. Tampangnya tampak angker karena<br />selain ditutupi kumis dan brewok lebat, mata kanannya mendelik besar sedang mata kiri<br />senantiasa seperti terpejam. Di keningnya ada tiga buah guratan aneh. Orang ini bukan<br />lain adalah Tiga Bayangan Setan.<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />“Kau membawa kabar bagus…?” tanya Tiga Bayangan Setan sambil memegang<br />bahu si blangkon kuning. Orang yang ditanya mengangguk. “Kau berhasil mengetahui<br />dimana perempuan itu berada….?” Yang ditanya kembali mengangguk. Tiga Bayangan<br />Setan berpaling lalu mengangkat tangannya pada Elang Setan yang sedang asyik berjudi.<br />Melihat tanda yang diberikan Tiga Bayangan Setan, Elang Setan segera teguk habis<br />minuman keras dalam kendi kecil lalu tinggalkan meja judi. Ketiga orang itu turun ke<br />bawah. Di satu tempat si blangkon kuning berikan keterangan.<br />“Perempuan itu ada di pesisir selatan. Di sekitar muara Kali Opak… Beberapa kali<br />dia terlihat di pantai. Sepertinya dia tengah mencari atau menunggu kedatangan<br />seseorang…”<br />“Berpakaian merah….?” Tanya Elang Setan.<br />Si Blangkon Kuning mengangguk.<br />“Membawa tujuh payung?” ujar Elang Setan.<br />“Saya melihat dia membawa bungkusan besar pada punggungnya. Ada gagang<br />gagang menyembul. Bukan gagang senjata. Mungkin sekali memang gagang payung….”<br />“Bagus! Ini bagian yang kujanjikan!” kata Tiga Bayangan Setan seraya mengeruk<br />saku jubah hitamnya. Ketika si Blangkon kuning hendak menerima, Tiga Bayangan Setan<br />tidak segera melepaskan uang dalam genggamannya tapi mencekal tangan orang.”<br />Kalau kau memberi keterangan dusta, ingat baik baik!Kami berdua akan datang<br />mencarimu. Kau akan mampus dengan kepala terbelah! Mengerti?!”<br />Orang itu mengangguk. Begitu tangannya dilepaskan dia cepat cepat tinggalkan<br />tempat itu. Tiga Bayangan Setan berpaling pada Elang Setan. “Baiknya kita berangkat<br />sekarang juga!” katanya.<br />*<br />* *<br />TUJUH<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />MENJELANG matahari terbenam, di balik sebuah bukit terkembang melayang di<br />udara. Pada gagang payung berwarna merah kelihatan bergantung seorang gadis<br />berpakaian merah. Dia bukan lain adalah Puti Andini, gadis dari tanah seberang yang<br />telah menolong Wiro dari bahaya maut akibat pukulan makhluk raksasa jejadian yang<br />keluar kepala Tiga Bayangan Setan.<br />Begitu mendarat di lereng bukit gadis itu tancapkan payung merahnya di tanah<br />sementara payung payung lain melayang turun lalu menancap sendiri sendiri di tanah<br />bukit itu. Wajahnya tampak napas panjang seolah ada yang disesalinya.<br />Sejak beberapa waktu lalu sebenarnya dia telah menguntit Pendekar 212 Wiro<br />Sableng terus menerus secara diam diam. Sesuai tugas yang diberikan guru gurunya dia<br />harus mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa. Menurut sang guru hanya Wiro yang akan<br />mengetahui dimana beradanya kitab sakti itu. Begitu kitab berada di tangan Wito dia<br />harus merampasnya, bahkan sesuai perintah sang guru dia harus membunuh pemuda<br />itu jika Wiro tidak mau menyerahkan Kitab Putih Wasiat Dewa. Ketika Wiro mendapat<br />celaka dihantam Tiga Bayangan Setan di bukit di luar Kartosuro itu sebabnya dia tolong<br />menyelamatkan sang pendekar agar kelak Wiro bisa membawanya ke tempat dimana<br />beradanya Kitab Putih Wasiat Dewa itu. Namun pertemuan dengan Wiro Sableng telah<br />membawa kesan mendalam pada diri si gadis ini. Dia memang harus mendapatkan Kitab<br />Putih Wasiat Dewa itu, tapi apakah dia harus membunuh Wiro? Hati kecilnya secara<br />jujur mengatakan bahwa dia tidak akan memiliki rasa tega untuk melaksanakan hal itu.<br />Penguntitan yang dilakukan Puti Andini membawanya ke muara Kali Opak.<br />Namun dia tidak segera dapat mengikuti Wiro ketika pemuda ini memasuki perahu<br />putih bersama nelayan aneh bercaping dan mengenakan cadar penutup wajah. Dia<br />mengalami kesulitan mendapatkan perahu. Untuk terbang di laut terbuka seperti itu<br />tidak bisa dilakukannya karena pasti Wiro akan melihatnya. Dia menunggu sampai<br />perahu putih tumpangan Wiro berada agak jauh di tengah laut. Ketika akhirnya dia<br />meninggalkan pantai bersama payung payungnya di tengah laut hanya ditemuinya<br />pecahan papan perahu putih, terombang ambing kian kemari dipermainkan ombak.<br />Wiro dan juga pemilik perahu putih itu tidak kelihatan sama sekali.<br />“Apa yang terjadi dengan dirinya?” membatin Puti Andini. “Perahunya<br />tenggelam? Tapi tak ada badai di laut. Atau hancur dihantam ikan buas….? Mungkin<br />ditelan pusaran ombak seperti yang pernah dijelaskan seorang nelayan itu?” Puti Andini<br />menarik napas panjang. “Aku harus berkemah di sini. Aku akan menunggunya sampai<br />dia muncul lagi. Aku tidak yakin dia telah menemui ajal. Pendekar cerdik seperti dia<br />punya seribu satu akal untuk menyelamatkan diri….”<br />Lebih dari seminggu menunggu Wiro tak kunjung muncul. Puti Andini kini benar<br />benar gelisah. “Kalau aku sampai kehilangan jejaknya berarti aku tak bakal<br />mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa itu untuk selama lamanya…..Lebih baik aku<br />bersiap menyelidik. Aku harus mencari perahu sewaan. Kalau tak ada yang mau<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />menyewakan terpaksa aku mencuri. Di tengah laut aku bisa menyelidik lebih seksama<br />dengan menggunakan payung terbang….”<br />Berpikir sampai disitu si gadis segera melipat tujuh payungnya. Ketika dia hendak<br />memasukkan payung payung itu ke dalam kantong perbekalan besar tiba tiba dia<br />mendengar suara derap kaki kuda mendatangi.<br />“Ada dua penunggang kuda…” kata Puti Andini dalam hati yang bertelinga tajam<br />dan segera tahu berapa orang yang mendatanginya. Dia tak menunggu lama. Dua<br />penunggang kuda itu segera muncul dari balik lereng bukit di depannya. Kejut si gadis<br />bukan alang kepalang. Dia memang belum pernah bertemu muka dengan kedua orang<br />itu. Tapi dari tampang dan dandanan keduanya dia segera tahu tengah berhadapan<br />dengan siapa. Puti Andini bersikap tenang namun penuh waspada.<br />“Amboi! Dara cantik yang kita cari rupanya tengah bersiap pergi. Sobatku,<br />untung kita tidak terlambat!” kata penunggang kuda di sebelah kanan. Dia bukan lain<br />adalah Tiga Bayangan Setan tang begitu selesai bicara terus malompat turun dari<br />punggung kudanya. Saudara angkatnya yaitu Elang Setan menyusul turun dari kuda.<br />Begitu menjejak tanah Elang Setan cepat mendekati Tiga Bayangan Setan dan berbisik.<br />“Aku tidak menyangka orang yang kita cari ini ternyata seorang gadis cantik<br />rupawan! Dengar Tiga Bayangan Setan kalau urusan dengan dia selesai aku tidak akan<br />melepaskannya begitu saja. Dia perlu menghibur diriku barang dua tiga hari!”<br />“Pikiran kotormu sama dengan otak iblisku!” jawab Tiga Bayangan Setan dengan<br />berbisik pula. “Malah aku ada rencana. Kalau kita tidak dapatkan kepala Pendekar 212,<br />gadis ini kita bawa dan serahkan pada Pangeran Matahari. Dia pasti senang dan syukur<br />syukur mau menganggap gadis ini sebagai pengganti kepala Pendekar 212!”<br />“Rencana bagus…!” kata Elang Setan lalu mendahului melangkah mendekati Puti<br />Andini.<br />“Kalian siapa dan ada keperluan apa?” menegur Puti Andini dengan sikap tenang<br />walau hatinya berdebar. Sebagai gadis persilatan yang belum lama dilepas turun gunung<br />oleh gurunya tampang tampang angker dua manusia di depannya mau tak mau<br />membuat hatinya berdebar juga. Apalagi dia sudah tahu sebelumnya tentang tindak<br />tanduk dan segala keganasan mereka.<br />“Dengan senang hati kami memperkenalkan diri,” kata Elang Setan pula. “ Aku<br />yang buruk rupa tapi berhati emas ini biasa disebut dengan panggilan Elang Setan!”<br />Habis berkata begitu Elang Setan membungkuk seraya melambaikan tangan kanannya<br />dari kiri ke kanan. Sinar hitam kemerahan membersit keluar dari kuku kuku jarinya yang<br />panjang panjang. Lalu dia menuding dengan ibu jarinya ke arah Tiga Bayangan Setan.<br />Tiga Bayangan Setan tertawa lebar. Setelah kedip kedipkan mata kanannya yang<br />besar dia pun membungkuk sambil berkata. “Aku yang jelek ini dikenal dengan julukan<br />Tiga Bayangan Setan! Kami berdua adalah saudara angkat. Kalau kami boleh<br />bersombong diri seantero daratan sekitar sini dari utara sampai selatan adalah dibawah<br />kekuasaan dan pengawasan kami. Itu sebabnya begitu tahu ada seorang dara cantik<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />berkepandaian tinggi berada di tempat ini, sebagai tuan rumah yang baik kami layak<br />menyambut mengucapkan selamat datang….”<br />“Hemmmm… pasti mereka melihat aku waktu turun di bukit di luar Kartosuro<br />tempo hari. Kalau dulu mereka sengaja melarikan diri dan kini sengaja mendatangi<br />berarti mereka mengandung maksud tertentu…” kata Puti Andini dalam hati.<br />“Terima kasih atas budi baik kalian yang mau mencariku. Terima kasih untuk<br />ucapan selamat datang…” kata si gadis seraya tersenyum manis yang membuat Elang<br />Setan dan Tiga Bayangan Setan jadi blingsatan mabuk kepayang.<br />“Kami lihat kau tengah bersiap untuk pergi. Kami harap tak usah terburu buru.<br />Kami ingin menanyakan sesuatu padamu. Jika urusan bisa selesai dengan cepat kami<br />akan mengundangmu ke puncak Gunung Merapi,” ujar Elang Setan pula dan dia maju<br />lagi dua langkah hingga jaraknya dengan Puti Andini hanya terpisah lima langkah kini.<br />“Ah, kalian benar benar tuan rumah yang baik. Pertanyaan apa yang hendak<br />kalian ajukan?” bertanya Puti Andini seraya menyusun tujuh buah payung yang ada<br />dalam kantong perbekalan sebelum dipikulnya di punggung.<br />“Beberapa waktu lalu terjadi satu peristiwa besar di satu lereng bukit di luar<br />Kartosuro. Pendekar kawakan dikenal dengan julukan Pendekar Kapak Maut Naga Geni<br />212 Wiro Sableng menemui kematian di tempat itu…”<br />Puti Andini menunjukkan wajah pura pura terkejut. “Pasti matinya bukan karena<br />sakit. Seseorang telah membunuhnya!”<br />Elang Setan anggukan kepala.<br />“Jika seseorang sehebat Pendekar 212 dibunuh orang, pasti yang membunuhnya<br />seorang berkepandaian sangat tinggi. Kalian tahu siapa yang membunuh tokoh silat<br />muda itu?”<br />“Itulah yang kami ingin tahu!” jawab Elang Setan.<br />“Selain itu,” menyambung Tiga Bayangan Setan, “Kami mendapat tugas dari<br />seorang yang sangant dekat dengan Pendekar 212 untuk mencari jenazahnya guna<br />diurus lalu disemayamkan sebaik baiknya.”<br />Puti Andini angguk anggukkan kepalanya beberapa kali lalu bertanya.”Lantas hal<br />apa yang kalian harapkan dariku?”<br />“Kalau kami tidak salah, pada waktu kejadian itu kau terlihat berada di sekitar<br />bukit. Mungkin bisa memberi keterangan apa yang terjadi dengan mayat Pendekar<br />212…”<br />“Hemm… Aku memang turun ke bukit itu. Memang kulihat banyak mayat<br />bertebaran di sekitar sumur batu. Kebanyakan sudah pada busuk. Namun aku tidak<br />melihat mayat Pendekar 212 atau yang punya ciri ciri seperti dia. Mungkin…Hemmm…”<br />Puti Andini pura pura berpikir pikir.<br />“Mungkin apa?” tanya Tiga Bayangan Setan.<br />“Waktu masih melayang di udara, aku melihat ada dua orang terburu buru<br />meninggalkan lereng bukit. Salah satu diantara mereka memanggul sesosok tubuh.<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />Mungkin sekali dua orang itu yang membawa mayat Pendekar 212. Sayang aku tidak<br />menyelidik lebih jauh…”<br />Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan jadi saling pandang mendengar kata kata<br />Puti Andini itu. Tentu saja mereka tidak mau menceritakan bahwa dua orang yang<br />terlihat lari itu adalah mereka sendiri yang tengah membawa sosok Bidadari Angin<br />Timur.<br />“Baiklah, kalau kau memang tidak tahu apa apa menyangkut mayat Pendekar<br />212,” kata Tiga Bayangan Setan pula. “Sekarang bagaimana dengan undangan kami<br />untuk membawamu ke puncak Gunung Merapi?”<br />“Gunung Merapi cukup jauh dari sini. Memangnya ada pesta apa di sana hingga<br />mengundang segala?”<br />Elang Setan dan Tiga Bayangan Setan tertawa gelak gelak. “Sama sekali tidak ada<br />pesta atau hajat apa pun di sana!” jawab Elang Setan. “Kami membawamu ke sana<br />karena ingin memperkenalkan dirimu dengan seorang tokoh luar biasa dunia<br />persilatan!” Sambil bicara Elang Setan maju dua langkah.<br />“Hemmm… siapakah gerangan tokoh luar biasa yang kau maksudkan itu?” tanya<br />Puti Andini.<br />“Pernah mendengar nama Pangeran Matahari?” ujar Tiga Bayangan Setan.<br />“Pangeran Matahari!” seru Puti Andini. “Siapa tidak kenal dengan raja diraja<br />dunia persilatan itu! Namanya tembus sampai ke pulau kediamanku di tanah seberang!”<br />“Nah kepadanyalah kami akan mempertemukan dirimu….”<br />“Sungguh menyenangkan dapat bertemu denga tokoh seperti Pangeran<br />Matahari. Tapi apakah rencana itu tidak bisa ditunda dulu? Untuk bertemu dengan<br />orang sehebat dia aku yang tolol ini tentu perlu persiapan agar tidak kikuk jika<br />berhadapan!”<br />Tiga Bayangan Setan mengulum senyum. “Pangeran Matahari orangnya sangat<br />baik. Dia tidak pernah memandang rendah siapa pun. Sekali kau bertemu dia pasti akan<br />tertarik. Dia mudah bersahabat dengan siapa saja. Disamping itu wajahnya sangat<br />gagah. Dia gagah kau cantik. Sungguh cocok!”<br />Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan tertawa gelak gelak. Puti Andini tersipu<br />sipu lalu berkata, “Harap dimaafkan, saat ini aku punya tugas yang harus dijalankan.<br />Bagaimana kalau kita bertemu lagi di sini selang tiga puluh hari di muka. Aku pasti akan<br />mengikuti kalian. Jangankan ke puncak Gunung Merapi, ke Puncak Mahameru pun aku<br />mau pergi. Apalagi bersama orang orang gagah seperti kalian berdua….”<br />“Ah, sayang sekali….” Kata Tiga Bayangan Setan.<br />“Ya… sayang sekali kalau kami terpaksa memaksa!” ujar Elang Setan pula seraya<br />maju lagi dua langkah. Pada jarak hanya tinggal satu langkah dari hadapan Puti Andini<br />orang ini melompat sambil susupkan satu totokan ke dada si gadis!<br />*<br />* *<br />DELAPAN<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />Puti Andini yang sejak tadi tadi memang telah berwaspada begitu melihat gerakan<br />orang cepat segera berkelit ke samping sambil angkat kantong perbekalannya dan<br />meletakkannya di punggung. Melihat gerakan si gadis mau tak mau Tiga Bayangan Setan<br />jadi terkesiap. Mengelakkan serangan saudara angkatnya saja merupakan satu hal yang<br />tidak mudah. Tapi si gadis melakukannya sambil mengangkat barang yang kelihatannya<br />cukup berat. Dan dia jadi lebih terkejut sewaktu Puti Andini membuat gerakan<br />berputar dan tahu tahu kaki kanannya menyambar ke muka Elang Setan. Kalau lelaki ini<br />tidak lekas mengelak pasti rahangnya sudah dimakan tendangan Putiu Andini!<br />Tiga Bayangan Setan cepat melompat pegangi pundak saudara angkatnya yang<br />saat itu hendak kembali menyerang. Bukan hanya sekedar menotok tapi akan<br />pergunakan jari jari tangannya yang berkuku panjang.<br />“Sabar sedikit Elang Setan. Sobat cantik ini masih bisa kita atur…” Lalu sambil<br />berdehem dan cengar cengir Tiga Bayangan Setan berkata. “Harap maafkan saudaraku<br />yang memang punya sifat tidak sabaran dan lekas naik pitam….”<br />Puti Andini tertawa. “Aku sudah tahu sandiwara kalian. Mengapa musti berpura<br />pura...?!”<br />“Gadis cantik, kami tidak berpura pura. Kami memang ingin mempertemukanmu<br />dengan Pangeran Matahari untuk maksud baik! Kalau kalian berjodoh dengan dia, kami<br />tentu dapat pahala juga. Ha…ha….ha…!”<br />“Kalian tidak lebih daripada iblis bermuka setan! Pangeranmu itu tidak lebih baik<br />dari kalian! Dengar…. Aku melihat warna aneh pada bibir kalian! Di dalam tubuh kalian<br />pasti ada sejenis racun jahat yang perlahan lahan tetapi pasti akan membunuh kalian<br />berdua. Mungkin ada hubungannya dengan maksud kalian mencari mayat Pendekar 212<br />dan mengajakku ke puncak Gunung Merapi?!”<br />Dua orang di hadapan Puti Andini sama sama terkesiap mendengar ucapan si<br />gadis. Keduanya tak habis pikir bagaimana gadis itu bisa mengetahui keadaan diri dan<br />maksud mereka.<br />“Selagi hari masih siang sebaiknya kalian lekas angkat kaki dari hadapanku!”<br />“Ah, gadis cantik ini rupanya tak bisa diatur!” kata Tiga Bayangan Setan.<br />“Kalau begitu biar kita gebuk dan pegangi di tempat ini juga!” ujar Elang Setan<br />sambil menyeringai lebar.<br />“Kau betul, tapi jangan terlalu keras memberi pelajaran padanya. Bagaimana<br />kalau kau pergunakan kuku kuku jarimu untuk merobek pakaian dan menelanjangi<br />tubuhnya terlebih dulu! Aku ingin menyaksikan satu pemandangan bagus agar mataku<br />tidak keburu lamur! Ha…ha…ha…!”<br />Puti Andini sudah lama mendengar riwayat dua manusia jahat ini. Karenanya<br />selain berhati hati dia tak mau memberi kesempatan. Sebelum Elang Setan menyerbu<br />gadis ini berkelebat hantamkan tangan kanannya ke arah dada lawan. Selarik angin<br />dingin menyambar. Elang Setan terkejut besar sewaktu tubuhnya menjadi huyung.<br />Cepat dia dorongkan tangan kanannya ke depan. Lima larik sinar hitam kemerahan<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />bertabur dari kuku kukujarinya membuat angin serangan Puti Andini bersibak ke<br />samping. Selagi gadis ini memasang kuda kuda menyiapkan serangan baru, Elang Setan<br />mendahului.<br />Puti Andini melihat sepuluh sinar hitam kemerahan berkiblat di depan matanya.<br />Si Gadis tak berani menangkis ataupun membalas. Kedua kakinya dijejakkan ke tanah.<br />Seperti anak panah tubuhnya melesat ke udara. Elang Setan yang tak mau melepaskan<br />lawan begitu saja cepat memburu. Kembali sepuluh sinar hitam merah melesat ke arah<br />Puti Andini.<br />Sambil melompat tadi Puti Andini gerakkan tangan kanannya ke punggung<br />mencabut satu dari tujuh payung yang ada dalam buntalan perbekalannya. Lalu<br />terdengar suara “blepp!”<br />Elang Setan dan Tiga Bayangan Setan terkejut ketika melihat di udara, di depan<br />tubuh gadis berbaju merah itu berputar sebuah benda bulat berwarna hijau. Ternyata<br />Puti Andini telah mengambil payung hijau dan sekaligus mengembangkannya. Begitu<br />payung terkembang jari jaritangannya disentakkan. Payung hijau berputar deras<br />mengeluarkan deru dahsyat.<br />Elang Setan berseru kaget ketika melihat bagaimana putaran payung hijau<br />menggulung serangan sepuluh kukunya dan ketika si gadis mendorongkan payungnya ke<br />depan sepuluh cahaya hitam yang keluar dari kukunya itu membalik menghantam<br />arahnya!<br />Sambil berteriak keras Elang Setan jatuhkan diri ke tanah, berguling selamatkan<br />diri. Begitu dia berguling di bawah sosok Puti Andini secepat kilat dia melompat seraya<br />lepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi.<br />Pada saat Elang Setan jatuhkan diri Puti Andini lepaskan payung hijaunya.<br />Payung itu kini melayang berputar putar du udara. Payung itu kini melayang berputar<br />putar di udara. Ketika lawan lewat di bawahnya si gadis cabut payung kedua yakni<br />payung putih. Begitu Elang Setan menyerang, payung putih menukik laksana kilat.<br />Payung mengembang dengan bagian runcing menusuk ke arah bahu Elang Setan. Dalam<br />keadaan marah karena kedua kalinya serangannya gagal Elang Setan menjadi nekad. Dia<br />kerahkan tenaga dalam lebih banyak lalu menggebuk ke arah payung putih. Jotosannya<br />yang laksana palu godam masakan tidak sanggup menjebol payung putih yang hanya<br />terbuat dari kertas pikirnya. Tapi alangkah kagetnya Elang Setan ketika satu gelombang<br />angin yang keluar dari putaran payung putih membuat tangan kanannya seperti<br />dipuntir. Sebelum dia sempat melakukan sesuatu, pinggiran payung putih yang berputar<br />laksana gerinda raksasa itu menyambar ke arah pergelangan tangannya.<br />“Craaasss!”<br />“Breett!”<br />Elang Setan berteriak kesakitan. Lengan pakaiannya yanga terbuat dari kain tebal<br />robek besar. Pada ujung robekan kelihatan cairan merah tanda daging lengannya ikut<br />tersambar. Sakitnya bukan main. Dengan muka sepucat mayat Elang Setan melompat<br />mundur. Melihat lawan terluka Puti Andini tidak mau memberi kesempatan. Gadis ini<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />putar payung putihnya dengan sebat. Bagian runcing di pertengahan payung laksana<br />ujung tombak yang berputar menusuk ke arah kening Elang Setan. Yang diserang cepat<br />menghindar. Tapi dia kecele. Serangan berupa tusukan itu ternyata hanya tipuan belaka<br />karena begitu Puti Andini menyentakkan gagang payung, laksana kilat pinggiran payung<br />putih menderu ke arah bahu tepat di pangkal leher Elang Setan!<br />“Celaka!” jerit Elang Setan. Seumur hidup manusia satu ini membunuh lawan<br />lawannya yang berkepandaian tinggi dengan cepat dan mudah. Tapi hari ini dia<br />berhadapan dengan seorang gadis cantik jelita, bersenjatakan payung dan dia tak<br />mampu menghadapinya! Dalam keadaan seperti itu tiba tiba datang lagi serangan Puti<br />Andini. Si gadis pergunakan payung hijaunya seolah tali gantungan. Tubuhnya diayun ke<br />bawah. Kakinya menyambar. “Bukkk!”<br />Elang Setan terhempas ke tanah. Darah menyembur dari mulutnya akibat<br />tendangan telak yang mendarat di dadanya.<br />“Saatnya aku menghabisi manusia setan satu ini!” ujar Puti Andini. Dengan<br />kertakan rahang si gadis sentakkan tangannya yang memegang payung hijau. Tubuhnya<br />berputar membal. Lalu dia membuat gerakan menukik. Ujung payung hijau dihujamkan<br />ke batok kepala Elang Setan.<br />“Tiga Bayangan! Tolong!” teriak Elang Setan karena saat diserang dia tak mampu<br />berbuat apa apa!<br />Tiga Bayangan Setan yang memang sejak tadi memperhatikan jalannya<br />mperkelahian dan tahu saudara angkatnya berada dalam bahaya besar secepat kilat<br />melompat. Dua tangannya diulurkan untuk mencekal sepasang kaki Puti Andini yang<br />masih mengapung di udara. Serangan Tiga Bayangan Setan bukan serangan biasa. Sekali<br />dia sempat mencekal salah satu kaki si gadis, dia mampu menanggalkan kaki itu dari<br />persendiannya! Puti Andini bukan tidak maklum bahayanya serangan lawan kedua itu.<br />Dia terpaksa mencari selamat lebih dahulu. Serangan maut yang ditujukan pada Elang<br />Setan hanya merobek leher baju tebal lawan dan menggurat sedikit daging bahunya.<br />Masih berada di udara Puti Andini lipat ke dua kakinya lalu mencekal gagang<br />payung hijau. Bersamaan dengan itu payung putih dihantamkan ke arah kepala Tiga<br />Bayangan Setan. Lawan yang diserang keluarkan suara mendengus lalu menyusup ke<br />balik putaran payung putih.<br />Puti Andini tersentak kaget ketika melihat tahu tahu Tiga Bayangan Setan berada<br />di balik putaran payung putihnya dan menggempurnya dengan dua jotosan sekaligus!<br />Puti Andini tersentak tangan kanannya.<br />“Cleeppp!”<br />Payung putih menguncup kencang. Karena kepala Tiga Bayangan Setan berada di<br />belakang payung tak ampun lagi kepalanya amblas dalam kuncupan payung. Seperti<br />diketahui manusia ini memiliki kesaktian kebal segala macam pukulan sakti dan senjata<br />tajam. Tapi saat itu dia sama sekali tidak menerima pukulan ataupun tusukan senjata.<br />Yang mendapat serangan adalah jalan pernapasannya karena kepalanya tersangkup<br />payung. Dalam waktu singkat kakinya melejang lejang kian kemari. Tangannya<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />menggapai gapai coba memukul. Namun saat itu Puti Andini telah melepaskan<br />pegangannya pada payung hingga sosok Tiga Bayangan Setan melayang berputar putar<br />di udara.<br />“Jahanam! Kurang ajar! “ teriak Tiga Bayangan Setan terpengap pengap. Saat itu<br />dia telah merapal aji kesaktian ilmu paling diandalkannya yakni mengeluarkan tiga<br />raksasa jejadian dari batok kepalanya. Bersamaan dengan itu dia adukan tinjunya kiri<br />kanan satu sama lain seraya berteriak. “Hancurkan payung!”<br />Tiga guratan di kening Tiga Bayangan Setan mengeluarkan sinar berkilauan.<br />Bersamaan dengan itu dari kepalanya keluar kepulan asap!<br />Sebelumnya Puti Andini tidak pernah berhadapan dengan Tiga Bayangan Setan.<br />Namun dia banyak tahu mengenai ilmu iblis yang dimiliki manusia ini berdasarkan<br />keterangan guru dan beberapa tokoh silat di pulau Andalas. Dia sendiri tidak dapat<br />memastikan apakah payung yang menjadi senjata andalannya mampu menghadapi<br />kesaktian lawan. Karenanya begitu melihat ada kepulan asap keluar dari bawah payung<br />serta merta dia gerakkan tangan menarik gagang payung. Bersamaan dengan itu payung<br />hijau tempatnya bergantung digerakkan demikian rupa. “Clepp!” begitu payung hijau<br />menguncup si gadis tusukkan benda itu ke arah perut lawan. Sementara tangan kirinya<br />bergerak mengembangkan payung putih! Semua dilakukan dengan gerakan secepat<br />kilat.<br />Ketika tiga kepulan asap di kepala Tiga Bayangan Setan mulai membentuk sosok<br />tiga raksasa bermuka seram, rambut riap riapan, taring mencuat sedang dada yang<br />telanjang penuh bulu, Puti Andini lipat gandakan tenaga dalam di tangan kanan dalam<br />menusukkan payung.<br />“Wuttt!”<br />“Bukkk!”<br />“Kraaak!”<br />Ujung runcing payung hijau mendarat di ulu hati Tiga Bayangan Setan dengan<br />telak. Jubah hitamnya robek besar. Tubuhnya terbanting ke tanah. Tapi tusukan payung<br />itu tak mampu menembus perutnya. Sebaliknya ujung runcing payung hijau patah,<br />membuat Puti Andini terbeliak kaget!<br />“Setan alas ini benar benar memiliki ilmu kebal luar biasa! Terpaksa aku<br />menghindari perkelahian lebih jauh. Aku harus cepat cepat memperbaiki ujung payung<br />yang patah. Urusan besar menghadang di depanku!” Puti Andini cepat tarik tangan<br />kanannya yang memegang payung hijau. Lalu tangan kirinya disentakkan. Payung hijau<br />berputar deras. Tubuhnya melesat ke atas.<br />Di bawah sana Tiga Bayangan Setan berteriak marah.<br />“Kejar! Bunuh!”<br />Tiga sosok raksasa jejadian melesat ke atas. Tiga pasang tangan mereka<br />menghantam. Namun Puti Andini yang bergantungan pada payung putih sudah terlalu<br />tinggi untuk dikejar. Apalagi saat itu dia telah sempat membuka tiga payung lagi untuk<br />melindungi dirinya. Ilmu kesaktian tiga raksasa angker yang keluar dari batok kepala Tiga<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />Bayangan Setan walaupun hebat luar biasa tapi mempunyai keterbatasan untuk<br />menjangkau sasaran yang terlalu jauh.<br />Tiga Bayangan Setan usap usap perutnya yang tadi kena tusukan ujung payung<br />hijau. Memandang ke udara dia menggeram dan memaki pajang pendek. Saat itu<br />dilihatnya Puti Andini tengah mengembangkan payung merah lalu berpindah ke payung<br />itu melayang makin jauh.<br />“Kita gagal besar!” kata Elang Setan yang tegak di samping saudara angkatnya itu<br />sambil mengepalkan tinju. “Kita tak dapat mencari tahu apa yang terjadi atas mayat<br />Pendekar 212. Kita juga tak berhasil mendapatkan gadis itu! Apa akal sekarang?!”<br />Tiga Bayangan Setan usap bagian kepalanya yang sulah. Mata kanannya yang<br />besar dipejamkan. Dari lereng bukit itu dia memandang ke tengah lautan. “Hanya ada<br />satu cara untuk cari selamat. Kau ingat Ki Ageng Unggulmulyo bekas juru rias Istana<br />yang ahli membuat topeng di Bantul itu…?”<br />Elang Setan tidak mengerti. “Apa hubungan orang tua itu dengan urusan kita…?”<br />tanyanya.<br />“Justru erat sekali!” jawab Tiga Bayangan Setan. “Ayo kita ke sana sekarang<br />juga!”<br />Ke dua orang itu segera melangkah ke tempat mereka meninggalkan kuda<br />masing masing.<br />*<br />* *<br />SEMBILAN<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />Dalam ruangan pertemuan yang besar itu hanya terdapat dua buah kursi dari batu,<br />terletak berhadapa hadapan mengapit sebuah meja batu pualam yang di atasnya ada<br />jambangan bunga. Baik jambangan maupun bunganya terbuat dari sejenis kerang. Yang<br />membuat bunga dari kerang kelihatan menyerupai bunga hidup sungguhan.<br />Kursi batu sebelah kanan selain lebih besar dan tinggi juga sebelah kanan selain<br />besar dan tinggi juga memiliki ukiran bagus berupa ikan lumba lumba besar yang tegak<br />agak melengkung. Bila seseorang duduk di atas kursi batu ini maka kepalanya seolah<br />ditudungi oleh kepala ikan. Wiro telah melihat kursi seperti itu di ruangan besar pada<br />pertama kali dia memasuki tempat itu. Kursi satunya yang di sebelah kiri memiliki<br />bentuk sama dengan sebelah kanan hanya saja kecil dan lebih rendah.<br />Seluruh ruangan tertutup tirai tebal berwarna biru. Di langit langit ruangan<br />sebelah tengah ada sebuah batu putih aneh yang memancarkan cahaya berkilau. Cahaya<br />dari batu inilah yang menerangi seantero ruangan besar itu. Wiro menghirup napas<br />dalam dalam. Ruangan itu berbau wangi semerbak. Udaranya pun sejuk nyaman.<br />“Silahkan mengambil tempat duduk di kursi sebelah kiri,” memberi tahu salah<br />seorang dari empat gadis berpakaian hitam ketat yang membawa Wiro ke ruangan itu.<br />“Ratu akan segera datang ke tempat ini.”<br />Pendekar 212 anggukan kepala. Emapt gadis kemudian menyelinap ke balik tirai<br />biru dan lenyap. Wiro memandang berkeliling lalu melangkah seputar ruangan. Setiap<br />sudut diperiksanya. “Aneh, dari mana jalan aku masuk tadi? Di mana pula bagian tempat<br />empat gadis tadi menyelinap pergi?” Setiap bagian tirai dibaliknya tapi dia hanya<br />menemukan dinding batu hitam. “Jangan janganaku telah kena jebak! Dijebloskan<br />dalam penjara yang keadaannya lebih lumayan dari Ruang Penantian terkutuk itu!<br />Hemmm…. Kalau benar aku dipenjarakan lagi di tempat ini aku tak segan segan<br />mengencinginya. Kalau perlu aku akan buang hajat besar di sini! Biar tahu rasa!” Begitu<br />murid Sinto Gendeng berkata dalam hati sambil senyum senyum sendiri. Lalu dia<br />berusaha mengingat ingat telah berapa lama dia berada di tempat itu. Namun otaknya<br />tak mampu menduga. “Tempat celaka ini punya hitungan hari aneh dengan dunia luar<br />sana….” Lalu tiba tiba saja murid Sinto Gendeng menjadi kecut. “Bagaimana kalau aku<br />tidak pernah keluar selama lamanya dari tempat ini?” Wiro garuk garukkepalanya<br />berulang kali. Teringat dia pada tugas penting mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa<br />yang sampai saat ini masih gelap dimana beradanya. “Nelayan berpenyakit cacar sialan<br />itu…” maki Wiro. “Hampir putus tanganku disambar ikan hiu!” Wiro perhatikan lengan<br />kanannya yang pernah luka. Tiba tiba terbayang wajah cantik Bidadari Angin Timur di<br />pelupuk matanya. “Gadis itu…Akutak dapat melupakannya. Waktu berdua duaan di<br />dalam telaga…. Bidadari, dimana kau saat ini? Aku kangen sekali padamu….”<br />Tiba tiba tirai biru di dinding sebelah kanan tersingkap.<br />“Bidadari Angin Timur, kaukah itu….?” Karena tengah mengenang gadis yang<br />dirindukannya itu, ucapan itu lepas begitu saja tanpa disadari Pendekar 212. Ketika dia<br />berpaling ke kanan yang tegak di tempat itu memang seorang perempuan secantik<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />bidadari. Mengenakan pakaian sangat ketat terbuat dari manik manik berwarna merah<br />berkilauan yang pada bagian dada serta pinggulnya terbelah. Di tangan kanannya dia<br />mendadak bertambah harum oleh bau Ratu Duyung yang baru masuk.<br />“Kau menyebut nama seseorang….” Ujar Ratu Duyung.<br />“Ah, maafkan aku…” kata Wiro garuk garuk kepala.<br />“Kau tengah melamuni seseorang….”<br />Wiro tertawa lebar. Kembali dia garuk garuk kepala.<br />Ratu Duyung melangkah mundar mandir di hadapan Wiro beberapa lamanya.<br />Sesekali dia melirik ke arah pemuda itu dan diam diam mengakui walau sepintas<br />pemuda ini seperti orang tolol suka cengengesan tapi wajahnya ternyata tampan.<br />Apalagi kini kulitnya telah kembali ke bentuk asli. Wiro sendiri diam diam<br />memperhatikan kebagusan tubuh sang Ratu dengan mata tak berkesip.<br />Walau mengagumi Pendekar 212, Ratu Duyung tidak menyembunyikan rasa<br />sukanya melihat sikap seenaknya murid Sinto Gendeng. Dalam hati dia menggerendeng.<br />“Pemuda satu ini benar benar kurang ajar. Dia duduk di kursi batu dimana<br />seharusnya aku duduk. Aku harus menegurnya. Mengingat dia sekarang merupakan<br />sebagai tamu yang kuhormati, bagaimana caranya menyuruhnya berdiri dari kursi itu<br />tanpa merasa tersinggung. Hemmm….”<br />Sambil terus melangkah Ratu Duyung bertanya. “Mungkin anak buahku yang<br />mengantar kau ke sini lupa memberi tahu dimana kau harus duduk….”<br />“Astaga!” Wiro pura pura terkejut. “Maafkan aku! Anak buahmu memang<br />memberi tahu. Tapi aku sedang kacau pikiran hingga lupa….”<br />Wiro berdiri dari kursi batu besar. Sandaran dan bagian kursi yang barusan<br />didudukinya dibersihkannya dengan tangan. Lalu dia membungkuk mempersilahkan<br />sang Ratu duduk. Ratu Duyung jengkel ada geli juga ada melihat kelakuan pemuda itu.<br />Wiro menunggu sampai sang Ratu duduk di kursi batu besar dia kemudian ddudk di<br />kursai batu yang kecil.<br />“Kau mengatakan sedang kacau pikiran….” Ratu Duyung membuka pembicaraan.<br />“Betul sekali….” Jawab Wiro polos.<br />“Pikiran kacau adalah salah satu sumber kelemahan manusia yang bisa<br />membawa kelengahan, mengundang datangnya malapetaka….”<br />“Aku memang telah berlaku lengah dan menghadapi malapetaka…. Aku tidak<br />tahu apa artinya aku berada di ruangan ini. Mungkin ini salah satu bentuk lain dari<br />penjaramu….?”<br />Ratu Duyung tersenyum. “Kau pernah berbuat salah, ditawan dan dihukum. Tapi<br />sekarang kau kembali sebagai tamu yang kami hormati…..”<br />“Kalau begitu aku mengucapkan terima kasih. Terima kasihku banyak sekali<br />untukmu Ratu. Kau telah menyelamatkan aku waktu tenggelam di laut. Mengobati luka<br />sambaran ikan hiu di lenganku. Mengembalikan sepasang mataku. Entah kebaikan apa<br />lagi yang akan kuterima darimu. Jangan terlalu banyak membagi kebaikan padaku Ratu<br />Duyung. Aku khawatir tak dapat membalas semua budi baikmu itu…”<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />Ratu Duyung berpura pura mengusap hidung dan mulutnya. Padahal dia tengah<br />berusaha menyembunyikan tawa mendengar semua ucapan Wiro tadi.<br />“Ratu, aku mendapat penjelasan dari anak buahmu bahwa kau hendak<br />memberikan wasiat padaku. Jika ini benar tentu saja aku ingin tahu wasiat apa. Namun<br />jika itu tidak betul, aku mohon bisa meninggalkan tempat ini secepatnya. Selama berada<br />di sini banyak pelajaran baik yang telah kudapat. Aku sekali lagi mengucapkan terima<br />kasih….”<br />Ratu Duyung letakkan cermin bulatnya di pangkuan lalu berkata. “Sewaktu<br />sobatmu Dewa Ketawa berada di sini, kami sudah mengetahui kalau kau membekal satu<br />tugas besar dan berat. Mencari sebuah kitab sakti bernama Kitab Putih Wasiat Dewa….”<br />Wiro mengangguk. “Bagaimana Ratu bisa mengetahui. Padahal Ratu jarang sekali<br />meninggalkan tempat ini….”<br />Ratu Duyung mengambil cermin bundar di pangkuannya. “Hampir semua yang<br />terjadi di luaran, dalam kejauhan tertentu bisa kupantau lewat cermin sakti ini. Waktu<br />kau masih di pantai, sibuk mencari perahu tumpangan, aku dan Dewa Ketawa sudah<br />melihat gerak gerikmu lewat cermin ini….”<br />Pendekar 212 Wiro Sableng jadi ternganga saking herannya mendengar<br />keterangan itu. Matanya memandang tak berkesip pada cermin yang ada di tangan sang<br />Ratu.<br />“Kalau begitu….” Wiro garuk garuk kepalanya.<br />“Aku tahu apa lanjutan ucapanmu Pendekar 212. Kau pasti menduga aku<br />mengetahui dimana beradanya Kitab Putih Wasiat Dewa itu…..”<br />“Betul sekali! Dapatkah kau melihat ke dalam cermin dan memberi tahu<br />padaku?”<br />“Banyak hal bisa dilihat lewat cermin ini. Tapi betapapun hebatnya sebagai<br />benda fana cermin ini tetap memiliki keterbatasan. Cermin ini tidak mampu mengetahui<br />dimana beradanya Kitab Putih Wasiat Dewa….”<br />Wiro Sableng menarik napas dalam. Wajahnya tampak kecewa.<br />“Jangan lekas putus asa Pendekar 212. Cerminku memang tidak bisa mengetahui<br />langsung. Ini disebabkan karena Kitab Putih Wasiat Dewa itu bukan sembarangan.<br />Kekuatannya yang dahsyat membuat cermin saktiku tidak mampu melakukan sambung<br />getar secara sempurna. Namun secara tersamar dimana kemungkinan beradanya kitab<br />itu. Selain itu jauh sebelum kau dan kawanmu Dewa Ketawa datang kemari aku sudah<br />mengetahui sedikit cerita tentang asal muasal kitab itu….”<br />Wiro ingat pada penjelasan Ratu Duyung pada hari pertama dia berada di<br />tempat itu. “Aku ingat, pada hari pertama aku di sini Dewa Ketawa mengatakan kalau<br />Kitab Putih Wasiat Dewa itu berasal dari daratan Tiongkok. Apa betul….?”<br />Ratu Duyung mengangguk.<br />“Berarti apapun yang tertulis dalam kitab itu dalm huruf cina? Wah… Bagaimana<br />mungkin aku bisa membacanya!” ujar Wiro seraya garuk garuk kepala.<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />“Pendekar 212, melihat kitab itu saja kau belum. Tahupun beradanya dimana<br />kau belum! Mengapa sudah memikir segala macam isinya?” ujar Ratu Duyung pula.<br />“Kalau tidak dipikirkan dari sekarang, seandainya aku nanti dapatkan kitab itu<br />percuma saja. Atau kau mungkin bisa membaca menjadi juru bahasaku?”<br />Ratu Duyung tersenyum.<br />“Hemmm…senyum itu membuat wajahnya tambah cantik. Tapi menurutku<br />Bidadari Angin Timur jauh lebih cantik….”<br />“Pendekar 212, agar jelas bagimu biar aku ceritakan asal usul yang kuketahui<br />mengenai buku itu,” kata Ratu Duyung. Lalu sang Ratu menuturkan.<br />Sekitar satu abad yang silam seorang sakti di tanah Jawa diundang oleh Raja<br />Tiongkok untuk berkunjung ke daratan Cina. Selain menjalin persahabatan juga<br />direncanakan untuk saling tukar ilmu kepandaian. Orang sakti itu konon dipanggil<br />dengan sebutan Kanjeng Sri Ageng Musalamat. Entah apa sebabnya Sri Ageng<br />Musalamat dan rombongan tak pernah ke tanah Jawa. Kabarnya dia bermukim di<br />Tiongkok, kawin dengan penduduk setempat dan menjadi salah seorang tokoh silat<br />sangat disegani.<br />Karena ilmunya yang tinggi maka Kaisar sering meminta bantuan Sri Ageng<br />Musalamat termasuk para anak buah perguruannya, terutama dalam menumpas<br />gerombolan penjahat yang bertebaran hampir di setiap pelosok pada masa itu.<br />Hubungannya yang dekat dengan Kaisar membuat banyak pejabat tinggi merasa<br />iri dengki terhadap Sri Ageng Musalamat. Maka disusunlah satu rencana busuk. Dengan<br />menggunakan surat surat palsu Sri Ageng Musalamat difitnah berkomplot membantu<br />kaum pemberontak bangsa Mongol untuk menumbangkan Kaisar Tiongkok yang<br />berkuasa. Kaisar marah besar. Sri Ageng Musalamat ditangkap dan dijatuhi hukuman<br />pancung. Anak buah dan murid muridnya ditumpas habis.<br />“Namun ada seorang yang selamat,” kata Ratu Duyung melanjutkan<br />penuturannya. “Orang ini bernama Ki Hok Kui. Pada waktu itu meski baru berusia sekitar<br />tiga puluh tapi boleh dikatakan dia sudah mewarisi hampir seluruh kepandaian Kanjeng<br />Sri Ageng Musalamat. Rimba persilatan Tiongkok memberinya gelar hebat yaitu Tiat<br />Thow Houw yang berarti Harimau Kepala Besi. Pada waktu Sri Ageng Musalamat dan<br />para murid serta anak buahnya yang ratusan jumlahnya dibantai, Ki Kok Kui sedang<br />mengadakan perjalanan di daratan timur Tiongkok. Ketika orang orang yang dengki itu<br />mengetahui Ki Kok Kui masih hidup, mereka merasa sangat khawatir kalau kalau satu<br />satunya anak murid Sri Ageng Musalamat ini akan melakukan balas dendam. Selain itu<br />orang orang tersebut juga kasak kusuk mencari sebuah kitab sakti milik Sri Ageng<br />Musalamat yang tidak berhasil ditemukan. Kitab itu adalah Kitab Putih Wasiat Dewa,<br />sebuah kitab berisi ilmu langka hampir tanpa tandingan. Orang orang itu sama<br />memastikan bahwa kitab itu berada di tangan Ki Hok Kui. Maka satu rombongan besar<br />dikirim ke timur untuk mencarinya. Ki Hok Kui alias Harimau Kepala Besi dihadang di<br />dekat Nanchang. Namun berkat pertolongan seorang sahabat dia berhasil meloloskan<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />diri lewat anak sungai Yang Tse Kiang dan menghilang di pantai timur Tiongkok sekitar<br />Seochow….”<br />“Berarti kitab ilmu sakti masih berada di daratan Tiongkok,” ujar Wiro sambil<br />manatap tajam pada Ratu Duyung.<br />Sang Ratu menggeleng.<br />“Seperti aku ceritakan tadi Harimau Kepala Besi Ki Hok Kui adalah murid<br />kesayangan Sri Ageng Musalamat, merupakan murid paling pandai dan mewarisi hampir<br />semua ilmunya. Disamping itu dari sang guru di juga belajar bahasa Jawa kuno. Karena<br />itu dia mampu membaca isi Kitab Putih Wasiat Dewa….”<br />“Jadi, kitab sakti itu ditulis dalam bahasa Jawa kuno?” tanya Wiro ingin<br />menegaskan.<br />“Betul sekali,” jawab Ratu Duyung.<br />“Lalu apa betul kitab itu ada di tangan si Harimau Kepala besi?” tanya Wiro lagi.<br />“Rupanya Kanjeng Sri Ageng Musalamat seolah punya firasat bahwa satu<br />malapetaka besar akan terjadi atas dirinya, keluarga serta anak buah dan anak murid<br />perguruannya. Maka tanpa ada orang lain yang tahu Kitab Putih Wasiat Dewa<br />diserahkannya pada Tiat Thow Houw alias Harimau Kepala Besi….”<br />“Berarti orang ini sudah membaca isinya dan mempelajarinya!” ujar Wiro.<br />“Hal itu tidak bisa dipastikan. Yang jelas selama dia memegang kitab sakti itu dia<br />selalu diburu oleh orang orang Kaisar yang jahat….” jawab Ratu Duyung, lalu<br />meneruskan . “Suatu hari sahabat yang pernah menolong Ki Hok Kui melarikan diri<br />tertangkap. Setelah disiksa akhirnya dia memberi tahu dimana bersembunyinya murid<br />Sri Ageng Musalamat itu. Si sahabat kemudian dibunuh secara keji. Tempat<br />persembunyian Ki Hok Kui digerebek. Terjadi pertempuran hebat. Kabarnya sebelum<br />berhasil meloloskan diri Harimau Kepala Besi berhasil membunuh perwira tinggi<br />pemimpin pasukan pengejar itu. Ikut tewas dua orang tokoh silat serta beberapa orang<br />prajurit. Orang orang Kaisar marah besar. Bala bantuan didatangkan. Sementara Ki Hok<br />Kui melarikan diri menuju muara sungai. Dari sini dengan sebuah jukung dia mengarungi<br />lautan luas. Tujuannya hanya satu menuju tanah Jawa. Sulit dipercaya hanya dengan<br />sebuah perahu kecil Ki Hok Kui mampu mengarungi samudera luas dengan membawa<br />satu benda sangat berharga. Rupanya orang orang Kaisar berhati culas masih belum<br />puas. Mereka terus menyelidik. Beberapa hari kemudian mereka berhasil mengetahui<br />bahwa Ki Hok Kui telah kabur dengan sebuah jukung. Satu kapal kayu besar disiapkan<br />untuk mengejar. Karena dia bukan seorang pelaut maka Ki Hok Kui tidak pernah<br />mencapai pantai utara pulau Jawa tempat kelahiran gurunya tapi justru tersesat ke<br />pantai selatan. Dekat sebuah pulau orang orang Kaisar berhasil mengejarnya. Setelah<br />terjadi perkelahian hebat dan perahu kecilnya tenggelam Ki Hok Kui berenang ke<br />daratan pulau terdekat. Orang orang Kaisar terus memburu. Entah apa yang terjadi Ki<br />Hok Kui kemudian lenyap di pulau itu….”<br />Mungkin dia terbunuh dan Kitab Wasiat itu dirampas oleh orang orang Kaisar?”<br />ujar Wiro.<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />“Tidak ada petunjuk yang menunjang dugaan itu. Kabarnya orang orang Kaisar<br />kembali dengan kecewa besar. Mereka tidak menemukan Ki Hok Kui, juga kitab sakti<br />yang diburu buru. Ki Hok Kui sendiri tidak pernah terdengar kabar beritanya lagi….”<br />Wiro termenung sesaat. Dia ingat pada buku lilin yang ada di ruangan besar.<br />“Lalu apa hubungan buku lilin yang ada di tempatmu ini dengan kitab yang asli?”<br />bertanya Wiro.<br />“Aku pernah mendapat mimpi, melihat kitab itu. Walaupun samar samar aku<br />berusaha membuatnya. Siapa tahu aku berjodoh dengan kitab itu walau aku tidak<br />menginginkannya….”<br />“Susah juga mencari kitab wasiat itu…” kata Wiro sambil garuk garuk kepala.<br />“Ratu, apa kau tidak punya petunjuk lain yang bisa menolong? Aku ditugaskan oleh tiga<br />tokoh silat tanah Jawa untuk mendapatkan buku itu karena kabarnya ada satu kitab<br />tandingan bernama Kitab Wasiat iblis yang jika jatuh ke tangan orang jahat pasti dia<br />akan menguasai dunia persilatan dengan semena mena. Hanya Kitab Putih Wasiat Dewa<br />yang agaknya mampu menghadapi Kitab Wasiat Iblis itu….”<br />“Aku akan coba melihat mundur pada hari hari sebelum kau muncul dan<br />menjelang kedatanganmu ke sini,” jawab Ratu Duyung. Lalu diambilnya cermin sakti<br />yang ada di pangkuannya.<br />*<br />* *<br />SEPULUH<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />Ratu Duyung menatap paras Pnedekar 212 sesaat lalu berkata. “Aku akan<br />melihat ke dalam kaca sakti dan mengatakan apa yang aku lihat. Selama aku melakukan<br />itu jangan sekali kali mengeluarkan suara atau bertanya. Kau mengerti Pendekar 212?”<br />Wiro anggukkan kepala.<br />Sang Ratu memandang ke dalam cermin bulat. Perlahan lahan sepasang<br />matanya yang biru bagus dipejamkan.<br />“Ini aneh lagi…” membatin Wiro yang memperhatikan. “Yang namanya melihat<br />itu dua mata mustinya dibuka lebar lebar, dia justru pejamkan ke dua matanya!”<br />“Aku melihat sebuah bukit di luar Kartosuro…” mulut sang Ratu terbuka dan<br />ucapan itu meluncur dari mulutnya. “Ada dua orang bermuka iblis di dekat sumur.<br />Tampaknya mereka sengaja berjaga jaga….”<br />“Itu pasti Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan!” kata Wiro dalam hati.<br />“Orang ke tiga muncul. Tinggi tegap, berwajah gagah tapi congkak. Dia<br />mengenakan mantel hitam. Mereka bercakap cakap…. Ah, terjadi perkelahian. Dua<br />lawan satu….”<br />“Orang tinggi tegap… berwajah congkak. Mengenakan mantel hitam…. Siapa lagi<br />kalau bukan….”<br />“Orang yang barusan datang menyibakkan bagian depan mantelnya. Aku<br />melihat… aku melihat ada gambar gunung dan matahari pada bagian dada bajunya….”<br />Dugaanku tidak meleset! Manusia itu ternyata memang benar anjing jahanam<br />berjuluk Pangeran Matahari!” Wiro kepalkan ke dua tinjunya lalu pasang telinga<br />mendengarkan kelanjutan keterangan Ratu Duyung.<br />“Ada kepulan asap. Ada tiga sosok raksasa keluar dari kepala salah seorang<br />pengeroyok. Orang bermantel terdesak hebat. Hampir celaka…. Tapi tidak. Dia berhasil<br />menotok tubuh lawan. Lalu…. Orang bermantel masuk ke dalam sumur….” Sampai di sini<br />Ratu Duyung berhenti berucap. Lama Wiro menunggu hampir hampir dia tak sabaran<br />membuka mulut hendak bertanya. Namun sesaat kemudian tampak bibir merah sang<br />Ratu membuka.<br />“Muncul seorang nenek berjubah kuning yang mukanya dirias tak karuan.<br />Perempuan ini melepaskan totokan dua orang di tepi sumur. Sekarang muncul kembali<br />orang bermantel. Dia keluar dari dalam sumur. Terjadi keributan. Si nenek menyerang<br />orang bermantel. Dari dada orang bermantel melesat satu cahaya angker berwarna<br />hitam. Tubuh si nenek mencelat. Tergelimpang di tanah. Tewas mengerikan dengan<br />tubuh jadi tulang belulang hangus gosong!”<br />“Tidak salah dugaan para tokoh!” kata Pendekar 212 dalam hati. “Kitab Wasiat<br />Iblis telah dikuasai oleh Pangeran Matahari!” Wiro menarik napas dalam dan melihat<br />sepasang mata biru Ratu Duyung terbuka. Wajahnya yang cantik keringatan. Dia<br />mengeluarkan sehelai sapu tangan lalu menyeka keringat pada bagian kening bawah<br />mata serta dagu.<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />“Ratu, turut keteranganmu Kitab Wasiat Iblis sudah dikuasai oleh Pangeran<br />Matahari dari Gunung Merapi….”<br />Ratu Duyung mengangguk. “Apa yang bisa kulihat dalam cermin sakti masih<br />berlanjut. Kau masih ingin mendengarkan?”<br />“Tentu saja Ratu. Tapi jika kau merasa capai silahkan istirahat. Aku akan<br />menunggu….”<br />Ratu Dutung tersenyum. Dia pejamkan ke dua matanya kembali. “Tampak<br />sebuah telaga. Ada seorang dara berpakaian biru. Aku juga melihat kau berada di<br />tempat itu Pendekar 212….”<br />Murid Sinto Gendeng sampai bangkit dari kursinya saking terkejutnya. “Celaka….<br />Jika dia melihat semuanya dan membeberkan….” Wajah murid Sinto Gendeng ini<br />berubah dan tangannya menggaruk kepala berkali kali!<br />“Ada yang tidak beres…. Cermin sakti mengalami kesulitan. Keadaan sekitar<br />telaga terlihat sangat samar….”<br />Wiro merasa lega dan duduk kembali ke kursi batu. Ratu Duyung membuka ke<br />dua matanya, menatap ke arah Wiro. Sepertinya ada seberkas cahaya keluar dari dua<br />bola mata biru perempuan muda yang cantik jelita itu. “Gadis berbaju biru di telaga….’<br />ujar sang Ratu. “Apakah dia yang kau panggil dengan sebutan Bidadari Angin Timur<br />waktu kau melamun tadi…?”<br />Wiro tak menjawab. Kalau sang Ratu sudah tahu apa gunanya menjawab, begitu<br />murid Sinto Gendeng berfikir.<br />“Apa hubunganmu dengan gadis itu Pendekar 212?” bertanya Ratu Duyung.<br />“Eh nada suaranya seperti cemburu…” membatin Pendekar 212.<br />“Kalau kau tak mau menjawab tak jadi apa. Aku akan meneruskan melihat ke<br />dalam cermin sakti.” Ratu Duyung arahkan pandangannya pada cermin yang<br />dipegangnya. Begitu dia memejamkan mata maka kembali mulutnya menutur.<br />“Pendekar 212, kau terlihat di dekat sumur di lereng bukit bersama gadis cantik<br />berpakaian biru itu.. Seseuatu terjadi. Dalam keadaan tertotok….”<br />Apa yang dikatakan Ratu Duyung selanjutnya tidak begitu diperhatikan Wiro<br />karena dia yang mengalami dan tahu sendiri apa yang terjadi selanjutnya. Dia baru<br />tersentak ketike mendengar ucapan sang Ratu selanjutnya. “Aku melihat puncak sebuah<br />gunung. Ada bayangan seseorang di pintu sebuah bangunan. Ternyata lelaki bermantel<br />itu. Dua orang mendatanginya. Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan. Dua orang ini<br />menyerahkan sesuatu pada orang bermantel. Yang satu berbentuk hitam pekat, tak<br />jelas apa adanya. Namun yang satu lagi sebuah senjata bermata dua yang memancarkan<br />sinar berkilauan. Ah…. Sebuah kapak…….”<br />Pendekar 212 setengah terlompat dari duduknya. Kalau tidak lekas menguasai<br />dirinya hampir saja dia memukul lengan kursi batu yang didudukinya. Sambil<br />mengepalkan tinju murid Sinto Gendeng menyumpah dengan suara ditekan. “Jahanam!<br />Dua senjata mustika milikku diserahkannya pada manusia keparat itu! Kapak Maut Naga<br />Geni 212 dan pasangannya batu hitam ternyata berada di tangan Pangeran Matahari<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />musuh besarku! Benar benar kurang ajar!” Wiro melangkah mundar mandir di ruangan<br />itu sampai dia mendengar suara Ratu Duyung menegur.<br />“Pendekar 212, apakah kau masih ingin mengetahui kelanjutan penglihatanku<br />lewat cermin atau kita sudahi saja semua ini?”<br />“Maafkan aku Ratu Duyung! Aku sangat terkejut dan tidak mnenyangka kalau<br />dua senjata mustika milikku kini jatuh ke tangan Pangeran Matahari musuh besarku<br />sejak bertahun tahun silam… Dua manusia setan alas itu ternyata adalah kaki tangan<br />Pangeran Matahari!” Wiro mengusap wajahnya. Setelah dia duduk ke kursi batu baru<br />Ratu Duyung pejamkan mata dan melihat kembali ke dalam cermin saktinya.<br />“Gadis berbaju biru tawanan Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan berhasil<br />meloloskan diri setelah menghajar Elang Setan sampai babak belur….Hemmmm…..<br />cerminku kehilangan sambungan getar. Aku tak dapat melihat apa apa. Tunggu dulu….<br />Aku melihat laut. Ada sebuah perahu putih. Kau berada di atasnya bersama seorang<br />lelaki korengan, pakai caping dan mukanya ditutup dengan cadar. Kurasa tak perlu<br />kulanjutkan karena kau tahu sendiri apa yang kemudian terjadi. Tapi tunggu….Aku<br />melihat ada sebuah perahu lagi. Melesat mendampingi perahu putihmu. Kau dalam<br />keadaan tak berdaya, terjepit tangan kanan pada lantai perahu. Hemmm….. Penumpang<br />perahu yang satu itu ternyata adalah gadismu si baju biru itu. Dia seperti mencari<br />carimu. Tapi wajahnya menunjukkan kegelisahan. Sayang dia tidak sempat mengetahui<br />kalau kau berada di perahu putih itu. Perahunya membelok dan menghilang di<br />kejauhan…”<br />Ratu Duyung membuka kedua matanya. Menatap Pendekar 212 sesaat lalu<br />berkata. “Hanya itu yang bisa kulihat melalui cermin saktiku……”<br />“Ratu… Apa yang kau lihat sama sekali tidak memberi petunjuk dimana<br />beradanya Kitab Putih Wasiat Dewa itu.” Kata Wiro pula.<br />“Pendekar 212, perlu kau ketahui apa yang terlihat di dalam cermin bisa saja<br />keliru karena betapapun saktinya benda ini selalu ada keterbatasan. Karenanya kita<br />perlu mengkaji ulang apa apa yang terlihat. Apakah kau mengenal oarang bercaping<br />yang berpenyakit kulit itu?”<br />“Orang itu berkepandaian sangat tinggi. Sikapnya aneh penuh rahasia tapi jahat<br />sekali. Nelayan di pantai menyebutnya dengan panggilan Makhluk Pembawa Bala. Sulit<br />kuduga siapa dia adanya. Jangan jangan salah seorang kaki tangan Pangeran Matahari<br />pula. Tadinya aku mengharapkan dia akan membawa aku ke pulau tujuan dimana aku<br />bisa bertemu dengan seorang sakti bergelar Raja Obat Delapan Penjuru Angin. Ternyata<br />dia mencelakai diriku di tengah laut. Aku berterima kasih padamu yang telah<br />menolong…”<br />“Selama ini sering terlihat di cermin manusia itu malang melintang di lautan.<br />Anak buahku berulang kali melakukan penyelidikan namun masih belum bisa<br />mengetahui siapa adanya makhluk satu itu. Katamu kau mencari Raja Obat Delapan<br />Penjuru Angin. Mengapa…?”<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />“Menurut para tokoh yang memberi tugas padaku, dia mengetahui dimana<br />beradanya Kitab Putih Wasiat Dewa itu…. Dia diam di salah satu pulau sekitar sini.”<br />“Dugaan itu mungkin betul. Aku pernah bertemu satu kali dengannya. Singkat<br />sekali. Dia berusaha mengobatiku tapi tidak mampu….”<br />“Hemmm…. Memangnya kau punya penyakit apa?” tanya Wiro.<br />Lama Ratu Duyung berdiam diri, tidak menjawab.<br />“Kalau kau tak mau menjawab tak apa. Tapi apa kau bisa memberi petunjuk<br />dimana kira kira letak pulau kediaman Raja Obat itu…?”<br />Ratu Duyung memandang ke langit langit ruangan. Lalu dia berpaling pada<br />cermin yang dipegangnya. “Akan kucoba…” katanya seraya memejamkan mata. Lama<br />sekali baru perempuan bermata biru ini berkata.<br />“Aku melihat samudera luas. Kosong… Ada satu titik hitam di sebelah<br />tenggara…” Ratu Duyung membayangkan wajah Raja Obat Delapan Penjuru Angin. Titik<br />hitam dalam cermin berkedap kedip. Matanya dipejamkan lebih rapat. “Ada warna<br />merah. Buki… gunung… batu… batu….” Dada sang Ratu kelihatan berguncang. Dia<br />seperti berusaha menahan satu kekuatan yang menghadang pandangannya. Tapi tak<br />sanggup. Perlahan lahan perempuan ini buka sepasang matanya dan menatap Wiro.<br />“Tak bisa kulihat lebih rinci…. Ada satu daya tolak yang hebat. Bukan berasal dari<br />si Raja Obat, tapi dari beberapa kekuatan yang datang dari luar. Ada kekuatan yang tak<br />ingin aku mengetahui letak pasti pulau itu. Namun dari penglihatan yang terbatas aku<br />bisa menduga duga. Pulau itu terletak jauh di sebelah tenggara muara Kali Opak. Berarti<br />di sebelah timur dari tempat kita berada saat ini. Pulau itu tidak berpenghuni karena tak<br />ada yang tumbuh di sana kecuali bukit dan gunung batu berwarna merah…..Hanya itu<br />yang bisa kuberi tahu…..”<br />“Terima kasih Ratu Duyung. Terima kasih banyak. Apa yang kau jelaskan bisa<br />kujadikan pegangan untuk mengarungi laut selatan mencari pulau tempat kediaman<br />Raja Obat itu….” Wiro diam sebentar.<br />“Apa yang ada dalam pikiranmu Pendekar 212?” tanya sang Ratu.<br />“Sebenarnya ada beberapa pertanyaan ingin aku sampaikan. Entah apakah kau<br />mau menjawab atau tidak…”<br />“Katakanlah…” ujar Ratu Duyung pula.<br />“Walau kau memberi penuturan tadi, sebagian tidak begitu kuperhatikan,<br />mohon dimaafkan. Kau pasti menuturkan tentang seorang gadis berpayung merah….”<br />“Ya, apa yang ingin kau ketahui...”<br />“Gadis itu berasal dari tanah seberang. Punya tugas yang sama dengan tugasku<br />yakni mencari Kitab Putih Wasiat Dewa…”<br />“Kau merasa bersahabat dengan dia?” tanya Ratu Duyung.<br />“Aku berhutang budi dan berhutang nyawa padanya. Tapi cepat atau lambat dia<br />akan membunuhku…”<br />“Bagaimana kau tahu?” tanya Ratu Duyung.<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />Wiro lalu ceritakan tentang surat aneh yang dibawa Puti Andini. Mendengar itu<br />Ratu Duyung termenung. Lalu dengan suara perlahan dia berkata. “Dia bisa jadi sahabat<br />sejati tapi juga bisa jadi musuhmu paling berbahaya kelak. Yang jelas saat ini aku punya<br />firasat dia salah satu yang menimbulkan kekuatan penolak hingga tadi aku tidak mampu<br />melihat lebih jelas dalam cermin sakti…. Tapi sekali lagi kukatakan apa yang kuberitahu<br />bisa saja salah….Karena….” Ratu Duyung tidak meneruskan ucapannya.<br />“Karena apa Ratu?” tanya Wiro.<br />“Karena aku juga punya firasat dia telah jatuh cinta padamu pada pandangan<br />pertama…. Tapi kau kurang perhatian karena hatimu telah direbut oleh gadis bernama<br />Bidadari Angin Timur itu….”<br />*<br />* *<br />SEBELAS<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />Wajah murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede menjadi merah seperti saga.<br />Dalam duduk diam di atas kursi batu dan memandang dengan mata besar pada wajah<br />cantik Ratu Duyung di hadapannya.<br />“Apakah ada pertanyaan lain yang ingin kau ajukan?” Ratu Duyung tiba tiba<br />bertanya..<br />Wiro merasa lega sedikit. Sang Ratu rupanya tidak ingin memperpanjang<br />pembicaraan tadi. “Memang ada Ratu,” jawab Wiro. “Seperti kau ketahui Tiga Bayangan<br />Setan memiliki ilmu kebal yang tak memungkinkan dia dibunuh dengan cara apa pun…”<br />“Dia memang tidak mempan pukulan sakti dan senjata tajam. Semua itu datang<br />dari luar. Tapi kematian yang datang dari dalam tetap tak bisa diledakkannya. Dia tidak<br />kebal terhadap racun. Turut penglihatanku lewat cermin tadi, baik Tiga Bayangan Setan<br />maupun temannya Elang Setan mengidap sejenis racun mematikan secara perlahan<br />dalam tubuh masing masing. Mereka akan menemui ajal sekitar dua ratus hari dimuka<br />jika tak berhasil mendapatkan obat penawar…”<br />“Ratu, aku benar benar kagum dengan kemampuanmu melihat sejauh itu,”<br />memuji Wiro. “Tapi rasanya aku tak bisa menunggu sampai sekian lama, membiarkan<br />mereka mati sendiri. Mereka merampas dua senjata mustikaku. Mereka diketahui pula<br />kai tangan Pengeran Matahari. Mereka akan membunuhku begitu bertemu! Elang Setan<br />tidak aku khawatirkan,. Tapi Tiga Bayangan Setan jadi momok nomor satu saat ini. Aku<br />harus mengetahui kelemahan ilmunya. Gadis berpayung tujuh itu pernah memberi tahu<br />bahwa seorang pemabuk bernama Iblis Pemabuk mengetahui pasti kelemahan Tiga<br />Bayangan Setan….. Apakah kau bisa melihat ke dalam cermin untuk mengetahui dimana<br />aku bisa menemui orang ini?”<br />“Kau percaya begitu saja pada keterangan gadis itu?” tanya Ratu Duyung.<br />Pendekar 212 tidak bisa menjawab.<br />Ratu Duyung tersenyum lalu jentikkan jari telunjuk tangan kanannya ke ibu jari.<br />Suara jentikan menggema keras dalam ruangan itu. Tirai biru di sebelah kanan<br />tersingkap. Seorang anak buah Ratu Duyung muncul.<br />“Aneh, tadi aku setangh mati mencari jalan atau pintu keluar ruangan ini.<br />Ternyata ada di sebelah sana….”<br />“Saya menunggu perintah…” kata gadis yang baru muncul seraya membungkuk.<br />“Bawa kemari tamu kita yang datang malam tadi…” berkata Ratu Duyung.<br />Gadis berpakaian hitam mengangguk lalu menyelinap ke balik tirai biru kembali.<br />Saking percayanya Wiro berdiri dari kursi batu lalu membuka tirai di bagian tadi si gadis<br />menghilang. Tembok batu! Dia sama sekali tidak melihat pintu atau apa kecuali tembok<br />batu! Wiro kembali ke kursinya sambil garuk garuk kepala.<br />Ratu Duyung tertawa perlahan. “Apa yang kau lihat, Wiro?” tanya sang Ratu.<br />“Dinding batu!” jawab murid Sinto Gendeng.<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />“Kau pernah mendengar ujar ujaratau petuah yang mengatakan bahwa apa<br />yang terlihat mata telanjang belum tentu seperti itu kenyataannya?”<br />“Ya, aku pernah mendengar orang pandai berkata seperti itu…”<br />“Kau melihat batu tapi apakah kau pernah membuktikan kalau itu pernah<br />membuktikan kalau itu benar benar batu? Coba kau singkapkan lagi tirai biru di bagian<br />mana saja kau suka. Jika kau melihat batu coba kau sorongkan tubuhmu ke depan. Lihat<br />nanti apa yang terjadi….”<br />Wiro pandangi wajah sang Ratu dengan mimik tak percaya. Lalu dia berdiri,<br />melangkah ke dinding ruangan sebelah kiri. Dengan tangan kanannya dia<br />menyingkapkan tirai biru tebal. Dinding batu kelihatan di depannya. Seperti dikatakan<br />Ratu Duyung Wiro selalu maju menabrak dinding batu itu.<br />Astaga! Ternyata tubuhnya lewat begitu saja seperti menerobos udara kosong.<br />Sesaat kemudian tahu tahu dia sudah berada di depan satu pedataran berumput.<br />“Aneh! Benar benar aneh!” kata Wiro sambil memutar tubuh. Kembali dia<br />melangkah menabrakkan diri ke dinding batu. Tubuhnya lewat dan kini dia sampai<br />kembali ke dalam rauang semula!<br />“Bagaimana…?” tanya Ratu Duyung.<br />“Aku banyak mendapat pelajaran bagus darimu Ratu Duyung…” jawab Wiro<br />seraya duduk kembali ke kurai batu. Tiba tiba dia mendongakkan kepala. Hidungnya<br />bergerak gerak.<br />“Ada apa?” tanya Ratu Duyung.<br />“Aku mencium bau minuman keras. Keras Sekali. Mungkin tuak atau air ketan….”<br />Ratu Duyung cuma tersenyum mendengar kata kata itu. Sesaat kemudian tirai<br />biru di samping kanan terbuka. Empat orang gadis berpakaian ketat hitam muncul<br />mendampingi seorang laki lakigemuk pendek berwajah seperti dedemit. Pada cuping<br />hidungnya sebelah kiri melingkar sebuah anting bulat terbuat dari akar bahar. Orang ini<br />hanya mengenakan celana komprang hitam. Muka dan tubuhnya berwarna merah.<br />Sekujur badannya mulai dari kepala sampai ke kaki yang tak berkasut menghamparkan<br />bau minuman keras. Pada ikat pinggang besarnya tergantung selusin kendi. Di tangan<br />kanan dia memegang sebuah kendi yang setiap saat disorongkannya ke mulutnya.<br />“Gluk…gluk… gluk!” Dia meneguk lahap minuman keras yang ada dalam kendi itu. Lalu<br />dari mulutnya keluar suara antara orang menyanyi dan orang meracau. Tubuhnya<br />bergoyang goyang seperti mau rubuh! Wiro memperhatikan empat gadis yang datang<br />bersama si gemuk muka setan ini membawa masing masing enam buah kendi berisi<br />tuak.<br />“Sobatku tamuku agung, coba terangkan siapa dirimu pada tamu muda ini…”<br />berkata Ratu Duyung.<br />Seolah sadar si gemuk itu turunkan kendi dari mulutnya.”Astaga, kukira aku<br />masih berada di sorga! Rupanya sudah turun ke bumi! Ha..ha..ha…!” Sepasang mata si<br />gemuk berputar putar. Tubuhnya oleng ke kiri, menghuyung ke kanan.<br />“Tuan rumah Ratu Duyung, siapa yang kepingin tahu diriku yang jelek ini?”<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />Ratu Duyung anggukan kepala pada Wiro.<br />Murid Sinto Gendeng segera membuka mulut.”Namaku Wiro Sableng. Aku yang<br />ingin tahu siapa adanya dirimu kalau kau tidak keberatan…”<br />“Ha… ha… ha….! Wiro Sableng! Tak pernah ku dengar nama itu sebelumnya.<br />Kalau Cuma pada seorang kurcaci jalek mengapa aku harus menyembunyikan siapa<br />diriku. Tapi tunggu dulu! Aku mau mabok dulu!” Si gemuk lalu tenggak lagi minuman<br />keras dalam kendi yang dipegangnya sampai habis. Begitu habis dia memaki. “Sialan!<br />Bagaimana aku bisa mabok kalau Cuma minum sedikit?!” Lalu! Wiro ternganga. Seperti<br />menyantap kerupuk enak saja si gendut itu melahap kendi tanah itu, mengunyah dan<br />menelannya sampai habis! Wiro jadi leletkan lidah dibuatnya.<br />Selesai menghabiskan kendi tanah itu si gemuk bermuka setan ambil sebuah<br />kendi yang tergantung di pinggangnya lalu meneguk isinya sampai setengah.”Nah, ini<br />baru sedap. Aku sudah mabok! Ha… ha… ha….!” Tubuhnya kembali menghuyung tak<br />karuan.<br />“Ratu Duyung, apakah kurcaci jelek yang tadi menanyakan siapa diriku masih ada<br />di tempat ini?” Sepasang mata si gemuk pendek berputar putar liar. Tangan kirinya<br />mengusap usap perutnya yang buncit.<br />“Benar tamuku agung! Kurcaci jelek itu masih ada di sini!” menjawab Ratu<br />Duyung.<br />Wiro pencongkan mulutnya karena dari tadi dia disebut sebagai kurcaci jelek.<br />“Kalau dia masih ada di sini tanyakan padanya apakah dia membawa nyawa<br />cadangan karena aku ingin meminta satu dari dua nyawanya itu. Aku tidak ingin<br />meminta satu dari dua nyawanya itu. Aku tidak serakah! Aku hanya minta satu saja…<br />Biar enak mabokku! Ha… ha… ha!”<br />Berubah paras Pendekar 212. Dia memandang pada Ratu Duyung tapi<br />perempuan cantik itu diam saja.<br />“Ratu Duyung, tuan rumahku mengapa kau tidak menjawab?!” Si gemuk<br />bertanya lalu teguk minuman keras dalam kendi.<br />Ratu Duyung memandang pada Wiro dan berkata. “Jawab pertanyaannya.<br />Nyawamu tergantung pada bagaimana jawabanmu! Salah menjawab berarti mati!<br />Jangan berharap bisa lolos!”<br />Wiro merasa tengkuknya sedingin es. Keringat memercik di keningnya. Dalam<br />hati dia berkata. “Orang gila harus dilayani gila. Orang mabok harus dilayani secara<br />mabok!”<br />Wiro melompat, menyambar sebuah kendi minuman keras yang dipegang salah<br />seorang anak buah Ratu Duyung lalu meneguknya hingga mengeluarkan suara keras.<br />Minuman keras itu menyengat mulut membakar tenggorokkannya.<br />“Tuanku besar raja kurcaci! Aku kurcaci jelek menemanimu mabok bersama!<br />Mabok barengan lebih asyik dari sendirian! Ha… ha… ha…!” teriak Wiro seraya acungkan<br />kendi minuman keras lalu huyungkan dirinya ke kiri dan ke kanan.<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />“Ah…. Apa aku yak salah dengar? Ada kurcaci jelek yang memanggilku tuan besar<br />raja kurcaci! Asyikk! Ayo teguk! Tenggak sampai ludas! Mabok bersama memang bagus!<br />Tapi mana nyawa cadanganmu yang aku minta!” teriak si gendut pendek bermuka<br />seram!<br />Wiro jadi tercekat. Tapi dasar gendeng dia tak kurang akal. Sambil tertawa haha<br />hihi kendi di tangan kanan dikocok hingga minuman keras muncrat ke udara. Begitu<br />minuman itu melayang jatuh Wiro buka mulutnya lebar lebar. “Gluk…gluk…gluk!”<br />Minuman keras amblas masuk ke dalam tenggorokannya. Melihat apa yang dilakukan<br />Wiro itu si gemuk pendek tertawa bergelak. Tapi sesaat kemudian tetap saja dia<br />berkata. “Ayo, jangan berani menipuku! Mana nyawa cadanganmu!”<br />“Tuanku besar raja kurcaci! Kau mabok asyik. Pasti lupa. Bukankah nyawa<br />cadanganku sudah kuberikan padamu malam tadi di pintu gerbang. Kau menyimpannya<br />di dalam kantong kulit ikat pinggang besar.”Mungkin benar aku lupa. Mungkin benar<br />sudah kusimpan….Eh, kurcaci jelek. Coba kau ambil dan perlihatkan nyawa cadanganmu<br />itu padaku!”<br />“Mampus aku!” ujar Wiro. “Apa yang harus aku lakukan?” Dia melirik pada Ratu<br />Duyung. Sang Ratu angkat bahu tak bisa menolong. Wiro garuk garuk kepalanya. Sambil<br />berpura pura terhuyung huyung Wiromelangkah mendekati si gemuk pendek. Dengan<br />tangan kirinya dibukakannya kantong kulit besar di ikat pinggang lalu tangan kiri itu<br />dikepalkan dan dimasukkan ke dalam kantong. Ketika tangan dikeluarkan masih dalam<br />keadaan terkepal.<br />“Tuanku besar raja diraja kurcaci! Nyawa cadangan sudah kuambil, ada dalam<br />genggamanku! Silahkan kau melihat sendiri!” Wiro lalu acungkan tangannya yang<br />mengepal seperti menggenggam sesuatu.<br />Dengan kepala bergoyang goyang tak karuan si gemuk ini perhatikan kepalan<br />tangan Wiro yang menggenggam. Lalu dia tertawa gelak gelak.<br />“Kurcaci jelek! Kau Betul! Aku sudah lihat nyawa itu. Hai! Lekas kau masukkan<br />kembali ke dalam kantong kulit! Aku khawatir nyawa itu nanti terbang!”<br />“Perintah tuanku besar raja diraja kurcaci aku ikuti!” kata Wiro lalu kepalannya<br />dimasukkan ke dalam kantong kulit.<br />“Bagus… bagus! Sekarang mari kita mabok lagi sama sama!” kata si gemuk<br />sambil teguk sisa minuman keras yang ada dalam kendi. Lalu seperti tadi kendi kosong<br />dari tanah itu dilahapnya seperti melahap krupuk garing!<br />Wiro menunggu sampai si pendek gemuk ini meneguk kendi ke tiga. Lalu diapun<br />bertanya. “Tuanku besar raja diraja kurcaci, aku kurcaci jelek minta budi baikmu untuk<br />memberi tahu siapa kau adanya!”<br />“Tentu… tentu, bukankah kita sekarang sudah jadi teman satu pemabokan?!<br />Ha…. Ha…. Ha…! Dengar baik baik, dekatkan ditelingamu padaku! Aku akan memberi<br />tahu siapa aku adanya!”<br />Wiro cepat cepat angsurkan kepalanya dan dekatkan telinga kanannya ke mulut<br />si gemuk pendek. Dia mendengar suara mendesis halus.<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />“Sudah kau dengar kurcaci jelek?!” tanya si gemuk lalu meneguk minuman<br />dalam kendi sampai berlelehan di dagu dan jatuh ke perutnya yang telanjang.<br />“Aku tidak mendengar apa apa!” kata Wiro.<br />“Kurcaci tolol! Aku memang belum mengatakan apa apa!” kata si gemuk lalu<br />tertawa mengekeh.<br />“Sial dangkalan!” maki Wiro dalam hati tapi terus pula tertawa gelak gelak.<br />“Kurcaci jelek, mari dekatkan lagi telingamu. Yang sebelah kiri saja. Yang kanan<br />baunya membuat aku mau muntah! Ha… ha… ha!” kata si gemuk pendek.<br />“Setan! Maki Wiro. Tapi dia angsurkan juga telinga kirinya.<br />“Namaku Iblis Pemabuk!” teriak si gemuk pendek.<br />Teriakan itu bukanj teriakan biasa. Demikian kerasnya hingga Wiro terpental dua<br />tombak. Kepalanya seperti meledak dan dari liang telinganya kelihatan darah mengucur.<br />Untuk beberapa lamanya Wiro terkapar di lantai ruangan, tak mampu bergerak.<br />Pendengarannya seolah tuli, bukan saja pada telinga kiri tapi juga pada telinga kanan!<br />“Eh, kurcaci jelek! Kau dimana…?!” teriak si gemuk pendek yang ternyata adalah<br />Iblis Pemabuk.<br />Walau pendegarannya terganggu tapi dari gerak mulut si gemuk Wiro dapat<br />menduga apa yang diucapkannya. Maka diapun menyahut. “Tuanku besar raja diraja<br />kurcaci! Aku kurcaci jelek ada di sini, mengeletak di lantai!”<br />“Walah! Lagi apa kau di sana?!” teriak Iblis Pemabuk.<br />“Lagi mabok!” teriak Wiro.<br />Iblis Pemabuk tertawa gelak gelak mendengar jawaban itu. Lalu dia melompat ke<br />hadapan Wiro. Minuman keras di dalam kendi diguyurkannya ke telinga kiri murid Sinto<br />Dendeng. “Minumlah yang banyak biar tambah asyik mabokmu!” katanya.<br />Wiro merasa telinganya sperti disengat kalajengking. Dia cepat berdiri. Karena<br />berdiri minuman keras yang masuk ke dalam telinga kiri kini mengalir keuar. Dan<br />terjadilah hal yang aneh. Telinga yang sakit tuli itu sembuh kembali! Darahnyapun<br />lenyap tidak berbekas. Pendegaran Wiro pulih kiri kanan.<br />“Manusia gila aneh tapi punya kepandaian yang sulit kujajagi!” kata Wiro<br />memaki dalam hati tapi juga kagum.<br />“Ratu Duyung tuan rumahku, panas sekali udara di sini. Apa aku bisa minta<br />tolong agar anak buahmu mengantarkan aku keluar?” tiba tiba Iblis Pemabuk berkata<br />setelah meneguk sampai sepertiga isi kendi yang dipegangnya.<br />“Tuanku besar raja diraja kurcaci, tunggu dulu! Aku kurcaci jelek masih ada satu<br />pertanyaan. Kalau kau tak menjawab besok besok aku tak akan menemanimu mabok<br />mabokan lagi!”<br />“Dasar kurcaci geblek! Lekas bilang apa kau mau tanya!” bentak Iblis Pemabuk<br />lalu bantingkan kendi yang masih banyak isinya itu ke lantai hingga pecah dan minuman<br />keras di dalamnya membasahi lantai.” Astaga! Apa yang aku lakukan?!” seru Iblis<br />Pemabuk seolah sadar dan menyesal. Lalu dia membuka mulutnya lebar lebar.<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />Minuman keras yang tergenang di lantai laksana disedot melesat ke dalam mulutnya<br />hingga lantai menjadi kering!<br />Wiro leletkan lidah melihat kejadian itu.<br />“Tuanku besar raja diraja kurcaci! Aku mau tanya begini! Ada manusia jahat<br />berjuluk Tiga Bayangan Setan. Kebal pukulan sakti kebal senjata tajam! Dia memiliki ilmu<br />hitam yang dapat mengeluarkan tiga raksasa jejadian! Kalau dia dibiarkan hidup dunia<br />persilatan bisa kacau balau! Aku minta petunjukmu. Tolong beri tahu aku dimana letak<br />kelemahannya!”<br />“Tiga Bayangan Setan….?” Sepasang mata Iblis Pemabuk berputar liar. Lalu dia<br />tertawa gelak gelak. “Gelas angker tapi tak masuk akal. Yang ada bayangannya itu cuma<br />manusia! Setan mana ada bayangannya! Tiga sekaligus! Buset sompret! Tidak masuk<br />akal!” Iblis Pemabuk tertawa mengekeh sampai kedua matanya basah. “Tapi dengar,<br />aku akan menjawab pertanyaanmu. Dengar baik baik apa yang aku ucapkan. Tepat<br />tengah hari bolong! Pilih yang di tengah!”<br />Habis berkata begitu Iblis Pemabuk membungkuk di hadapan Ratu Duyung yang<br />dibalas dengan menjura dalam oleh Ratu Duyung. Anak buah sang Ratu menyibakkan<br />tirai biru. Iblis Pemabuk melangkah terhuyung huyung. Tiba tiba dia berbalik pada Wiro<br />dan tudingkan jari telunjuk tangan kanannya ke arah murid Sinto Gendeng itu.<br />Astaga! Wiro sampai tergagau. Jarak antara dia dan si gemuk Iblis Pemabuk<br />terpisah sekitar tiga tombak. Tapi saat itu Wiro merasa ujung jari telunjuk itu telah<br />menyentuh dan menekan hidungnya!<br />“Kurcaci jelek! Dengar baik baik! Aku tunggu kau pada matahari terbit<br />hari<br />sepuluh bulan sepuluh di Pangandaran!<br />Wiro terkejut dan tak mengerti maksud ucapan Iblis Pemabuk itu. Namun waktu<br />dia hendak bertanya si gemuk pendek ini telah lenyap di balik tirai biru.<br />“Pangandaran…” desis Wiro. “Teka teki apa pula ini? Ada apa di sana? Mau<br />mengajak aku mabokan?!” Murid Eyang Sinto Gendeng berpaling pada Ratu Duyung. Dia<br />tidak menemukan jawaban di wajah yang cantik jelita itu. Akhirnya sambil menggaruk<br />kepala Wiro bertanya. “Ratu Duyung lewat cermin saktimu apakah kau bisa mengetahui<br />apa yang akan terjadi pada hari sepuluh bulan sepuluh di Pangandaran pada saat<br />matahari terbit seperti dikatakan Iblis Pemabuk tadi?”<br />Perlahan lahan Ratu Duyung ambil cermin sakti di pangkuannya lalu memandang<br />ke dalam kaca dengan sepasang mata terpejam.<br />Wiro melihat paras cantik itu berubah. Ketika kedua matanya dibuka Ratu<br />Duyung berucap dengan suara bergetar. “Aku melihat darah di seluruh pantai<br />Pangandaran….”<br />*<br />* *<br />DUA BELAS<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />Pendekar 212, apakah masih ada sesuatu yang ingin kau tanyakan?” ujar Ratu<br />Duyung. “Kurasa semua sudah kutanyakan. Banyak yang belum sempat kutanyakan kau<br />sudah memberi penjelasan…. Hanya ada satu hal, kalau aku memang bukan lagi sebagai<br />tawanan apakah aku bisa meninggalkan tempat ini?<br />Ratu Duyung mengangguk. “Pada saatnya kau bisa pergi dari sini dan pada saat<br />yang kau suka kau bisa kembali ke sini…”<br />Wiro hendak berdiri tapi Ratu Duyung memberi tanda dengan mengangkat<br />tangan.<br />“Sebelum kau pergi, jika memang tak ada pertanyaan lain, kini giliranku untuk<br />mengajukan satu pertanyaan. Hanya satu, tak lebih dan tak kurang….”<br />“Silahkan saja Ratu,” jawab Wiro Sableng seraya kembali duduk di kursi batu di<br />hadapan sang Ratu.<br />“Apakah kau masih perjaka?”<br />Pertanyaaan itu diucapkan Ratu Duyung dengan tenang, wajah lembut dan<br />perlahan. Tapi sampainya ke telinga Wiro seperti satu ledakan keras. Dipandanginya<br />wajah sang Ratu. Lalu dia tertawa gelak gelak. Namun ketika dilihatnya paras sang Ratu<br />tidak berubah menandakan bahwa dia memang tidak ada maksud bersenda gurau<br />dengan ucapannya itu maka Wiro serta merta hentikan tawanya.<br />“Ratu Duyung, kau barusan menanyakan apa….?”<br />“Kau mendengar dengan jelas, aku tak akan mengulang pertanyaanku…” jawab<br />Ratu Duyung.<br />“Ah, mungkin dia merasa tersinggung,” pikir Wiro. Dia mendehem beberapa kali.<br />Lalu dengan polos dia berkata. “Ratu Duyung, mengingat apa yang telah kau perbuat<br />padaku aku menghormatimu…”<br />“Betul?”<br />Wiro mengangguk.<br />“Tak ada dendam mengingat hukuman yang telah aku jatuhkan padamu?”<br />Wiro menggeleng. “Kuharap kau jangan tersinggung dengan sikapku barusan.<br />Pertanyaanmu sangat mengejutkan. Kau mau menerangkan apa maksudmu…?”<br />“Aku akan terangkan setelah kau menjawab pertanyaanku…” jawab Ratu Duyung<br />pula.<br />Wiro garuk kepalanya. Lalu dia berucap.”Sampai saat ini aku memang belum<br />pernah kawin. Maksudku menikah….”<br />“Bukan itu yang aku tanyakan. Kau masih perjaka artinya apakah kau pernah<br />melakukan hubungan badan dengan perempuan?”<br />Wiro merasa kulit mukanya menjadi panas. “Aku tak pernah berzina…” katanya<br />perlahan.<br />“Berzina ada beberapa macam. Zina mata, zina telinga, zina tangan dan zina<br />badaniah…”<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />“Hemmm…Anu…Zina mata atau tangan atau telinga mungkin sudah pernah aku<br />lakukan. Aku bukan manusia tanpa rasa. Aku pernah melihat wajah wajah cantik, aku<br />pernah melihat hal hal yang dianggap terlarang, aku juga pernah mendengar sesuatu<br />yang kotor, aku pernah memeluk dan mencium gadis gadis. Tapi jika zina yang kau<br />maksudkan, itu belum pernah melakukan. Tuhan masih memeliharakanku dari yang satu<br />itu….”<br />“Aku melihat di cermin sakti. Kau dan Bidadari Angin Timur bersatu badan<br />berpeluk pelukan di dalam telaga. Hanya sayang yang terlihat di cermin tidak begitu<br />jelas. Apakah kau tidak mau mengakui bahwa kau telah melakukan…”<br />Wiro bangkit dari kursi batu. Dia geleng gelengkan kepalanya. “Waktu itu<br />keadaan memang benar benar penuh kesempatan. Kalau aku mau mungkin gadis itu<br />pasrah saja mengikuti nafsuku. Tapi aku tidak melakukan hal yang satu itu. Bukan karena<br />aku pemuda baik baik, tapi karena aku sadar aku mencintainya dan tak akan merusak<br />dirinya….”<br />“Apakah hal itu akan kau lakukan pada gadis yang tidak kau cintai…?”<br />“Ratu Duyung, kau lebih baik memberikan seribu teka teki padaku.<br />Pertanyaanmu sulit kujawab…” kata Wiro pula.<br />Ratu Duyung terdiam sesaat. “Kalau ada seseorang menderita sakit. Tak ada obat<br />penyembuhannya kecuali melakukan hubungan badan. Jika diminta apakah kau akan<br />melakukannya?”<br />“Ratu, bagaimana aku bisa menjawab pertanyaanmu…” kata Wiro pula lalu dia<br />memandang lekat lekat pada perempuan cantik bermata biru itu. “Ratu”… kata Wiro<br />setengah berbisik. “Apakah kau menderita sakit? Apakah pertanyaanmu ada sangkut<br />pautnya dengan dirimu?”<br />“Aku tidak menderita sakit. Tapi hidupku dalam kutukan. Kutukan itu hanya bisa<br />dimusnahkan jika ada seseorang melakukan hubungan badan denganku dan dengan<br />cinta kasih yang murni, semata mata tulus untuk menolong…”<br />“Kutukan…. Kutukan bagaimana Ratu…?” tanya Wiro.<br />“Aku akan coba menerangkan walau kau mungkin tidak mengerti… Aku dan juga<br />semua anak buahku yang ada di sini dulunya adalah para gadis kepercayaan seorang<br />sakti penguasa laut selatan. Hidup kami penuh bahagia walau dalam alam yang tidak<br />sama dengan alam manusia. Namun dalam kehidupan iut terdapat larangan larangan<br />yang tak boleh dilanggar. Satu ketika kami tertipu oleh serombongan pemuda gagah<br />yang tengah mengadakan pesta di pantai. Kami tergoda turun mengikuti pesta itu. Tidak<br />sampai di sana saja. Kami sampai melakukan hubungan badan walau sebenarnya tidak<br />ada bagian tubuh kami yang cacat. Namun kami telah melanggar larangan. Penguasa<br />mengusir kami, mengutuk kami menjadi setengah manusia setengah ikan. Jika badan<br />kami tersentuh air tawar atau air laut bagian sebelah bawah tubuh kami akan menjadi<br />ikan. Kami tidak akan bisa kembali ke dalam keadaan semula kecuali ada seorang<br />pemuda yang mengasihiku, melakukan hubungan badan dengan tulus semata mata mau<br />menolong…”<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />Wiro ternganga mendengar keterangan Ratu Duyung itu. “Jumlah kalian belasan<br />mungkin puluhan. Apakah aku harus melakukan hubungan itu dengan semua kalian?”<br />tanya Wiro lalu dia menggerendeng sendiri karena merasa pertanyaannya itu adalah<br />pertanyaan tolol.<br />Tapi Ratu Duyung mau menjawab. “Waktu hukuman dijatuhkan dan<br />disumpahkan, aku mengatakan pada penguasa laut selatan bahwa aku yang<br />bertanggung jawab atas semua kejadian itu. Karenanya jika ada yang menolong diriku<br />dari beban kutukan maka semua gadis di sini akan terbebas dari kutukan yang sama….”<br />“Aku ingat anak buah yang kau bunuh di Ruang Penantian. Agaknya dia<br />bermaksud hendak mengatakan hal yang sama padaku. Tapi kau membunuhnya…”<br />“Aku menyesal melakukan hal itu. Tapi tak bisa kuhindari karena bahaya yang<br />menghadang kepada Wiro selama ini Ratu Duyung selalu memandang kepada Wiro<br />dengan mata tak berkesip dan sikap gagah maka kini dia duduk dengan menundukkan<br />kepala. Diam diam Wiro merasa iba terhadap perempuan cantik bermata biru ini. Tapi<br />bagaimana mungkin dia bisa menolong?” Aku bukan orang alim. Melakukan hal itu pasti<br />hemm…” Wiro garuk garuk kepala.<br />“Ratu, aku yakin ada cara lain untuk menghilangkan kutukan itu…”<br />“Kalau kau tahu katakanlah…”<br />Murid Sinto Gendeng kembali garuk garuk kepala.<br />“Ratu, maafkan pertanyaanku ini. Apakah pernah meminta hal yang sama pada<br />pemuda lain…?”<br />Paras sang Ratu berubah merah. Bola matanya yang biru menyorotkan sinar<br />aneh walau tak kehilangan pesonanya. Dia seperti hendak meledak marah namun<br />perlahan akhirnya dia tundukkan kepala. Kepala itu kemudian digelengkan.<br />“Betapapun dosa dan kesalahan telah kubuat, tapi aku dan semua anak buahku<br />bukanlah gadis gadis rendah, bukan perempuanp perempuan nakal. Aku tak pernah<br />meminta pada siapapun. Aku tak akan pernah melakukannya kecuali jika aku menyadari<br />bahwa aku menyukai dan merasa cinta terhadap orang itu….”<br />Wiro mengusap wajahnya. Dalam hati dia berkata. “Jadi… dia mencintaiku… Ah,<br />bagaimana ini! Aku ingin menolongnya tapi…” Dipandanginya wajah sang ratu dengan<br />perasaan semakin iba. Perlahan lahan dia berdiri menghampiri. “Ratu… Kalau ada cara<br />lain yang bisa kulakukan, aku pasti akan menolongmu. Maafkan diriku….”<br />Sambil menundukkan kepala menyembunyikan sepasang matanya yang berkaca<br />kaca Ratu Duyung mengangguk. “Aku kecewa besar. Bukan terhadap dirimu, tapi<br />terhadap nasib diriku dan kawan kawan. Namun walaupun kecewa ada rasa bahagia.<br />Bahagia bahwa aku pernah bertemu dengan seorang pemuda berhati jujur, berjiwa<br />besar. Hanya satu kupinta, jika kelak kau berubah pikiran hendak menolongku,<br />datanglah kemari. Kayuhlah perahu dari muara Kali Opak. Kayuh ke tengah lautan. Di<br />satu tempat orang orangku akan menjemputmu…”<br />“Mudah mudahan kita akan mendapat satu petunjuk memecahkan persoalan<br />ini…” kata Wiro.<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />“Kalau tidak aku akan terjerat di tempat ini. Untuk masa yang tidak satu<br />makhlukpun dapat menghitungnya!” sahut Ratu Duyung. Lalu ditanggalkannya cincin<br />kerang warna biru di jari manis tangan kirinya. “Ambillah benda tak berharga ini.<br />Mudah mudahan ada gunanya….”<br />Wiro tak berani menolak. Khawatir Ratu Duyung akan tambah berduka. “Terima<br />kasih,” katanya seraya menerima cincin itu. “Aku akan menyimpannya baik baik….”<br />“Terima kasihku untuk itu,” ujar Ratu Duyung pula. Lalu dia menatap dalam<br />dalam ke arah sepasang mata Pendekar 212 Wiro Sableng. Wiro merasa satu getaran<br />aneh masuk ke dalam dua rongga matanya, terus menjalar ke rongga dada. “Pendekar<br />212, aku minta maaf atas hukuman yang aku jatuhkan terhadapmu tempo hari. Tapi<br />percayalah semua itu dengan maksud baik….”<br />“Terus terang aku sudah melupakan hal itu. Lagi pula aku memang pantas<br />menerima hukuman. Lalu kaupun telah mengembalikan kedua mataku.”<br />“Apakah kau merasakan suatu kelainan setelah matamu dimasukkan kembali ke<br />rongganya?”<br />Wiro usap usap dagunya. Dia ingat lalu menjawab.”Aku merasa penglihatanku<br />lebih terang, lebih bersih….”<br />“Coba atur jalan darahmu menuju kepala. Lalu salurkan tenaga dalammu pada<br />kedua mata. Setelah itu kedipkan matamu dua kali. Dan lihat apa yang terjadi….”<br />Wiro pandangi paras Ratu Duyung sesaat. Lalu diikutinya apa yang dikatakan.<br />Begitu dia selesai mengedipkan kedua matanya murid Sinto Gendeng tersurut beberapa<br />langkah. Matanya diusap berulang kali. Lalu memandang ke kiri, ke kanan, berkeliling.<br />“Ratu Duyung…” kata Wiro tersendat. “Walau samar samar aku mampu melihat benda<br />benda di luar ruangan ini….”<br />“Katakan apa saja yang kau lihat…” kata Ratu Duyung.<br />“Aku melihat beberapa orang anak buahmu di sebuah taman. Lalu di sebelah<br />sana ada pedataran rumput. Di kejauhan aku lihat Bukit Batu Putih…. Bagaimana ini bisa<br />terjadi…?!”<br />“Kedipkan lagi kedua matamu dua kali,” kata Ratu Duyung.<br />Wiro mengikut. Penglihatannya kembali seperti semula. Penuh rasa tak percaya<br />dia kerahkan lagi tenaga dalam dan kedipkan dua matanya dua kali. Seperti tadi dia<br />mampu melihat benda benda di luar ruangan.<br />“Ratu…”<br />“Pendekar 212, kini kau mempunyai ilmu baru. Kau mampu melihat satu benda<br />yang terhalang oleh benda lain. Ilmu itu bernama Menembus Pandang…Mudah<br />mudahan saja ada manfaat bagi dirimu.”<br />Terkejutlah Wiro mendengar kata kata Ratu Duyung. Dia melangkah mendekat.<br />“Ratu….. Jadi hukuman mencabut mata tempo hari itu sebenarnya….. Aku telah<br />kesalahan menilai…. Sekarang aku sadar betapa tololnya diriku1”<br />Ratu Duyung tersenyum. “Aku punya sedikit ilmu yang bisa kubagi. Siapa tahu<br />ada gunanya…”<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />Wiro Sableng geleng geleng kepala. Kedua tangannya diulurkan memegang bahu<br />Ratu Duyung. Lalu dengan setulus hati diciumnya kening perempuan itu seraya berbisik.<br />“Aku banyak menerima budimu. Aku tak akan melupakan….” Lalu Wiro memeluk sang<br />ratu erat erat.<br />Ratu Duyung hanyut dalam kebahagaiaan yang belum pernah dirasakannya.<br />Namun dia cepat sadar diri. Pelahan lahan dia melangkah mundur. Jari jari tangan<br />kirinya dijentikkannya. Tirai biru di sebelah kanan bergerak.<br />Empat orang gadis berpakaian hitam ketat memasuki ruangan. Salah seorang di<br />antaranya adalah gadis bertubuh jangkung yang tempo hari menemui Wiro sewaktu<br />diikat ke batu putih dalam menjalani hukuman.<br />“Antarkan tamu kita ke Pintu Gerbang Perbatasan.”<br />Empat gadis menjura lalu memberi isyarat pada Pendekar 212 untuk mengikuti.<br />Namun sebelum berlalu Wiro berkata. “Ratu waktu pertama datang kemari aku<br />mengenakan pakaian lain. Walau jelek dan dekil aku mohon pakaian itu dikembalikan<br />padaku.”<br />“Kau akan mendapatkannya. Seorang anak buahku akan memberikan padamu<br />sebelum meninggalkan tempat ini. Aku tahu pakaian itu kotor namun yang sangat<br />berarti bagimu adalah sekuntum bunga kenanga sakti yang tak pernah layu di salah satu<br />kantongnya, bukan begitu?”<br />Selagi Wiro terkejut mendengar ucapan Ratu Duyung, perempuan ini berkata<br />lagi. “Jika kau bertemu dengan gadis dari alam gaib bernama Suci berjuluk Dewi Bunga<br />Mayat itu, sampaikan salam hormatku padanya…”<br />Wiro hanya bis mengangguk. Dalam hati dia mengagumi betapa luasnya ilmu<br />pengetahuan Ratu Duyung sampai sampai dia juga mengenal Dewi Bunga Mayat. (Untuk<br />jelasnya siapa adanya Suci atau Dewi Bunga Mayat silahkan baca serial Wiro Sableng<br />berjudul “Dewi Bunga Mayat”)<br />“Satu lagi Ratu, pakaian hitam yang melekat di tubuhku saat ini apakah aku<br />boleh memakainya terus. Atau harus kutanggalkan di hadapan anak buahmu seperti<br />kejadian dulu…?”<br />Empat orang anak buah Ratu Duyung tampak terkesiap mendengar kata kata<br />Wiro itu. Mereka khawatir mendengar kata kata Wiro itu. Mereka khawatir sang Ratu<br />marah. Tapi ternyata Ratu Duyung tersenyum. “Kau boleh memakainya selama kau<br />suka…”<br />“Terima kasih, aku minta diri sekarang.” Wiro membungkuk dalam dalam lalu<br />melangkah mengikuti empat gadis anak buah sang Ratu.<br />*<br />* *<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />HANYAsesaat setelah Pendekar 212 meninggalkan ruangan itu, Ratu Duyung<br />duduk terhenyak di atas kursi batu. Dia tak sanggup lagi menahan runtuhnya air mata.<br />Dia menangis hampir tanpa suara. Sambil bersandar tangannya bergerak menekan<br />sebuah tombol di lengan kanan kursi batu. Terdengar suara berdesing. Tirai biru di<br />hadapannya menggulung ke atas. Lalu tampak sebuah celah yang merupakan pintu<br />sebuah lorong pendek. Ratu Duyung bangkit dari kursi batunya. Setengah berlari dia<br />memasuki lorong itu hingga sebuah ruangan berbentuk bundar. Di bagian tengah<br />ruangan ini ada sebuah benda setinggi manusia tertutup kain beluderu merah muda.<br />Ratu Duyung menarik lepas kain beluderu itu. Begitu kain tersingkap kelihatan<br />sebuah patung seukuran tinggi manusia yang sangat halus buatannya. Patung itu<br />memiliki wajah dan sosok tubuh menyerupai Pendekar 212 Wiro Sableng.<br />Di hadapan patung Ratu Duyung jatuhkan diri. Bahunya kelihatan berguncang. Kedua<br />tangannya memegangi bagian kaki patung. Tangis yang sejak tadi ditahan dan<br />disembunyikannya kali ini tak dapat dibendung lagi. Ratapannya terdengar<br />mengharukan.<br />“Wiro… Lima tahun aku menunggumu. Setelah kau hadir di sini ternyata aku tak mampu<br />berharap dan meminta…. Kalau saja hidup di tempat ini mengenal mati, aku lebih rela<br />menghembuskan napas penghabisan saat ini juga….”<br />Tekanan batin dan keputusasaan membuat Ratu Duyung tak sadar lagi apa yang<br />diperbuatnya. Patung batu Pendekar 212 Wiro Sableng dipeluk diciumnya dengan<br />berurai air mata.<br />*<br />* *<br />TIGA BELAS<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />Yang disebut Pintu Gerbang Perbatasan adalah tumpukan batu batu besar<br />berbagai bentuk yang disusun demikian rupa membentuk sebuah pintu gerbang. Saat<br />itu udara terasa dingin dan malam sangat gelap karena bulan purnama dan bintang<br />bintang tak satupun menghiasi langit.<br />Tiga orang gadis berpakaian hitam ketat berjalan di depan Wiro. Mereka<br />melangkah cepat menuju pintu gerbang batu. Wiro mengikuti dengan buntalan kecil<br />berisi pakaiannya tergantung di punggung. Di samping kanannya berjalan anak buah<br />Ratu Duyung, gadis cantik bertubuh jangkung.<br />Sejarak sepuluh tombak sebelum mencapai pintu gerbang gadis ini berbisik pada<br />Wiro.<br />“Pada saat mencapai pintu gerbang batu, aku akan melompat melewatinya. Jika<br />aku selamat maukah kau mengantarkan aku ke satu tempat….?”<br />Tentu saja Wiro terkejut mendengar kata kata gadis itu. Dia ingat pada gadis<br />yang menemui ajalnya di tangan Ratu Duyung di Ruang Penantian.<br />“Aku tidak bisa memastikan. Tapi apakah rencanamu itu tidak akan mencelakai<br />dirimu sendiri?”<br />“Hidupku dan kawan kawan sudah lama dirundung celaka. Kalaupun muncul<br />celaka besar yang bisa membunuh diriku, aku malah akan merasa lebih tenteram…”<br />jawab si gadis.<br />“Kau masih muda, mengapa sengaja mencari bencana?” mengingatkan Wiro.<br />“Aku tahu masalah yang kalian hadapi. Suatu ketika semua akan mencapai akhirnya.<br />Kalian bisa kembali ke alam sebelum kalian berada di tempat ini…”<br />“Hemmmm…Kau pasti tahu itu dari Ratu kami. Tapi akhir yang kau katakan itu<br />datangnya mungkin lama sekali. Bahkan bisa saja tak pernah terjadi.” Jawab si gadis. Air<br />mukanya agak berubah. Lalu dia berkata setengah menyesali.<br />“Tadinya aku mengira bisa menggantungkan secuil harapan padamu. Ternyata<br />aku keliru. Jika kau tidak bersedia menolong tak jadi apa. Tapi ketahuilah apapun yang<br />terjadi aku tetap akan berusaha menembus keluar dari kungkungan kehidupan penuh<br />tekanan batin ini. Sejak lama aku sudah tak tahan. Kurasa kawan kawan yang lain begitu<br />juga. Termasuk Ratu kami sendiri….”<br />Pintu Gerbang Perbatasan semakin dekat juga. Satu tombak dari hadapan pintu<br />batu ini tiga gadis di depan Wiro hentikan pintu batu ini tiga gadis di depan Wiro<br />hentikan langkahnya. Mereka berpaling pada Pendekar 212. Wiro sendiri coba meneliti<br />apa sebenarnya yang ada di seberang pintu gerbang batu itu. Dia hanya melihat tebaran<br />awan putih bercampur kelabu.<br />“Kami hanya mengantar sampai di sini,” kata gadis yang di tengah. Dia kawan<br />kawannya tidak memperhatikan kawan mereka yang satu si jangkung.<br />Wiro yang sudah tahu gelagat cepat melangkah ke bagian tengah pintu gerbang<br />batu, maksudnya hendak menghadang perbuatan nekat yang hendak dilakukan gadis<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />jangkung itu. Tapi dia lupa kalau saat itu dia masih berada di alam aneh kekuasaan Ratu<br />Duyung. Lebih cepat dari langkah yang dibuat Pendekar 212 si gadis jangkung<br />berkelebat.<br />Murid Sinto Gendeng hanya merasa ada sambaran angin. Ketika dia berpaling ke<br />kiri gadis jangkung itu telah melesat di atas kepalanya!<br />Tiga anak buah Ratu Duyung berseru kaget melihat kejadian itu. Mereka<br />memburu tapi sadar lalu cepat bersurut.<br />Di depan sana mereka semua melihat gadis jangkung yang tadi melesat di udara<br />kini melayang turun. Lalu terjadilah hal yang membuat tiga gadis terpekik sedang Wiro<br />keluarkan seruan tertahan.<br />Begitu tubuh gadis jangkung menyentuh tebaran awan, terdengar letupan keras<br />lalu wusss! Satu kobaran api yang besar dan garang tahu tahu menyelimuti tubuh gadis<br />jangkung itu. Si gadis menggeliat kian kemari. Tanpa jeritan sama sekali tubuhnya<br />musnah tanpa bekas. Bersamaan dengan itu kobaran apipun padam.<br />“Kalau aku melewati pintu gerbang batu ini, lalu tubuhku bersentuhan dengan<br />awan putih kelabu, apakah nasibku bakalan sama dengan gadis nekat tadi….”<br />Apa yang ada dalam pikiran Pendekar 212 rupanya diketahui oleh tiga gadis di<br />dekatnya. Salah seorang dari mereka lalu berkata.<br />“Keadaan dirimu tidak sama dengan kami. Tak usah ragu. Lewati Pintu Gerbang<br />Perbatasan tanpa rasa takut tanpa ragu. Kau akan kembali ke duniamu dengan aman….”<br />Wiro pandangi tiga gadis di hadapannya sambil garuk garuk kepala. Hatinya<br />meragu dan kebimbangan terlihat di wajahnya. Tiga gadis di hadapannya anggukkan<br />kepala satu persatu untuk pertama kalinya mereka tersenyum pada pemuda itu.<br />“Selamat jalan….” Kata ketiga gadis hampir bersamaan.<br />Wiro lambaikan tangan kanannya. Dia melangkah menaiki tangga Pintu Gerbang<br />Perbatasan sebelah dalam. Pada pertengahan tangga batu, tepat di bawah pintu<br />gerbang dia berpaling pada tiga gadis itu. Yang dipandangi kembali mengucapkan<br />selamat jalan. Wiro geleng geleng kepala. Kakinya kini menuruni tangga batu sebelah<br />luar pintu gerbang. Dia melangkah lagi. Sesaat dia merasa seperti melayang di udara.<br />Lalu kaki dan tubuhnya menyentuh awan putih kelabu. Pada saat itu juga terjadi satu hal<br />yang tidak bisa dipercayainya. Memandang ke bawah dia melihat kedua kakinya kini<br />menginjak pasir pantai. Memandang ke depan dia dapatkan laut luas terbentang<br />ditebari pulau pulau di kejauhan. Ombak berdebur tiada henti di tepi pantai. Dua buah<br />perahu lengkap dengan pendayung terapung apung dipermainkan ombak.<br />“Aneh, bagaimana ini bisa terjadi…?” pikir Pendekar 212. Dia menoleh ke<br />belakang.<br />Astaga! Pintu Gerbang Perbatasan lenyap. Tiga gadis anak buah Ratu Duyung tak<br />kelihatan lagi.<br />Selagi Wiro tercengang cengan seperti itu tiba tiba satu tangan besar memegang<br />pundaknya. Murid Sinto Gendeng tergagau keras saking kagetnya. Dia cepat membalik<br />sambil bersiap menghantam. Saat itu juga meledak suara tawa keras sekali.<br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng<br />Wasiat Sang Ratu<br />“Kerbau Bunting sialan!” maki Wiro lalu tarik pulang tangan kanannya yang siap<br />menjotos.<br />“Selamat datang di dunia kita Sobatku Muda!” kata Dewa Ketawa. “Betapapun<br />bagusnya dunia orang lain, jauh masih lebih bagus dunia kita yang serba gila ini! Ha…<br />ha… ha…..”<br />Mau tak mau Wiro jadi ikut ikutan tertawa.<br />Mendadak Dewa Ketawa hentikan gelaknya. “Eh, apakah kau sempat diajak tidur<br />oleh Ratu Duyung bermata biru itu…?” Dewa Ketawa bertanya.<br />“Bagaimana kau tahu….?” Balik bertanya Wiro dengan mata mendelik.<br />“Ha…ha…Sebelumnya dia pernah minta pendapatku. Kukatakan padanya agar<br />menanyakan sendiri. Jadi sudah ya…?”Wiro gelengkan kepala.<br />Dewa Ketawa pukul jidatnya sendiri. “Sayang aku sudah tua! Kalau saja masih<br />muda dan segagahmu pasti aku yang duluan diminta sang Ratu untuk masuk ke<br />kamarnya! Ha…ha…ha!”<br />Dewa Ketawa menunjuk pada dua buah perahu yang ada di pasir pantai. “Pasti<br />Ratu Duyung yang mengatur. Aku ambil satu kau ambil satu. Kita tinggalkan tempat ini<br />dan berpisah di sini. Kalau umur sama panjang pasti bisa bertemu lagi….”<br />Tubuh Dewa Ketawa melesat di udara lalu mendarat masuk ke dalam salah satu<br />perahu. Walau nyata nyata tubuhnya yang gendut itu berbobot lebih dari dua ratus kati<br />perahu sama sekali tidak bergoyang!<br />Wiro juga tak mau menunggu lebih lama. Sekali berkelebat tubuhnya melayang<br />di udara, berputar putar seperti bola. Di lain kejap kedua kakinya menyentuh lantai<br />perahu. Salah satu kakinya sengaja dipakai menginjak ujung kayu pendayung.<br />Pendayung melesat ke udara, sebelum jatuh murid Sinto Gendeng cepat melompat dan<br />menyambar gagang pendayung selagi masih berada di udara. Ketika turun lagi ke dalam<br />perahu, perahu itu tetap tidak bergoyang!<br />“Ha…ha….ha! Pertunjukan hebat!” memuji Dewa Ketawa.<br />“Sobatku Gendut!” teriak Wiro. “Kalau ada undangan besar apakah kau mau<br />datang ke satu tempat?”<br />“Tergantung siapa yang mengundang, kapan dan dimana!” jawab Dewa Ketawa<br />seraya mulai mengayuh perahunya.<br />“Yang mengundang Iblis Pemabuk! Waktunya hari sepuluh bulan sepuluh! Saat<br />matahari terbit. Tempatnya Pengandaran” jawab Wiro.<br />“Waktunya cocok! Tempatnya sesuai! Si Pengundang tepat! Kita bisa mabuk<br />sama sama di sana nanti!” Dewa Ketawa tertawa panjang. Sekali dia menggerakkan tang<br />an mengayuh, perahu yang ditumpanginya melesat menembus ombak.<br />TAMAT<br />Serial selanjutnya Delapan Sabda Dewa sudah diselesaikan oleh kucinglistrik…Saya<br />lanjut ke serial Muslihat Para Iblis…Harap sabar menunggui…(mercenary_007)scorpionsGunshttp://www.blogger.com/profile/05792078590560618820noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3447348503049306634.post-3197653631599015682008-11-18T23:48:00.002-08:002008-11-18T23:51:25.736-08:00<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi6fqsT84CsLr7mjK3YtQ5JLmiuw877Kyl296tJmCDjcwWC5U8baKyX3HK58mtVXz-dE-V8sGbbS6MPhdnmSppPiYyke7GMGh8ZaO2BTLLFEcmAKaJVq6653Vk3nzZnxlKw6a2JqAKxFfw6/s1600-h/1_581966274l.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi6fqsT84CsLr7mjK3YtQ5JLmiuw877Kyl296tJmCDjcwWC5U8baKyX3HK58mtVXz-dE-V8sGbbS6MPhdnmSppPiYyke7GMGh8ZaO2BTLLFEcmAKaJVq6653Vk3nzZnxlKw6a2JqAKxFfw6/s320/1_581966274l.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5270273084576522706" /></a><br />Bastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212<br />Wiro Sableng<br />Wasiat Dewa<br />SATU<br />LIDAH Tiga Bayangan Setan terjulur sedang kawannya si Elang Setan terbatuk-batuk<br />dengan mata basah memerah.<br />“Apa yang harus kita lakukan sekarang?!” tanya Elang Setan.<br />“Aku bersumpah akan membunuh Pangeran keparat itu!” jawab Tiga Bayangan<br />Setan.<br />“Jangan tolol! Tingkat kepandaiannya di atas kita! Apalagi kini dia memiliki<br />Kitab Wasiat Iblis itu….”<br />“Kita harus pergunakan akal! Cari kesempatan waktu dia lengah!”<br />“Kalau begitu kita terpaksa mengikuti kemana dia pergi!” kata Elang Setan pula.<br />“Aku benar-benar tidak suka ini! Pangeran jahanam! Mayatmu kelak akan<br />kukupas! Kulitmu kujembreng kujadikan mantel!” kertak Tiga Bayangan Setan. “Aku<br />yakin bisa membunuhnya. Ilmu Tiga Bayangan Setanku pasti bisa menaklukannya….<br />Ayo kita ikuti dia!”<br />Kedua orang itu segera mengejar Pangeran Matahari. Tahu orang mengikuti sang<br />Pangeran menghentikan langkah dan berbalik.<br />“Kenapa kalian mengikutiku?!” tanya Pangeran Matahari membentak dengan<br />mata melotot.<br />“Maafkan kami. Bukankah kami merupakan anjing-anjing pengawalmu? Jadi<br />kemana Pangeran pergi kami harus mengikuti.” jawab Tiga Bayangan Setan.<br />Pangeran Matahari menyeringai. Dalam hati dia berkata. “Siapa percaya pada<br />kalian! Menurut mauku sebaiknya kubunuh saja keduanya saat ini daripada menyusahkan<br />dikemudian hari. Tapi hemmm…. Sebelum mereka mampus ada baiknya kuperalat lebih<br />dulu….” Sang Pangeran lalu dongakkan kepala. Kedua matanya dipejamkan tanda dia<br />tengah berfikir keras. Lalu perlahan-lahan kepalanya dipalingkan pada dua orang di<br />depannya.<br />“Kalian berdua tak usah mengikuti aku!” kata Pangeran Matahari pula.<br />“Lalu… lalu apa yang kami lakukan? Menunggu sampai datangnya saat kematian<br />seratus hari dimuka tanpa kau memberi obat penawar? Pangeran harap kasihani selembar<br />nyawa kami…” kata Elang Setan setengah meratap.<br />“Kalian kembali ke sumur batu itu! Aku akan mengatur kedatangan seseorang….”<br />“Kembali ke sumur batu…?” ujar Elang Setan sambil memandang pada Tiga<br />Bayangan Setan.<br />“Apa… apa yang kami lakukan di sumur itu?” Tiga Bayangan Setan ajukan<br />pertanyaan.<br />“Tunggu sampai orang yang kumaksud itu datang!”<br />“Siapa dia adanya Pangeran?” tanya Elang Setan.<br />“Seorang pemuda bernama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar 212!”<br />“Pendekar 212 Wiro Sableng!” seru Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan<br />hampir bersamaan dengan muka berubah.<br />“Begitu dia muncul di sumur batu dia harus segera kalian bunuh!”<br />“Pangeran…. Pendekar 212 bukan manusia sembarangan….”<br />“Jika dia bukan manusia sembarangan apa berarti dia setan? Rupanya kalian<br />takut…?<br />“Selama hidup kami tidak mengenal takut. Tapi dalam keadaan keracunan seperti<br />ini sulit bagi kami….”<br />“Setan alas! Aku tidak perduli apa kesulitan kalian! Kau punya satu kesulitan!<br />Aku punya seribu! Dan dengar, ada satu hal yang harus kalian ingat baik-baik. Pendekar<br />212 harus tidak tahu kalau aku yang menyuruh kalian untuk membunuhnya! Kalian<br />dengar?!”<br />“Kami dengar,” jawab Tiga Bayangan Setan.<br />“Bagus! Aku pergi sekarang!”<br />“Pangeran! Tunggu…!” seru Elang Setan.<br />“Kau tidak dapat memastikan kapan Pendekar 212 muncul. Jika sampai lewat<br />seratus hari dia tidak datang, kami sudah mati konyol akibat racun dalam tubuh. Kemana<br />kami harus mencarimu?”<br />“Manusia anjing! Kau tidak layak mengatur diriku! Jika aku tidak memberimu<br />obat penawar dalam waktu seratus hari berarti itu nasib kalian yang jelek! Ha… ha…<br />ha…!”<br />Pelipis Tiga Bayangan Setan menggembung sedang rahang Elang Setan terkatup<br />rapat-rapat tanda kedua orang ini tengah berusaha menahan meledaknya amarah yang<br />saat itu membakar diri masing-masing. Pangeran Matahari bukannya tidak tahu hal itu.<br />Sambil menyeringai dia berkata. “Kalau kalian merasa terlalu lama menunggu kematian<br />sampai seratus hari di muka, aku bersedia mengirimmu ke liang neraka saat ini juga!”<br />Lalu sang Pangeran mendongak dan angkat tangan kanannya.<br />“Tunggu!” seru Tiga Bayangan Setan.<br />“Jangan!” ujar Elang Setan cepat. “Kami akan mematuhi perintahmu. Kami akan<br />berjaga-jaga di sumur batu itu!”<br />“Bagus! Sekarang menggonggonglah dan kembali ke sumur itu!” Pangeran<br />Mathari balikkan diri lalu tinggalkan tempat itu.<br />Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan menggonggong beberapa kali. Sambil<br />keluarkan suara menyalak seperti anjing itu tiba-tiba Tiga Bayangan Setan kepalkan<br />kedua tinjunya. Dengan cepat dua kepalan itu diangkat ke atas lalu saling diadu di atas<br />kepala. Tiga bayangan seperti asap mengepul di kepalanya. Dia hendak keluarkan ilmu<br />kesaktiannya yaitu melepas tiga makhluk raksasa jejadian tapi Elang Setan cepat menarik<br />dan menghempaskan kedua tangannya ke bawah. Tiga bayangan raksasa serta merta<br />lenyap.<br />“Jangan tolol! Kau mungkin bisa membokongnya dari belakang! Tapi kita berdua<br />tidak bakalan lolos dari kematian! Kau saksikan apa yang terjadi dengan Ratu Pesolek!”<br />Tubuh Tiga Bayangan Setan bergoncang keras akibat menahan kekuatan sakti<br />yang tadi dilepas dan kini terpaksa masuk kembali ke dalam tubuhnya.<br />“Apa kau percaya dia bakal muncul memberi obat penawar racun yang ada di<br />tubuh kita?” sentak Tiga Bayangan Setan.<br />“Aku memang tidak percaya padanya! Tapi kita tak bisa berbuat apa-apa. Lebih<br />baik menghabiskan sisa hidup seratus hari sambil mencari jalan dari pada langsung<br />mampus saat ini juga!” jawab Elang Setan.<br />Dengan menghentakkan kaki Tiga Bayangan Setan kembali ke sumur batu.<br />Saking kesalnya tongkat sakti Wesi Ketatton yang tergeletak di tanah milik Jarot Ampel<br />yang mati dibunuhnya beberapa waktu lalu diinjaknya hingga amblas ke dalam tanah.<br />“Aku bersumpah akan mengorek jantung Pangeran keparat itu Tiga Bayangan<br />Setan. Lalu kita santap bersama-sama! Sekarang kita terpaksa bersabar…” kata Elang<br />Setn setengah membujuk sambil pegang bahu saudara angkatnya itu.<br />“Aku akan bersamadi,” kata Tiga Bayangan Setan pula. “Mungkin arwah guru<br />yang ada di dalam sumur bisa memberi petunjuk.”<br />“Aku memilih tidur saja…” kata Elang Setan pula lalu duduk bersandar pada kaki<br />sebatang pohon.<br />DUA<br />PENDEKAR 212 Wiro Sableng hentikan larinya. Dia memandang berkeliling sambil<br />dongakkan kepala menghirup udara pagi dalam-dalam.<br />“Aneh… di rimba belantara begini ada bau harum,” katanya dalam hati sambil<br />terus menghirup dan mencium. Hidungnya kelihatan kembang kempis dan mulutnya<br />termonyong-monyong. “Mungkin ada bidadari yang kebetulan turun ke hutan ini? Heh….<br />Aku rasa-rasa pernah mencium bau harum seperti ini sebelumnya….”<br />Murid nenek sakti Eyang Sinto Gendeng dari puncak Gunung Gede ini angkat<br />tangan kanannya ke atas. Telapak dikembangkan dan diputar-putar ke berbagai jurusan.<br />Di satu arah dia hentikan gerakannya ketika terasa dingin. “Angin bertiup dari arah sana.<br />Berarti bau harum itu datang dari situ.”<br />Wiro melangkah ke jurusan yang diduganya sebagai sumber datangnya bau<br />harum. Pada langkah kedua belas telinganya menangkap suara air mengucur. “Mungkin<br />ada pancuran di sebelah sana…” pikir Wiro. Dia berjalan terus hingga langkahnya<br />sampai di hadapan batu-batu besar dan semak belukar. Suara air mengucur dan bau<br />harum justru datang dari balik batu. Lalu sesekali terdengar suara orang menyanyi. Suara<br />perempuan. Wiro bergerak ke sebelah kanan batu. Ketika serumpun daun keladi hutan<br />disibakkannya, sang pendekar hampir keluarkan seruan tertahan. Cepat Wiro tutup<br />mulutnya dengan tangan kiri tapi sebaliknya sepasang matanya terbuka lebar-lebar.<br />“Di dalam hutan ada pemandangan begini hebat! Rejekiku besar sekali hari ini!”<br />kata Wiro dalam hati lalu dia mencari tempat yang lebih baik agar bisa melihat lebih<br />jelas.<br />Di bawah sana, hanya sejarak kurang dua puluh langkah dari tempat Wiro<br />mengintai ada sebuah telaga kecil. Pada sisi kanan telaga terdapat dinding batu yang tak<br />seberapa tinggi. Dari bagian atas batu mengucur air membentuk sebuh air terjun kecil.<br />Telaga kecil itu dikelilingi batu-batu besar berbentuk rata. Di salah satu batu berdiri<br />seorang gadis tinggi semampai yang sambil menyanyi-nyanyi kecil membuka gulungan<br />rambutnya. Ternyata dia memiliki rambut berwarna pirang, digerai lepas sampai ke<br />pinggang. Dia mengenakan pakaian biru tipis. Pakaian, tubuh dan rambutnya menebar<br />bau harum yng tercium sampai ke hidung Wiro.<br />“Rambut dan bau wangi itu…” desis Wiro. “Sayang dia membelakangi. Aku tak<br />dapat melihat wajahnya. Tapi jika melihat pada bentuk dan warna pakaiannya… aku<br />hampir pasti dia adalah….”<br />Ucapan membatin murid Sinto Gendeng terputus. Dadanya berdebar keras-keras<br />dilihatnya sambil terus bernyanyi-nyanyi kecil gadis itu mulai membuka pakaian birunya.<br />Si gadis hanya membuka bagian atas lalu membiarkan pakaian itu lepas dan merosot<br />jatuh ke atas batu.<br />Wiro tekap mulutnya dengan tangan kiri sementara tangan kanan menggaruk<br />kepala habis-habisan. Sepasang matanya melotot tidak berkesip dan seperti mau<br />melompat dari rongganya.<br />“O ladalah! Benar-benar polos. Bagaimana aku bisa tahan menyaksikan<br />pemandangan ini. Apakah aku harus ikut-ikutan membuka pakaian dan menyebur ke<br />dalam telaga? Memandang terus-terusan bisa membuat aku jadi setengah gila!” murid<br />Sinto Gendeng tarik nafas panjang. Dua lututnya bergetar. Ketika dia coba menggeser<br />kakinya, tiba-tiba tanah yang dipijaknya bergerak longsor.<br />“Celaka!” Wiro keluarkan seruan tertahan. Dia cepat mengimbangi diri dan<br />berusaha menggapai batu di sampingnya tapi batu itu licin. Tangannya luput sementara<br />tanah di bawah kedua kakinya semakin keras longsornya. Tak ampun lagi sang pendekar<br />jatuh terperosok. Tubuhnya meluncur sampai sepuluh langkah, ketika dia coba melompat<br />tubuhnya terpelanting karena tanah yang dipijaknya ternyata basah dan licin. Tak ampun<br />lagi sepuluh langkah ke bawah tubuhnya terguling-guling. Wiro tergeletak jatuh tepat di<br />samping batu di mana gadis berambut pirang baru saja menanggalkan pakaiannya.<br />Si gadis menjerit keras. Secepat kilat ia menyambar pakaian dan mengenakannya<br />kembali. Pada saat sosok Wiro tergeletak di samping batu di bawahnya si gadis keluarkan<br />teriakan marah.<br />“Pemuda lancang! Minta mati berani mengintai orang mandi!”<br />Begitu berteriak si gadis hantamkan tumit kanannya ke leher Wiro. Ini merupakan<br />satu serangan maut yang dalam keadaannya seperti itu tak mungkin dielakkan oleh<br />Pendekar 212 Wiro Sableng. Murid Sinto Gendeng hanya bisa berteriak dan coba<br />lindungi lehernya dengan lengan kanan. Tapi ketika diangkat tangannya tertahan oleh<br />ujung batu!<br />“Tamat riwayatmu pengintai lancang!”<br />Wiro hanya bisa melotot menunggu kematian. Tiba-tiba si gadis yang lancarkan<br />serangan maut tahan gerakan kaki kanannya. Matanya masih mendelik dan wajahnya<br />yang cantik masih terbungkus hawa marah. Tapi dari mulutnya kemudian terdengar<br />seruan.<br />“Kau!”<br />Kalau tadi Wiro merasa nyawanya seolah sudah terbang dan wajahnya sudah<br />sepucat mayat, kini dia menarik nafas lega dan berusaha bangkit dengan cepat.<br />“Wiro Sableng! Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!”<br />Wiro sesaat tertegun lalu balas berteriak. “Bidadari Angin Timur!”<br />“Demi Tuhan! Aku tidak menyangka kalau kau orangnya yang berlaku kurang<br />ajar! Berani mengintip perempuan mandi!”<br />Wiro berdiri. “Tunggu…. Jangan salah sangka!”<br />“Kau sudah tertangkap tangan! Masih hendak mungkir?!”<br />Wiro garuk-gruk kepala. “Tidak, tunggu dulu. Biar aku jelaskan. Aku tadi berada<br />di hutan sebelah sana. Ketika berjalan aku mencium bau harum. Aku ingat betul bau itu<br />adalah harumnya tubuh, rambut dan pakaianmu….” Sampai disitu Wiro hentikan<br />ucapannya. Wajah gadis cantik di hadapannya dilihatnya tidak berubah. Dia lalu<br />meneruskan. “Kemudian kudengar ada suara air mengucur, juga suara perempuan<br />menyanyi. Aku sampai dekat batu besar di atas sana. Ketika memandang ke bawah<br />kulihat sosok tubuhmu. Karena kau membelakangi aku tak segera mengenali. Lalu tibatiba<br />tanah yang kupijak longsor. Aku jatuh sampai ke sini…. Percayalah aku tidak<br />berbuat kurang ajar mengintipmu! Semua serba tidak sengaja….”<br />“Kau tidak berdusta?” tanya si gadis.<br />“Aku bersumpah tidak berdusta!” jawab Wiro seraya angkat kedua tangannya ke<br />atas. “Lagi pula kalaupun hal ini terjadi, mengingat hubungan kita dimasa lalu kurasa kau<br />bisa memaafkan….”<br />Si gadis diam saja. Dalam hati Wiro jadi bertanya-tanya. Kemudian dilihatnya<br />gadis itu tersenyum dan rapatkan pakaian birunya.<br />“Kalau kau mau mandi silahkan saja. Aku akan pergi dari sini sampai kau<br />selesai….”<br />“Ada apa kau tahu-tahu bisa muncul di tempat ini Wiro?” tanya si gadis.<br />“Aku sengaja mengambil jalan pintas. Aku dalam perjalanan ke sebuah pulau di<br />pantai laut selatan. Kau sendiri mengapa berada disini?”<br />Si gadis menarik nafas panjang. Sambil menyisir rambut pirangnya dengan jarijari<br />tangan kanan dia berkata. “Dunia ini sempit juga rupanya. Buktinya kita bisa bertemu<br />secara tidak terduga dalam rimba belantara ini. Aku dalam perjalanan ke Kartosuro….”<br />“Hemm…. Rupanya kau punya urusan penting di sana.”<br />“Sangat penting Wiro. Aku harus pergi ke sebuah bukit kecil di luar Kartosuro.<br />Ada satu tugas maha besar yang harus kuselesaikan….”<br />Pendekar 212 ingat akan pertemuannya dengan Si Raja Penidur, Sinto Gendeng<br />dan Kakek Segala tahu di puncak Merbabu beberapa waktu lalu.<br />Sambil tersenyum Wiro berkata. “Rasanya aku tahu urusan apa kau pergi ke bukit<br />kecil di pinggiran Kartosuro itu.”<br />“Hah?! Kau malang melintang kemana-mana. Punya banyak kenalan orang-orang<br />pandai. Tidak heran kalau kau mungkin tahu apa urusanku. Tapi aku mau menguji. Coba<br />kau sebutkan!” kata si gadis pula.<br />Wiro garuk-garuk kepalanya. “Aku mendengar tentang sebuah kitab sakti<br />bernama Kitab Wasiat Iblis. Kabarnya berada di bukit itu. Tersimpan secara aneh dalam<br />sebuah sumur….”<br />Paras si gadis berubah.<br />“Parasmu berubah, berarti dugaanku betul!” kata Pandekar 212.<br />“Kau memang hebat! Aku tidak akan menanyakan bagaimana kau bisa menduga<br />begitu tepat….”<br />“Mencari sebuah benda keramat atau benda sakti sama saja dengan mengadu<br />nyawa. Kau harus hati-hati kalau memang bermaksud mendapatkan kitab itu.”<br />“Eh, mengapa kau bilang begitu Wiro?”<br />“Aku yakin bukan kau saja yang menginginkan kitab sakti itu. Pasti banyak<br />orang-orang lain berkepandaian tinggi. Jika satu benda dicari oleh banyak orang berarti<br />akan terjadi perebutan. Perebutan berarti pertumpahan darah…!”<br />“Hemmm…. Kau mungkin betul. Tapi aku tidak takut mengadu nasib!”<br />“Aku tahu kau memiliki kepandaian tinggi. Walau begitu tetap saja harus berhatihati.<br />Karena kalau kau bisa mendapatkan kitab itu, yang lain-lain bisa bergabung dan<br />mengeroyokmu untuk merampas kitab itu.”<br />“Terima kasih atas nasihatmu. Kau sendiri tidak berminat mendapatkan kitab<br />sakti itu?” tanya si gadis pula.<br />Wiro garuk-garuk kepala “Tentu saja ada keinginan. Tapi sayangnya disaat yang<br />bersamaan ada hal lain yang lebih penting harus dikerjakan….”<br />“Aku tidak secerdikmu. Jadi tidak bisa menduga apa urusanmu itu. Apa kau mau<br />mengatakan…?”<br />Wiro Sableng tertawa. Lalu menjawab. “Mohon dimaafkan, aku tidak bisa<br />mengatakannya padamu.”<br />“Juga mengingat hubungan kita di masa lalu?” ujar si gadis.<br />Wiro garuk-garuk kepala. “Sampai saat ini kau tidak pernah memberitahu siapa<br />namamu. Aku memberi panggilan padamuu Bidadari Angin Timur. Karena kau secantik<br />bidadari dan gerakanmu secepat angin….”<br />“Kau boleh terus memanggilku dengan nama itu…”ujar si gadis seraya<br />tersenyum. (Siapa adanya gadis yang diberi nama Bidadari Angin Timur ini harap baca<br />serial Wiro Sableng berjudul Guci Setan)<br />Wiro tatap lekat-lekat wajah yang tersenyum itu. “Bidadari Angin Timur…”<br />katanya dalam hati. “Kecantikanmu sejak dulu tak pernah kulupakan. Justru pada<br />pertemuan ini mendadak rasa rinduku menggelora. Gila betul!” Di hadapannya si gadis<br />masih tersenyum. “Senyum itu menimbulkan munculnya dua lesung pipit di wajahnya.<br />Hemmm… Dua lesung pipit itu sepertinya….”<br />“Kau seoleh termenung memikirkan sesuatu. Kau tak mau lagi memanggil diriku<br />dengan sebutan Bidadari Angin Timur itu?”<br />“Ah, tentu saja mau!” jawab Wiro cepat. Lalu dengan polos dia berkata. “Terus<br />terang aku tidak pernah melupakan dirimu sejak pertemuan kita gara-gara Guci Setan<br />itu….”<br />Satu getaran aneh yang tak pernah dirasakan sebelumnya menjalari dada Pendekar<br />212 Wiro Sableng. “Gila, mengapa aku tiba-tiba begitu kangen pada gadis ini. Ingin<br />memeluknya, ingin menciumnya. Apakah aku sudah jatuh cinta atau Cuma…. Ah!<br />Bagaimana ini!” Wiro lagi-lagi garuk-garuk kepala.<br />Apa yang ada dalam pikiranmu Wiro…? tanya Bidadari Angin Timur perlahan<br />seraya menatap dalam-dalam ke mata sang pendekar membuat Wiro jadi salah tingkah.<br />“Aku… aku juga gembira mengetahui kau selalu ingat padaku…” jawab Wiro.<br />“Pertemuan ini satu hal yang sangat berarti bagiku.”<br />“Bagiku juga… Lalu, apakah kau mau menyertaiku ke Kartosuro?”<br />“Tentu…tentu saja aku mau…. Tapi….” Wiro ingat akan tugas dari tiga tokoh<br />silat yang salah satu adalah gurunya sendiri.<br />“Ah, hatimu bimbang. Aku tak ingin memaksa. Mungkin lain waktu kau mau<br />berjalan bersamaku lagi….” Suara Bidadari Angin Timur terdengar sedih.<br />Hati Pendekar 212 jadi luluh. Ketika si gadis membalikkan tubuhnya Wiro cepat<br />pegang tangannya dan berkata.<br />“Saat ini kau lebih penting bagiku. Aku akan antarkan kemana kau ingin pergi.”<br />“Sungguh?” tanya Bidadari Angin Timur ingin kepastian sambil pegang jari-jari<br />tangan sang pendekar.<br />Wiro anggukkan kepala. Si gadis dekapkan kedua tangannya ke pipi Wiro lalu<br />perlahan-lahan menarik wajah sang pendekar hingga akhirnya dua bibir mereka saling<br />bertemu.<br />“Aneh… Mengapa dia jadi begini berani? Karena gembira aku mengantarkannya<br />ke Kartosuro? Atau karena kangen. Atau….”<br />Murid Sinto Gendeng tak bisa berfikir lebih lama karena saat itu pelukan dan<br />ciuman Bidadari Angin Timur membuat dirinya serasa terbakar. Ketika dia balas<br />merangkul tubuh si gadis, Bidadari Angin Timur miringkan tubuhnya ke samping hingga<br />tak ampun lagi keduanya masuk ke dalam telaga.<br />TIGA<br />AKU mencium bau busuk…” kata Wiro. Bidadari Angin Timur hentikan langkahnya.<br />Dia mendongak sebentar lalu menunjuk ke arah kiri. “Datangnya dari arah sana. Mari<br />kita selidiki….”<br />Kedua orang itu dengan cepat bergerak menuju datangnya sumber bau busuk di<br />lereng bukit kecil. Tiba-tiba si gadis hentikan langkahnya.<br />“Ada apa?” tanya Wiro.<br />“Ada mayat yang sudah tak karuan rupa bergeletakan di sana….”<br />Wiro sibakkan semak belukar dan memandang ke arah yang ditunjuk Bidadari<br />Angin Timur. “Bukan hanya satu mayat. Ada tiga… empat… Mungkin lebih. Sudah<br />membusuk. Dikerubungi belatung dan lalat….” Wiro meludah ke tanah. “Sebagian hanya<br />tinggal tulang belulang belaka….”<br />“Mengerikan sekali keadaan di tempat ini….”<br />“Sebaiknya kita pergi saja,” kata Wiro.<br />“Tunggu! Wiro lihat…” suara gadis di sebelahnya terdengar bergetar.<br />“Apa…?”<br />“Di sebelah sana. Sumur batu…. Aku merasa pasti itu sumur yang aku cari.<br />Tempat tersembunyinya Kitab Wasiat Iblis,” bisik si gadis.<br />Wiro memandang ke arah sumur batu itu. Lalu memperhatikan keadaan<br />sekelilingnya. Sunyi kecuali suara lalat yang beterbangan di atas bangkai-bangkai<br />manusia itu.<br />“Kau tunggu di sini. Aku akan menyelidik. Jika kuberi tanda baru bergerak.” Si<br />gadis anggukkan kepala dan berbisik. “Hati-hati. Jangan kau biarkan aku sendirian terlalu<br />lama disini.” Gadis ini lepaskan pegangannya pada lengan Wiro.<br />Wiro cepat mendekati sumur batu, melangkahi mayat-mayat yang membusuk.<br />“Gelap, berkabut…. Sumur ini pasti dalam sekali.” Kata Wiro dalam hati begitu<br />dia berdiri di tepi sumur dan memandang ke dalamnya. “Apa betul Kitab Wasiat Iblis itu<br />ada di dalam sumur ini? Bangkai-bangkai manusia itu. Siapa mereka? Korban saling<br />bunuh antara pemburu kitab sakti?” Wiro perhatikan bagian sebelah atas sumur yang<br />agak terang. Dia melihat ada ulir berbentuk tangga menurun sepanjang dinding sumur.<br />“Aku tidak berminat mendapatkan kitab itu. Tapi kalau jalan ke dasarnya mudah apa<br />salahnya menyelidik. Hanya saja dari dalam sumur aku mencium bau busuk. Pasti ada<br />mayat di dalam sana….”<br />Wiro berpaling ke arah semak-semak tempat tadi dia meninggalkan Bidadari<br />Angin Timur. “Sahabatku cantik! Silahkan datang ke sini! Wiro memanggil.<br />Tak ada jawaban.<br />“Bidadari Angin Timur! Aku di sini!” seru Wiro. Dia menunggu sesaat. “Eh, apa<br />gadis itu sudah dicekik hantu bisu hingga tak bisa menjawab?!” Wiro memanggil lebih<br />keras. “Bidadari Angin Timur!”<br />Tiba-tiba dari balik semak belukar terdengar suara tawa bergelak, membuat<br />Pendekar 212 terkejut bukan main.<br />“Ada sesuatu yang tidak beres!” pikir murid Sinto Gendeng. Dia cepat melangkah<br />ke arah semak belukar tempat tadi dia meninggalkan Bidadari Angin Timur. Namun<br />belum sempat dia mencapai tempat itu dari balik semak belukar muncul dua orang<br />bertampang angker.<br />Orang pertama mengenakan jubah hitam. Memiliki mata kanan membeliak besar<br />sebaliknya mata kiri hampir tertutup. Kepalanya botak aneh karena hanya yang sebelah<br />kiri sedang bagian kanan memiliki rambut panjang awut-awutan. Mukanya sebagian<br />tertutup kumis dan cambang bawuk lebat.<br />“Manusia apa ini, jelek angker. Ada tiga guratan pada keningnya…” kata Wiro<br />dalam hati. Dia berpaling pada orang kedua. Yang pertama sekali diperhatikannya adalah<br />bentuk sepasang tangan orang itu. Selain ditumbuhi bulu lebat dua tangan itu tidak<br />berbentuk tangan manusia tapi berupa cakar berkuku hitam runcing. Daging wajah orang<br />ini hancur seperti dicacah sedang hidungnya tinggi bengkok. Sepasang matanya<br />mengerikan karena bagian bawahnya menggembung merah dan selalu basah . “Aku rasarasa<br />kenal dua kadal angker ini”, membatin Wiro.<br />Yang membuat Pendekar 212 jadi tersentak kaget ialah karena dua manusia tak<br />dikenal itu keluar dari semak belukar sambil menyeret bidadari Angin Timur.<br />“Bidadari!” seru Wiro seraya hendak melompat. Tapi dua orang yang menyeret si<br />gadis lebih dulu menyongsong menghadang, melepas si gadis begitu saja hingga jatuh<br />tertelungkup di tanah.<br />“Dia tidak bergerak, juga tidak bersuara! Pasti dua keparat itu telah<br />membokongnya dengan totokan hebat!”<br />“Siapa kalian?!” Bentak Bentak Wiro.” Apa yang kau lakukan terhadap<br />sahabatku?!”<br />Dua orang yang dibentak menyeringai. Si jubah hitam membuka mulut. “Jawaban<br />pertama aku yang menjawab. Aku datuk dunia persilatan dikenal denagn Tiga Bayangan<br />Setan!”<br />“Cocok!” seru Wiro.<br />Tiga Bayangan Setan kerenyitkan kening dan pelototkan matanya yang<br />gembung.”Apa maksudmu cocok?!”<br />“Mukamu memang seperti setan!”<br />“Kurang ajar!” Tiga Bayangan Setan menggembor marah dan langsung hendak<br />menyerang Wiro. Tapi teman disebelahnya berkata.”Kau belum memperkenalkan<br />diriku…”<br />Mulut Tiga Bayangan Setan komat-kamit sebentar baru bicara. “Dia dikenal<br />dengan julukan Elang Setan!”<br />“Aha! Juga cocok! Muka seperti setan tangan seperti cakar elang. Boleh aku<br />bertanya…?”<br />“Bangsat!” Kau mau tanya apa?!” bentak Elang Setan.<br />“Dengan tangan seperti itu bagaimana kau menyuap makanan? Lalu satu lagi…<br />bagaimana kau cebok?! Lalu kulihat cakar kelingking kirimu buntung. Apa patah waktu<br />kau ngupil?!”<br />“Setan alas minta mampus!” Elang Setan berteriak keras lalu melompat sambil<br />tangan kanannya membeset kearah leher Wiro.<br />Murid Eyang Sinto Gendeng maklum kehebatan cakar lawan. Waktu sinar hitam<br />dan merah bertabur keluar dari tangan kanan Elang dia cepat mundur dua langkah sambil<br />dorongkan tangan kanan melepas pukulan “benteng topan melanda samudera”.<br />Elang Setan Keluarkan seruan tertahan ketika merasakan ada satu gelombang<br />angin laksana tembok yang tak kelihatan menahan gerakannya. Ketika dia kerahkan<br />tenaga untuk menembus kedua kakinya malah terangkat ke atas.<br />“Kurang ajar!” Kau kira aku tidak sanggup menembus pertahananmu!” teriak<br />Elang Setan. Dia melesat dua tombak ke atas lalu jungkir balik di udara. Di lain kejap<br />tubuhnya meluncur laksana sebatang tombak. Dua tangan terpentang lurus. Satu<br />diarahkan ke muka Wiro, satunya lagi ke bagian dada tepat di arah jantung. Sebelum<br />serangan sampai dua larik sinar merah bercampur hitam menerpa lebih dahulu!<br />“Serangan ganas! Dia hendak mencakar hancur mukaku dan menjebol dadaku!”<br />Wiro kertakkan rahang. Cepat dia bergerak ke samping kiri. Dia merasa angin<br />menggidikan menampar mukanya sebelah sewaktu serangan cakar elang lawan lewat di<br />samping kepalanya.<br />Ternyata serangan Elang Setan kearah muka tipuan belaka. Dia sengaja<br />memperlambat gerakan serangannya agar mudah dihindar. Namun bersamaan dengan itu<br />cakar setan tanmgan kanannya melesat ke dada.<br />“Serahkan jantungmu!” teriak Elang Setan sambil tertawa bergelak karena dia<br />yakin serangan mautnya itu akan berhasil.<br />Sadar kalau dia tak bisa menghindarkan diri dari serangan lawan maka Wiro cepat<br />kerahkan tenaga dalam. Tangan kirinya bergerak, memukul ke atas.<br />Dua lengan beradu keras.<br />“Bukkk!”<br />Suara tawa Elang Setan mendadak sontak terputus berganti dengan seruan<br />kesakitan. Tubuhnya terpental sampai empat langkah lalu terjengkang di tanah. Walau<br />sangat kesakitan tapi dia cepat melompat berdiri. Dalam hati dia merasa tidak percaya.<br />Sepasang lengannya itu kebal terhadap segala macam rasa sakit. Waktu Pangeran<br />Matahari menghantamkan tangannya ke sumur batu, justru bibir sumur batu yang gompal<br />sementara lengannya sendiri tidak cidera. Tapi kini bentrokan dengan lengan Wiro dia<br />merasa sakit bukan main. Yang lebih membuatnya sakit hati, di hadapannya dilihatnya<br />Wiro masih tetap berdiri walau lengan kirinya tampak membengkak merah.<br />Elang Setan melompat ke samping Tiga Bayangan Setan dan berbisik. “Manusia<br />ini benar-benar berbahaya. Sesuai tugas kita harus membunuhnya saat ini juga!”<br />Apa yang dibisikan Elang Setan sempat terdengar oleh Wiro. Sang Pendekar serta<br />merta membentak.<br />“Siapa yang menugaskan kalian membunuhku? Siapa yang membayar kalian?!”<br />EMPAT<br />TIGA Bayangan Setan dan Elang Setan sama-sama menyeringai. “Telingamu tajam juga<br />rupanya!” ujar Tiga Bayangan Setan. “Siapa yang menugaskan kami membunuhmu tak<br />usah kau tanyakan. Jika masih penasaran nanti tanyakan saja pada setan kuburan! Ha…<br />ha… ha…!”<br />Elang Setan pegang bahu saudara angkatnya itu lalu berkata. “Tapi mungkin kita<br />akan mempertimbangkan untuk tidak membunuhnya kalau dia menyerahkan barang<br />berharga yang dimilikinya….”<br />“Apa maksudmu?!” bertanya Wiro sambil melirik ke arah sosok Bidadari Angin<br />Timur yang tertelungkup tak berdaya, tak bisa bergerak tak mampu bersuara. Dalam hati<br />Wiro membatin. “Setahuku gadis itu memiliki kepandaian tinggi. “Gerakannya laksana<br />kilat. Kalau dia bisa dilumpuhkan begitu rupa berarti dua manusia keparat ini memiliki<br />kepandaian luar biasa. Aku harus berlaku hati-hati.”<br />“Kami mendengar kau membekal satu senjata mustika berupa kapak sakti bermata<br />dua berikut pasangannya batu api hitam mukjizat. Kalau kau mau menyerahkan dua<br />benda itu pada kami, kami akan mengampuni selembar nyawamu!” Yang bicara adalah<br />Tiga Bayangan Setan.<br />Mendengar ucapan Tiga Bayangan Setan Wiro segera maklum kalau dua orang di<br />hadapannya sudah mengetahui siapa dirinya. “Apa yang kumiliki tidak untuk<br />dipertukarkan. Tapi jika kalian berdua memaksa bagaimana kalau dua benda itu aku tukar<br />dengan dua nyawa kalian!” Habis berkata begitu Wiro tertawa gelak-gelak.<br />Tiga Bayangan Setan maju selangkah. ”Kau mau nyawaku silahkan ambil! ”Dia<br />pentang dada dan menantang. ”Kau mau berbuat apa unutuk ambil nyawaku silahkan<br />lakukan! ”Pilih tempat yang empuk agar nyawaku enak keluarnya. Ha…ha…ha!”<br />“Manusia jelek gundul sebelah! Kau akan menyesal berani bicara keliwat<br />takabur!” Begitu selesai bicara Pendekar 212 Wiro Sableng melompat ke depan. Tangan<br />kanannya melesat dalam jurus ”kepala naga menyusup awan.” Yang di arah adalah dada<br />Tiga Bayangan Setan, tepat di bagian jantung.<br />“Bukkk!”<br />Tubuh Tiga Bayangan Setan mencelat sampai dua tombak. Sesaat dia terkapar<br />dan tersandar ke dinding sumur batu. Wajahnya yang angker sama sekali tidak<br />menunjukkan bayangan rasa sakit, malah melontarkan seringai mengejek. Dari mulutnya<br />tak ada darah yang mengucur.<br />“Seharusnya jantungnya pecah dan saat ini sudah konyol! Gila! Ilmu kebal apa<br />yang dimiliki setan alas gundul sebelah ini?!” ujar Wiro dalam hati sambil perhatikan<br />tinju kanannya.<br />Tiga Bayangan Setan keluarkan tawa bergelak lalu berdiri: Dia berpaling pada<br />Elang Setan dan berkata. “Berikan tombak Wesi Ketaton itu padanya…”<br />Elang Setan mengambil tombak besi yang separuh amblas di tanah lalu<br />melemparkannya pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Cara Elang Setan melemparkan<br />Senjata itu tidak sembarangan. Salah tangkap atau kurang cepat memegangnya bagian<br />runcing atau bagian yang berbentuk pisau tipis melingkar bisa membabat leher Wiro.<br />Sambil merunduk Wiro tangkap tombak yang dilemparkan dengan tangan kiri.<br />“Astaga! Setahuku ini adalah senjata Tubagus Kasatama, orang tua bergelar Dewa<br />Berjubah Kuning Berongkat Besi!” membatin murid Sinto Gendeng begitu dia pegangi<br />dan perhatikan tongkat besi dalam genggamannya.”Apa yang terjadi-dengan orang tua<br />kepercayaan Keraton itu?”<br />“Kau mengenali senjata itu Pendekar 212?” tanya Tiga Bayangan Setan.<br />“Dan kau ingin tahu dimana pemiliknya sekarang berada, apa yang telah terjadi<br />dengan dirinya?!” menimpali Elang Setan sambil usap-usap lengannya yang masih sakit<br />akibat bentrokan dengan Wiro tadi.<br />“Apa yang telah kalian lakukan terhadap orang tua itu?!” sentak Wiro.<br />Tiga Bayangan Setan tertawa panjang. ”Kau tak usah khawatir keadaan orang tua<br />itu. Saat ini pasti dia sehat-sehat dan tenang-tenang berada di dalam akhirat!”<br />“Jadi kalian telah membunuhnya?!” Wiro melotot besar.<br />“Saudara angkatku hanya mengorek jantungnya dari dalam dadanya. Kalau dia<br />kemudian menemui kematian mana bisa kami dipersalahkan!” Tiga Bayangan Setan dan<br />Elang Setan lalu tertawa terbahak-bahak.<br />“Jahanam!” rutuk Wiro. Sebagai orang yang punya hubungan dekat dengan<br />Keraton di barat dan timur, Wiro kenal baik dengan Tubagus Kasatama alias Dewa<br />Berjubah Bertongkat Besi. Saking marahnya Wiro kerahkan tenaga dalam dan siap untuk<br />lepaskan ”pukulan sinar matahari” kearah Tiga Bayangan Setan. Tapi di depan sana,<br />sambil bersandar ke dinding sumur Tiga Bayangan Setan kembali menantang.<br />“Pukulanmu tadi terlalu empuk! Sungguh memalukan karena dilepas oleh orang<br />yang katanya punya nama besar dalam dunia persilatan dan sampai dijuluki Pendekar<br />Kapak Maut Naga Geni 212. Ternyata kau tidak punya kepandaian apa-apa! Bagaimana<br />selama ini kau bisa menipu dunia persilatan?!”<br />Murid Sinto Gendeng merasa terbakar. Dia melangkah dekati Tiga Bayangan<br />Setan.<br />“Nah, nah! Ternyata kau masih punya nyali untuk melawanku. Silahkan<br />pergunakan tombak sakti itu! Kau boleh menusuk tubuhku dengan ujung yang runcing,<br />atau membabat putus leherku dengan bagian yang bulat pipih setajam mata pisau!”<br />“Manusia sombong! Aku mau tahu sampai dimana kehebatanmu!” Wiro<br />pindahkan tombak Wesi Keraton ke tangan kanannya. Karena tangan itu telah dialiri<br />tenaga dalam penuh maka tombak sakti sampai mengeluarkan cahaya hitam<br />menggidikkan.<br />“Kau boleh pilih bagian yang kau suka! Mukaku, dada atau perut! Atau kau suka<br />bagian di bawah perutku?!” Tiga Bayangan Setan tertawa bergelak. Dia memandang tak<br />berkesip ketika Wiro dengan kecepatan kilat melompat ke hadapannya. Tongkat besi di<br />tangan kanan ditusukkan ke arah kening Tiga Bayangan Setan dimana terdapat tiga<br />guratan aneh!<br />Kepala Tiga Bayangan Setan seolah terlontar ke belakang tapi tubuhnya tetap tak<br />beranjak dari dinding sumur batu. Bersamaan dengan kilatan aneh keluar dari tiga<br />guratan di keningnya. Lalu terdengar suara berdentrang. Ujung runcing tombak yang<br />ditusukkan Wiro ke kening orang itu patah. Wiro sendiri merasakan tangannya bergetar<br />keras dan seolah memegang besi panas hingga dia terpaksa lepaskan senjata itu.<br />Menyaksikan tombak sakti bisa patah sedang kening Tiga Bayangan Setan tidak cedera<br />sedikitpun, Pendekar 212 ambil keputusan untuk lancarkan serangan sakti berupa<br />“pukulan sinar matahari” yang selama ini sulit dicari tandingannya dan merupakan<br />pukulan sakti dikenal paling mematikan dalam rimba persilatan.<br />Sebagai tokoh silat golongan hitam yang menjadi menjadi momok dimana-mana<br />tentu saja Tiga Bayangan Setan segera menduga pukulan sakti apa yang hendak<br />dikeluarkan lawan begitu dilihatnya tangan kanan Pendekar 212 berubah menjadi putih<br />berkilau laksana perak mendidih!<br />“Pukulan sinar matahari! Aku sudah lama mendengar kehebatannya. Tapi kalau<br />tidak dibuktikan mana aku mau percaya!” ujar Tiga Bayangan Setan.<br />“Manusia setan ini benar-benar sangat takabur!” kata murid Sinto Gendeng yang<br />jadi kalap karena dipandang enteng begitu rupa. Seluruh tenaga dalam disalurkannya ke<br />tangan kanan. Didahului teriakan lantang tangan itu dihantamnya ke depan!<br />“Wusss!<br />Sinar putih menyilaukan disertai panas luar biasa berkiblat menghantam Tiga<br />Bayangan Setan yang saat itu masih berdiri bersandar ke dinding sumur batu.<br />Meski percaya diri namun Tiga Bayangan Setan tidak mau berlaku ayal.<br />Tubuhnya melesat ke atas setinggi dua tombak. Dua tangannya mengepal lalu diadukan<br />satu sama lain di atas kepala.<br />Pukulan sinar matahari menghantam sumur batu hingga hancur berkeping-keping.<br />Walau pukulan sakti itu tidak mengenai sasarannya namun hawa panas membuat kaki<br />jubah hitam yang dikenakan Tiga Bayangan Setan hangus! Sementara itu hancuran sumur<br />bertebar ke berbagai penjuru menutupi pemandangan.<br />“Jahanam! Pukulan sakti itu benar-benar berbahaya!” rutuk Tiga Bayangan Setan<br />walau tubuhnya tidak cidera sedikitpun.<br />Mau tak mau hati Pendekar 212 Wiro Sableng diam-diam jadi tergetar juga<br />melihat lawan sanggup meloloskan diri dari pukulan saktinya.<br />Dua kepalan Tiga Bayangan Setan meletup keluar tiga sosok yang mula-mula<br />berupa asap namun dalam waktu sekejapan saja berubah menjadi tiga sosok makhluk<br />berbentuk raksasa, rambut riap-riapan, taring mencuat dan mata merah. Ketiganya<br />keluarkan suara menggereng lalu serentak ulurkan tangan kanan, memukul kearah batok<br />kepala Pendekar 212 Wiro Sableng!<br />Seumur hidup baru sekali ini murid Sinto Gendeng melihat ilmu hitam begitu<br />hebat. Dia melompat jauhkan diri. Ketika Tiga Bayangan Setan berusaha menyergap dan<br />tiga raksasa jejadian lancarkan serangan Wiro langsung menghantam dengan “pukulan<br />sinar matahari”!<br />Wusss!”<br />Sinar putih dan panas berkiblat. Tiga Bayangan Setan jatuhkan diri ke tanah. Tiga<br />makhluk raksasa keluarkan raungan keras.<br />“Bummmm!”<br />“Bummmm!”<br />Dua ledakan keras menggelegar.<br />Tiga Bayangan Setan jatuh terbanting ke tanah. Makhluk raksasa di sebelah kiri<br />dan kanan mental seolah-olah tanggal dari batok kepalanya, berubah jadi asap. Tapi<br />makhluk raksasa yang di sebelah tengah tetap utuh. Malah didahului raungan keras dia<br />melesat ke depan. Kalau sebelumnya sosoknya sampai sedada kini makhluk rakasasa<br />jejadian ini keluar utuh dari batok kepala Tiga Bayangan Setan sementara dua temannya<br />tadi musnah akibat hantaman pukulan sakti yang dilepaskan Wiro perlahan-lahan kembali<br />ke bemtuknya semula!<br />“Bunuh!” teriak Tiga Bayangan Setan.<br />Makhluk raksasa yang di tengah menghantam kearah Wiro.<br />“Jin dan segala macam makhluk jejadian takut dengan api!” Pikiran itu tiba-tiba<br />muncul di benak Wiro. Secepat kilat dia mengeluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dan<br />batu hitam pasangannya. Mata kapak kalau diadu dengan batu hitam akan mengeluarkan<br />lidah api. Inilah yang dilakukan segera oleh Wiro. Namun sebelum tangannya bergerak<br />Tiga Bayangan Setan berteriak memberi perintah.<br />“Rampas!”<br />Pendekar 212 Wiro Sableng berseru kaget ketika tiba-tiba dua tangan raksasa<br />yang sebelah tengah berubah menjadi panjang dan menyambar kearah dua senjata<br />mustika yang dipegangnya.<br />Wiro cepat menghindar dengan melompat ke belakang. Begitu ada kesempatan<br />dia segera hantamkan Kapak Maut Naga Geni 212. Wiro sengaja menerobos diantara dua<br />tangan yang terjulur. Yang diarahnya adalah batok kepala raksasa di sebelah tengah.<br />Namun alangkah kagetnya murid Sinto Gendeng ini ketika lebih cepat dari gerakannya,<br />tangan raksasa jejadian sebelah kanan bergerak mendahului mencengkram mata kapak<br />sedang tangan kiri memukul kearah batok kepalanya!<br />Pendekar 212 hanya punya kesempatan sekejapan untuk memilih. Apa dia mau<br />selamatkan senjata mustikanya atau hindarkan kepalanya dari kehancuran!<br />“Setan alas keparat!” Wiro masih sempat memaki. Dia tak kuasa<br />mempertahankan Kapak Naga Geni 212 dari renggutan raksasa jejadian yang sangat kuat.<br />Senjata mustika sakti itu terlepas pegangannya karena mau tak mau dia harus selamatkan<br />kepala!<br />Ketika hantaman pada kepalanya berhasil diledakan Pendekar 212 masih berusaha<br />menerjang ke muka untuk dapatkan senjatanya kembali. Tapi sosok raksasa sebelah kiri<br />tiba-tiba hantamkan tangan kanannya. Wiro merasa seperti di gebuk balok besar. Dari<br />mulutnya keluar jeritan keras disertai semburan darah. Tubuhnya mencelat sampai tiga<br />tombak dan terkapar di tanah tak berkutik lagi.<br />“Kita berhasil membunuhnya!” teriak Elang Setan. “Dunia persilatan akan geger!<br />Nama kita akan mencuat setinggi langit! Aku mau tahu siapa tokoh persilatan yang tidak<br />merinding mendengar nama kita! Ha…ha…ha!”<br />Tiga sosok raksasa jejadian di atas kepala Tiga Bayangan Setan lenyap. Sambil<br />meyeringai puas dia berkata pada Elang Setan. “Ambil batu hitam di tangan kiri pemuda<br />itu. Kita perlu segera mencari Pangeran Matahari untuk memberi tahu peristiwa besar ini.<br />Tugas dari dia sudah kita jalankan. Empat puluh hari lebih kita menunggu munculnya<br />Pendekar 212. Saatnya kita minta dia memberikan obat penawar racun dalam tubuh kita.”<br />Saat itu tiba-tiba udara menjadi redup seolah matahari tertutup awan tebal. Tiga<br />Bayangan Setan memandang ke langit dan serta merta terperangah. Di langit dilihatnya<br />ada pemandangan aneh.<br />“Elang Setan! Lihat!” Tiga Bayangan Setan berseru seraya menunjuk ke langit.<br />Saat itu di langit tampak tujuh paying tujuh warna dalam keadaan terkembang<br />meluncur demikian rupa laksana terbang. Mula-mula tujuh payung itu terbang<br />memanjang dalam bentuk garis lurus. Tepat di atas lereng bukit dimana Tiga Bayangan<br />Setan dan Elang Setan berada, tujuh payung bergerak berputar membentuk lingkaran<br />dengan payung warna merah berada berada di tengah lingkaran. Melihat tujuh payung<br />warna warni secara aneh terbang di udara saja sudah merupakan keanehan. Apalagi saat<br />itu jelas terlihat ada sesosok tubuh bergantungan pada tangkai payung berwarna merah.<br />Cara orang ini bukan memgang payung dengan tangannya tapi justru kedua kakinya yang<br />menjepit gagang payung. Jadi saat itu keadaan tubuhnya menggelantung kaki ke atas<br />kepala ke bawah.<br />Dari bentuk dan warna pakaian serta rambunya yang tergerai jatuh ke bawah<br />dapat diduga orang yang bergantung pada gagang payung merah adalah seorang<br />perempuan.<br />“Aneh…”desis Elang Setan.<br />“Aku mencium bau bahaya…” berkata Tiga Bayangan Setan. “Kita sudah<br />dapatkan senjata mustika itu. Buat apa mencari urusan baru. Lekas ambil batu hitam itu.<br />Aku akan membawa si gadis!”<br />Tiga Bayangan Setan bergerak cepat ke tempat Bidadari Angin Timur tergeletak<br />sedang Elang Setan berkelebat merenggut batu hitam sakti dari genggaman tangan kiri<br />Pendekar 212.<br />LIMA<br />Pangeran Matahari mendera kuda tunggangannya habis-habisan hingga binatang itu lari<br />seperti kesetanan. Ketika hari mulai gelap, memasuki sebuah lembah di utara Tegalrejo<br />baru dia memperlambat lari kudanya. Jalan yang ditempuh kini menurun terus, penuh<br />semak belukar dan gelap. Tapi kuda itu bergerak terus tanpa halangan seolah dia sudah<br />tahu seluk beluk jalan yang ditempuhnya.<br />Pangeran Matahari usap-usap leher kudanya seraya berkata. “Kau kuda baik, kuda<br />cerdik. Empat tahun tak pernah ke sini ternyata kau masih ingat jalan! Di dekat goa sana<br />banyak tumbuh rumput segar hijau dan gemuk! Kau nanti boleh makan sepuasmu!”<br />Lewat sepeminuman teh kuda yang ditunggangi Pangeran Matahari berhenti di<br />hadapan sebuah gundukan batu besar, diapit oleh dua batang pohon besar serta tertutup<br />oleh semak belukar tinggi. Disekitar tempat itu tumbuh banyak sekali rumput segar<br />gemuk.<br />“Kita sudah sampai…” kata Pangeran Matahari. “Kau boleh istirahat dan makan<br />rumput sepuasmu!”<br />Lalu sang Pangeran turun dari kudanya. Baru saja dia menginjakan kaki di tanah<br />binatang itu tiba-tiba mengangkat kepalanya dan keluarkan suara menggembor. Pangeran<br />Matahari yang tadinya hendak melangkah segera hentikan gerakannya dan menatap<br />kudanya.<br />“Kau mengetahui sesuatu yang aku belum ketahui. Ada apa…?” Pangeran<br />Matahari usap-usap bagian atas hidung binatang itu. Sang kuda menggembor lagi, lalu<br />meringkik halus.<br />“Hemmm… Terima kasih… Kau mengingatkan agar aku berlaku waspada!” Sang<br />Pangeran buka matanya lebar-lebar dan memandang berkeliling. Tapi dia memang tidak<br />memperhatikan tapi kini dia bisa melihat. “Ada semak belukar yang terusik. Tapi tak ada<br />tanda-tanda bekas rumput terpijak. Hanya orang-orang berkepandaian tinggi yang bisa<br />punya pekerjaan seperti ini….” Pangeran Matahari besarkan mata, pasang telinga lalu<br />memperhatikan keadaan sekelilingnya sekali lagi. Ketika dia mendongak ke atas,<br />dadanya berdebar. Pada cabang pohon di sebelah kanan gundukan batu besar sesosok<br />tubuh kelihatan menelungkup membelintang. Ada cairan mengucur dari bagian<br />kepalanya.<br />“Kudaku , kau pergilah merumput. Tenang dan jangan keluarkan suara. Tak ada<br />apa-apa di tempat ini…” bisik sang Pangeran pada kudanya. Lalu dia putar tubuhnya.<br />Sekali kedua kakinya menekan tanah, tubuhnya berayun dan melesat ke atas. Sesaat<br />kemudian dia sudah berada di cabang pohon dimana ada sosok tubuh tergeletak<br />membelintang. Pangeran Matahari membungkuk berusaha untuk melihat wajah orang.<br />Tapi kepalanya laksana disentakkan. Dia meludah ke tanah. Wajah dan kepala orang di<br />cabang pohon itu hancur mengerikan, tak bisa dikenali! Siapapun dia adanya orang ini<br />sudah jadi mayat. Jelas dia dibunuh orang!<br />Pangeran Matahari perhatikan pakaian orang. Pakaian ringkas warna coklat. Pada<br />pinggangnya melilit sebuah rantai besi yang diganduli puluhan kepingan-kepingan besi<br />berbentuk segitiga tajam.<br />“Senjata andalannya ini tak sempat dipergunakan. Lawan keburu<br />menghabisinya…” pikir Pangeran Matahari. Dari atas cabang pohon dia bisa melihat<br />keadaan di bawahnya lebih jelas. Tak ada gerakan, tak ada suara. Kehitaman mendekam<br />dimana-mana. Akhirnya dia melompat turun kembali. “Siapapun orang yang membunuh<br />lelaki di cabang pohon itu pasti dia sudah meninggalkan tempat ini… Mungkin aku harus<br />membatalkan niat untuk tinggal di tempat ini. Paling tidak aku hanya bisa pergunakan<br />untuk sekedar bermalam…”<br />Pangeran Matahari lalu mencabuti semak belukar yang menghalangi langkahnya<br />menuju gundukan batu besar.”Semak belukar tak terusik. Belum ada yang masuk ke<br />tempat ini…” Pangeran Matahari merambas pohon-pohon jalar yang menutupi gundukan<br />batu. Ketika semak belukar dan pohon jalar yang tersingkir, bagian depan gundukan batu<br />besar itu ternyata adalah mulut sebuah goa besar.<br />Sang Pangeran tak segera masuk. Dia dongakkan kepala lalu menghirup udara<br />dalam-dalam.”Udara segar bercampur bau minyak. Berarti memang tak ada manusia<br />yang masuk ke sini. Dan minyak obor-obor di dalam sana masih utuh…”<br />Bagian dalam goa itu cukup besar dan tinggi. Suasana gelap menyambut Pangeran<br />Matahari. Dia melangkah ke dinding kanan, meraba-raba sampai akhirnya tangannya<br />menyantuh sebuah obor besar yang tergantung di dinding batu. Dengan cepat obor<br />dinyalakan. Keadaan dalam goa kini jadi terang. Di dinding sebelah kiri kelihatan lagi<br />sebuah obor yang segera dinyalakan oleh sang Pangeran hingga keadaan dalam goa jadi<br />terang benderang.<br />Pada bagian tengah goa sebelah dalam ada sebuah batu tinggi berbentuk rata yang<br />keseluruhannya telah diselimuti lumut kehijauan. Pada ujung batu sebelah kanan berdiri<br />satu patung manusia berkepala singa yang bagian atasnya berlobang. Pada lobang ini<br />menancap sebuah obor kecil. Setelah menyalakan obor kecil ini Pangeran Matahari buka<br />mantelnya lalu mengembangkannya di atas batu rata. Duduk di atas batu Pangeran<br />Matahari rangkapkan kedua tangan di depan dada, pejamkan mata dan tubuhnya untuk<br />beberapa lama tak bergerak sedikitpun. Hembuskan nafasnya bahkan tidak terdengar.<br />Apa yang dilakukan sang Pangeran saat itu adalah mengatur jalan nafas dan peredaran<br />darah serta hawa sakti yang ada dalam tubuhnya.<br />Sesaat kemudian sepasang mata Pangeran Matahari tampak terbuka, wajahnya<br />kelihatan merah. “Kitab Wasiat Iblis yang ada padaku membawa perubahan besar.<br />Sebelumnya tak pernah aku merasa jalan darah, pernafasan dan hawa sakti dalam<br />tubuhku begini luar biasa…”<br />Dari balik baju hitamnya sang Pangeran keluarkan kitab sakti itu. Tangannya<br />sesaat terasa bergetar. Sampul kitab berwarna hitam, terbuat dari daun lontar kering yang<br />dicelup dalam sejenis dawai. Beberapa bagian dari sampul kitab ini sudah gugus dimakan<br />usia. Dengan tangan masih agak gemetar Pangeran Matahari letakkan kitab di atas<br />pangkuannya lalu membuka sampulnya. Pada halaman pertama kitab daun lontar itu<br />tertera tulisan berbunyi “Kitab Wasiat Iblis”.<br />Dihalaman kedua yang keadaannya sangat rusak samar-samar tertera tulisan<br />dalam huruf-huruf Jawa kuno berbunyi : ”Kitab ini berjodoh bagi siapa saja yang<br />sanggup membunuh lawan sambil tersenyum, meneguk darah musuh seperti meneguk<br />tuak harum, melahap jantung seteru seperti menyantap daging panggang.”<br />Pangeran Matahari katupkan rahangnya rapat-rapat. Dia membuka halaman ketiga<br />yang ternyata merupakan halaman terakhir. Di situ ada sebaris tulisan dalam aksara<br />sangat kecil dan rusak hingga untuk membacanya lebih jelas Pangeran Matahari terpaksa<br />mendekatkan kitab itu ke obor yang ada di atas kepala patung singa.<br />“Induk kekuatan segala ilmu hitam dan ilmu putih hanya satu. Kekuatan ilmu<br />hitam selalu satu langkah di depan ilmu putih, Kekuatan ilmu hitam selalu satu jengkal<br />di atas ilmu putih. Siapa yang memiliki Kitab Wasiat Iblis ini akan menjadi induk segala<br />induk dari kekuatan dunia iblis. Orang yang punya jodoh hanya satu. Ilmu yang ampuh<br />hanya satu. Yang satu itu tersimpan dalam kitab ini. Untuk menguasai ilmu penguasa<br />dunia ini yang berjodoh hanya perlu merawatnya baik-baik, membawanya kemana dia<br />pergi. Serahkan semuanya pada kekuatan Maha Iblis! Tapi bilamana disertai samadi dan<br />puasa tiga kali setiap Kemis malam Jum’at Kliwon maka kesempurnaan ilmu akan<br />tercapai. Tak ada satu kekuatan di langit dan di bumi mampu menandingi!”<br />Sesaat Pangeran Matahari duduk sambil dongakkan kepala ke langit-langit goa<br />batu. Dia ingat kehebatan Kitab Wasiat Iblis sewaktu berhadapan dengan Iblis Tua Ratu<br />Pesolek. Dia belum sempat melakukan sesuatu ketika nenek sakti itu menyerangnya.<br />Tahu-tahu dari dada, di balik pakaian hitamnya dimana Kitab Wasiat Iblis tersimpan<br />melesat cahaya hitam pekat, menghantam lawan hingga menemui ajal dalam keadaan<br />mengerikan yaitu hanya tinggal tulang belulang hangus hitam!<br />“Kekuatan hebat dalam kitab ini bekerja sewaktu aku diserang Ratu Pesolek.<br />Berarti Kitab Wasiat Iblis ini memang berjodoh dengan diriku…” Pangeran Matahari<br />cium kitab hitam itu beberapa kali lalu meletakkannya di atas kepala. “Kitab Wasiat Iblis<br />kitab mustika sakti. Kau akan jadi junjunganku. Dengan kekuatan yang kau miliki selama<br />jagat terkembang aku akan menguasai dunia persilatan.” Pangeran Matahari menyeringai.<br />Bayangan Pendekar 212 muncul di pelupuk matanya. “Manusia Wiro Sableng, tunggu<br />kedatanganku. Sekali ini kau tak bakal bisa lolos dari tangan mautku!”<br />Perlahan-lahan Pangeran Matahari turunkan tangannya yang memegang kitab di<br />atas kepala. Ketika dia hendak memasukkan kitab itu ke balik baju hitamnya tiba-tiba<br />terdengar suara tiupan keras.<br />“Bleppp!”<br />Obor besar di dinding kanan goa batu padam!<br />“Siapa?!” bentak Pangeran Matahari lalu cepat selinapkan Kitab Wasiat Iblis ke<br />balik pakaiannya.<br />Tak ada jawaban.<br />“Berani bergurau di tempat ini berarti mengantar nyawa!” kata Pangeran Matahari<br />lantang hingga suaranya menggema di dalam goa batu itu.<br />Tetap saja tak ada jawaban.<br />“Kurang ajar!”<br />Baru saja Pangeran memaki seperti itu tiba-tiba kembali berdesir angin keras.<br />“Bleppp!”<br />Kini obor besar di dinding kiri goa padam hingga bagian depan goa menjadi<br />kelam. Satu-satunya obor yang masih menyala adalah di atas kepala patung manusia<br />berkepala singa. Obor ini menerangi batu rata dan sosok Pangeran Matahari yang duduk<br />di atasnya.<br />“Mematikan lampu minyak bisa kuanggap satu pekerjaan mudah. Tapi<br />membunuh api obor yang begitu besar hanya bisa dilakukan oleh manusia berkepandaian<br />sangat tinggi!” membatin Pangeran Matahari.<br />Pada saat itu tiba-tiba muncul satu sosok memasuki mulut goa. Pangeran Matahari<br />cepat mengambil mantelnya dan berdiri. Tenaga dalam siap dialirkan ke tangan kanan<br />untuk melancarkan pukulan maut “Telapak Merapi”.<br />Di pertengahan goa sosok yang masuk hentikan langkahnya. Pangeran Matahari<br />tidak dapat melihat wajah orang ini karena terlindung oleh kegelapan. Dia hanya bisa<br />melihat bagian paling bawah pakaian yang dikenakannya yaitu sehelai jubah hitam.<br />Ujung kakinya tersembul dari balik jubah. Dia tidak memakai kasut. Orang ini ternyata<br />memiliki kaki sangat hitam dengan kuku-kuku panjang juga berwarna hitam.<br />“Hanya guruku si Muka Bangkai yang tahu tempat ini. Kalau ada orang lain<br />muncul disini jelas dia membawa maksud tidak baik!” pikir Pangeran Matahari.<br />“Tamu tak diundang. Melangkah ke tempat terang. Aku mau melihat tampangmu<br />sebelum nyawamu kubikin terbang ke neraka!”<br />Pangeran Matahari menyangka ucapannya itu tidak diperdulikan. Bahkan<br />mungkin dia akan langsung diserang. Ternyata salah. Dua kaki hitam berkuku panjang<br />bergerak maju dan berhenti dua langkah di hadapan batu datar.<br />Cahaya api obor kecil di kepala patung manusia berkepala singa menerangi sosok<br />tubuh itu. Kini Pangeran Matahari dapat melihat orang yang berdiri di hadapannya.<br />Orang ini bertubuh sangat jangkung, mengenakan jubah hitam. Kepalanya yang memakai<br />sorban hitam hampir menyentuh bagian atas goa. Sepasang tangannya menjulang ke<br />samping, begitu panjangnya hingga ujung jari sampai betis. Orang ini memiliki muka<br />sangat hitam dan berminyak. Dibawah cahaya obor mukanya tampak berkilat-kilat. Dua<br />matanya yang besar dilingkari serbuk hitam. Karena dua mata ini berwarna merah maka<br />pandangannya tampak menyorot menggidikan. Dari sela mulutnya yang terus menerus<br />berkomat kamit menetes keluar cairan berwarna merah karena dalam mulutnya dia selalu<br />mengunyah tembakau campur daun sirih.<br />“Heran!” Kata Pangeran Matahari. “Ada makhluk jelek tak tahu diri masuk ke<br />dalam goaku! Katakan siapa kau adanya!”<br />Manusia bersorban hitam sunggingkan senyum sinis baru menjawab. Suaranya<br />parau seperti tercekik.<br />“Aku adalah orang yang dilihat gurumu Si Muka Bangkai dalam mimpinya tujuh<br />puluh hari lalu!”<br />Jantung Pangeran Matahari berdetak keras. Kejutnya bukan olah-olah namun dia<br />cepat balas lontarkan seringai buruk dan berkata. “Mimpi…? Mimpi apa? Jangan berani<br />ngaco dihadapkanku! Jangan sekali-kali menyebut nama atau gelar guruku untuk urusan<br />yang tidak-tidak!”<br />Si jangkung berjubah dan bersorban hitam tertawa pendek.<br />“Aku tidak bicara ngaco! Kau yang berdusta dan pandai menyembunyikan<br />keterkejutanmu!”<br />“Manusia berkulit sehitam arang ini punya kemampuan menduga hatiku,”membatin Pangeran Matahari. Lalu<br />dia membentak. “Jangan membuat aku muak<br />! Lekas katakan siapa dirimu, apa kepentinganmu lalu lekas minggat dari hadapanku!”<br />Tangan kanan sang Pangeran tampak bergetar tanda tenaga dalamnya sudah tersalur<br />penuh.<br />“Aku datang dari jauh. Di timur aku dikenal dengan julukan Datuk Sengkang<br />Makale. Di barat aku dijuluki Hantu Tinggi Pelebur Jiwa. Di utara orang-orang<br />memanggilku Sepasang Tangan Kematian. Lalu di selatan orang-orang menggelariku<br />Pencabut Roh Bersorban Hitam. Nah, aku sudah menjawab pertanyaanmu!”<br />“Pangeran Matahari tertawa lebar. “Julukanmu banyak juga rupanya. Tapi tak<br />satupun membuatku merinding. Ha…ha…ha…! Sudah, sekarang katakan apa<br />kepentinganmu datang kesini. Kalau sudah lekas angkat kaki dari hadapanku! Goa ini<br />jadi busuk akibat bau badanmu!”<br />“Aku datang untuk meminta Kitab Wasiat Iblis yang ada di balik pakaianmu!”<br />Paras Pangeran Matahari berubah. Tapi dia lekas mengumbar suara tawa bergelak<br />lalu berkata. “Manusia muka hitam sinting! Kau tahu tengah berhadapan dengan siapa?!”<br />“Aku lebih dari tahu siapa tahu siapa dirimu. Kau terlahir dengan nama Anom.<br />Ditakdirkan sebagai seorang Pangeran terlantar karena ibumu hanya istri ketiga dari<br />penguasa Kerajaan. Kau hampir mampus kalau tidak diselamatkan oleh kakek sakti<br />berjuluk Setan Muka Pucat alias Si Muka Bangkai. Dari dia kau menerima segala<br />kepandaian silat dan kesaktian. Dari petunjuk yang aku berikan dalam mimpinya maka<br />kau berhasil mendapatkan Kitab Wasiat Iblis setalah mengalahkan Tiga Bayangan Setan<br />dan Elang Setan. Nah apakah kurang lengkap semua keteranganku?!”<br />Untuk beberapa saat lamanya Pangeran Matahari tegak seperti patung. Mulutnya<br />ternganga. Dia dongakan kepala lalu angkat tangan kanannya ke atas. Orang muka di<br />hadapannya menyeringai dan berkata.<br />“Jangan teruskan gerakanmu, atau kau akan jadi debu saat ini juga!”<br />Pangeran Matahari yang dikenal sebagai pendekar segala cerdik, segala akal,<br />segala congkak dan segala licik merasa sangat dihina oleh ucapan dan ancaman Datuk<br />Sengkang Makale. Dia meludah ke lantai lalu berkata. “Aku hanya bersedia menukar<br />Kitab Wasiat Iblis itu dengan nyawamu. Apa jawabmu Hantu Tinggi Pelebur Nyawa!”<br />“Jika aku boleh menawar, bagaimana kalau nyawaku ditukar dengan kitab<br />ditambah nyawamu?!”<br />Rahang Pangeran Matahari menggembung. Sepasang matanya membeliak berapiapi.<br />Datuk Sengkang Makale tertawa gelak-gelak<br />“Aha! Agaknya kau punya dua nyawa hingga berani berucap begitu!” ujar<br />Pangeran Matahari.<br />“Kau sudah melihat sendiri ada manusia mampus yang mayatnya melintang di<br />cabang pohon! Mayat itu sekarang kedinginan! Apa kau mau menemaninya?!”<br />“Siapa orang itu?! Kenapa kau membunuhnya?!” Tanya Pangeran Matahari.<br />“Dia seorang tokoh dari utara menyadang julukan Sepasang Tangan Beracun.<br />Aku membunuhnya karena dia mencoba bersaing untuk dapatkan Kitab Wasiat Iblis!<br />Kalau aku bisa membunuhnya riwayatmu malam ini?!”<br />Pangeran Matahari tahu betul bahwa orang yang mati itu bukan tokoh<br />sembarangan. Jika si korban hitam bergelar Hantu Tinggi Pelebur Nyawa ini mampu<br />membunuhnya jelas dia memang memiliki kepandaian yang sulit dijajaki. Tapi dasar<br />berjiwa congkak, Pangeran Matahari anggap enteng orang di depannya malah kembali<br />dia meludah.<br />“Orang sombong sepertimu biasanya bakal menemui kematian dengan tubuh<br />cerai-berai!”<br />Si jangkung Hitam terus saja tertawa. Tiba-tiba dia semburkan gumpalan<br />tembakau dan sirih yang sejak tadi dikunyahnya. Benda ini melesat deras kearah patung<br />singa berkepala manusia dan amblas dalam patung batu itu!<br />“Pangeran, kita akan lihat siapa yang tolol diantara kita. Siapa yang tidak sadar<br />tingginya langit akan mampus lebih dulu!” Habis berkata begitu si hitam ini ulurkan kaki<br />kanannya ke lantai yang kejatuhan ludah Sang Pangeran. Ludah itu dipijaknya lalu<br />kakinya diputar-putar. Tiba-tiba terlihat Pangeran Matahari tersentak ke depan. Mulut<br />dan perutnya laksana tertusuk ratusan jarum. Dia cepat kerahkan tenaga dalam untuk<br />bertahan. Tak urung butir-butir keringat memercik di keningnya. Bibirnya bergetar.<br />Sang Datuk tertawa mengekeh.<br />“Manusia jahanam! Dengan kepandaian picisan itu apa kau kira mampu<br />menghindar dari kematian?!” bentak Pangeran Matahari. Tangannya yang sudah<br />menyiapkan pukulan “Telapak Merapi” didorongkan ke arah orang tinggi hitam yang<br />hanya berada empat langkah di depannya.<br />“Wussss!”<br />Dari telapak tangan kanan Pangeran Matahari keluar angin deras menggemuruh<br />dan menggoncang goa batu. Bersamaan dengan itu udara terasa sangat panas. Jangankan<br />tubuh manusia, batu sekalipun bisa hancur dan hangus terkena hantaman pukulan sakti<br />ini.<br />Tapi di hadapan sang Pangeran Datuk Sengkang Makale tak sedikitpun<br />bergeming malah hadapi serangan maut itu dengan tangan kiri ditolakkan di pinggang<br />sedangkan tangan kanan diangkat ke atas dengan jari telunjuk menunjuk lurus-lurus ke<br />langit-langit goa!<br />Terjadi suatu hal yang hebat dan membuat Pangeran Matahari terbeliak besar.<br />Sinar hitam pukulan saktinya laksana tersedot, tertarik kearah jari telunjuk Datuk<br />Sengkang Makale. Suara gemuruh dan hawa panas perlahan-lahan menjadi sirna.<br />Sebaliknya jari telunjuk sang Datuk kelihatan memancarkan sinar hitam legam. Ketika<br />jari itu dijentikkannya ke atas terdengar ledakan dahsyat. Cahaya hitam dan angin keras<br />menderu. Atap goa batu hancur berantakan. Lantai batu bergetar hebat lalu terbelah.<br />Kalau sang Pangeran tak cepat melompat, kedua kakinya akan terperosok ke dalam<br />belahan lantai goa! Untuk sesaat pandekar segala cerdik segala congkak itu tegak<br />tersandar ke dinding goa yang masih utuh. Wajahnya pucat pasi!<br />“Barusan aku hanya menyedot dan melepas setengah kekuatan pukulan saktimu<br />Pangeran!” kata Datuk Sengkang Makale. “Yang setengah lagi biar kukembalikan<br />padamu!”<br />Lalu sang Datuk jentikkan telunjuk tangan kanannya ke arah Pangeran Matahari.<br />Sinar hitam berkiblat! Nyawa sang Pangeran terancam oleh pukulan sakti miliknya<br />sendiri yang diredam lalu dilepas kembali oleh lawan untuk menyerang dan menghabisi<br />nya!<br />Sadar bahaya besar mengancamnya Pangeran Matahari tak mau berlaku ayal.<br />Secepat kilat dia angkat kedua tangannya untuk menangkis dan balas menghantam<br />dengan pukulan “Gerhana Matahari”.<br />Namun sebelum pukulan maut itu sempat dilepas mendadak dia merasakan<br />dadanya dia merasakan dia merasakan dadanya dilanda hawa panas. Lalu tiba-tiba sekali<br />dari dada Pangeran Matahari menderu satu gelombang angin luar biasa dahsyatnya<br />disertai berkiblatnya sinar hitam menggidikkan. Hawa panas menghampar laksana di<br />neraka. Sinar hitam maut yang dijentikkan sang Datuk disapu habis!<br />Lolongan setinggi langit keluar dari mulut Datuk Sengkang Makale. Tubuhnya<br />mencelat keluar goa, sesaat menyangsrang di semak belukar lalu jatuh di atas<br />rerumputan. Asap mengepul.<br />Ketika Pengeran Matahari keluar dari goa dia menyaksikan apa yang telah terjadi<br />dengan nenek sakti berjuluk Ratu Pesolek. Sosok jangkung Datuk Sengkang Makale yang<br />punya empat julukan itu hanya tinggal tulang-belulang hitam hangus mengeluarkan<br />kepulan asap tipis!<br />Pangeran Matahari keluarkan Kitab Wasiat Iblis dari balik bajunya. Benda ini<br />terasa hangat. Perlahan dan hati-hati kitab sakti ini diletakkannya di batu goa lalu dia<br />jatuhkan diri menyembah.<br />“Junjunganku Kitab Wasiat Iblis! Terima kasih kau telah menyelamatkan diriku!”<br />Lalu kitab itu diciumnya berulang kali, diletakkannya di atas kepalanya kemudian dia<br />melangkah masuk kembali ke dalam goa.<br />ENAM<br />Tujuh payung warna warni yakni merah, biru, kuning, putih, hitam, hijau dan ungu<br />melayang turun menuju lereng bukit tak jauh dari sumur batu dimana sosok Pendekar 212<br />terkapar. Payung warna merah sampai lebih dulu. Sejengkal lagi kepalanya akan<br />menyentuh tanah, perempuan yang bergelantungan pada payung itu lalu melompat ke<br />samping. Di lain kejap dia sudah tegak di tanah bukit. Lalu clep! Gagang lancip payung<br />merah menancap di tanah. Sekali lagi secara aneh terdengar suara clep! Payung warna<br />merah yang tadi mengembang kini kuncup dengan sendirinya.<br />Perempuan yang tegak di samping payung merah ternyata adalah seorang gadis<br />berwajah sangat cantik. Mukanya tidak disentuh alat perias sedikitpun namun kedua<br />pipinya kelihatan merah. Begitu juga bibirnya tampak segar merah. Sepasang alisnya<br />sangat hitam menaungi barisan bulu mata yang tebal lentik. Dia mengenakan pakaian<br />ringkas warna biru berbunga-bunga kuning. Rambutnya hitam, tergerai lepas<br />dipermainkan angin bukit.<br />Enam payung yang masih terkembang di udara sesaat kemudian satu persatu<br />menyusul turun mengitari payung merah dan gadis cantik itu. Lalu ujung-ujung gagang<br />payung yang lancip menancap di tanah. Satu persatu pula secara aneh enam payung yang<br />tadi terkembang menguncup!<br />Gadis di tengah kelilingan payung memandang berkeliling. Seperti diketahui<br />bukit di sekitar sumur batu itu dilanda bau busuk beberapa mayat yang bertebaran di<br />sana-sini. Tapi si gadis seolah tidak menciumnya. Dengan tenang kemudian dia<br />melangkah kearah sumur batu lalu menatap ke dalam.<br />“Aku yakin memang ini sumur yang dikatakan guru. Tapi firasatku mengatakan<br />aku datang terlambat. Benda yang kucari itu sudah tak ada di sini. Tadi aku melihat ada<br />dua orang meninggalkan bukit ini. Mungkin mereka telah mendapatkan benda itu.<br />Sebaiknya aku naik ke udara kembali. Mereka tentu belum jauh…”<br />Gadis cantik itu melangkah kea rah payung merah yang menancap di tanah. Tibatiba<br />dia hentikan langkah dan membalik. Matanya memperhatikan sosok tubuh Pendekar<br />212.<br />“Banyak mayat di tempat ini. Yang satu itu masih segar. Pasti belum lama<br />menemui ajal! Pasti dua orang yang kulihat tadi yang membunuhnya… Hemm…apakah<br />perlu memeriksa siapa dia adanya?” Berpikir sampai disitu si gadis melangkah mendekati<br />tubuh Pendekar 212 yang terkapar menelungkup. Dengan ujung kakinya dia balikkan<br />tubuh pemuda itu hingga terlentang. Sesaat dia pandangi muka Pendekar 212.<br />“Ada bekas darah di sekitar mulutnya. Mukanya sepucat kain kafan. Orang ini<br />mati akibat luka dalam yang amat parah. Hemmm… Tak pernah aku melihat dia<br />sebelumnya.” Setelah memperhatikan sesaat lagi, si gadis siap untuk beranjak. Angin<br />bukit bertiup kencang menyingkapkan pakaian putih Wiro di bagian dada. Saat itulah dia<br />tak sengaja melihat rajah tiga buah angka yang tertera di dada si pemuda.<br />Gerakan kaki si gadis yang hendak melangkah serta merta tertahan. Sepasang<br />matanya yang bening membesar. ”Dua satu dua…!” desisnya. “Astaga!” Bukankah<br />dia…” Gadis ini sesaat tampak meragu. Air mukanya mendadak pucat. Lalu perlahanlahan<br />dia berlutut. Tangannya diulurkan memegang lengan kiri Wiro. “Tak ada denyutan<br />nadi….Dia memang benar-benar sudah mati! Ah…. Bagaimana ini? Padahal menurut<br />guru aku harus…” Si gadis akhirnya duduk di samping tubuh Pendekar 212, menatap<br />terus menerus. Lalu mata itu melihat tanda merah kebiruan di bagian dada. “Bekas<br />pukulan aneh…” katanya dalam hati. Lalu menyambung. “Nasib manusia memang di<br />tangan Yang Kuasa. Mana aku menyangka kalau pertemuan dengan dirinya ternyata dia<br />sudah menjadi mayat begini rupa…. Satu-satunya kebajikan yang bisa kulakukan adalah<br />mengubur jenazahnya!” Gadis itu kembali memandang berkeliling. Di lereng bukit<br />sekitar lima puluh langkah dibawahnya ada sebatang pohon rindang. “Mungkin di bawah<br />pohon itu kubur yang baik untuknya…” Si gadis bangkit berdiri lalu membungkuk.<br />Tangan Wiro kiri kanan dicekalnya. Perlahan-lahan, dengan sangat hati-hati dia menyeret<br />mayat Pendekar 212 ke arah pohon besar di bawah sana.<br />Baru enam langkah dia menyeret sosok tubuh itu tiba-tiba terdengar suara orang<br />terbatuk-batuk.<br />“Mayat hidup!” Si gadis terpekik. Lepaskan pegangannya pada tangan Wiro lalu<br />melompat menjauh dengan wajah berubah. Tubuh Wiro yang tadi terangkat karena<br />pegangannya dilepas jadi terbanting ke tanah. Tiba-tiba tubuh itu menggeliat. Membuat<br />gadis tadi jadi tambah ketakutan.<br />“Astaga! Jelas tadi dia sudah mati. Bagaimana bisa hidup kembali!” ujar si gadis<br />dalam hati ketika dilihatnya sosok Wiro berbalik ke kanan lalu dengan susah payah dia<br />berusaha berdiri. Tapi dalam sikap merangkak tubuhnya kembali terhempas. Dari<br />mulutnya keluar suara keluhan disertai kucuran darah. Wiro angkat kepalanya.<br />Pandangannya kabur. Samar-samar dia melihat sesosok tubuh berdiri di hadapannya.<br />“Demi Tuhan, siapapun kau adanya to… tolong….”<br />“Dia benar-benar masih hidup!” ujar si gadis. Ketika kepala Wiro terkulai<br />kembali dia cepat mendatangi.<br />DUA mata yang terbuka itu tak dapat mengenali benda-benda apa yang ada di<br />atas tubuhnya. Dia hanya melihat samar-samar warna hijau, merah, kuning dan entah<br />warna apa lagi.<br />Pendekar 212 pejamkan kembali matanya. Beberapa saat kemudian baru<br />dibukanya.<br />“Aneh, benda-benda apa ini?” otaknya mulai mampu berpikir. “Tubuhku terasa<br />sakit. Tulang-tulangku seperti luluh. Tenggorokanku kering seperti terbakar. Mulutku<br />pahit. Dadaku uh… mendenyut sakit. Bernafaspun serasa mau mati! Eh, berada dimana<br />aku ini…?” Wiro merasa getaran-getaran di tanah. Matanya melirik. “Ada orang<br />melangkah di dekatku… Aku hanya melihat kaki berkasut . Pakaian biru kembangkembang<br />itu membungkuk. Wiro melihat rambut hitam tergerai. Lalu rambut itu bergerak<br />seperti disibakkan.<br />Kelihatan satu wajah.<br />Wiro pejamkan kedua matanya. Dibuka lalu dikedip-kedipkan berulang kali.<br />“Heh… Jangan-jangan aku ini memang sudah mati dan masuk sorga. Buktinya aku<br />melihat wajah cantik rambut panjang. Pasti itu wajah bidadari…” ujar Wiro perlahan tapi<br />cukup terdengar oleh orang yang berada di sampingnya.<br />“Hik… hik… hik…”<br />Wiro terkejut mendengar ada suara orang perempuan tertawa cekikikan tapi<br />tertahan-tahan. Matanya berputar memandang kian kemari. “Astaga…. Jangan-jangan<br />yang kulihat tadi bidadari jejadian alias hantu perempuan!” kata Wiro lalu berusaha<br />berdiri. Namun dia cuma mampu duduk. Itupun dengan terhuyung-huyung.<br />Rambut tergerai dan wajah cantik lenyap, berganti dengan satu sosok utuh mulai<br />dari kaki sampai kepala yang duduk du hadapan Pendekar 212.<br />“Si..siapa kau…? Berada dimana aku saat ini?” Wiro bertanya. Kepalanya terasa<br />berat. Dia kuatkan diri berusaha agar tidak rubuh. Tapi tak bisa.<br />Gadis di hadapan Wiro menjawab. ”Keadaan tubuhmu masih sangat lemah.<br />Sebaiknya kau berbaring saja dulu…”<br />“Aku…aku lemah?” Wiro memandang berkeliling sampai matanya kembali<br />menatap kearah wajah cantik di depannya. “Memangnya aku kenapa…?” Wiro turunkan<br />kepalanya. Wajahnya langsung berubah ketika nmelihat ada noda darah di baju serta<br />dadanya yang tersingkap. Dia juga melihat tanda merah kebiruan membelintang di<br />dadanya. Saat itu kembali rasa sakit menyerang dadanya membuat dia merintih panjang.<br />Lalu kembali Wiro menatap gadis di depannya dengan air muka penuh pertanyaan.<br />“Pertama aku menemuimu, kukira kau sudah mati. Aku<br />mengubur jenazahmu…” si gadis berniat hendak memberitahu.<br />“Tengkukku merinding mendengar ucapanmu. Apa betul…” Wiro berucap.<br />Tangan kanannya hendak menggaruk kepala tapi dia masih tak mampu menggerakkan.<br />Malah saat itu tubuhnya terasa huyung dan akhirnya dia terbaring terlentang di tanah.<br />“Baiknya kau jangan banyak bbicara dulu. Kau menderita luka dalam amat parah.<br />Hanya kekuasaan Allah yang membuatmu masih hidup saat ini… Berbaring seperti itu<br />lebih baik bagimu.”<br />“Allah memang Maha Besar. Maha Penolong. Apa… apa yang sebenarnya terjadi<br />dengan diriku. Otakku masih belum mampu mengingat….”<br />“Jangan banyak berpikir, jangan bergerak. Juga tak perlu banyak bicara…”<br />“Mana mungkin aku berbuat begitu. Itu sama saja seperti mati sungguhan…” kata<br />Wiro.<br />“Terserah. Kalau kau mau sembuh ikuti nasihatku. Kalau tidak…Jika orang-orang<br />yang ingin membunuhmu itu muncul kembali dan kau masih dalam keadaan seperti ini,<br />tamat riwayatmu!”<br />“Eh, siapa yang ingin membunuhku…?” Wiro ajukan pertanyaan tapi mendadak<br />mukanya mengernyit. Dadanya mendenyut sakit seperti ada yang meremas di sebelah<br />dalam.<br />“Telan ini…” kata gadis berpakaian biru seraya mengeluarkan sebutir benda<br />berwarna hitam sebesar ujung jari kelingking.<br />“Apa ini…? Tahi kambing?” Tanya Wiro.<br />Paras si gadis berubah menunjukkan rasa jengkel. “Bergurau memang sehat. Tapi<br />harus pada tempatnya. Aku memberimu obat tapi kau bicara melantur. Aku akan simpan<br />saja obat ini! Kau boleh menunggu sembuh sampai seratus hari!”<br />Murid Sinto Gendeng jadi terkejut mendengar ucapan itu. “Jangan buru-buru<br />marah. Aku tidak kenal kau. Maksudmu bisa saja baik. Tapi kecurigaan ada kalanya<br />memperpanjang umur, bukan sebaliknya. Dengar….Di balik pakaian putihku ada sebuah<br />kantong kecil berisi obat. Tolong ambilkan dan masukkan ke dalam mulutku…”<br />Gadis berbaju biru angkat tangannya. “Kantong kain butut dan bau ini?!” ujarnya<br />seraya memperlihatkan sebuah kantong kain yang memang milik Wiro.<br />“Jangan menghina! Dalam kantong itu ada obat pemberian guruku!”<br />Si gadis tersenyum lebar. “Kantongnya saja sudah butut bau begini. Obatnya tentu<br />lebih buruk lagi!”<br />“Kau keliwat menghina!” Wiro berteriak tapi tenggorokannya mendadak tercekik<br />hingga dia batuk-batuk sampai keluar air mata. Dia coba bangkit dan ulurkan tangan<br />mengambil kantong kain di tangan si gadis. Namun dia hanya mampu bergerak sedikit<br />lalu jatuh lagi ke tanah.<br />“Apapun obat yang ada dalam kantong ini tak akan mampu menolong dirimu!<br />Kau bukan menderita luka dalam akibat pukulan manusia. Tapi oleh pukulan iblis. Hanya<br />obat iblis pula yang mampu menyembuhkanmu…”<br />“Maksudmu …?” Wiro melirik pada benda hitam di tangan si gadis. “Berati yang<br />di tanganmu itu obat iblis!”<br />“Terserah kau mau menyebutnya apa. Kau mau menelannya atau tidak?”<br />“Tidak…” jawab Wiro.<br />“Kalau begitu tak ada gunanya aku berlama-lama di tempat ini. Selamat tinggal.<br />Selamat bertemu dengan teman-temanmu…”<br />Eh teman-temanku siapa?!” Tanya Wiro heran.<br />“Yang sudah meninggal lebih dulu darimu!” jawab si gadis lalu letakkan kantong<br />kain milik Wiro dan cepat berdiri.<br />Dalam hati Pendekar 212 seperti mau merutuk habis-habisan. Tapi di mulutnya<br />malah muncul senyum lebar. “Tunggu!”<br />“Aku tak punya waktu melayanimu!” jawab si gadis. Tangannya bergerak<br />mencabut sebuah tiang yang menancap di tanah. Ketika tiang itu diangkat baru Wiro<br />mengenali bahwa banda itu adalh gagang sebuah payung berwarna merah. Wiro<br />memandang ke atas.”Ah, kalau begitu enam benda warna warni lain yang ada di atas<br />tubuhku ini adalah payung semua…” piker Wiro. “Tujuh payung terkembang…<br />Bagaimana dia bisa memakainya semua? Siapa sebenarnya gadis cantik ini. Apa benar<br />dia hendak menolongku…?”<br />“Hai, kau betulan mau pergi?!” Wiro bertanya.<br />“Kau tidak membutuhkan pertolongan…”<br />“Siapa bilang?!” tukas Wiro.<br />Si gadis hentikan gerakannya yang hendak melangkah pergi. Dia memandang<br />pada Wiro dengan pandangan mengkal.<br />“Baik, aku bersedia menerima pertolonganmu. Aku mengucapkan terima kasih…<br />Tapi boleh aku tahu dulu siapa dirimu sebenarnya? Kau pasti punya nama dan …Hek!”<br />Wiro tercekik. Ternyata si gadis telah melemparkan obat hitam di tangannya ke<br />dalam mulutnya. Begitu berada dalam mulut obat itu keluarkan letupan halus. Wiro<br />merasakan mulut dan seluruh kepalanya seperti terbakar. Dia menjerit keras. Perlahanlahan<br />kulitnya terbakar. Dia menjerit keras. Perlahan-lahan kulit mukanya kelihatan<br />menghitam.Warna hitam ini menjalar ke leher terus ke dada dan akhirnya turun terus<br />sampai ke ujung kaki. Bersamaan dengan itu Wiro merasa nafasnya sangat sesak.<br />Matanya perih. Dalam Keadaan seperti itu akhirnya dia hanya melihat kegelapan lalu tak<br />tahu apa-apa lagi.<br />TUJUH<br />Pendekar 212 sadar akan dirinya ketika sang surya bersinar terik di langit. Perlahan-lahan<br />dia buka kedua matanya. Dia coba berpikir. Ternyata daya ingatannya telah jernih<br />kembali. Bukan itu saja, dia merasakan ada kekuatan lagi dalam tubuhnya walau rasa<br />sakit masih ada di bagian dada. Masih dalam keadaan terbaring di tanah dia memutar<br />mata, memandang berkeliling.<br />“Benda kuning warna-warni itu… Payung-payung itu tak ada lagi… Gadis cantik<br />berpakaian biru kembang kuning itu…” Wiro bangkit duduk. Lalu berdiri. “Aneh,<br />kekuatanku sudah pulih. Pasti berkat obat yang diberikan gadis itu. Kemana dia?!” Ketika<br />dia hendak memandang lagi berkeliling mencari-cari, tiba-tiba Wiro ingat akan senjata<br />mustikanya. Diperiksanya pinggang pakaian, dia meraba kian kemari. Jantungnya<br />bergemuruh.<br />“Kapak Naga Geni 212! Batu hitam sakti!” teriak Wiro keras tapi bergetar.<br />“Celaka! Dua senjata mustika itu lenyap! Pasti telah di bawa kabur Tiga Bayangan Setan<br />dan Elang Setan! Jahanam! Aku bersumpah membunuh dua manusia setan itu!” Wiro<br />terduduk lemah di tanah.<br />Saat itulah pertama kalinya Wiro memperhatikan kedua tangannya, lalu kedua<br />kakinya. Disingkapnya dada pakaiannya.<br />“Ya Tuhan! Pa yang terjadi dengan diriku! Kulit tubuhku hitam semua! Mukaku<br />pasti juga!” Wiro usap wajahnya. “Celaka! Jangan-jangan…” Wiro berucap sambil<br />mengusap-usap ke dua tangannya tapi warna hitam itu tidak berubah seolah dia memang<br />sudah hitam sejak dilahirkan!<br />Udara di atas Wiro tiba-tiba redup seolah ada awan tebal menghalangi cahaya<br />yang surya. Bersamaan dengan itu terdengar suara perempuan berkata.<br />“Kau tak usah khawatir. Warna hitam itu nanti akan hilang sendirinya.<br />Keadaanmu akan pulih jika bulan purnama muncul dan tubuhmu terkena sinarnya!”<br />Wiro palingkan kepala dan mendongak. Dia hampir tak bisa percaya dengan apa<br />yang dilihatnya. Tujuh payung warna-warni melayang di atas bukit dalam keadaan<br />terkembang. Pada gagang payung warna merah tampak bergantung gadis cantik<br />berpakaian biru berbunga-bunga.<br />“Ah dia rupanya! Luar biasa! Kepandaian apa yang dimilikinya hingga mampu<br />terbang dengan payung sementara enam payung mengiring seolah mengawalnya!” Wiro<br />berdecak kagum lalu lambaikan tangan.<br />“Sahabat, turunlah! Aku ingin bicara banyak denganmu!” seru Wiro.<br />“Urusanku di tempat ini sudah selesai! Aku tak bisa memenuhi permintaanmu!”<br />gadis baju biru menjawab. Payung merah yang dipegangnya melayang di atas bukit lalu<br />perlahan-lahan naik ke atas.<br />Murid Sinto Gendeng garuk kepalanya. “Ah! Syukur! Sekarang aku bisa garuk<br />kepala!” murid Sinto Gendeng merasa lega tapi begitu melihat tujuh payung terbang<br />semakin jauh dia segera berlari mengikuti. Celakanya karena lereng bukit menurun<br />dengan sendirinya dengan payung-payung itu bertambah jauh.<br />“Kulompati terlalu jauh! Bagaimana caranya…” Tiba-tiba Wiro melihat sebuah<br />pohon besar dengan cabang-cabangnya yang panjang di bawah sana. “Tujuh payung<br />bakal melewati pohon itu. Ini kesempatan bagiku…” Secepat kilat Wiro lari ke arah<br />pohon, memanjatnya dengan cepat lalu merangkak ke salah satu cabang di arah mana<br />tujuh payung akan lewat. Walau payung-payung itu masih tetap akan melayang di<br />atasnya namun jaraknya tidak seberapa tinggi lagi. Payung warna ungu adalah payung<br />yang paling dekat dengan ujung cabang. Tanpa menunggu lebih lama Wiro kerahkan<br />tenaga dalam dan mengayun dirinya pada cabang pohon. Tubuhnya melesat ringan ke<br />atas.<br />Wiro berhasil menangkap gagang payung warna ungu, yakni payung yang berada<br />di sebelah tengah. Gadis berpakaian biru berada dua payung di sebelah depannya.<br />“Hai! Apa yang kau lakukan?!” teriak gadis itu ketika melihat Wiro tahu-tahu<br />sugah bergantungan pada gagang payung ungu.<br />“Aku mau ikut kemana kau pergi! Aku tadi sudah bilang ingin bicara banyak<br />denganmu!” jawab Wiro. Lalu ketika ada kesempatan dia melesat ke samping dan<br />berhasil menangkap gagang payung hijau. Kini dia hanya terpisah satu payung dari si<br />gadis sementara tubuhnya dan si gadis serta lima payung lain terus melayang di atas<br />bukit. Wiro sesaat memandang ke bawah. Karena tak biasa berada di udara seperti itu dia<br />merasa gamang juga. Di sebelah bawah dia melihat sebuah kali kecil berair jernih.<br />“Kau tak bisa mengikutiku! Kau harus turun!” berteriak si gadis.<br />“Tidak! Kalau kau mau turun aku baru ikut turun! Jawab Wiro.<br />“Jangan memaksa aku melakukan kekerasan!”<br />“Ahai! Gadis secantikmu mana tega menjatuhkan tangan keras!” jawab Wiro<br />sambil tertawa lebar.<br />“Kau mau mengujiku! Baik! Aku akan buat kau tahu rasa!” jawab si gadis dengan<br />suara keras. Dia tampak marah karena merasa ditantang. Rambutnya yang tergerai<br />melambai-lambai tertiup angin. Kepalanya digoyangkan. Tiba-tiba clep!<br />Payung hijau yang digelantungi murid Eyang Sinto Gendeng itu menguncup<br />dengan keras. Ujungnya memukul tangan dan kepala Wiro. Pendekar 212 mengeluh<br />keras. Bukan saja karena kesakitan tetapi juga terkejut. Kepalanya laksana dijapit hingga<br />dia tak bisa bergerak. Japitan itu makin lama makin kencang. Walau payung cuma<br />terbuat dari kertas dan ruas-ruas bambu namun bagaimanpun dia berusaha tetap saja Wiro<br />tak bisa melepaskan kepalanya. Dengan tangan kirinya yang bebas dia berusaha tetap saja<br />Wiro tak bisa melepaskan kepalanya. Pukulannya tak sampai-sampai sementara tangan<br />kanannya yang memegang payung selain sakit terjepit juga terasa mulai lemah hingga tak<br />mungkin baginya bertahan lama.<br />Di sebelah kiri bawahnya terdengar suara tawa cekikikan.<br />“Sialan! Dia menertawaiku!” memaki Wiro. “Kalau bukan gidas cantik sudah<br />kukencingi dia saat ini. Aduh…! Bagaimana ini?!” Jepitan payung di kepala Wiro<br />semakin keras. Tangan kanannya bertambah lemah dan hilang rasa. Melirik ke bawah<br />Wiro melihat bukit cukup jauh di bawah sana. “Kalau aku harus melepaskan payung<br />celaka ini lebih baik aku memilih jatuh masuk ke dalam kali sana…” pikir Wiro. Karena<br />tak sanggup lagi menahan sakit dan mulai pengap dalam jepitan payung hijau Wiro<br />akhirnya terpaksa lepaskan pegangannya pada gagang payung. Ketika tubuhnya<br />melayang ke bawah tiba-tiba saja selintas pikiran muncul di benaknya. Di udara murid<br />Sinto Gendeng liukkan tubuh membuat gerakan aneh. Tiba-tiba tubuh Pendekar 212<br />melesat ke samping kiri dan terdengar jeritan gadis berpakaian biru itu ketika Wiro<br />berhasil menangkap dan merangkul pinggangnya!<br />Payung merah berguncang keras ketika si gadis meronta-ronta coba lepaskan diri<br />dari pelukan Wiro. Seumur hidup baru kali ini dia dipeluk orang seperti itu. Oleh laki-laki<br />pula!<br />“Pemuda kurang ajar! Lepaskan diriku!” teriak si gadis. Sebaliknya Wiro yang<br />keenakan memeluk gadis cantik itu malah tertawa gelak-gelak.<br />“Aku sedang keenakan, bodoh dan rugi kalau aku melepaskan pelukan!” jawab<br />Wiro seenaknya.<br />“Benar-benar manusia kurang ajar!” Si gadis marah sekali. Tangan kirinya<br />digebukkan.<br />“Bukkk!”<br />Tubuh Wiro menggeliat ketika gebukan si gadis menghantam bahu kirinya<br />dengan keras. Sakitnya bukan main. Tulang belikatnya serasa patah. Tapi dasar brengsek<br />dia bukannya berteriak kesakitan malah berseru.<br />“Aduh! Enaaak!”<br />Karena beban yang ditahan payung merah dua kali lebih berat dari sebelumnya<br />maka perlahan-lahan payung itu melayang ke bawah.<br />“Kau benar-benar tidak mau melepaskan pelukanmu?!” Si gadis kembali<br />berteriak.<br />“Kita turun saja sama-sama, mengapa musti rebut-ribut! Aku tidak bermaksud<br />kurang ajar!” jawab Wiro dan tambah memperkencang pelukannya.<br />Si gadis hilang sabarnya. Kaki kanannya bergerak. Lututnya dihantamkan ke<br />bawah perut Pendekar 212. Kali ini Wiro benar-benar kesakitan. Dia berteriak keras. Lalu<br />tak sadar kalau saat itu dia berada di udara, begitu lepaskan pelukan kedua tangannya<br />berada dipakai menekap bagian bawah perutnya.<br />“Hancur keponakanku!”<br />Tubuh Pendekar 212 melayang jatuh ke bawah. Untung saja saat itu jaraknya ke<br />tanah tidak terlalu jauh. Lagi pula dia masih bisa memilih jatuh dengan mencebur masuk<br />ke dalam anak sungai berair jernih!<br />Dalam keadaan basah kuyup Wiro berenang menuju tebing sungai. Sementara di<br />udara payung merah tempat gadis cantik bergantung perlahan-lahan kembali melayang<br />naik ke udara diikuti oleh enam payung warna-warni lainnya.<br />Bersamaan dengan jatuhnya Wiro ke anak sungai tadi, dari balik pakaian gadis<br />baju biru melayang jatuh pula secarik kertas. Tepat ketika Wiro mencapai pinggiran<br />sungai, kertas itu jatuh di atas sebuah batu.<br />“Eh, kertas apa ini..?” ujar Wiro. Dia mendongak ke atas.<br />Di udara gadis baju biru tampak sibuk memeriksa pakaiannya. Dia memandang ke<br />bawah. “Astaga! Kertas itu…” katanya dengan paras berubah. Begitu dilihatnya Wiro<br />ulurkan tangan hendak ambil kertas yang jatuh di atas batu, dia segera berteriak. “Jangan<br />sentuh benda itu!” Lalu si gadis kerahkan tenaga. Kedua kakinya digerak-gerakkan.<br />Tangan kirinya diputar-putar. Secara aneh payung merah yang digelantunginya melesat<br />kencang ke bawah hingga dalam waktu cepat sekali dia sudah menjejakkan kaki di depan<br />batu di mana kertas tadi terjatuh. Namun dia kalah cepat karena saat itu Wiro telah lebih<br />dulu mengambil kertas itu. Ketika diperhatikannya ternyata hanya sehelai kertas kosong.<br />Tak ada tulisan ataupun gambar di atasnya.<br />“Kembalikan kertas itu padaku!” ujar si gadis di hadapn Wiro<br />“Aneh, hanya sehelai kertas kosong mengapa dia begitu bersikeras<br />memintanya…?” pikir Wiro dalam hati lalu membalik-balikkan kertas itu beberapa kali.<br />“Hai! Kau tuli tidak mendengar orang berkata?!” bentak si gadis.<br />Wiro tersenyum lalu ulurkan tangan kanannya yang memegang kertas. Sesaat lagi<br />jari-jari si gadis akan menyentuh kertas itu Wiro tarik tangannya hingga orang hanya<br />menangkap angin. Murid Sinto Gendeng tertawa gelak-gelak.<br />Merasa di permainkan gadis baju biru menjadi marah. Dia bukan saja berusaha<br />merampas kertas itu tapi sekaligus kirimkan serangan.<br />“Serangannya ganas sekali…” membatin Wiro dan cepat berkelit. Namun tangan<br />kiri si gadis sempat melabrak ulu hatinya. Selagi tubuh Wiro terkekuk ke depan tangan<br />kanan lawan menyambar ke arah kertas. Wiro masih sempat berkelit. Tapi entah<br />bagaimana pegangannya pada kertas terlepas dan kertas itu melayang sebentar lalu masuk<br />ke dalam sungai. Sesaat kertas itu dihanyutkan arus namun di satu tempat tertahan di<br />antara dua buah batu.<br />Wiro melihat perubahan aneh pada wajah gadis di hadapannya. “Heran , hanya<br />selembar kertas kosong mengapa dia begitu ngotot?!’ pikir Wiro. Sambil pegangi<br />perutnya yang tadi dihantam dengkul gadis itu Wiro berpaling kearah sungai. Matanya<br />yang ditujukan pada kertas yang terjepit di antara dua buah batu tiba-tiba terpentang<br />lebar. “Aneh, tadi kertas itu kosong tak ada apa-apanya. Kini aku lihat seperti ada sesuatu<br />di situ….” Wiro bergerak menuruni tebing sungai.<br />“Tetap di tempatmu! Jangan kau berani menyentuh kertas itu!” Gadis di<br />belakangnya berkata. Suaranya bukan merupakan ancaman kosong karena saat itu juga<br />melompat ke hadapan Wiro dan dorongkan kedua tangannya dan dada sang pendekar.<br />Jarak dua tangan dan dada terpisah sekitar tiga jengkal. Dua rangkum angin dingin<br />menyambar tanpa suara sama sekali, membuat murid Sinto Gendeng terlempar sampai<br />dua tombak. Dia jatuh terbanting di antara tujuh buah payung yang menancap di tepi<br />sungai, semua dalam keadaan kuncup!<br />Karena sebelumnya dadanya pernah cidera akibat hantaman makhluk raksasa<br />jejadian yang keluar dari kepala Tiga Bayangan Setan dan kini mendapat hantaman di<br />bagian yang sama, akibatnya Wiro merasakan sakit sekali, membuat dia terhuyunghuyung<br />ketika coba berdiri. Dia batuk-batuk beberapa kali. Dari mulutnya keluar lelehan<br />darah. Luka dalamnya ternyata kambuh kembali.<br />“Hanya karena sehelai kertas kau tega mencelakaiku…” desis Wiro. Dia kerahkan<br />tenaga dalam dan atur jalan nafas serta darah.<br />Si gadis tak menjawab. Malah balikkan diri lalu menuruni tebing sungai dengan<br />cepat. Di satu tempat dia siap untuk melompat, mengambil kertas yang tersangkut di<br />celah dua buah batu sungai.<br />Pada saat dia membungkuk, dari belakang tiba-tiba menderu satu gelombang<br />angin deras. Si gadis tak sempat melihat apa yang terjadi. Tapi dia maklum kalau ada<br />orang menyerang dengan satu pukulan sakti. Secepat kilat dia membuang diri ke<br />samping. Namun tak urung sambaran angin masih sempat menyerempet tubuhnya<br />sebelah kiri. Tak ampun lagi gadis ini terpelintir lalu tubuhnya terjungkal ke dalam<br />sungai!<br />Wiro yang barusan lepaskan pukulan “segulung ombak menerpa karang” dalam<br />keadaan menahan sakit pada dadanya cepat pergunakan kesempatan untuk melompat ke<br />atas salah satu batu dimana lembaran kertas basah itu sebelum dihanyutkan air melewati<br />celah di antara dua batu.<br />“Hai!” terdengar seruan gadis baju biru dari dalam sungai. Dia berusaha berenang<br />secepatnya sebelum Wiro berhasil mengambil kertas itu. Namun kalah cepat. Dia masih<br />jauh sewaktu Wiro meletakkan kertas basah itu di atas batu. Sepasang mata murid Sinto<br />Gendeng terbelalak membaca apa yang tertulis di atas kertas itu. Meskipun air sungai<br />membuat tulisan itu luntur namun Wiro masih bisa merangkainya satu sama lain dan<br />membaca keseluruhan apa yang tertulis di situ.<br />Muridku Puti Andini.<br />Karena keperluan sangat penting di Gunung Singgalang aku tidak dapat menemuimu.<br />Seperti yang aku pesankan dulu, seterimanya surat ini kau harus segera berangkat ke<br />tanah Jawa.<br />Cari pemuda bergelar Pendekar 212. Dia tahu dimana mendapatkan kitab sakti itu.<br />Bagaimana caranya terserah padamu. Jangan ragu-ragu membunuhnya jika kau<br />mengalami kesulitan.<br />Wiro ambil kertas basah itu dari atas batu. Dia mengangkat kepala tepat ketika<br />gadis yang berenang sampai di dekat batu dalam keadaan basah kuyup.<br />“Kau inginkan kertas ini? Ambilah!” kata Wiro seraya menjatuhkan lembaran<br />kertas yang basah dan hampir robek itu ke atas batu.<br />Si gadis usap mukanya yang basah. Sambil menutupi wajahnya dengan tangan dia<br />berkata seolah pada diri sendiri. “Tak ada gunanya lagi. Dia sudah sempat membaca apa<br />yang tertulis di kertas itu…”<br />DELAPAN<br />Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan memacu kuda masing-masing menuju puncak<br />Gunung Merapi. Namun selewatnya pertengahan lereng, jalan yang buruk tidak<br />memungkinkan mereka meneruskan perjalanan dengan kuda. Keduanya terpaksa<br />tinggalkan binatang-binatang itu di satu tempat lalu melanjutkan dengan jalan kaki.<br />“Ini tempat terkhir kita mencarinya. Kalau dia tak ada di puncak Merapi ini kita<br />berdua bakal celaka…” kata Tiga Bayangan Setan seraya mencoba berjalan cepat bahkan<br />setengah berlari menuju puncak Gunung Merapi melewati jalan liar penuh semak belukar<br />dan onak duri.<br />Hari itu adalah hari kesembilan puluh sejak mereka menelan obat mengandung<br />racun kematian yang telah mereka telan karena dipaksa oleh Pangeran Matahari. Sangat<br />beralasan megapa kini mereka sangat ketakutan dan ingin cepat-cepat menemui sang<br />Pangeran guna mendapatkan pobat penawar seperti yang oernah dijanjikan.<br />“Tiga Bayangan, aku masih tetap pada rencana semula. Begitu dia memberi kita<br />obat penawar kita intai saat dia lengah lalu membunuhnya! Kalau Pangeran keparat itu<br />bisa kita habisi, berarti kita berdua akan menjadi raja diraja dunia persilatan…”<br />“Apa yang ada diotakmu juga merupakan keinginanku, Elang Setan. Tapi selama<br />Kitab Wasiat Iblis ada apadanya, jangan harap kita bisa membunuhnya sekalipun dengan<br />cara membiokong. Kau saksikan sendiri apa yang terjadi dengan Iblis Tua Ratu<br />Pesolek…”<br />“Kalau begitu kita akan celaka seumur-umur!” kata Ekang Setan pula.<br />“Jangan dulu putus asa, “kata Tiga Bayangan Setan. “Kita harus cari jalan lain<br />yang ampuh. Misalnya menjebak Pangeran sialan itu…”<br />“Menjebak bagaimana?” Tanya Elang Setan.<br />“Setahuku dia adalah seorang pemuda mata keranjang. Doyan perempuan. Kita<br />cari seorang gadis untuk merayunya. Pada waktu bersenang-senang tak mungkin Kitab<br />Wasiat itu akan menempel terus di badannya. Saat itulah kita menyergap dan mengambil<br />kitab tersebut….”<br />“Rencanamu masuk akal. Sayang gadis cantik berpakaian biru itu berhasil lolos.<br />Kalalu tidak dia bisa kita jadikan jebakan…” kata Elang Setan.<br />Tiga Bayangan Setan tertawa. “Kau lupa bagaimana dia menghajarmu sampai<br />mukamu bengkak sebelah. Singa betina seperti itu mana bisa diatur. Salah-salah kita<br />yang dijebaknya masuk liang kubur…”<br />Semakin tinggi menuju puncak Gunung Merapi semakin sulit jalan yang<br />ditempuh sedang udara bertambah dingin padahal saat itu tengah hari tepat dan sang<br />surya bersinar terik terang benderang.<br />Tak berapa lama kemudian kedua orang itu akhirnya sampai juga di puncak timur<br />Gunung Merapi.<br />“Itu bangunannya. Kuharap dia benar-benar berada di situ. Kalau tidak tamatlah<br />riwayat kita!” kata Elang Setan sambil menunjuk ke sebuah bangunan panggung terbuat<br />dari kayu jati beratap rumbia. Untuk naik ke atas rumah harus melewati sebuah tangga.<br />Di sebelah dalam bangunan itu merupakan satu ruangan terbuka tanpa kamar.<br />Dengan cepat Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan menaiki tangga. Di pintu<br />depan Elang Setan mengetuk dan Tiga Bayangan Setan berseru memanggil.<br />“Pangeran Matahari! Apa kau ada di dalam? Kami datang membawa kabar<br />gembira untukmu!”<br />Sunyi tak ada jawaban. Dua orang di depan pintu saling berpandangan. Elang<br />Setan mengetuk lagi lebih keras. Tiga Bayangan Setan berteriak.<br />“Pangeran Matahari! Kami Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan datang<br />menghadapimu! Kami berhasil menjalankan tugas!”<br />Tetap saja tak ada jawaban dari dalam bangunan kayu jati. “Kita sudah mengetuk<br />dan memanggil. Mungkin dia sedang tidur nyenyak. Buka saja pintu dan kita masuk ke<br />dalam,” kata Elang Setan.<br />Tiga Bayangan Setan mengangguk tanda setuju lalu mendorong pintu kayu. Begitu pintu<br />terbuka keduanya segera menyelinap masuk. Ternyata bangunan itu kosong.<br />“Celaka! Nyawa kita tak akan ketolongan! Kita hanya bisa hidup sepuluh hari<br />saja!” kata Elang Setan seraya melangkah ke pintu. Tiga Bayangan Setan mengikuti.<br />Namun baru saja keduanya sampai di ambang pintu sesosok tubuh tinggi kekar tahu-tahu<br />menghadang di situ.<br />“Pangeran Matahari!” seru Elang Setan dan Tiga Bayangan Setan hampir<br />berbarengan lalu menjura dalam-dalam.<br />Di ambang pintu orang yang tegak memang Pangeran Matahari. Mengenakan<br />pakaian bergambar Gunung Merapi warna biru di bagian dada.<br />“Hemmm…cara kalian menghormat seperti aku ini seorang pamong rendahan<br />saja! Lekas berlutut di hadapan Pangeran Matahari!”<br />Dibentak seperti itu Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan segera jatuhkan diri<br />berlutut patuh walau dalam hati keduanya memaki habis-habisan. Tak pernah mereka<br />diberlakukan demikian hinanya sebelumnya.<br />“Hemmm… Aku sudah menduga kalian bakal mencariku ke sini. Tadi kudengar<br />salah satu dari kalian mengatakan datang membawa kabar gembira. Berhasil menjalankan<br />tugas! Kalian boleh berdiri dan ceritakan apa yang telah kalian lakukan! Tiga Bayangan<br />Setan, kau yang menjelaskan!”<br />Dua orang itu serentak berdiri. Tiga Bayangan Setan segera membuka mulut beri<br />keterangan.<br />“Pangeran Matahari, sesuai tugas yang kau berikan kami berhasil membunuh<br />Pendekar 212 Wiro Sableng…”<br />Sepasang mata Pangeran Matahari membesar. Tapi keningnya mengernyit.<br />Rahangnya yang persegi dan dagunya yang kokoh sesaat kelihatan menggembung.<br />Kepalanya didongakkan. Lalu terdengar dia berkata.<br />“Tiga Bayangan Setan. Coba bilang sekali lagi apa yang barusan kau ucapkan!”<br />“Aku Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan telah berhasil membunuh Pendekar<br />212 Wiro Sableng.”<br />“Dimana dan bagaimana kejadiannya!” ujar Pangeran Matahari.<br />“Di bukit di luar Kartosuro. Tak jauh dari sumur batu, tempat Pangeran Matahari<br />menemukan Kitab Wasiat Iblis itu, “jawab Tiga Bayangan Setan. ”Nyawanya amblas<br />setelah terkena pukulan salah satu makhluk raksasa yang ada di kepalaku!”<br />“Hemmm…” Pangeran Matahari bergumam sambil usap-usap dagunya.<br />Wajahnya yang congkak tidak berubah, tampak dingin-dingin saja. “Setahuku dari ubunubun<br />di kepalamu bisa keluar tiga makhluk raksasa. Makhluk sebelah mana yang katamu<br />telah membunuh Pendekar 212?”<br />“Yang sebelah kiri, Pangeran, “jawab Tiga Bayangan Setan.<br />“Bagian mana yang dihantam makhluk peliharaanmu itu?” bertanya lagi Pangeran<br />Matahari. “Kepala atau tubuh?!”<br />“Tepat di bagian dadanya Pangeran.”<br />Untuk beberapa saat lamanya Pangeran Matahari masih dongakkan kepala. Lalu<br />perlahan-lahan dia mengalihkan pandangannya pada Tiga Bayangan Setan. Dipandang<br />lekat-lekat tak berkesip seperti itu Tiga Bayangan Setan diam-diam merasa merinding.<br />“Apa yang ada di benak manusia ini…?” membatin Tiga Bayangan Setan. “Dia seolah<br />tidak yakin aku telah membunuh musuh besarnya itu!”<br />“Tiga Bayangan Setan, katamu kau telah berhasil membunuh Pendekar 212.<br />Mengapa kepalanya tidak kau bawa ke hadapanku?!”<br />Mendengar kata-kata Pangeran Matahari itu Tiga Bayangan Setan dan Elang<br />Setan jadi saling pandang.<br />“Tapi Pangeran,” yang menjawab adalah Elang Setan. “Sebelumnya kau tidak<br />pernah memerintah begitu…”<br />“Elang Setan, tutup mulutmu!” bentak Pangeran Matahari sambil melirik tajam<br />pada Elang Setan. “Tiga Bayangan Setan aku tanya, bukan kau! Jangan berani bermulut<br />lancang kalau tidak ditanya!”<br />“Maafkan aku Pangeran, “kata Elang Setan cepat sambil membungkuk dalam.<br />Pangeran Matahari tujukan pandangannya kembali pada Tiga Bayangan Setan.<br />“Apa jawabanmu?!” bentaknya.<br />“Aku mohon maafmu Pangeran. Hal yang kau katakan itu tidak kami lakukan.<br />Karena kami tidak mendengar hal itu pernah kau katakan waktu memberi tugas… Tapi<br />kami punya sesuatu yang mungkin bisa memberikan keyakinan padamu kalau Pendekar<br />212 memang sudah tamat riwayatnya!”<br />“Apa sesuatu itu?!” Tanya Pangeran Matahari dengan suara datar.<br />Dari balik pakaiannya Tiga Bayangan Setan keluarkan sebuah benda yang<br />memancarkan cahaya terang menyilaukan dan membuat Pangeran Matahari terbelalak<br />tapi juga berseru gembira.<br />“Kapak Maut Naga Geni 212!”<br />Elang Setan tidak mau ketinggalan. Dari Kantong pakaiannya yang tebal dekil dia<br />keluarkan sebuah batu hitam empat persegi.<br />Batu mustika hitam pasangan Kapak Maut Naga Geni 212!” kembali Pangeran<br />Matahari berseru.<br />Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan segera serahkan senjata mustika itu yang<br />tentu saja dengan cepat segera diambil oleh Pangeran Matahari. Dengan mata berkilatkilat<br />dia perhatikan kapak dan batu hitam.<br />“Kalian berdua memang hebat!” memuji Pangeran Matahari. Kapak Naga Geni<br />212 dibabatkannya ke udara. Terdengar suara seperti ribuan tawon berdengung disertai<br />berkiblatnya sinar putih perak menyilaukan mata dan menghamparnya hawa panas.<br />Pangeran Matahari geleng-geleng kepala lalu tertawa panjang.<br />“Pangeran, dua benda sakti itu apakah sudah cukup sebagai bukti bahwa Pendekar<br />212 Wiro Sableng telah menemui ajal di tangan kami?!”<br />Pangeran Matahari tidak segera menjawab. Dia terus tertawa sambil dongakkan<br />kepala. Setelah itu diarahkan pandangannya berganti-ganti pada dua orang di depannya.<br />Sesaat dia angguk-anggukkan kepala baru berkata.<br />“Aku sudah memuji kalian sebagai manusia-manusia, sebagai pembantupembantu,<br />sebagai pengawal-pengawalku yang hebat! Apa yang telah kalian lakukan<br />adalah satu pekerjaan yang besar!” Pangeran Matahari selipkan Kapak Maut Naga Geni<br />212 di pinggang dan simpan batu hitam persegi di balik pakaian hitamnya. Lalu dia<br />bertanya: “Apa ada hal lain yang hendak kalian sampaikan?”<br />“Memang ada Pangeran,” jawab Elang Setan. “Pertama kami mau memberi tahu,<br />waktu kami berada di bukit Pendekar 212 Wiro Sableng muncul bersama seorang gadis<br />cantik berpakaian serba biru. Kami berhasil melumpuhkan gadis itu terlebih dahulu.<br />Setelah Pendekar 212 tewas kami bermaksud membawanya untuk dipersembahkan pada<br />Pangeran. Tapi di tengah jalan, sekitar sepuluh hari lalu gadis itu berhasil meloloskan<br />diri!”<br />“Hemmm… Itu sebabnya kulihat mukamu bengkak besar. Pasti dia telah<br />menggebukmu cukup keras…” ujar Pangeran Matahari sambil menyeringai. “Tapi Kalian<br />tak usah khawatir. Kejadian itu tidak akan mengurangi pujianku terhadap kalian. Nah ada<br />lagi yang hendak kalian katakan?!”<br />“Mengenai obat penawar itu, “kata Tiga Bayangan Setan pula. “Bukankah<br />Pangeran telah berjanji akan memberikannya sebelum saat seratus hari sampai?”<br />“Kalian tak usah khawatir. Obat itu memang sudah kusiapkan!”<br />Wajah Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan menjadi cerah. Keduanya merasa<br />sangat lega. Mereka memperhatikan bagaimana dari balik pakaian hitamnya sang<br />Pangeran keluarkan dua butir obat berwarna putih, berkilauan seperti perak. “Ambil<br />seorang satu. Telanlah. Racun kematian dalam tubuh kalian akan musnah sebelum kalian<br />sempat menghitung sampai sepuluh!”<br />Tanpa ragu-ragu Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan segera mengambil<br />masing-masing sebutir obat itu dari telapak tangan Pangeran Matahari lalu<br />memasukkannya ke dalam mulut dan segera menelan. Pangeran Matahari tiba-tiba<br />tertawa tergelak-gelak. Mendadak saja dua orang itu merasa syak.<br />“Pangeran…” Tiga Bayangan Setan berkata tapi ucapannya terputus karena sang<br />Pangeran memberi isyarat dengan melambaikan tangan kiri.<br />“Racun seratus hari kini berganti dengan racun kematian tiga ratus hari!”<br />Kaget dua orang itu di hadapan Pangeran Matahari bukan olah-olah. Muka<br />mereka mendadak sontak pucat putih sperti kertas.<br />“Pangeran! Kau sudah berjanji! Kami sudah melaksanakan tugas…!” ujar Tiga<br />Bayangan Setan hampir berteriak dan pegangi perutnya. Sementara kawannya<br />memandang melotot pada sang Pangeran dengan pelipis gembung bergerak-gerak tanda<br />dia menahan amarah yang meluap.<br />“Kau menipu kami Pangeran!” ujar Elang Setan.<br />Pangeran Matahari semakin keras tawanya.<br />“Kalian harus berterimakasih karena aku sudah memperpanjang umur kalian<br />sampai tiga ratus hari dimuka! Mengapa berani bicara keras dan kurang ajar padaku?!”<br />“Sesuai perjanjian….”<br />“Setan alas keparat! Siapa yang berjanji padamu?!” sentak Pangeran Matahari<br />pada Tiga Bayangan Setan. “Dengar baik-baik. Pasang telinga kalian! Kembali ke bukit<br />ke luar Kartosuro itu. Jika benar kalian sudah membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng,<br />bawa kepalanya ke tempat ini. Aku akan berada disini seratus hari dari sekarang!”<br />Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan jadi sama-sama saling pandang dan<br />ternganga. Elang Setan beranikan diri membuka mulut. “Pangeran, bukit itu sangat jauh<br />dari sini. Kalau kami sampai di sana mungkin saja mayat Pendekar 212 sudah rusak<br />busuk atau dimakan binatang buas….”<br />“Plakkkk!”<br />Satu tamparan mendarat di pipi Elang Setan hingga mukanya yang bengkak<br />kelihatan jadi tambah gembung. Sekujur tubuh Elang Setan bergelar keras. Kuku-kuku<br />tangannya mencuat lurus.<br />Pangeran Matahari menyeringai. “Kau berani menyerangku? Aku mau lihat !”<br />ujar sang Pangeran sambil memandang pada Elang Setan.<br />Elang Setan hendak membuka mulut mendamprat. Tapi Tiga Bayangan Setan<br />cepat memegang bahunya dan berkata. “Mari kita tinggalkan tempat ini….” Katanya.<br />Sesaat Elang Setan masih memandangi Pangeran Matahari dengan mata<br />membeliak. Lalu perlahan-lahan dia putar tubuh dan melangkah mengikuti saudara<br />angakatnya menuruni tangga rumah panggung.<br />“Ingat! Kalian punya waktu seratus hari melakukan tugas itu! Dan kalian cuma<br />punya umur tiga ratus hari dari sekarang! Jangan berani macam-macam padaku! Masih<br />mending aku tidak menyuruh kalian menggonggong seperti anjing seperti dulu.<br />Ha…ha…ha…!”<br />“Jahanam keparat!” maki Elang Setan dalam hati. Kaki kanannya bergerak<br />menendang.<br />“Krakkkkk!”<br />Kayu pegangan tangga hancur berantakan. Di atas rumah suara tawa Pangeran<br />Matahari tambah keras. Sesaat setelah kedua orang itu lenyap dari pemandangan,<br />Pangeran Matahari menghentikan tawanya lalu menutup pintu rumah. Dia berbalik dan<br />berseru. “Kekasihku! Kau boleh turun sekarang!”<br />Dari atas atap rumah tiba-tiba melayang sesosok tubuh seorang gadis. Begitu<br />turun ke lantai rumah dia langsung memeluk Pangeran Matahari. Sang Pangeran<br />membalas dengan penuh nafsu. Dua tangannya bergerak menggerayang di tubuh si gadis.<br />Hidung dan bibirnya menjalar di leher yang putih. Tiba-tiba mulutnya dibuka. Si gadis<br />terpekik penuh rangsangan ketika Pangeran Matahari menggigit lehernya yang putih<br />jenjang.<br />SEMBILAN<br />Gadis bernama Puti Andini itu tumpangkan kedua siku tangannya di atas batu. Untuk<br />beberapa lamanya wajahnya disembunyikan dibalik kedua tangannya.<br />Wiro pandangi gadis itu sambil berkata dalam hati. “Dulu Kitab Wasiat Iblis<br />menimbulkan perkara. Kini Kitab Putih Wasiat Dewa agaknya bakal punya cerita sama.<br />Semakin banyak keterangan yang harus kukorek dari gadis ini.”<br />Sewaktu Puti Andini turunkan tangannya dari atas batu dan memandang<br />menengadah pada Wiro, murid Sinto Gendeng pandangi wajah yang basah dan sangat<br />cantik itu. “Aku harus mengakui, kecantikannya melebihi Bidadari Angin Timur. Tapi<br />jika dia ingin membunuhku apa artinya…”<br />Puti Andini naik ke atas batu. Tapi arus sungai saat itu cukup deras dan batu yang<br />dipegangnya agak licin. Wiro ulurkan tangan, berusaha membantu si gadis untuk naik<br />keatas batu. Untuk beberapa saat Puti Andini tampak ragu-ragu. Akhirnya perlahan-lahan<br />diulurkannya juga tangannya. Dua tangan saling bersentuhan. Sepuluh jari saling<br />mencengkram. Puti Andini merasa ada getaran aneh dalam dirinya. Detak jantungnya<br />mendadak lebih cepat. Sebaliknya Pendekar 212 biasa-biasa saja. Sekali tarik saja gadis<br />itu berhasil ditolongnya naik ke atas batu lalu dibantunya melompat ke tebing sungai.<br />Sebelum menyusul melompat ke tepi sungai Wiro sesaat perhatikan lagi kertas<br />basah yang ada di atas batu. “Kepandaian manusia ada-ada saja. Waktu kering kertas itu<br />seolah kosong saja. Begitu terkena air serta merta terlihat tulisan yang tertera disitu…”<br />Karena pakaian biru berbunga-bunga kuning yang dikenakan Puti Andini terbuat<br />dari bahan yang agak tipis dan dalam keadaan basah kuyup, pakaian itu seperti<br />membungkus tubuhnya sangat lekat sehingga Wiro dapat melihat setiap lekuk belahan<br />auratnya.<br />Puti Andini tiba-tiba balikkan badannya, melangkah ke arah deretan tujuh payung<br />hijau yang tadi sempat memukul kepala Wiro kelihatan dalam keadaan kuncup.<br />“Kau mau kemana?!” tanya Pendekar 212 ketika dilihatnya Puti Andini mencabut<br />payung merah dari tanah. Lalu dengan menggerakkan kepalanya sedikit saja dia mampu<br />membuat terkembang payung hijau yang tadi kuncup.<br />“Aku…. Aku harus pergi,” jawab si gadis.<br />“Mencari Kitab Wasiat Dewa atau kembali ke gurumu?”<br />“Apa yang aku lakukan dan kemana aku harus pergi bukan urusanmu!”<br />“Kau betul! Tapi ada banyak hal yang harus kutanyakan padamu sebelum kau<br />pergi… Kuharap kau mau…”<br />“Kau terlalu keras kepala. Apapun yang kau lakukan aku tidak melayanimu!”<br />“Hemmm… Bukan aku, tapi kau yang keras kepala!” ujar Wiro mulai jengkel.<br />Lalu dia berseru. “Lihat batu!”<br />Meski tidak mengerti apa yang hedak dilakukan Wiro, Puti Andini menoleh juga<br />kearah batu di tengah sungai. Saat itu terdengar suara menderu disusul dengan<br />melesatnya selarik sinar putih panas menyilaukan.<br />“Wussss!”<br />“Braakkk…byaar!”<br />Batu besar di tengah sungai hancur lebur. Kepingannya berlesatan kian kemari<br />dalam keadaan hangus. Sebagian ada yang dikobari api.<br />“Batu saja bisa terbakar, apa lagi payungmu yang hanya terbuat dari kertas!”<br />Sesaat panas Puti Andini tampak berubah. Kemudian dia tersenyum seolah tidak<br />perduli akan yang barusan dilakukan Pendekar 212.<br />“Mengancam orang dengan pertunjukan tolol adalah perbuatan anak kecil!”<br />Murid Sinto Gendeng hampir terlonjak mendengar ejekan itu. “Gadis tengil…!”<br />“Apa itu tengil?!” tanya Puti Andini tidak mengerti.<br />Wiro mau memaki panjang pendek saking kesalnya. “Dengar, aku hanya mau<br />ajukan beberapa pertanyaan. Tapi jika kau benar-benar keras kepala, aku jadi ingin tahu<br />seberapa kerasnya kepalamu dibanding dengan batu-batu di tengah sungai itu!”<br />“Hemmm, begitu…? Baiklah. Kalau aku mengalah bukan berarti aku takut pada<br />ancamanmu. Apa saja yang ingin kau tanyakan?”<br />“Pertama kejadian di bukit itu. Kurasa kau datang sesaat setelah dua pengeroyok<br />menjatuhkanku hingga pingsan dan hampir mati jika tidak kau tolong. Kau berpayung di<br />atas, tentu kau melihat apa yang terjadi di bawah. Kau bisa menceritakan apa yang kau<br />lihat?”<br />“Cuma sekilas. Semuanya terjadi dengan cepat. Ada dua orang meninggalkan<br />lereng bukit. Salah seorang diantara mereka mendukung sesosok tubuh perempuan<br />mengenakan pakian biru….”<br />“Itu pasti Bidadari Angin Timur. Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan telah<br />menculiknya! Keselamatan Gadis itu pasti terancam!”<br />“Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan katamu…?” ujar Puti Andini dengan<br />wajah berubah.<br />“Kau kenal mereka…?”<br />Puti Andini menggeleng. “Aku hanya tahu mereka adalah dua iblis yang harus<br />dimusnahkan!”<br />“Gurumu yang berkata begitu? Atau memberimu tugas begitu?!”<br />Si gadis tidak menjawab. “Apa lagi yang ingin kau tanyakan…”<br />“Jika kuhubungkan apa yang tertulis di atas kertas dengan apa yang kau lakukan<br />terhadapku jelas sekali berlawanan. Kau seharusnya membunuhku, bukan<br />menyelamatkan diriku…”<br />“Aku membunuhmu jika kau sudah memiliki Kitab Wasiat Dewa dan tak mau<br />menyerahkan padaku!” jawab Puti Andini.<br />Wiro menyeringai lebar.<br />Si gadis sadar kalau ucapan Wiro tadi sengaja memancing dirinya untuk<br />mengatakan apa yang sebenarnya yang harus dilakukannya.<br />“Siapa gurumu…?”<br />Puti Andini tidak menjawab.<br />“Baik, kau tidak memberi tahu. Kau berasal dari pulau Andalas. Kau kenal<br />dengan seorang tokoh silat dijuluki Tua Gila alias Pendekar Gila Patah Hati alias Iblis<br />Gila Pencabut Jiwa…?”<br />“Siapa yang tidak kenal tua bangka itu. Dia pernah membunuh tiga ratus orang<br />hanya gara-gara patah hati…”<br />Hampir saja terlompat hardikan dari mulut Pendekar 212 karena bagaimanapun<br />juga Tua Gila adalah guru malah sudah dianggapnya sebagai kakek sendiri. (Mengenai<br />siapa adanya Tua Gila harap baca seial Wiro Sableng berjudul Banjir Darah di Tambun<br />Tulang)<br />“Kau menyebut orang tua itu dengan nada permusuhan….”<br />“Dia memang bermusuhan dengan guru. Setiap musuh guruku adalah musuhku<br />juga!” jawab Puti Andini.<br />“Aku tidak ada permusuhan dengan gurumu ataupun dirimu, mengapa gurumu<br />memerintahkan agar kau membunuhku?!” tukas Wiro Sableng.<br />“Kau tak usah khawatir. Kematianmu bisa diundur sampai kau mendapatkan<br />Kitab Wasiat Dewa itu…”<br />“Sialan… Enak saja kau bicara!” kata Wiro sambil kepalkan kedua tinjunya.<br />“Jika kau tak ada pertanyaan lain, aku akan pergi. Jangan berani menghalangi!”<br />“Tunggu! Kau harus menjelaskan mengapa sekujur tubuhku menjadi hitam<br />begini!”<br />“Bukan cuma tubuhmu! Tapi juga mukamu! Mukamu hitam legam seperti pantat<br />kuali! Kalau tidak percaya coba berkaca di air sungai!” Si gadis lalu tertawa panjang.<br />Karena tak tahu mau berbuat apa, saking gemasnya Wiro hantamkan kaki<br />kanannya ke tanah sungai hingga tanah itu melesak sedalam setengah jengkal!<br />Si gadis malah tertawa terpingkal-pingkal!<br />“Puti Andini !” teriak Wiro. ‘Jangan kau berani bicara main-main!”<br />“Wiro Sableng!” balas berteriak si gadis.<br />“Eh, bagaimana kau tahu namaku?!” Wiro keheranan.<br />“Waktu kau pingsan aku melihat ada rajah angka 212 di dadamu. Itu sudah cukup<br />memberi tahu siapa kau adanya….” Jawab Puti Andini pula.<br />“Waktu aku sadar kali pertama keadaan kulitku tidak hitam gosong seperti ini.<br />Saat aku siuman kembali baru kulihat sekujur badanku telah berubah warna jadi hitam<br />legam. Kau telah melakukan sesuatu padaku!”<br />“Kau benar! Lalu apakah kau menyesali diri dan memilih mati daripada menerima<br />keadaan seperti ini? Tubuhmu yang terkena pukulan iblis mengidap racun teramat jahat.<br />Waktu obat yang kuberikan berusaha memusnahkan racun dalam tubuhmu, jiwamu<br />selamat tapi kulitmu menjadi gosong. Bukankah itu lebih baik daripada menemui<br />kematian mengenaskan? Lagi pula kau tak usah khawatir. Kulit hitammu hanya<br />sementara. Sudah kukatakan sebelumnya. Jika sinar purnama mengenai badanmu, warna<br />hitam itu akan serta merta lenyap…”<br />“Bagaimana kalau bulan purnama tidak muncul. Tertutup awan atau udara<br />mendung terus menerus…”<br />Puti Andini tertawa dan geleng-gelengkan kepala. “Kau bicara seperti anak kecil.<br />Muncul tidaknya bulan purnama adalah kehendak Tuhan, bukan segala macam awan atau<br />udara mendung!”<br />“Sial! Aku tak tahu harus bagaimana dengan gadis ini!” pikir Wiro lalu garukgaruk<br />kepalanya berulang kali.<br />“Kau masih ada pertanyaan?!”<br />“Ya…ya! Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan telah mencuri dua senjata<br />mustikaku. Kau sempat melihat mereka melarikan diri. Katakan kearah mana mereka<br />kabur.”<br />“Selatan,” jawab Puti Andini pendek.<br />“Aku bersumpah akan membunuh pencuri-pencuri senjataku itu!”<br />“Kau mungkin bisa membunuh Elang Setan, tapi tidak kawannya yang bernama<br />Tiga Bayangan Setan itu!” kata Puti Andini.<br />“Aku tahu dia kebal pukulan sakti, tahan senjata tajam. Tapi tetap saja dia tak<br />punya nyawa rangkap!” jawab Wiro meradang.<br />“Masalahnya bukan apakah dia punya nyawa lebih dari satu. Tapi dia memang<br />tidak bisa dibunuh sampai dunia kiamat kalau tidak mengetahui kelemahannya!”<br />“Lalu apa kau tahu kelemahan manusia setan itu?!” Tanya Wiro menahan gusar.<br />“Mengenai diri seorang manusia iblis, hanya iblis lainnya yang tahu!”<br />“Apa maksudmu?!” Tanya Wiro.<br />“Untuk mengetahui kelemahan Tiga Bayangan Setan kau harus mencari seorang<br />tokoh silat golongan hitam yang aneh tapi seribu jahat seribu ganas berjuluk Iblis<br />Pemabuk. Sebelum kau bisa mendekatinya sejarak tiga langkah kau mungkin sudah<br />dibunuhnya lebih dulu!”<br />“Dimana aku bisa menemukan orang yang kau sebutkan itu?” Tanya Pendekar<br />212.<br />“Menyelidiki seorang iblis harus bertanya kepada iblis! Dan aku bukan iblis!”<br />Habis berkata begitu Puti Andini angkat payung merah yang dipegangnya di atas kepala.<br />Bersamaan dengan itu kaki kirinya dihentakkan ke tanah. Enam payung yang menancap<br />di tanah melesat ke atas. Sekali lagi Puti Andini menghentakkan kakinya ke tanah.<br />Payung merah yang dipegangnya naik ke atas. Perlahan-lahan tubuh si gadis terangkat ke<br />udara. Wiro hendak mengejar. “Jangan kau berani mengikuti!”<br />Wiro tidak peduli. Dia melompat berusaha menyambar gagang payung hitam<br />yang saat itu sudah naik setinggi kepala.<br />“Dasr sableng keras kepala!” terdengar Puti Andini mengumpat. Tangan kirinya<br />bergerak membuat gerakan berputar. Enam buah payung yaitu payung biru, kuning,<br />hijau, putih, hitam dan ungu tiba-tiba berputar pesat mengeluarkan suara deru angin yang<br />dahsyat. Lalu di lain kejap enam ujung gagang payung yang runcing menghantam kearah<br />Pendekar 212. Tiga menusuk kearah muka dan kepala, tiga lagi menghunjam ke dada dan<br />perut!<br />Wiro berseru tegang. Secepat kilat dia jatuhkan diri mencari selamat. Tempat<br />jatuh yang paling aman adalah anak sungai berair jernih. Sesaat sosok tubuh Pendekar<br />212 lenyap di bawah air. Ketika dia muncul di permukaan air sungai dan berenang ke<br />tepi, enam buah payung kelihatan telah mengudara, menyusul payung merah dimana Puti<br />Andini bergantung.<br />Wiro geleng-geleng kepala. Dadanya agak sesak dan sedikit sakit. Memandang ke<br />udara dia berkata. “Kau tak mau diikuti, tapi lihat saja nanti. Jika kau punya kepentingan<br />dengan Kitab Wasiat Dewa, kau sendiri yang bakal mengikutiku!”<br />Setelah Puti Andini lenyap bersama tujuh payungnya Pendekar 2121 bingung<br />sendiri.<br />“Apa yang harus kulakukan sekarang? Langsung menuju pulau kecil di pantai laut<br />selatan? Atau mencari Iblis Pemabuk lebih dulu? Mungkin aku harus mencari Tiga<br />Bayangan Setan dan Elang Setan. Dua manusia setan itu telah mencuri Bidadari Angin<br />Timur… Seumur hidup baru aku bingung seberat ini! Gila betul!” Murid Sinto Gendeng<br />garuk kepalanya berulang-ulang.<br />SEPULUH<br />Muara Kali Opak ramai oleh perahu yang baru kembali melaut. Para nelayan<br />sibuk memunggah ikan. Para tengkulak hilir mudik memborong ikan dengan harga<br />semurah mungkin yang kadang-kadang membuat jengkel nelayan. Dalam keadaan seperti<br />itu Wiro berusaha mencari perahu sewaan. Sampai siang dan muara menjadi sepi tak satu<br />pun pemilik yang mau disewa. Selain mereka letih, rata-rata saat itu mereka sudah<br />mengantongi uang cukup banyak. Perlu apa bersusah payah menyewakan perahu pada<br />seorang pemuda tak dikenal yang kelihatannya tidak berkantong tebal, berkulit dan<br />bermuka hitam jelek pula!<br />Wiro tegak bersandar pada sebuah perahu kosong. Pemiliknya tengah<br />mengumpulkan barang – barangnya. Sebelumnya Wiro sudah bicara dengan orang ini.<br />Melihat Wiro berada di situ, pemilik perahu mendekatinya dan bertanya. “Muka pantat<br />dandang, kau masih belum dapat perahu sewaan?”<br />Wiro delikkan mata dan memaki dalam hati karena dirinya dipanggil dengan<br />sebutan muka pantat dandang. Ini gara-gara kulit tubuh dan mukanya yang sangat hitam<br />akibat obat yang diberikan oleh Puti Andini.<br />Meski jengkel Wiro menjawab juga dengan gelengan kepala.<br />“Anak muda, sebenarnya kemana tujuanmu?”<br />“Sebuah pulau. Didiami oleh seorang tabib sakti dipanggil dengan sebutan Raja<br />Obat Delapan Penjuru Angin. Kau tahu letak pulau itu?”<br />“Kami para nelayan memang pernah mendengar nama itu. Tapi tak ada yang tahu<br />atau bisa membuktikan bahwa si Raja Obat benar-benar ada dan tinggal di satu pulau.<br />Dari sini kau bisa lihat sendiri. Ada puluhan, mungkin ratusan pulau tersebar di laut<br />selatan ini. Apa kau mau mendatangi pulau-pulau itu satu persatu untuk mencari si Raja<br />Obat yang belum tentu ada?”<br />Wiro garuk-garuk kepala. Dia ingat pertemuan dengan Eyang Sinto Gendeng,<br />Dewa Tuak dan Kakek Segala Tahu. “Tidak mungkin mereka berdusta tentang Kitab<br />Wasiat Dewa itu. Tapi kalau begini susahnya mencari, kurasa sampai ubanan aku tak<br />bakal menemukan orang tua itu. Padahal katanya dia cuma bisa memberi keterangan<br />dimana kitab sakti itu beradanya. Jadi kalau sudah diberitahu aku masih harus mencari<br />kitab sakti itu. Bisa saja kitab itu bukan di pantai selatan ini tapi terpendam di pantai<br />utara! Celakanya diriku ini!” Wiro garuk-garuk kepala berulang kali.<br />Dari dalam saku pakaiannya Wiro kemudian keluarkan sekeping perak. Benda<br />berharga ini ditimang-timangnya. Pemilik perahu tersenyum lalu berkata. “Aku tidak<br />tertarik dengan perak itu kalau kau mengira bisa membayarku dengan itu. Tak seorang<br />nelayan atau pemilik perahupun mau membawamu ke laut. Ada satu hal yang mungkin<br />tidak kau ketahui…”<br />“Apa?!” Tanya Wiro sambil terus menimang-nimang kepingan perak.<br />“Saat ini harihari menjelang bulan purnama. Di laut sekitar sini biasanya muncul<br />sebuah pusaran air. Tidak terduga kapan munculnya dan tidak terduga di bagian mana<br />dari laut selatan ini. Tapi yang jelas terjadinya selalu pada siang hari. Jangankan perahu,<br />gunungpun sanggup disedot oleh pusaran itu sampai amblas ke dasar samudera!”<br />“Ah, ternyata nelayan di sini pengecut semua. Sekalipun kubayar dengan emas<br />sebesar bukit tetap saja tak ada yang mau mengantarku ke laut!” kata Wiro pula. Dia<br />berpaling pada nelayan di sampingnya. “Apa ada hal lain yang aku tidak ketahui dan<br />ingin kau beritahu?”<br />Nelayan pemilik perahu tertawa lebar. “Memang ada,” jawabnya. “Kalau kau<br />beruntung kau akan bertemu dengan seorang nelayan aneh. Dia mungkin bisa dan mau<br />mengantarmu ke laut…”<br />“Dimana aku bisa menemui nelayan aneh itu. Siapa namanya?”<br />“Dia muncul dan lenyap secara tak terduga. Bisa saja sebentar lagi. Tapi bisa saja<br />satu dua hari bahkan berminggu-minggu. Kami para nelayan dimuara Kali Opak ini<br />menyebutnya dengan panggilan Makhluk Pembawa Bala!”<br />“Eh, kenapa kalian memberi nama begitu padanya?”<br />“Karena dia menderita sejenis penyakit cacar yang sangat berbahaya. Tak pernah<br />sembuh-sembuh. Sekujur tubuhnya dilelehi nanah, menebar bau amis. Jangankan<br />manusia, kuda atau gajahpun bisa ditulari penyakitnya. Mudah-mudahan kau bisa lekas<br />bertemu dengannya. Agar kau ketularan…1” Sambil tertawa-tawa pemilik perahu<br />tinggalkan Wiro.<br />Murid Sinto Gendeng kenbali garuk-garuk kepala. “Kalau memang dia yang mau<br />dan tahu kediaman si Raja Obat, tak ada jalan lain. Aku harus menunggu sampai dia<br />muncul.”<br />Lima hari berlalu . Wiro berusaha bertahan dan bersabar sambil berharap agar<br />nelayan berpenyakit cacar yang dijuluki Makhluk Pembawa Bala itu muncul. Satu hari<br />lagi berlalu. Kesabaran murid Sinto Gendeng mulai goyah. Kini memasuki hari ketujuh.<br />Siang itu muara Kali Opak tampak sunyi. Ombak besar-besaran menggemuruh dan<br />memecah di pantai. Mungkin hujan turun di tengah laut. Angin bertiup kencang. Wiro<br />berlindung di bawah teratak daun kelapa yang dibuatnya.”Aku akan menunggu sampai<br />sore nanti. Kalau orang itu tidak juga muncul lebih baik angkat kaki dari sini. Bagaimana<br />dengan tiga orang tua yang menyebabkan aku sampai di sini, urusan nantilah!”<br />Wiro menghela nafas dalam. Perutnya terasa lapar karena memang belum diisi<br />sejak pagi-pagi. Saat itu tiba-tiba turun hujan rintik-rintik. Wiro memandang ke tengah<br />laut biru laksana sehelai permadani raksasa berayun-ayun didera gelombang besar.<br />Sepasang matanya membesar dan tak berkesip.<br />Di tengah laut kelihatan sebuah titik putih. Makin lama makin besar dan bergerak<br />menembus gelombang menuju tepi pantai. Wiro mengusap kedua matanya beberapa kali<br />lalu terus memperhatikan. Semakin dekat ke pantai semakin jelas di mata Wiro bahwa<br />benda di tengah laut itu adalah sebuah perahu berwarna putih tanpa layar. Seolah tidak<br />perduli akan besarnya gelombang buasnya ombak, perahu itu meluncur pesat kearah<br />pantai. Di atasnya hanya ada seorang penumpang.<br />Lalu Wiro melihat dan menyadari satu hal aneh. Orang di atas perahu<br />mengenakan sebuah caping lebar. Wajahnya ditutup dengan sehelai kain. Dia sama sekali<br />tidak menggunakan pendayung untuk mengayuh perahunya. Dia kelihatan duduk<br />berjuntai di samping kiri perahu putih. Dua kakinya it uterus menerus digerak-gerakkan<br />kian kemari. Gerakannya inilah yang membuat perahu bisa melesat kencang diantara<br />gemuruh gelombang.<br />“Orang aneh di atas perahu jangan-jangan si Makhluk Pembawa Bala itu!”<br />Berpikir begitu murid Sinto Gendeng segera keluar dari bawah teratak daun kelapa.<br />Hujan rintik mulai melebat. Wiro berlari ke tepi pasir lalu melambai-lambaikan<br />tangannya sementara perahu semakin mendekat ke tepi pantai.<br />Namun hanya tinggal beberapa jauh saja dari tepi pantai tiba-tiba orang di<br />samping kiri perahu angkat tangan kanannya ke atas. Perahu yang ditumpanginya tibatiba<br />berputar, membalik ke arah tengah laut. Pada saat itu justru sebuah gelombang besar<br />muncul. Suara gemuruhnya terdengar sampai ke tepi pantai di mana Wiro berada.<br />“Astaga! Hai! Awas! “ teriak Wiro.<br />Namun gelombang besar telah menelan perahu putih dan penumpangnya. Dalam<br />sekejap saja perahu itu pun lenyap.<br />“Pasti amblas ke dalam laut!” pikir Wiro. “Orang gendeng! Mungkin dia sengaja<br />mencari mati. Bunuh diri!” Wiro geleng-geleng kepala. Tapi tiba-tiba di tengah laut<br />terdengar suara orang berteriak. Wiro memperhatikan.<br />“Eh….” Murid Sinto Gendeng jadi melengak terheran-heran. Perahu putih tadi<br />tiba-tiba muncul dipermukaan laut. Penumpangnya kelihatan tegak di atas perahu,<br />berjingkrak-jingkrak sambil berteriak-teriak. Caping dan sekujur pakaiannya basah<br />kuyup.<br />“Aneh, kurasa tadi dia sudah ditelan laut. Kini malah jingkrak-jingkrakan seperti<br />anak kecil ini kegirangan! Selain itu caping bambu itu masih melekat di kepalanya! Aku<br />harus tahu siapa adanya manusia aneh ini!”<br />Saat itu sekitar sepuluh tombak di sebelah kanan perahu putih tiba-tiba muncul<br />menderu satu gelombang besar. Orang bercaping di atas perahu kembali angkat tangan<br />kanannya dan menunjuk lurus-lurus ke langit. Perahu putih mencelat ke udara setinggi<br />lima tombak. Penumpangnya ikut mental lebih tinggi. Begitu jatuh ke dalam laut, perahu<br />dan penumpang lenyap ditelan samudera!<br />“Sekarang jangan harap dia mampu muncul hidup-hidup!” membatin murid Sinto<br />Gendeng. Mendadak. “Hai!” Wiro berseru kaget.<br />Didorong oleh sebuah ombak besar perahu putih tiba-tiba muncul kembali di<br />permukaan laut. Penumpangnya tegak dengan kaki terkembang, menginjak bagian kiri<br />kanan perahu. Dua tangannya disilangkan di depan dada. Kepalanya manggut-manggut<br />mengikuti yang dialun ombak.<br />Laksana sebatang anak panah melesat dari busurnya, begitu layaknya perahu<br />putih melesat menuju menuju pantai, melayang di atas pasir dan astaga! Perahu itu<br />ternyata melesat ke arah Pendekar 212 yang berdiri tegak di pasir pantai. Wiro berseru<br />kaget dan jatuhkan diri ke pasir.<br />“Wusss!”<br />Perahu putih menyambar hanya setengah jengkal dari atas tubuhnya. Lalu<br />terdengar suara braaakk!<br />Dalam keadaan menelungkup di atas pasir Wiro palingkan kepala. Perahu putih<br />dilihatnya melabrak gubuk tempat dia sebelumnya berlindung. Gubuk hancur berantakan.<br />Perahu tergelimpang ditimbuni runtuhan gubuk namun tetap dalam keadaan utuh!<br />“Eh, di mana orang bercaping itu?” Tanya Wiro dalam hati seraya memandang<br />berkeliling.<br />Tiba-tiba ada suara tawa bergelak diseling suara seperti orang meludah beberapa<br />kali. Wiro cepat bangkit berdiri. Menoleh ke kiri sebelah atas lagi-lagi dia dibuat terkejut.<br />Orang bercaping yang dicarinya ternyata berada di atas sebatang pohon kelapa, duduk<br />berjuntai pada salah satu pelepah sambil uncang-uncang kakinya. Wajahnya ditutupi<br />kain. Orang ini mengenakan pakaian berbentuk jubah. Ketika angin bertiup Wiro<br />mencium bau busuk dan amis.<br />Sosok di atas pohon tiba-tiba melayang ke bawah secara aneh. Tubuh itu seperti<br />seekor tringgiling, menggelinding jatuh ke bawah, kepalanya lebih dulu!<br />“Hancur kepalamu!” seru Wiro tegang sewaktu melihat bagaimana tubuh yang<br />bergulung itu jatuh dengan kepala lebih dulu siap menancap amblas di atas pasir pantai.<br />Tapi dia kecele karena dengan satu gerakan aneh tubuh bergulung itu melenting dan di<br />lain kejap tahu-tahu orang itu sudah berdiri tegak di samping reruntuhan gubuk.<br />“Sedap sekali permainanku hari ini. Sayang aku tak punya waktu banyak. Harus<br />buru-buru pergi….” Lalu orang ini berusaha menarik perahu putihnya dari reruntuhan<br />gubuk. Saat itulah Wiro datang mendekati. Sebelum menegur murid Sinto Gendeng<br />dengan cepat perhatikan orang itu.<br />“Tubuhnya bau busuk, amis! Tangan dan kakinya…astaga! Dia menderita<br />penyakit kulit. Koreng-koreng yang mengelupas pecah, mengeluarkan nanah campur<br />darah!” Wiro teringat pada ucapan seorang nelayan beberapa hari lalu. Begitu orang<br />lewat di depannya sambil menyeret perahu putih Wiro cepat menegur.<br />“Bapak bercadar…Kau pasti yang dipanggil orang dengan sebutan Makhluk<br />Pembawa Bala. Kalau betul…”<br />Belum sempat Wiro meneruskan ucapannya, tanpa berpaling dan terus melangkah<br />menyeret perahu menuju ke laut orang bercaping yang mukanya ditutupi kain itu berkata.<br />“Buseett! Kalau memang ada makhluk seperti itu di kolong langit, aku pun mau<br />melihatnya! Hik…hik…!” Dari mulutnya orang ini keluarkan suara seperti meludah.<br />Ketika diperhatikan, Wiro melihat kain yang menutupi wajah orang bercaping itu<br />berwarna merah dan basah di bagian mulut.<br />“Tak pelak lagi! Memang dia!” kata Wiro lalu langsung saja memegang lengan<br />orang itu walau kemudian dia memegang tangang yang penuh koreng cacar berdarah<br />busuk dan bernanah!<br />“Walau kau tak mau mengakui siapa dirimu, tapi aku yakin kau memang orang<br />berjuluk Makhluk Pembawa Bala itu. Bagiku kau justru Makhluk Pembawa Pertolongan.<br />Dengar, aku butuh pertolonganmu. Tunggu… Mari kubantu menyeret perahumu ke<br />laut…”<br />“Jangan berani menanam budi padaku. Kau bakal kecewa manusia berkulit<br />arang!” Orang berpenyakit cacar berkata tanpa berpaling dan terus melangkah. Kaki dan<br />sebagian perahunya sudah masuk ke dalam air laut.<br />“Aku butuh pertolonganmu… Kau pasti bisa menolongku!”<br />“Untuk urusan ini apakah kau sanggup membayar dengan nyawamu?!”<br />Wiro jadi tertegun mendengar ucapan orang itu. ”Apa maksudmu?” tanya<br />Pendekar 212.<br />“Aku tahu kau minta diantar ke sebuah pulau di tengah laut sana! Makanya aku<br />tanya apa kau sudah bersiap-siap menghadapi kematian?!”<br />“Soal mati hidup di tangan Tuhan! Aku tidak takut!”<br />Orang bercaping keluarkan suara meludah. Kain penutup wajahnya kembali<br />tampak basah dan warna merah.<br />“Kau betul. Kematian anak manusia di tangan Tuhan. Tapi berapa banyak saja<br />anak manusia yang berlaku tolol. Sengaja mencari mati! Salah seorang di antaranya<br />adalah kau sendiri!”<br />“Aku tidak perduli walau menemui kematian sekalipun! Aku membawa tugas<br />untuk menyelamatkan dunia persilatan!” kata Wiro. Tanpa sadar dia telah ketelepasan<br />bicara.<br />“Oh begitu….? Rupanya kau ini malaikat penyelamat ya? Huh! Hik..hik!<br />Malaikat mana ada yang hitam gosong sepertimu!”<br />Dalam hati Pendekar 212 jadi memaki setengah mati mendengar kata-kata orang<br />itu. Tanpa perduli orang tidak suka padanya Wiro terus saja mengikuti masuk ke dalam<br />laut. Begitu perahu putih mengapung di atas permukaan air laut, orang bercaping<br />langsung melompat naik. Wiro tak menunggu lebih lama. Dia segera pula melompat.<br />Pemilik perahu jadi marah. Dia keluarkan suara menggembor lalu membentak.<br />“Siapa mengizinkanmu naik ke atas perahuku?!”<br />“Memang tak ada yang mengizinkan. Aku tak ingin memaksa. Aku butuh<br />pertolonganmu. Antarkan aku ke pulau tempat kediaman Raja Obat Delapan Penjuru<br />Angin!”<br />“Kau mau kutendang dari atas perahu ini atau turun secara baik-baik!” hardik<br />orang bercaping.<br />“Jika kau mengancam begitu aku juga bisa mengancam! Kalau kau tidak mau<br />membawaku, akan kuhancurkan perahu ini!”<br />Diancam seperti itu orang berccaping rangkapkan kedua tangannya di depan dada<br />lalu tertawa gelak-gelak. “Tadinya kukira kau malaikat! Aku mau lihat bagaimana kau<br />akan menghancurkan perahuku. Hik..hik!”<br />Hilang sabarnya Wiro berteriak. “Pasang matamu! Lihat bagaimana aku menjebol<br />perahumu!”<br />Habis berteriak begitu Wiro langsung hantamkan tinjunya ke dasar perahu.<br />“Braak!”<br />Lantai perahu yang terbuat dari kayu itu jebol berlubang. Tangan kanan Wiro<br />sendiri jeblos masuk ke dalam lubang itu sampai sebatas siku. Berarti sebagian tengahnya<br />terendam ke dalam air laut. Ketika tangannya hendak ditarik murid Sinto Gendeng ini<br />jadi terkejut. Bagaimanapun dia kerahkan tenaga tetap saja tidak mampu menarik lepas<br />tangannya dari lubang yang menjepit.<br />“Celaka! Bagaimana bisa begini?!” ujar Wiro dalam hati. Dia melirik ke samping.<br />Orang bercaping dilihatnya tenang-tenang saja, melangkah ke sisi perahu yang lain<br />sambil tertawa panjang lalu duduk di pinggiran perahu. Kedua kakinya yang penuh<br />koreng cacar dimasukkannya ke dalam air. Sementara Wiro berkutat berusaha<br />mengeluarkan tangannya yang terjepit di lobang perahu, orang itu gerak-gerakkan kedua<br />kakinya. Perlahan-lahan perahu mulai bergerak. Makin lama makin kencang.<br />“Gila! Tanganku!” teriak Wiro.<br />“Ha..ha…!” Orang bercaping tertawa. “Setahuku laut sekitar sini banyak ikan<br />buasnya. Pernah kau merasa digeragot ikan Hiu atau ditusuk ikan Todak bermulut<br />runcing seperti tombak?! Kuharap tanganmu tetap utuh sampai di tempat tujuan.<br />Kalaupun tanganmu selamat apakah sudah siap menerima kematian mendadak?<br />Ha…ha…ha!”<br />“Kurang ajar! Apa yang kau lakukan terhadapku?!” teriak Pendekar 212.<br />Yang ditanya tidak menjawab malah sambil bernyanyi-nyanyi kecil dia goyanggoyangkan<br />kedua kakinya yang ada dalam air lebih kencang. Akibatnya perahu putih itu<br />melesat tambah cepat.<br />“Kalau kau tidak melepaskan tanganku, aku akan pukul perahu ini dengan<br />pukulan sakti! Biar kita tenggelam dan mampus sama-sama!” teriak Wiro mengancam.<br />“Pemuda muka hitam, kau masih galak saja! Coba kau buktikan ucapanmu! Apa<br />kau mampu menggerakan tanganmu sebelah kiri?!”<br />“Mengapa tidak?!” jawab murid Sinto Gendeng. Dia merapal aji kesaktian<br />pukulan sinar matahari sementara hujan yang tadi turun perlahan-lahan mulai berhenti.<br />Orang bercaping tenang saja malah berpalingpun tidak. Wiro jadi kalap. Dengan tenaga<br />penuh dia hantamkan tangan kirinya. Tapi astaga! Sesiur angin dingin bertiup. Wiro<br />merasa lengan kirinya sampai ke tulang bergetar aneh. Setelah itu dia tidak mampu lagi<br />menggerakkan tangan kirinya. Perlahan-lahan sinar putih menyilaukan menjadi surut dan<br />tangannya kembali ke bentuk semula.<br />“Ha…ha…ha! Ha…ha…ha…!” Orang bercaping tertawa panjang. Perahu<br />melesat semakin kencang. Wiro merasakan kepalanya pusing dan perutnya seperti mau<br />muntah!<br />Saat itulah tiba-tiba Wiro melihat ada sebuah perahu meluncur di permukaan laut.<br />Walau jelas perahu ini berusaha mengejar perahu yang ditumpanginya, namun begitu<br />terkejar perahu itu sepertinya sengaja menjaga jarak. Untuk beberapa lama dua perahu<br />meluncur bersisi-sisian.<br />Dalam keadaan tangan kanannya masih terjepit di dalam lubang perahu Wiro<br />berusaha melihat siapa adanya penumpang tunggal perahu di sebelah sana.<br />“Heh… penumpangnya perempuan. Berpakaian biru. Rambutnya pirang…!<br />Astaga!” Wiro terkejut tapi juga gembira. “Bidadari Angin Timur! Itu Bidadari Angin<br />Timur!”<br />Wiro lambaikan tangan kirinya. Tapi tangan itu tak mampu digerakkan. Dia coba<br />berteriak. Lebih celaka lagi! Ternyata dia tidak bisa keluarkan suara barang sedikitpun!<br />“Jahanam! Manusia caping bau busuk itu pasti telah menotok diriku!” Wiro<br />merutuk setengah mati. “Kuharap gadis itu bisa melihatku… Nah, perahunya agak<br />mendekat. Pasti dia bisa melihatku! Dia memang Bidadari Angin Timur! Aku butuh<br />pertolonganmu!”<br />Perahu yang ditumpangi gadis berbaju biru itu memang mendekat sampai<br />beberapa tombak. Tapi kemudian bergerak ke kanan, menjauhi perahu putih.<br />“Celaka! Kenapa menjauh? Gadis itu pasti tadi terus saja pergi?! Sial betul!” Wiro<br />sangat kecewa tapi juga jengkel penasaran. “Mustahil dia tidak melihat! Mustahil dia<br />tidak mengenaliku! Tapi…” Wiro baru sadar keadaan dirinya yang saat itu hitam legam<br />mulai dari kepala sampai ke kaki. “Kulitku! Mungkin ini sebabnya dia tidak mengenali<br />dan terus saja pergi? Hik…hik!”<br />“Jahanam!” maki murid Sinto Gendeng. “Menoleh pun dia tidak tadi. Bagaimana<br />dia bisa tahu ada gadis cantik di perahu itu?!”<br />Perahu putih itu semakin jauh ke tengah laut. Tepian pantai mulai tampak samarsamar<br />di kejauhan.<br />SEBELAS<br />Dalam keadaan tak bisa bergerak, tangan kanan terjepit di lantai perahu sementara<br />matahari bersinar terik, Pendekar 212 merasa tubuhnya seolah-olah dipanggang. Yang<br />membuatnya jengkel setengah mati, orang bercaping di samping perahu enak-enak saja<br />duduk uncang-uncang kaki malah sambil bernyanyi-nayanyi kecil. Laut luas<br />menghampar, tak kelihatan pantai tak tampak pulau.<br />“Hendak dibawa kemana aku ini…?” pikir Wiro.”Orang ini benar-benar menjadi<br />bala bagiku!”<br />Tiba-tiba suara nyanyian orang bercaping lenyap. Menysul suaranya berkata.<br />“Lihat berkeliling! Makhluk-makhluk kematian telah datang menjemput dirimu!” Wiro<br />merasakan ada angin halus dingin menyapu leher dan kepalanya. Mendadak saja kini dia<br />bisa menggerakan kepala dan memandang berkeliling. Hati sang Pendekar menjadi kecut<br />ketika melihat di sekeliling perahu bermunculan beberapa ekor ikan hiu sebesar manusia!<br />Wiro membuka mulut hendak meneriakkan sesuatu pada Makhluk Pembawa<br />Bala. Ternyata walau kini dia mampu menggerakkan kepala namun sampai saat itu<br />mulutnya tetap saja tak bisa mengeluarkan suara alias tetap gagu! Wiro merasa sekujur<br />tubuhnya dingin. “Tanganku…” kata Wiro dalam hati begitu menyadari tangannya yang<br />terjepit di lantai perahu dan berada di dalam air laut. “Sekali ikan-ikan itu menyambar<br />pasti bunting!”<br />“Anak muda, kau kulihat ketakutan setengah mati. Mengapa harus takut? Ikanikan<br />itu sebenarnya makhluk-makhluk jinak. Kecuali kalau melihat darah.<br />Ha…ha…ha…!”<br />Wiro putar kepala dan beliakan matanya pada bercaping. “Kalau ikan-ikan itu<br />menyerang apa kau sendiri bisa selamat?!” ujar Wiro. Suaranya tak keluar dari dalam<br />mulut. Tiba-tiba dia merasakan sebuah benda tajam menyentuh lengannya yang berada di<br />dalam laut. Ada rasa perih. Ketika kepalanya diangkat untuk memperhatikan, dilihatnya<br />ada warna merah di air laut. “Tanganku luka! Warna merah itu pasti darahku…! Celaka!<br />Manusia jahanam ini benar-benar hendak membunuhku…” Wiro jadi gemetar<br />membayangkan apa yang akan segera terjadi.<br />Tiba-tiba perahu putih itu berguncang keras. Ikan-ikan hiu di dalam laut telah<br />melihat dan mencium bau darah . Beberapa di antara mereka menjadi liar dan menabrak<br />perahu dengan kepala atau tubuh masing-masing. Makin lama goncangan makin keras.<br />Air laut mulai masuk. Perahu putih oleng kian kemari, hanya menunggu terbalik saja.<br />“Selamat tinggal anak muda!”<br />“Heh! Mau kemana makhluk celaka ini?!”<br />Dari salah satu bagian lantai perahu Wiro melihat orang itu mengeluarkan sebuah<br />benda empat persegi dilengkapi dua utas tali. Ternyata selembar papan. Dengar cepat<br />orang itu meletakkan kaki kirinya yang busuk bernanah di atas papan lalu pergunakan<br />dua utas tali intuk mengikat kakinya erat-erat. Dia berpaling pada Wiro, lambaikan<br />tangan kiri seraya berkala. “Sekali lagi, selamat tinggal anak muda! Mudah-mudahan kau<br />bisa bertemu Raja Obat Delapan Penjuru Angin di akhirat! Ha…ha…ha!” Habis berkata<br />begitu manusia yang dijuluki Makhluk Pembawa Bala itu melompat ke dalam laut. Papan<br />injakkannya mengapung di atas air. Sekali kaki kanannya membuat gerakan seperti<br />mengayuh maka papan yang dipijaknya meluncur ke depan!<br />“Jahanam betul!” rutuk murid Sinto Gendeng. Dia sadar kalau kematian memang<br />sudah dekat di depan matanya. “Sekalipun ikan-ikan hiu itu tidak akan mencabik aku<br />selamatkan diri dari mati tenggelam! Sudah takdir aku harus berkubur di dasar laut.<br />Semoga takdir Tuhan mengampuni segala dosaku…!” Begitu Wiro berkata setengah<br />meratap dan masih bisa mengingat Tuhan. Bayangan-bayangan orang yang paling dekat<br />muncul di depannya. Eyang Sinto Gendeng, lalu Kakek Segala Tahu. Menyusul Si Raja<br />Penidur. Setelah itu terbayang wajah gemuk Bujang Gila Tapak Sakti, disusul dengan<br />Tua Gila. Muncul pula sosok Suci alias Dewi Bunga Mayat. Lalu ada bayangan biru<br />berkelebat dan muncul satu wajah secantik bidadari. “Bidadari Angin Timur… Kita tak<br />akan bertemu lagi selama-lamanya…”<br />“Braaaakk!-Braaakk!”<br />Dua ekor ikan hiu menghantam dinding perahu kiri kanan hingga perahu putih itu<br />pecah, terbelah dua. Lantai sebelah kanan hancur berkeping-keping. Tangan Wiro yang<br />terjepit kini terlepas bebas. Namun tak ada gunanya karena sekujur tubuhnya saat itu<br />berada dalam keadaan kaku tak bisa digerakkan kecuali kepalanya.<br />Sebelum tubuhnya tenggelam masuk ke dalam air laut, dia melihat belasan ekor<br />ikan hiu yang berada di sekelilingnya menghentakan ekor mengibaskan sirip. Binatangbinatang<br />haus darah ini menyerbu ke arahnya!<br />Di saat yang bersamaan tiba-tiba di dasar laut ada kilatan-kilatan aneh terang<br />beberapa kali. Pada saat belasan ikan hiu hanya tinggal beberapa jengkal saja lagi dari<br />tubuh Pendekar 212 yang melayang tenggelam di dalam air laut, terdengar suara<br />menggemuruh amat dahsyat. Murid Sinto Gendeng yang berusaha mempertahankan<br />nyawanya tanpa mampu berbuat sesuatu, sebelum jatuh semakin dalam dan hilang<br />kesadarannya melihat seperti ada tabir kelabu mengurung dan mendekat. Tabir itu<br />ternyata adalah puluhan ekor ikan lumba-lumba berbobot rata-rata dua sampai tiga kali<br />besarnya tubuh manusia. Belasan ikan hiu mendadak sontak seperti takut melihat<br />munculnya puluhan ikan lumba-lumba ini. Dalam keadaan kacau balau ikan-ikan hiu itu<br />berkelebat kian kemari, melarikan diri dan akhirnya lenyap. Wiro sendiri setelah itu tidak<br />tahu apa yang terjadi karena tubuhnya yang berada dalam keadaan pingsan terus<br />meluncur tenggelam ke dasar laut. Dia tidak sempat melihat serombongan makhluk aneh<br />membawa tongkat besi yang ujungnya memancarkan kilatan-kilatan sinar terang<br />mendatanginya. Mereka ternyata adalah makhluk yang tubuhnya berujud gadis<br />bertelanjang dada di bagian atas sedang di sebelah bawah berupa sosok ikan berwarna<br />perak.<br />PERTAMA sekali yang didengar kertika dia siuman dan belum sempat membuka<br />kedua matanya ialah alunan suara petikan kecapi yang sangat merdu. Hidungnya<br />mencium bau harum semerbak.<br />Perlahan-lahan Wiro buka kedua matanya. Memandang ke atas lalu melihat<br />berkeliling dia dapatkan dirinya terbujur di atas sebuah tilam sangat bagus.<br />“Ruangan apa ini…?” pikir Pendekar 212. Dia gerakkan kakinya. “Eh, kakiku<br />bisa bergerak…” Dia gerakkan tangannya. Tangannya juga bisa bergerak. Ketika dia<br />mencoba bangkit ternyata dia mampu duduk di atas pembaringan itu. “Dimana aku ini?”<br />Ruangan dia berada saat itu ditutup dengan tirai berwarna biru muda. Langit-langit kamar<br />terbuat dari bahan aneh memancarkan cahaya hingga menerangi seluruh tempat. Wiro<br />angkat tangan kanannya. Ada bubuk aneh mulai mengering pada pangkal lengan. Dia<br />coba berpikir. Walaupun agak lambat namun dia mampu mengingat apa yang telah<br />dialaminya sebelumnya. “Perahu putih pecah berantakan. Aku tenggelam ke dalam laut.<br />Ada ikan-ikan buas siap menyerangku. Lalu ada suara menggemuruh. Muncul tabir<br />kelabu aneh…” Wiro pandangi lagi lengan kanannya. “Luka di tanganku di taburi<br />sesuatu. Mungkin sekali obat. Berarti ada yang telah menyelamatkan diriku…”<br />“Srett…srett…srett…srettt!”<br />Tiba-tiba tirai biru muda yang menutupi empat dinding ruangan terbuka. Murid<br />Sinto Gendeng hampir tersentak. Mulutunya ternganga dan matanya terbuka lebar tak<br />berkesip.<br />“Jangan-jangan aku benar sudah mati. Dan masuk ke dalam sorga… Buktinya<br />saat ini aku dikelilingi selusin gadis. Cantik-cantik semua, berkulit putih halus.<br />Mengenaskan pakaian yang membuat jantungku bisa copot! Tapi apa mungkinlah ya aku<br />ini betulan di sorga?” Wiro garuk-garuk kepalanya. “Dosaku bertumpuk. Masakan aku<br />bisa masuk sorga semulus ini…?” Wiro memandang berkeliling. Perhatikan gadis-gadis<br />cantik itu. Mereka mengenakan pakaian terusan warna hitam yang ketat, terbelah di<br />bagian sisinya mulai dari ujung kaki sampai ke pinggul, lalu terbelah lagi di bagian dada<br />sebelah atas.<br />“Cantik semua. Kalian ini siapa…Aku berada dimana?” tanya Wiro lalu perlahanlahan<br />dia turun dari berjuluk Makhluk Pembawa Bala itu. “Jangan-jangan para gadis ini<br />makhluk tipuan ciptaan si jahanam itu…” Selintas pikiran muncul dan membuat murid<br />Sinto Gendeng jadi tidak enak dan bercuriga.<br />“Hai! Tak ada satupun dari kalian yang mau menjawab pertanyaanku tadi…?”<br />Wiro memperhatikan berkeliling.<br />Tiba-tiba dua gadis bergeser ke samping. Dari celah di antara keduanya<br />melangkah maju seorang gadis membawa sebuah nampan terbuat dari kerang laut yang<br />sangat besar. Di atas nampan ini ada seperangkat pakaian lelaki berwarna hitam lengkap<br />dengan ikat kepala, juga terbuat dari kain hitam.<br />Si gadis ulurkan nampan ke hadapan Wiro lalu membungkuk. Karena dada<br />pakaiannya terbelah dalam, ketika membungkuk sepasang payudaranya yang putih<br />kencang seperti hendak melompat keluar. Murid Eyang Sinto Gendeng merasa<br />jantungnya seperti mau tanggal menyaksikan!<br />“Tamu dari daratan silahkan membuka seluruh pakaianmu dan kenakan pakaian<br />yang kami bawa ini.” Gadis pembawa pakaian di atas nampan kerang berkata.<br />Wiro jadi tertegun. Saat itu pakaian putih yang dikenakannya selain basah juga<br />kotor dan bau.<br />“Kalian gadis-gadis baik. Mau memberikan salinan untukku. Baik, aku akan<br />berganti pakaian. Tapi harap kalian meniggalkan tempat ini…”<br />Gadis pembawa pakaian dan sebelas teman-temannya saling pandang lalu hik…<br />hik! Mereka sama-sama tertawa.<br />“Kenapa tertawa?” Tanya Wiro heran. “Oh, pasti menertawai kulitku yang hitam.<br />Kalian tahu ini bukan kulitku asli. Kulitku dulu kuning, halus. Tidak kalah dengan kulit<br />kalian itu…!”<br />Ruangan itu riuh oleh suara tawa dua belas gadis cantik. Wiro memandang cepat<br />berkeliling, memperhatikan bagaimana dada-dada putih montok para gadis berguncangguncang<br />sewaktu mereka tertawa.<br />Salah seorang dari para gadis lalu berkata. “Pemuda dari daratan. Kami akan<br />membawamu menghadap Ratu. Kurang pantas rasanya kalau kau mengenakan pakaian<br />butut dan kotor serta bau itu…”<br />“Ratu …Ratu…apa…?” Wiro jadi heran.<br />“Kami tidak diperkenankan terlalu banyak bertutur. Harap segera berganti<br />pakaian,” gadis yang membawa nampan kerang memberi tahu.<br />“Ya… ya aku akan berganti pakaian . Tapi harap kalian suka meninggalkan<br />tempat ini…” kata murid Sinto Gendeng pula lalu mengambil seperangkat pakaian hitam<br />yang ada di atas nampan kerang.<br />“Kami tidak diperkenankan meninggalkan tempat ini. Jadi kau harus berganti<br />pakaian di depan kami…”<br />“Hah ! Apa?!” Wiro letakkan kembali pakaian hitam ke atas nampan. “Kalau<br />begitu biar aku tidak jadi ganti pakaian!”<br />“Kau tamu yang berada di tempat orang. Jadi harus mengikuti aturan tuan rumah.<br />Jangan membuat Ratu menunggu terlalu lama…”<br />“Walah! Siapa Ratu kalian? Kalian ini siapa sebenarnya? Manusia sungguhan,<br />makhluk jejadian, sebangsa peri atau apa?!”<br />“Sekali lagi kami beri tahu, kami tidak diperkenankan bicara terlalu banyak.<br />Silahkan berganti pakaian atau kau terpaksa kembali ke daratan dengan segala<br />penderitaanmu…”<br />“Gila!” Wiro memaki tapi cepat-cepat tekap mulutnya dengan tangan kiri.<br />”Maafkan ucapan burukku tadi. Tapi apakah kalian tidak tahu? Bagiku lebih menderita<br />membuka pakaian di hadapan kalian!”<br />“Aturan mengatakan begitu! Kami semua harus mematuhi!” kata salah seorang<br />dari dua belas dara cantik.<br />“Ah, bilang saja sebenarnya kalian suka melihat lelaki bugil! Iya kan?!”<br />Dua belas wajah cantik kelihatan menjadi merah.<br />Gadis pembawa pakaian maju mendekat dan berkata dengan air muka tegang.<br />“Dengar pemuda jahat! Kau tinggal memilih…”<br />“Aku suka kalau kalian mengeroyokku…” ujar Wiro masih bergurau.<br />Gadis pembawa pakaian menoleh pada teman di sampingnya lalu mengangguk.<br />Melihat isyarat anggukan itu gadis yang satu ini angkat tangannya. Telapak yang<br />terkembang diarahkan pada Wiro. Tiba-tiba ada kalian sinar biru menyambar ke arah<br />kepala dan sekujur tubuh Pendekar 212. Saat itu juga terdengar jeritan Wiro. Tubuhnya<br />laksana berpijar-pijar. Sakitnya laksana ditusuk ribuan jarum.<br />Wusss… wusss… wussss.<br />Tubuh Pendekar 212 mengepulkan asap. Ketika kepulan itu sirna dia dapatkan<br />dirinya tanpa pakaian lagi alias bugil! Murid Sinto Gendeng berseru kaget. Dia<br />memandang berkeliling mencari kemana lenyapnya pakaian yang tadi melekat di<br />tubuhnya tapi tak berhasil menemukan. Cepat dia tutupkan kedua tangannya ke aurat<br />sebelah bawah. Dua belas gadis cantik tertawa cekikian. Yang membawa nampan berisi<br />pakaian hitam berkata. ”Apa kau masih tak mau mengenakan pakaian hitam ini?”<br />“Kalian ini… Ah!” Wiro jadi garuk-garuk kepala sekaligus dengan kedua<br />tangannya. Lupa kalau sepasang tangannya itu sedang dipakai untuk menutupi auratnya.<br />Ketika dia sadar cepat-cepat dia turunkan dua tangannya kembali. Ruangan itu ramai lagi<br />dengan suara tawa para gadis!<br />“Kalian benar-benar mempermainkanku! Tapi aku mau bilang apa! Aku<br />menyerah!” Pakaian di atas nampan kerang cepat disambar Wiro. Dia mengenakan<br />sambil berbalik, maksudnya paling tidak dia bisa berlindung dari sorot pandang gadis itu.<br />Tapi percuma saja karena dua belas gadis itu tegak mengelilingi ruangan. Jadi<br />kemanapun dia menghadap tetap saja tidak akan bebas dari pandangan mata gadis-gadis<br />cantik itu.<br />Wiro merasa nafasnya sesak begitu dia selesai mengenakan pakaian. Sambil<br />memakai destar dia bertanya. “Kalian sudah lihat tubuhku. Bagaimana…bagus?!”<br />“Hitam semua!” celetuk salah seorang gadis yang mengundang tawa ramai lagi di<br />ruangan itu.<br />Sebelum tinggalkan tempat itu Wiro ajukan pertanyaan kemana lenyapnya<br />pakaian yang tadi dikenakannya.<br />“Jangan khawatir,” jawab gadis yang berjalan di depannya. “Kelak jika kau<br />meninggalkan tempat ini pakaian butut itu akan dikembalikan padamu. Lengkap dengan<br />segala isi yang menempel di situ. Mungkin ada surat cinta dari kekasihmu dalam saku<br />pakaian hingga kau begitu khawatir akan pakaianmu?”<br />Wiro tertawa. Tentu saja tidak ada surat cinta disimpannya dalam pakaian itu.<br />Yang dikhawatirkannya adalah hilangnya bunga kenangan sakti pemberian Suci alias<br />Bunga alias Dewi Bunga Mayat yang merupakan satu-satunya benda keramat yang<br />sanggup menghubungkan dirinya dengan gadis dari alam barzah itu jika dia sewaktuwaktu<br />ingin bertemu atau meminta bantuannya. (Mengenai Dewi Bunga Mayat harap<br />baca serial Wiro Sableng berjudul Misteri Dewa Bunga Mayat).<br />“Ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan,” kata Wiro sambil melangkah<br />mengikuti gadis-gadis cantik itu. Sebentar-sebentar matanya memandang ke bawah<br />memperhatikan betis dan paha serta pinggul-pinggul putih yang tersingkap dari belahan<br />pakaian. Tak ada yang mengeluarkan suara atau menoleh padanya. Wiro lalu teruskan<br />maksudnya bertanya.<br />“Kita ini berada dimana…? Di daratan atau di dasar laut?”<br />“Kita berada di atas permukaan laut. Di awang-awang,” seorang gadis kemudian<br />menjawab.<br />“Ini yang aku tidak mengerti. Seingatku aku jatuh ke dalam laut…Mengapa kini<br />kau katakan berada di awang-awang? Mana mungkin aku bisa berjalan di udara…”<br />“Bangunan ini memang berada di udara terbuka. Di atas sebuah pulau. Manusia<br />biasa sepertimu tentu saja sulit percaya dan dibuat mengerti…”<br />“Lalu kalian ini apakah bukan manusia sepertiku juga?”<br />“Hentikan semua pembicaraan! Kita akan segera memasuki ruang tempat Sang<br />Ratu menunggu.”<br />“Ratu…” mengulang Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia ingat pengalamannya<br />waktu bertemu dengan perempuan sakti bergelar Ratu Pantai Utara. “Di laut utara ada<br />Ratu, ternyata di pulau pantai laut selatan ini juga ada Ratu. Akan kusaksikan mana yang<br />paling cantik antara keduanya…” kata murid Sinto Gendeng konyol. (Harap baca serial<br />Wiro Sebleng berjudul Pembalasan Ratu Laut Utara)<br />DUA BELAS<br />Dalam setiap langkah yang dibuatnya Wiro masih terus tak bisa mengerti kalau<br />bangunan itu berada di awang-awang. Sementara itu suara petikan kecapi merdu<br />terdengar semakin jelas dan bau harum bertambah semerbak.<br />Pendekar 212 dibawa memasuki sebuah ruangan besar yang hanya diterangi<br />cahaya-cahaya redup hingga mendatangkan suasana angker. Sekeliling ruangan, mulai<br />dari pintu masuk tegak berdiri puluhan gadis berpakaian seperti yang membawa Wiro ke<br />ruangan itu.<br />Di ujung ruangan, menghadap ke pintu ada sebuah kursi terbuat dari batu besar<br />yang sandarannya berbentuk seekor ikan limba-lumba besar membungkuk memayungi<br />seseorang yang duduk di bawahnya. Orang ini mengenakan pakaian terbuat dari manikmanik<br />berwarna putih perak berkilauan. Seperti pakaian para gadis lainnya, baju yang<br />dikenakannya juga dibelah di bagian dada dan pinggul. Kecantikan yang satu ini memang<br />melebihi semua gadis yang ada di situ. Namun kalau para gadis lain banyak senyumnya,<br />yang duduk di kursi batu ini sama sekali tidak menunjukkan air muka ramah. Orang ini<br />mengenakan anting, kalung dan gelang terbuat dari kerang tapi berwarna merah. Yang<br />membuat Wiro jadi tercekat ialah ketika memandang mata orang itu. Sepasang bola<br />matanya berwarna biru dan memancarkan pesona aneh kalau tidak mau dikatakan angker.<br />Di pangkuannya ada sebuah cermin besar berbentuk bulat.<br />“Ini rupanya Sang Ratu…” kata Wiro dalam hati.<br />Dua belas gadis yang membawa Wiro ke ruangan itu membungkuk dalam<br />memberi penghormatan. Ketika salah seorang dari mereka melihat Wiro dan berkata,<br />“Jangan berlaku kurang ajar! Lekas berikan penghormatan pada Ratu Duyung penguasa<br />Pulau pantai laut selatan…”<br />Didorong dengan tiba-tiba membuat Wiro tersentak kaget dan hampir tersungkur<br />ke depan. “Ratu Duyung…? Kulihat keadaan tubuhnya biasa-biasa saja seperti manusia.<br />Pinggul ke bawah mempunyai kaki, bukan seperti ikan…”<br />“Kalau kau tak segera menghormat Ratu kami, kami terpaksa menderamu dengan<br />pentungan tulang ikan hiu sampai tujuh puluh kali!” Satu cara mengancam di belakang<br />Wiro.<br />Murid Sinto Gendeng terpaksa lakukan apa yang diperintah. Dia melangkah maju<br />ke hadapan sang Ratu lalu membungkuk dalam-dalam. Namun sambil membungkuk<br />matanya yang nakal coba mencuri pandang kearah bagian bawah pakaian sang Ratu yang<br />tersingkap. Ketika dia berdiri tegak kembali untuk pertama kalinya Wiro melihat bahwa<br />di salah satu sudut ruangan ada sebuah meja bulat berkaki satu. Di atas meja ini terletak<br />sebuah pendupaan mengepulkan asap menebar bau sangat harum. Di samping pendupaan,<br />tersandar pada sebuah sandaran terbuat dar kayu sebuah kitab. Karena jauh Wiro tak<br />dapat membaca apa tulisan yang tertera di sampul kitab itu. Namun mendadak saja<br />dadanya berdebar.<br />Salah seorang gadis pengantar maju ke hadapan kursi batu tempat duduk sang<br />Ratu. Setelah membungkuk dia berkata.<br />“Penghormatan untukmu ya Ratu Duyung penguasa Pulau pantai laut selatan.<br />Perintah telah kami jalankan. Orang yang kau lihat dalam cermin sakti telah kami<br />antarkan ke hadapanmu. Kami menunggu petunjuk lebih lanjut.”<br />Orang yang disebut sebagai Ratu Duyung mengangguk sedikit. Dia memandang<br />pada Wiro lalu jari-jari tangan kirinya yang diletakkan di atas tangan kursi batu<br />digerakkan memberi isyarat agar Wiro mendekat.<br />Murid Eyang Sinto Gendeng maju tiga langkah. Walaupun dia terpesona melihat<br />kecantikan Sang Ratu dalam jarak sedekat itu namun matanya tak bisa lepas dari<br />memandang ke arah meja bulat berkaki tunggal yang terletak di sudut ruangan. Karena<br />dia jadi lebih pendek dan matanya di sampul buku. Kitab Putih Wasiat Dewa!<br />Lupa dirinya berada dimana Wiro Sableng langsung saja menghambur ke arah<br />meja bulat. Beberapa orang gadis berseru kaget melihat apa yang dilakukan pemuda<br />berkulit hitam itu. Sebaliknya Ratu Duyung tetap tenang di kursi batunya. Ketika jari-jari<br />tangan Wiro hampir menyentuh buku di atas meja bulat di samping pendupaan, Ratu<br />Duyung menekan salah satu bagian tangan kursi batu. Terdengar suara desingan halus.<br />Lalu lantai yang dipijak Wiro tiba-tiba amblas. Tak ampun lagi Pendekar 212 jatuh<br />terperosok ke dalam lubang batu sedalam leher. Kini hanya kepalanya saja yang<br />tersembul di lantai ruangan. Secara aneh tapi mengerikan empat dinding lantai batu itu<br />bergerak menyempit hingga Pendekar 212 tidak mampu selamatkan diri keluar dari<br />lobang itu!<br />Perlahan-lahan Ratu Duyung bangkit dari kursi batunya. Cermin bulat yang<br />terletak di pangkuannya dipindahkan ke atas kursi batu. Lalu dia melangkah anggun<br />mendekati lobang tempat Wiro terjerumus. Berhenti tepat di tepi lobang itu. Dalam<br />keadaan lain melihat sang Ratu berdiri di atasnya merupakan satu pemandangan<br />menggiurkan bagi Wiro. Namun saat itu dia terjebak di lobang aneh dan tak mampu<br />keluar selamatkan diri.<br />“Kadang-kadang kecerobohan bisa membawa celaka seseorang…” kata Ratu<br />Duyung.<br />“Ratu, demi Tuhan aku tidak bermaksud mengambil kitab itu!” ujar Wiro.<br />“Sumpah anak manusia tidak berlaku di tempat ini!”<br />Sang Ratu sunggingkan senyum sinis. Dia ulurkan tangan kanannya menekan<br />sebuah tombol di bawah meja bulat. Dari langit-langit ruangan tiba-tiba meluncur turun<br />perlahan-lahan dua buah pilar besi yang ujungnya runcing dan merah membaca. Jika<br />bergerak terus dua batangan besi panas ini akan jatuh tepat di atas kepala Pendekar 212<br />yang berada di lobang batu lantai ruangan. Wiro maklum bahaya maut kini kembali<br />mengancamnya.<br />“Ratu! Aku akan jelaskan…”<br />“Kau tak perlu menjelaskan apa-apa anak manusia. Cermin Sakti sudah memberi<br />petunjuk bahwa memang kau tengah mencari kitab sakti itu…”<br />“Kau benar dan aku tidak berdusta, “ jawab Wiro. “Tadi aku begitu terkejut dan<br />lupa diri. Aku menghampiri sekedar untuk memastikan kalau memang itu buku yang aku<br />cari. Bukan untuk mengambilnya!”<br />Ratu Duyung tertawa. “Kau bukan saja seorang pendusta besar. Tapi juga tolol!<br />Jika kau memang mencari kitab itu, setelah bertemu masakan tidak akan kau ambil!<br />Orang-orangku telah menyelamatkanmu dari ikan-ikan hiu buas. Kau bukannya<br />menyadari budi orang malah hedak mencuri!”<br />“Terserah kau mau bilang apa! Aku sudah katakan dengan jujur aku terkejut<br />melihat kitab itu ada di tempat ini. Padahal menurut petunjuk kitab itu seharusnya berada<br />di tempat lain….!”<br />“Begitu?!” Ratu Duyung kembali tertawa. Sementara itu dua buah batangan besi<br />runcing panas membara perlahan-lahan turun terus mengarah batok kepala Wiro. Jarak<br />ujung-ujungnya dengan kepala Wiro semakin pendek. Kini hnya tinggal sekitar lima<br />belas jengkal.<br />“Aku tidak tahu di pihak mana kau dan orang-orangmu berada. Apa berpihak<br />pada kelompok manusia-manusia jahat atau termasuk dalam golongan orang-orang putih<br />yang berbuat kebajikan demi tenteramnya dunia persilatan….”<br />“Jangan berkhotbah di hadapanku! Kami tidak berada pada satu pun di antara dua<br />golongan yang kau katakan!” Habis berkata begitu Ratu Duyung melangkah kembali ke<br />kursi batunya. Sebelum duduk dia memandang ke dalam Cermin Sakti. Lalu dia memberi<br />tanda pada seorang gadis yang ada di ruangan itu. “Lekas bawa masuk tamu kita yang<br />datang malam tadi!”<br />Gadis yang diperintah segera meninggalkan tampat itu. Tak selang berapa lama<br />dia muncul kembali. Di belakangnya mengikuti seorang kakek gemuk luar biasa bermata<br />sipit hampir merupakan garis. Rambutnya yang putih disanggul di atas kepala. Dia<br />mengenakan pakaian serba hitam lengkap dengan destar hitam seperti yang saat itu<br />dikenakan Wiro. Berat tubuhnya yang sekitar 200 kati membuat setiap langkah yang<br />dilakukannya menimbulkan suara bergetar di lantai ruangan! Dia melangkah sambil tiada<br />hentinya tertawa-tawa.<br />Wiro melengak kaget melihat siapa adanya orang gendut ini. Dia hendak berseru<br />memanggil tapi tak jadi karena khawatir akan membuat marah Ratu Duyung dan<br />dianggap lagi-lagi berlaku ceroboh. Lagipula saat itu dia sendiri lebih khawatir akan<br />keselamatan dirinya. Dari langit-langit ruangan dua batang besi runcing turun semakin<br />mendekati kepalanya!<br />Sampai di hadapan Ratu Duyung orang tua gemuk itu membungkuk memberi<br />hormat pada sang Ratu.<br />“Tamu terhormat maafkan aku mengganggu saat istirahatmu. Ada satu urusan<br />penting yang kami hadapi. Kau lihat pemuda dalam liang batu di depan meja bulat sana?!<br />Nyawanya tergantung pada penjelasan yang akan kau berikan.”<br />Orang tua gemuk berpaling kearah yang ditunjuk Ratu Duyung. Dia lalu<br />mengangguk. Pada saat si gemuk memandang ke arahnya Wiro cepat tersenyum dan<br />kedip-kedipkan matanya.<br />“Apa ini orang yang kau maksudkan dalam keteranganmu? Pendekar yang<br />katamu siap mengarungi segala bahaya untuk mencari kitab sakti bernama Kitab Putih<br />Wasiat Dewa itu….?”<br />Si Gemuk kembali memandang pada Wiro. Pendekar 212 kembali tersenyum.<br />Lalu dia melihat si gendut menggeleng dan berkata. “Bukan, bukan dia<br />orangnya…Ha…ha.. ha!”<br />“Jadi kau tidak mengenalinya?” Tanya Ratu Duyung.<br />“Tidak, aku tidak kenal dengan manusia bermuka gosong itu!” Lalu kembali<br />orang ini tertawa gelak-gelak hingga sekujur tubuhnya berguncang-guncang.<br />“Sialan si gendut Kerbau Bunting itu!” maki Wiro dalam hati. “Apa matanya<br />sudah lamur tidak mengenali diriku lagi?! Enak saja aku disebutnya mnusia bermuka<br />gosong. Tapi eh…!”<br />“Kalau begitu kematiannya tidak akan menjadi persoalan bagi dirimu?!” bertanya<br />Ratu Duyung.<br />“Perduli apa dengan nyawanya!” jawab si gendut lalu tertawa mengekeh. “Kau<br />boleh kembali ke tempat peristirahatanmu!” kata Ratu Duyung pula.<br />Ketika si gendut hendak memutar tubuhnya Wiro cepat berteriak. “Dewa Ketawa!<br />Jangan pergi dulu! Kau harus menolongku! Jangan bicara ngacok mengatakan kau tidak<br />kenal diriku!”<br />Si gendut yang dipanggil Wiro dengan sebutan Dewa Ketawa sesaat hentikan<br />tawanya. Dia berpaling. Menatap tajam pada Wiro sambil dalam hati memaki. “Anak<br />setan muka hitam itu tahu darimana namaku!” Dia menatap tak berkesip dengan matanya<br />yang sipit. “Siapa kau?!” tanyanya sambil tertawa-tawa.<br />“Aku Wiro Sableng, sobat keponakanmu Bujang Gila Tapak Sakti. Masakan kau<br />tidak mengenali diriku?!”<br />“Puah!” si gendut tertawa gelak-gelak. “Wiro Sableng Pendekar 212?!”<br />“Betul! Murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede!” sambung Wiro. Dia<br />mendongak ke atas. Dua batang besi merah membara kini hanya berjarak sepuluh jengkal<br />dari kepalanya.<br />Orang yang dipanggil Wiro dengan sebutan Dewa Ketawa itu tertawa mengekeh<br />hingga matanya yang sipit kucurkan air mata. “Pendekar 212 yang aku kenal mukanya<br />tidak gosong hitam sepertimu! Tolol sekali kau hendak menipu aku! Apa kau kira aku<br />sudah buta?!”<br />“Buta mungkin belum tapi bisa saja sudah lamur!” teriak Wiro.<br />“Manusia bermuka hitam!” membentak Ratu Duyung. “Jangan lancang berani<br />menghina tetamuku!”<br />“Aku tidak menghina! Aku yakin dia berdusta mengatakan tidak kenal padaku.<br />Dewa Ketawa, ingat pertemuan kita terakhir sewaktu mengembalikan dua buah bonang<br />milik Keraton yang dicuri orang?!”<br />Si gendut sesaat terdiam. Dia seperti berpikir-pikir. “Ya aku ingat! Waktu itu kau<br />masuk ke dalam tanah bersama Nyi Bulan Seruni Pitaloka. Kukira kalian berdua sudah<br />jadi mayat hidup…!”<br />“Nah, kau ingat peristiwa itu. Berarti otakmu masih encer! Apa kau juga ingat<br />waktu kau ketakutan mau dicium oleh Nyi Bulan….?!”<br />“Eh!” si gendut Dewa Ketawa usap-usap pipinya yang gembrot. Lalu dia tertawa<br />gelak-gelak. Para gadis anak buah Ratu Duyung banyak yang ikut tertawa cekikikkan.<br />“Sekarang kau harus mengatakan pada Ratu Duyung bahwa aku memang Wiro<br />Sableng, Pendekar 212 yang tengah menjalankan tugas mencari Kitab Putih Wasiat<br />Dewa….”<br />“Tidak bisa…” kata Dewa Ketawa sambil kembali tertawa-tawa.<br />“Gila! Apa yang tidak bisa! Mengapa tidak bisa?!” ujar Wiro hampir berteriak<br />karena di atasnya dua batang besi runcing panas hanya tinggal delapan jengakal dari<br />batok kepalanya.<br />“Pendekar 212 yang aku kenal mukanya tidak hitam sepertimu! Kau berusaha<br />mengelabui diriku!”<br />“Sesuatu terjadi dengan diriku!” jawab Wiro. Lalu dia menjelaskan peristiwa<br />perkelahiannya dengan Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan. Juga kemunculan seorang<br />yang datang menolongnya dan memberikan obat penyembuh luka dalamnya yang parah.<br />Nyawanya berhasil diselamatkan walau untuk sementara sekujur kulit tubuh dan<br />wajahnya menjadi hitam legam.<br />Orang tua gendut itu goleng-goleng kepala dan enak saja dia memutar tubuhnya<br />hendak meninggalkan tempat itu.<br />“Dewa Ketawa!” teriak Wiro.<br />Si gendut hentikan langkah. Tanpa berpaling dia berkata. “Pendekar 212 yang aku<br />kenal memiliki satu senjata mustika sakti. Sebilah kapak bermata dua dikenal dengan<br />sebutan Kapak Maut Naga Geni 212. Jika kau mampu memperlihatkan senjata itu<br />padaku, mungkin aku bisa mengakui kalau dirimu memang murid si Sinto Gendeng dari<br />Gunung Gede itu!”<br />“Aku tak menunjukkan senjata itu! Kapak Naga Geni 212 dan juga batu hitam<br />sakti pasangannya dicuri oleh Tiga Bayangan Setan dan kambratnya Elang Setan!”<br />“Hemmm… Kalau begitu bagaimana aku bisa menolong?” ujar Dewa Ketawa<br />seraya tersenyum-senyum sambil garuk-garuk dagu. “Hemmm…Aku ingat ada rajahan<br />angka 212 di dadamu. Itu mungkin bisa menolong….”<br />“Sudah kubilang sekujur kulit tubuhku berubah. Rajah itu tertutup warna hitam!”<br />“Sayang sekali. Agaknya kau memang harus menemui ajal secara mengenaskan<br />di dalam liang batu itu!” kata Dewa Ketawa pula. Tapi dia masih belum beranjak dari<br />tempat itu. Tiba-tiba dia berpaling dan tertawa gelak-gelak.<br />“Jahanam gendut itu tertawa seperti orang gila! Aku sendiri sudah mau mati!”<br />Wiro merutuk dan memandang ke atas. Dua ujung besi lancip hanya tinggal empat<br />jengkal!<br />“Ada satu cara untuk membuktikan bahwa kau betul-betul Wiro Sableng<br />Pendekar 212…”<br />“Apa itu! Lekas kau katakan! Jika terlambat dua besi panas ini siap menambus<br />batok kepalaku!” teriak Wiro.<br />“Waktu pertama kali kita bertemu, kemudian sama-sama terlibat urusan dua<br />bonang celaka itu apa sebutanku memanggilmu? Nah ayo lekas kau jawab!”<br />“Sobatku Muda!” teriak Wiro. “Begitu kau memanggil diriku!”<br />“Eh, memang benar!” kata Dewa Ketawa lalu tertawa mengekeh. Tiba-tiba dia<br />hentikan tawanya dan berkata. “Itu belum cukup dijadikan bukti kalau kau memang<br />Pendekar 212 Wiro Sableng!”<br />“Gila! Apa lagi maumu?!” teriak Wiro. Di atas kepalanya dua batang besi<br />menyala hanya tinggal tiga jengkal.<br />“Kau masih ingat bagaimana kau memanggil aku waktu itu?!” tanya Dewa<br />Ketawa.<br />“Apa sulitnya mengingat!” jawab Wiro. “Kau kupanggil Sobatku Gendut!”<br />Terkadang kupanggil kau Kerbau Bunting!”<br />“Ha…ha…ha…!” tawa Dewa Ketawa meledak hingga dinding dan lantai ruangan<br />itu bergetar. Apa lagi semua anak buah Ratu Duyung tak dapat pula menahan tawanya.<br />“Sekarang aku yakin, kau memang Pendekar 212 Wiro Sableng! Ha…ha…ha!”(Siapa<br />adanya Bujang Gila Tapak Sakti dan Dewa Ketawa dapat dibaca dalam serial Wiro<br />Sableng berjudul Bujang Gila Tapak Sakti)<br />“Kalau begitu!” ujar Wiro seraya memandang ke atas dan melihat dua ujung besi<br />runcing hanya tinggal satu jengkal di atas kepalanya, “Lekas minta pada tuan rumah<br />untuk menghentikan gerakan dua besi maut itu!”<br />“Ratu Duyung…” ujar Dewa Ketawa anteng-anteng saja sementara Wiro sudah<br />ketakutan setangah mati, “Aku minta dengan hormat kau suka menghentikan gerakan<br />benda kematian itu!”<br />Ratu Duyung tak segera melakukan apa yang diminta Dewa Ketawa. Dia bertanya<br />lebih dulu. “Jadi sekarang kau yakin pemuda berkulit hitam itu benar-benar Pendekar<br />212, orang yang tempo hari kau katakan pertama kali kau datang ke sini?”<br />“Ya…ya…ya! Memang dia!” jawab Dewa Ketawa sambil angguk-anggukkan<br />kepala lalu tertawa gelak-gelak.<br />Ratu Duyung melangkah mendekati meja bulat berkaki satu. Dia menekan tombol<br />di bawah meja. Saat itu juga dua batang besi runcing berujung panas merah berhenti<br />meluncur pada jarak hanya tinggal setengah jengkal saja lagi dari kepala Wiro. Murid<br />Sinto Gendeng menarik nafas lega. Kalau saja kulit mukanya tidak hitam maka akan jelas<br />kelihatan bagaimana wajah itu sepucat kertas!<br />“Pendekar 212 kau sudah selamat dari kematian! Aku harus pergi sekarang!” kata<br />Dewa Ketawa.<br />“Aku belum seluruhnya selamat!”teriak Wiro.<br />“Eh, apa maksudmu?!” Tanya Dewa Ketawa.<br />“Kau lihat sendiri! Tubuhku masih dipendam di dalam liang batu ini. Empat buah<br />dinding batu menekan terus. Kalau tidak dicegah tubuhku bisa medel hancur!”<br />Dewa Ketawa tertawa membahak. Dia berpaling pada Ratu Duyung. “Ratu<br />Duyung, kurasa kau juga tidak sampai hati membuat sobat mudaku itu jadi tapai atau jadi<br />pergedel!”<br />Untuk pertama kalinya Wiro melihat Sang Ratu tersenyum. Lalu jari-jari<br />tangannya menekan salah satu bagian lengan kursi batu. Empat dinding batu yang<br />menggencet tubuh Pendekar 212 perlahan-lahan bergerak merenggang. Begitu ada<br />kesempatan Wiro segera melompat keluar. Karena dia berada dekat meja berkaki tunggal<br />itu mau tak mau padangan Wiro kembali tertuju pada Kitab Putih Wasiat Dewa yang ada<br />di atas meja.<br />“Pendekar 212, kau masih penasaran hendak melihat kitab itu lebih dekat?<br />Silahkan saja! Kau sentuh pun kini tak ada yang melarang!” terdengar Ratu Duyung<br />berucap.<br />Sesaat Wiro merasa ragu. Dia memandang pada Sang Ratu lalu melirik pada<br />Dewa Ketawa yang masih tegak di ruangan tak jadi berlalu dari situ. Dilirik seperti itu si<br />Gendut sunggingkan tawa lebar. Akhirnya Wiro melangkah maju mendekati meja bulat.<br />“Ternyata kitab sakti ini berada di sini. Tidak seperti yang diterangkan Kakek<br />Segala Tahu…” Dengan tangan gemetar Wiro menyentuh kitab itu. Tiba-tiba dia<br />tersentak. Buku diusapnya berulang kali. Matanya membeliak besar.<br />“Kitab palsu! Hanya terbuat dari lilin!” kata Wiro. Tawa bergelak. “Pendekar<br />212,” ujar Sang Ratu. “Apa yang terjadi memberi banyak pelajaran padamu. Pertama<br />kecerobohan selain tidak disukai orang lain juga bisa membawa bahaya besar. Kedua,<br />perasaan hati yang meluap bisa membuat seseorang seperti buta, tak dapat melihat<br />kebenaran suatu benda. Ketiga, kehati-hatian dalam segala hal adalah pangkal segala<br />keselamatan!”<br />Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya. Dia menjura dalam-dalam seraya berkata.<br />“Terimakasih atas pelajaran yang kau berikan. Juga aku mengucapkan terimakasih<br />padamu dan semua gadis yang ada di sini. Kalau tidak karena kalian saat ini pasti aku<br />sudah menemui ajal, berkubur di dasar samudera laut selatan ini. Hanya ada beberapa hal<br />yang tidak jelas bagiku. Pertama, mengapa kalian menyelamatkan diriku. Agaknya<br />sebelumnya keadaan diriku sudah dipantau lewat Cermin Sakti itu dan juga berdasarkan<br />keterangan-keterangan Sobatku Gendut itu. Kedua, bagaimana tiruan Kitab Wasiat Dewa<br />yang terbuat dari lilin ada di sini. Lantas dimana adanya kitab yang asli? Lalu apakah aku<br />di sini sebagai tawanan atau sebagai tamu seperti si Gendut itu…”<br />Dewa Ketawa tertawa bergelak.<br />“Sejak kau kami yakini adalah Pendekar 212, maka dirimu adalah tamu<br />kehormatan di tempat ini,” berucap Ratu Duyung.<br />“Tapi karena di tempat ini hanya kita berdua yang laki-laki, selebihnya gadisgadis<br />cantik, jadi jangan sekali-kali kau mencoba berbuat macam-macam!” Yang bicara<br />adalah Dewa Ketawa yang tutup ucapannya dengan tawa kepala.<br />Wiro garuk-garuk kepala.<br />Ratu Duyung bertepuk tiga kali lalu berkata.”Pertemuan hari ini cukup sampai di<br />sini. Pertanyaanmu yang belum terjawab akan dibicarakan pada pertemuan besok. Harap<br />antarkan Pendekar 212 ke tempat peristirahatannya!”<br />Seorang gadis segera mendekati Wiro dan memberi isyarat agar Wiro<br />mengikutinya. Sebelum melangkah pergi Wiro membungkuk memberi penghormatan<br />pada Ratu Duyung. Lalu dia cepat-cepat mengikuti gadis di hadapannya. Namun di pintu<br />keluar dia ditunggui oleh Dewa Ketawa.<br />“Sobatku Muda. Kau beruntung bisa selamat….Ha…ha…ha…!”<br />“Dewa Ketawa, aku ada pertanyaan padamu. Apa benar bangunan ini berada di<br />udara. Di awang – awang?”<br />“Memangnya kau tak percaya?” balik bertanya si orang tua bertubuh gemuk luar<br />biasa itu.<br />“Akalku tak bisa menerima…”<br />“Ha…ha…ha! Itu perbedaan antara kita dengan mereka. Yang tidak masuk akal<br />dan pikiran bagi kita manusia biasa justru sebaliknya bagi mereka . Kau bisa gila jika<br />terlalu memikirkan. Anggap saja semua serba wajar. Kau akan bisa tidur enak malam<br />nanti….Ha…ha…ha!”<br />“Satu lagi pertanyaanku. Turut pembicaraanmu dengan Sang Ratu tadi,<br />kehadiranmu sebagai tamu di tempat ini ada sangkut pautnya dengan Kitab Putih Wasiat<br />Dewa…Betul?”<br />Dewa Ketawa mengangguk lalu tersenyum lebar.<br />“Apa yang kau ketahui tentang kitab itu Sobatku Gendut?” Tanya Pendekar 212.<br />“Tidak banyak. Cuma satu perkara yang aku tahu menyangkut kitab sakti itu.<br />Yaitu sang kitab berasal dari daratan Tiongkok….”<br />Wiro tercengang mendengar ucapan Dewa Ketawa itu sampai mulutnya<br />menganga. Di satu tempat gadis pengantar membelok ke kiri sedang Dewa Ketawa<br />membelok ke kanan. Sebelum berpisah Wiro memegang lengan si kakek gendut seraya<br />berbisik.<br />“Sobatku Gendut, kulihat kau mengenakan pakaian serba hitam seperti diriku.<br />Pasti ini pakaian pemberian anak buahnya Ratu Duyung. Jadi….Apakah kau juga disuruh<br />mereka berbugil dulu sebelum kau mengenakan pakaian hitam ini?”<br />Dewa Ketawa tertawa keras hingga dada dan perutnya bergoncang-goncang. Apa<br />yang dilakukan mereka terhadapmu juga terjadi atas diriku! Ha…ha…ha…! Cuma<br />denganmu mereka lebih untung!”<br />Apa maksudmu?”Tanya Wiro.<br />“Tubuh gendut buruk berlemak macamku ini mana sedap jadi pandangan para<br />gadis cantik. Sebaliknya walau kulitmu hitam legam tapi keadaan tubuhmu dan<br />peralatanmu masih kencang….! Ha…ha…ha!”<br />Pendekar 212 pencongkan mulutnya. Dia hanya bisa garuk-garuk kepala<br />memperhatikan Dewa Ketawa berlalu sambil terus mengumbar tawa keras.<br />TAMAT<br />Berikutnya berjudul:<br />WASIAT SANG RATUscorpionsGunshttp://www.blogger.com/profile/05792078590560618820noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3447348503049306634.post-64368242955020821112008-11-18T23:48:00.001-08:002008-11-18T23:48:33.009-08:00wwwwwwirooooooooooBastian Tito<br />Serial<br />Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212<br />Wiro Sableng<br />Wasiat Iblis<br />SATU<br />DUA penunggang kuda hentikan kuda masing-masing ketika tiba-tiba hujan turun menerpa<br />bumi. Walau tidak lebat namun hawa tanah basah yang naik ke udara menyekat liang<br />hidung membuat dua orang tadi mendengus beberapa kali.<br />“Tanda celaka apa pula ini! Hujan turun padahal matahari bersinar terik di atas<br />batok kepala!” Berkata penunggang kuda di sebelah kanan. Dia mengenakan pakaian hitam<br />berupa jubah panjang. Wajah dan kepalanya kelihatan aneh. Matanya sebelah kanan besar<br />membeliak tapi yang kiri kecil seolah terpejam. Kepalanya sulah namun hanya sebelah kiri<br />saja sedangkan sebelah kanan ditumbuhi rambut lebat. Pada keningnya terdapat tiga buah<br />guratan tegak. Guratan di sebelah tengah lebih tinggi dari dua di kiri kanan. Kumis<br />melintang dan berewok sangar liar menutupi hampir separuh wajahnya.<br />Jubah hitam, keadaan wajah dan kepala, tanda di kening serta sepasang mata yang<br />aneh merupakan tanda pengenal yang tidak dapat disangsikan lagi oleh orang-orang rimba<br />persilatan untuk adanya manusia satu ini. Dia adalah tokoh silat golongan hitam dikenal<br />dengan julukan Tiga Bayangan Setan.<br />Orang ini muncul membawa kegegeran dalam dunia persilatan sejak satu tahun<br />lalu. Kabarnya dia membabat banyak tokoh-tokoh silat di kawasan timur. Lalu<br />menghantam ke barat. Bahkan pesisir utara ikut disapunya. Selama malang melintang tak<br />satu lawanpun sanggup merobohkannya. Tiga Bayang Setan tak mempan senjata tajam dan<br />kebal terhadap pukulan sakti. Karenanya tidak salah kalau dia kini menjadi momok nomor<br />satu dalam rimba persilatan. Beberapa tokoh silat golongan putih berusaha membuat<br />perhitungan dengannya. Namun Tiga Bayangan Setan bukan saja berhasil lolos bahkan<br />dengan kejam dia menghabisi tokoh-tokoh silat yang berani menantangnya.<br />Penunggang kuda kedua mengenakan pakaian kain tebal robek-robek, dekil dan<br />bau. Dia duduk di atas punggung kuda sambil rangkapkan kedua tangannya di depan dada.<br />Lengannya ditumbuhi bulu-bulu lebat. Sebatas pergelangan tangan sampai ujung jari,<br />sepasang tangan orang ini tidak menyerupai tangan manusia melainkan berbentuk kaki<br />atau cakar elang raksasa berwarna merah dengan kuku-kuku runcing mencuat hitam pekat<br />mengerikan. Konon bentuk tangannya inilah yang membuat dia dijuluki Elang Setan.<br />Bicara soal tampang orang ini memiliki daging muka hancur rusak seperti dicacah.<br />Kelopak matanya sebelah bawah menggembung bengkak berwarna sangat merah dan<br />selalu basah. Di antara sepasang mata yang angker tapi juga menjijikkan itu melintang<br />hidung tinggi bengkok seperti paruh burung elang. Tak salah kalau dirinya dijuluki Elang<br />Setan.<br />Dengan tangannya yang berbentuk cakar itu dia mampu mematahkan tombak,<br />pedang atau golok lawan. Dengan cakar setannya dia mampu membobol perut,<br />membongkar isi perut atau membetot lepas jantung lawan. Kabarnya kuku-kuku hitam di<br />ujung cakar mengandung racun sangat jahat. Jangankan terkena cengkeram, tergurat saja<br />sudah dapat membuat seseorang sekarat keracunan!<br />Seperti Tiga Bayangan Setan, Elang Setan yang muncul hampir bersamaan setahun<br />lalu telah pula membuat heboh dunhia persilatan dengan melakukan pembunuhanpembunuhan<br />atas diri tokoh-tokoh silat ternama. Dia sengaja mencari tokoh silat tersohor<br />untuk ditantang lalu dikalahkan dan dibunuh! Selama ini tak ada satu lawanpun yang<br />sanggup menghadapinya.<br />Antara Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan konon telah saling sumpah<br />mengangkat saudara satu dengan lainnya. Sumpah itu disertai upacara melukai lengan<br />masing-masing, lalu menempelkan luka setelah itu yang satu menghisap darah yang<br />lainnya! Jika dua Setan bergabung jadi satu dapat dibayangkan bahaya apa yang kini<br />tengah mengancam seantero dunia persilatan.<br />Hujan telah berhenti. Elang Setan usap-usap rambutnya yang basah dengan cakar<br />setannya. Dia memandang berkeliling.<br />“Kau benar saudaraku! Hujan turun matahari mencorong! Membawa alamat yang<br />tidak baik! Tapi apakah itu perlu ditakutkan?!”<br />Tiga Bayangan Setan tertawa lalu meludah ke tanah. “Kau tahu, kira-kira di daerah<br />mana kita saat ini?!”<br />Elang Setan memandang berkeliling dengan sepasang matanya yang berkelopak<br />gembung merah. “Sulit aku menebak. Tak kelihatan gunung tak nampak bukit. Namun<br />ancar-ancarnya kalau aku tak salah kita mungkin berada jauh di barat Gunung Wilis.”<br />“Kalau dugaanmu benar berarti paling cepat saat matahari terbenam kita baru<br />sampai di Kartosuro,” ujar Tiga Bayangan Setan pula.<br />“Kita teruskan perjalanan sekarang juga. Makin cepat sampai makin baik. Dadaku<br />selalu sesak kalau mengemban tugas seperti ini,” berkata Elang Setan lalu kembali dia<br />mengusap rambutnya dengan jari-jari berbentuk cakar.<br />Tiga Bayangan Setan anggukkan kepala. “Perintah orang tua itu tidak boleh<br />diabaikan! Terus terang aku berfikir-fikir apa urusan sebenarnya dia menyuruh kita<br />menemui dirinya di Kartosuro…”<br />“Ini urusan pelik tapi rada-rada gila!” ujar Elang Setan. “Kita harus berjalan dua<br />hari dua malam hanya untuk memenuhi permintaan Jarot Ampel!”<br />“Aku juga tidak senang. Tapi jangan melupakan budi orang. Paling tidak Jarot<br />Ampel pernah menyelamatkan kita dari kematian waktu kita belum punya ilmu sehebat<br />sekarang.”<br />Elang Setan menyeringai. “Kau tahu manusia-manusia macam apa kita sekarang<br />adanya Tiga Bayangan. Aneh terdengar di telingaku kalau kini kau bisa-bisaan bicara<br />segala macam budi orang!”<br />Tiga Bayangan Setan menyeringai. “Si tua Jarot Ampel itu bukan manusia<br />sembarangan. Aku punya firasat dia menyimpan satu rahasia terhadap kita. Siapa tahu dia<br />menyuruh kita datang ada sangkut pautnya dengan rahasia itu. Aku mau tanya, apa<br />menurutmu dia sudah memberikan seluruh kepandaiannya pada kita?”<br />Elang Setan tertawa. “Mana ada guru yang mewariskan seluruh kepandaiannya<br />pada sang murid. Paling tidak dia akan menyimpan satu ilmu andalan. Atau sebuah senjata<br />mustika atau benda sakti apa saja…<br />“Kita berangkat sekarang Elang Setan! Aku ingin tahu apa maunya orang tua itu!”<br />Tiga Bayangan Setan berkata lalu sentakkan tali kekang kuda tunggangannya.<br />SEPERTI yang dikatakan Tiga Bayangan Setan menjlang matahari tenggelam<br />mereka akhirnya sampai di Kartosuro. Cuaca mulai meremangi gelap dan udara terasa<br />dingin.<br />“Tempat kediaman orang tua itu di kaki bukit tak jauh dari sini. Bagaimana kalau<br />kita mampir dulu di warung kopi untuk istirahat,” Elang Setan berkata begitu mereka<br />sampai di persimpangan jalan di pinggiran Kartosuro.<br />“Aku paling suka bersenang-senang. Apalagi untuk urusan perut dan urusan bawah<br />perut…!” kata Tiga Bayang Setan lalu tertawa mengekeh. “Tapi sekali ini aku kira kita<br />menemui Jarot Ampel lebih dulu baru cari tempat untuk bersenang-senang. Bukan<br />sebaliknya!”<br />“Kalau kau tidak suka aku tidak memaksa. Kau berangkat saja duluan. Aku nanti<br />menyusul. Tenggorokanku seperti timah meleleh. Sekujur badanku letih. Aku perlu<br />istirahat dan meneguk secangkir kopi!”<br />Lalu tanpa banyak cerita lagi Elang Setan gebrak kudanya meninggalkan<br />persimpangan. Tiga Bayangan Setan gelengkan kepala. Dia memutar kudanya ke arah<br />timur.<br />Hanya beberapa saat saja kedua orang itu berpisah, di kejauhan di depannya Tiga<br />Bayangan Setan melihat serombongan penunggang kuda mendatangi dengan cepat. Jumlah<br />mereka lebih dari sepuluh orang. Berpakaian seragam, beberapa di antaranya membawa<br />obor.<br />“Pasukan Kerajaan…” kata Tiga Bayangan Setan dalam hati. “Siapa takutkan<br />mereka. Tapi mengingat urusan penting dengan guru ada baiknya aku menghindar jangan<br />sampai terlihat.” Lelaki itu cepat menyelinapkan kudanya ke tepi jalan, menghilang di<br />balik semak belukar dan pepohonan, terlindung dalam udara yang mulai kelam.<br />Rombongan orang berkuda lewat dengan suara gemuruh dan kepulan debu. Di<br />belakang rombongan ternyata ada seorang berjubah kuning, bermuka pucat dengan rongga<br />mata dan pipi sangat cekung.<br />Tiga Bayangan Setan yang tadinya segera hendak melanjutkan perjalanan<br />mendadak hentikan kudanya. Dia mendongak sambil berfikir-fikir.<br />“Orang tua berjubah kuning itu…. Aku rasa-rasa mengenal dirinya.” Tiga<br />Bayangan Setan berfikir keras. “Ah! Aku ingat. Dia pasti cecunguk yang bekerja jadi<br />penjilat di Keraton. Namanya Tubagus Kasatama, berasal dari barat. Bergelar Dewa<br />Berjubah Kuning Bertongkat Besi…. Gelar gila!” Tiga Bayangan Setan tertawa sendiri.<br />“Hemm…. ada apa malam-malam begini dia mau-mauan ikut rombongan pasukan<br />Kerajaan. Tadi di sebelah depan aku lihat ada seorang Perwira Tinggi. Pasti ada urusan<br />penting. Elang Setan sudah lama mencari cecunguk tua itu untuk ditantang dan dihabisi.<br />Kalau dia tidak mampir di Kartosuro tadi pasti dia sudah cari perkara menantang tua<br />bangka itu. Tubagus Kasatama, nasibmu memang bagus seperti namamu. Seharusnya kau<br />bakal meregang nyawa malam ini di tempat ini!”<br />Tiga Bayangan Setan keluar dari balik pepohonan siap meneruskan perjalanan.<br />Namun setelah memacu kudanya beberapa ketika mendadak muncul satu pikiran di<br />kepalanya.<br />“Rombongan itu menuju ke Kartosuro. Elang Setan ada disana. Jangan-jangan….”<br />Orang berjubah hitam ini lantas saja putar kudanya, memacu binatang itu menuju<br />Kartosuro.<br />DUA<br />WARUNG kopi itu sebenarnya tidak pantas disebut warung. Selain bangunannya besar<br />pelayannya juga banyak. Saat itu pengunjung sedang ramai. Namun, begitu sosok Elang<br />Setan muncul di ambang pintu langsung semua tamu yang ada di situ menjadi bubar.<br />Mereka tak perlu tahu siapa adanya orang ini. Cukup dengan melihat tampangnya yang<br />hancur seperti bekas dicacah dihias dengan dua mata yang kelopaknya membeliak merah<br />serta sepasang tangannya yang berbentuk cakar runcing mengerikan, tanpa pikir panjang<br />semua tetamu serta merta berdiri lalu dengan ketakutan meninggalkan warung kopi lewat<br />pintu belakang bahkan ada yang langsung melompati jendela. Mereka pantas takut<br />setengah mati karena malam itu justru adalah malam Jum’at Kliwon di mana banyak yang<br />masih percaya pada malam seperti itu segala hantu dan setan gentayangan seenaknya,<br />terkadang memperlihatkan diri!<br />Elang Setan sesaat masih tegak di ambang pintu sambil bertolak pinggang dan<br />perhatikan orang-orang yang kabur. Lalu dia melangkah masuk, menghempaskan tubuhnya<br />di atas sebuah kursi kayu.<br />Para pelayan di warung kopi itu tak ada satupun berani mendatangi Elang Setan.<br />Mereka berkumpul ketakutan disatu sudut bersama pemilik warung. Orang-orang ini jadi<br />mengkerut ketika dari tenggorokan Elang Setan keluar suara menggeru.<br />“Aku hanya bicara satu kali! Apa tidak ada manusia melayani di tempat ini?!”<br />Habis berkata begitu Elang Setan hantamkan tangan kirinya ke atas meja kayu.<br />“Braaakkk!”<br />Empat kaki meja amblas ke lantai tapi tetap utuh! Papan meja sendiri hancur<br />berkeping-keping. Dari sini dapat dilihat bagaimana Elang Setan mampu mengerahkan<br />tenaga dalam tapi mengatur demikian rupa hingga tidak semua bagian meja berantakan.<br />Melihat apa yang terjadi, sebelum tamu seram itu menghancurkan benda-benda lain<br />yang ada dalam warung, seorang lelaki kerempeng bermuka bopeng cepat mendatangi.<br />“Orang jelek! Siapa kau?! Pelayan?!”<br />“Harap maafkan. Saya pemilik warung. Sa… saya siap melayani….”<br />Elang Setan menyeringai. “Nasibmu rupanya bagus. Muka buruk bopeng tapi rejeki<br />besar. Bisa punya warung sebesar ini. Lekas kau siapkan meja baru! Hidangkan satu<br />cangkir besar kopi manis! Bawa tekonya ke sini sekalian!”<br />Pemilik warung memberi isyarat pada para pelayan. Dua orang pelayan segera<br />membersihkan kepingan-kepingan papan meja yng hancur, mencabut empat kaki meja<br />yang masih menancap di lantai lalu meletakkan sebuah meja baru di hadapan Elang Setan.<br />Pada saat itulah dari arah pintu ada orang berkata.<br />“Sediakan dua cangkir tambahan! Kami sangat berkenan menemani tamu agung ini<br />minum bersama!”<br />Kepala Elang Setan tersentak. Dia cepat berpaling ke arah pintu. Dua orang<br />dilihatnya melangkah masuk, berjalan ke arah meja di mana dia duduk. Yang satu seorang<br />kakek bermuka pucat dan berpipi sangat cekung, mengenakan jubah kuning. Orang kedua<br />seorang Perwira Tinggi pasukan Kerajaan. Ikut masuk ke dalam warung bersama mereka<br />enam orang prajurit yang segera mengambil sikap mengurung. Di luar warung masih ada<br />beberapa prajurit lagi, berjaga-jaga dekat pintu depan, jendela-jendela dan pintu belakang.<br />Elang Setan segera mencium gelagat tidak enak. Namun dia memperlihatkan sikap<br />tenang. Sepasang matanya yang berkelopak merah gembung menyoroti dua orang yang<br />melangkah ke arah mejanya. Lalu enak saja kedua orang ini duduk di hadapannya. Elang<br />Setan segera kenali kakek berjubah kuning tapi tidak mampu mengetahui siapa adanya<br />Perwira Tinggi di samping si kakek.<br />“Orang-orang hebat dari Kotaraja!” ujar Elang Setan setengah berseru. Mulutnya<br />menyunggingkan seringai buruk. “Aku tidak mengundang kalian minum-minum ataupun<br />bersenang-senang. Kalau mau minum silahkan saja, tapi bayar sendiri!”<br />Kakek berjubah kuning yaitu Tubagus Kasatama alias Dewa Berjubah Kuning<br />Bertongkat Besi tertawa lebar.<br />“Jangan takut,” katanya. “Kami cukup banyak membawa uang. Katakan saja kau<br />mau minum apa mau makan apa. Kami membayar semuanya!”<br />“Ah, kalian orang-orang kaya rupanya. Kalian muncul membawa keberuntungan<br />bagiku. Katakan apa mau kalian?” bertanya Elang Setan.<br />Perwira Tinggi Kerajaan menjawab. “Kita minum saja dulu. Nanti masih banyak<br />waktu untuk bicara…” ucapan ini membuat Elang Setan jadi naik darah karena merasa<br />diremehkan. Dia hendak mendamprat dengan kata-kata kotor. Namun saat itu pemilik<br />warung muncul membawa sebuah teko besar serta tiga buah cangkir. Tiga cangkir<br />diletakkan masing-masing di hadapan tiga tamu. Lalu kopi hangat dalam teko<br />dituangkannya satu-persatu ke dalam tiga cangkir.<br />“Selera minumku tiba-tiba saja lenyap!” kata Elang Setan. “Silahkan kalian minum<br />berdua!”<br />Perwira Tinggi yang duduk tepat di hadapan Elang Setan tersenyum. “Kami tidak<br />memaksa kalau kau tak mau minum. Cuma sayang, mungkin ini kali terakhir menikmati<br />kopi seenak ini. Mengapa disia-siakan?”<br />Sepasang mata gembung merah Elang Setan mendelik. Dari tenggorokannya keluar<br />sura menggembor.<br />“Perwira tinggi! Apa maksudmu dengan ucapan tadi?!” membentak Elang Setan.<br />“Ketahuilah kami datang membawa tugas untuk menangkapmu hidup-hidup<br />ataupun mati! Sayang temanmu yang bergelar Tiga Bayangan Setan itu tidak bersamamu.<br />Kalau dia ada, rejeki kami tentu lebih besar!” yang bicara adalah si kakek bermuka cekung<br />Tubagus Kasatama alias Dewa Berjubah Kuning.<br />Elang Setan tertawa lebar. Cairan yang membasahi kelopak matanya menetes dan<br />bergulir di kedua pipinya membuat Perwira Tinggi dan kakek berjubah kuning merasa<br />jijik.<br />“Kopi sudah terhidang! Mengapa tidak diteguk? Apa mau menunggu sampai dingin<br />atau takut aku telah menyuruh orang memasukkan racun ?!”<br />“Mana enak minum kopi hangat kalau tidak ditemani lawan bicara,” menjawab<br />Perwira Tinggi.<br />Elang Setan kembali tertawa. “Kalau kalian memaksa aku rasa-rasa sungkan<br />menolak. Baiklah, aku minum duluan…”<br />Tubagus Kasatama dan si Perwira Tinggi melihat Elang Setan ulurkan tangan<br />kanannya yang berbentuk cakar. Mereka menyangka orang ini akan memegang cangkir<br />kopi dan meneguk isinya. Ternyata Elang Setan cuma celupkan jari telunjuknya yang<br />berkuku panjang ke dalam cangkir. Kopi hangat dalam cangkir kelihatan beriak lalu<br />terdengan suara mendesis.<br />Baik Tubagus Kasatama maupun si Perwira Tinggi sama-sama menyembunyikan<br />kekagetan mereka ketika melihat bagaimana kopi dalam cangkir laksana disedot perlahanlahan<br />habis hingga akhirnya cangkir tanah itu kosong!<br />“Enaknya kopi di warung ini…” kata Elang Setan sambil menggeliat. “Biar kuisi<br />lagi cangkirku.”<br />Tubagus Kasatama dan si Perwira Tinggi mengira Elang Setan akan menuangkan<br />kopi di teko ke dalam cangkir. Tapi yang dilakukan Elang Setan kalau tadi dia<br />mencelupkan jari telunjuk kanannya maka kini dia memasukkan ujung tangan kirinya ke<br />dalam cangkir. Terdengar suara mendesis disusul suara benda cair mengucur. Ketika<br />Tubagus Kasatama dan sang Perwira melihat ke dalam cangkir ternyata sedikit demi<br />sedikit cangkir itu terisi kopi hangat yang mengepulkan asap berbau harum!<br />Baik Tubagus Kasatama maupun Perwira Tinggi dari Kartosuro itu sama-sama<br />memaklumi hanya orang memiliki kepandaian tinggi sekali yang mampu melakukan<br />seperti apa yang diperbuat Elang Setan. Maka keduanya serta merta mempertinggi<br />kewaspadaan.<br />“Aku telah meneguk kopiku. Jika kalian tidak mau minum sebaiknya angkat kaki<br />saja dari warung ini. Tunggu aku di luar sana jika kalian memang punya urusan…”<br />Perwira Tinggi dan Tubagus Kasatama saling pandang.<br />“Orang sudah menawarkan. Rasanya tidak sopan kalau tidak memenuhi…” kata<br />Tubagus Kasatama pula. Sang Perwira tersenyum dan anggukkan kepala. Kedua orang ini<br />lantas memandang lekat-lekat pada cangkir kopi di hadapan mereka. Tidak menunggu<br />lama. Tiba-tiba dua cangkir itu naik ke atas, perlahan-lahan melayang ke muka si kakek<br />berjubah kuning dan Perwira di sebelahnya. Luar biasa! Jelas dua orang ini memiliki<br />kepandaian yang tidak kalah dengan Elang Setan. Ketika cangkir hanya tinggal seujung<br />jari dari mulut mereka, kedua orang ini segera membuka mulut siap untuk meneguk kopi<br />dalam cangkir. Namun tanpa setahu mereka di bawah kolong Elang Setan kepalkan jarijari<br />kedua tangannya yang berbentuk cakar. Terjadilah hal yang tidak diduga oleh dua<br />orang dihadapannya. Gerakan cangkir yang mendekati mulut serta merta terhenti.<br />Tubagus Kasatama dan sang Perwira Tinggi segera maklum kalau orang<br />pergunakan kekuatan untuk membendung tenaga dalam mereka yang dikerahkan untuk<br />mengangkat cangkir. Keduanya lipat gandakan tenaga dalam masing-masing. Cangkir<br />kelihatan seperti hendak bergerak lagi tapi kembali tertahan begitu di bawah meja Elang<br />Setan kepalkan dua tangannya lebih kencang. Terjadi adu kekuatan tenaga dalam yang<br />hebat. Walau digempur dua lawan ternyata Elang Setan sanggup bertahan bahkan<br />menghantam.<br />Bahu Tubagus Kasatama dan Perwira Tinggi itu kelihatan bergetar, mula-mula<br />perlahan lalu berubah tambah keras. Meski sadar kalau mereka tidak sanggup bertahan<br />namun untuk menyerah begitu saja tentu saja keduanya merasa malu. Lebih baik terluka di<br />dalam daripada menyerah!<br />Di bawah meja tiba-tiba Elang Setan buka kepalan kedua tangannya. Bersamaan<br />dengan itu tubuh Tubagus Kasatama dan si Perwira Tinggi terhempas ke belakang.<br />Sebelum itu dua cangkir yang menggantung di udara pecah berantakan. Pecahan cangkir<br />dan kopi muncrat membasahi pakaian mereka. Sebagai orang persilatan cabang atas<br />meskipun sudah kena dihantam lawan, sebelum jatuh jungkir balik dari atas kursi Tubagus<br />Kasatama dan si Perwira Tinggi cepat melesat ke atas. Sambil selamatkan diri dua orang<br />ini saling berikan isyarat. Karenanya begitu melayang turun mereka langsung menyerang<br />Elang Setan!<br />Kakek berjubah kuning menghantam dengan mengebutkan lengan jubah sebelah<br />kanan. Sang Perwira melepaskan tendangan ke dada Elang Setan. Dua serangan ini<br />datangnya laksanan kilat. Tapi yang diserang tenang saja. Sesaat lagi angin pukulan<br />dahsyat dan tendangan akan mengenai sasaran baru dia membuat gerakan. Dua cakar elang<br />membabat ke depan. Cahaya hitam dan merah bertabur di udara.<br />“Awas! Cakar beracun!” teriak Tubagus Kasatama memberi ingat.<br />“Wutttt! Wutttt”<br />“Breettt!”<br />TIGA<br />PERWIRA Tinggi kerajaan itu merasa seolah nyawanya terbang ketika cakar kiri Elang<br />Setan merobek ujung celananya sebelah kanan. Keringat dingin memercik di keningnya.<br />Untung hanya pakaiannya yang disambar robek. Kalau sampai daging atau kulit kakinya<br />kena dicakar pasti cidera berat akan menimpa dirinya karena dia tahu betul kuku-kuku<br />hitam cakar setan itu mengandung racun teramat jahat!<br />Elang Setan tertawa mengekeh. Enak saja dia kemudian dudukkan diri di kursi.<br />Mengambil teko di atas meja lalu gluk-gluk-gluk! Dengan lahap dia meneguk kopi hangat<br />langsung dari teko hingga mulutnya berlepotan. Ketika Tubagus Kasatama dan si Perwira<br />Tinggi tegak di seberang meja dengan paras berubah, Elang Setan menyeringai. Dia seka<br />mulutnya dengan cakar tangan kiri. Dia putar kepalanya pada Perwira Tinggi di sebelah<br />kiri. Di antara dua lawan yang dihadapinya dia bisa menduga bahwa yang satu ini memiliki<br />ilmu lebih rendah dari pada kakek berjubah kuning. Maka diapun menggertak membuat<br />patah semangat lawan. “Apa kau pernah melihat merahnya jantungmu sendiri?”<br />Sang Perwira mendengus. “Mulutmu terlalu besar! Aku mau lihat apa kau masih<br />bisa bicara kalau nanti tubuhmu kusuruh kuliti lalu digarang dengan panas?”<br />Elang Setan tertawa mengekeh. Suara tawanya lenyap lalu tiba-tiba sekali dua<br />tangannya melesat ke depan.<br />“Awas serangan!” teriak Tubagus Kasatama. Dia tahu betul, sekali Elang Setan<br />melancarkan serangan cakar setannya jarang lawan bisa selamat. Sambil berteriak kakek<br />ini gerakkan tangan kanannya ke punggung jubah.<br />Saat itu tangan kiri Elang Setan menyambar melewati meja ke arah leher Perwira<br />Tinggi sementara tangan kanannya melesat lurus ke arah dada tepat di bagian jantung!<br />Jelas dia memang hendak berusaha menjebol dada dan membetot jantung lawannya!<br />Satu deru keras terdengar disertai membesetnya sinar hitam legam. Elang Setan<br />tersirap kaget ketika dirasakannya ada benda keras menindih dua lengannya. Dia cepat<br />menarik serangan tapi benda keras itu lebih cepat datangnya dan “braaakk!”<br />Dua lengan Elang Setan terhempas ke atas meja, ditindih keras oleh sebatang<br />tongkat besi yang salah satu ujungnya berbentuk runcing dn satunya lagi berupa lingkaran<br />pipih dengan pinggir setajam pisau! Inilah tongkat besi bernama “Wesi Ketaton” yang<br />merupakan senjata mustika andalan kakek berjuluk Dewa Berjubah Kuning Bertongkat<br />Besi.<br />“Kurang ajar!” maki Elang Setan. Dia kerahkan tenaga dan tarik kedua tangannya.<br />Tapi tidak seperti diduganya, dia ternyata tidak mampu melepaskan tindihan tongkat besi<br />pada kedua lengannya. Malah tekanan tongkat semakin keras. Selagi dia berkutat<br />membebaskan dua lengannya dari samping Perwira Tinggi Kerajaan menyergap dengan<br />dua pukulan keras, satu ke dada, satu ke kepala Elang Setan.<br />Elang Setan meraung keras. Kalau saja dua lengannya tidak terjepit Wesi Ketaton<br />niscaya dua hantaman dahsyat tadi akan membuat tubuhnya mental. Pipi kirinya tampak<br />menggembung merah kena hajaran. Darah Elang Setan mendidih. Dengan lutut kanannya<br />dia hantam papan meja hingga hancur berantakan. Hancurnya papan meja membuat lepas<br />jepitan tongkat besi kakek berjubah kuning pada dua lengan. Sadar kalau dua tangan lawan<br />yang sangat berbahaya itu kini lepas bebas Tubagus Kasatama segera lancarkan serangan.<br />Tongkatnya lenyap berubah menjadi gulungan dan sambaran sinar hitam.<br />Perwira Tinggi Kerajaan tak tinggal diam. Dia segera pula lancarkan serangan<br />berupa pukulan-pukulan tangan kosong mengandung aji dan tenaga dalam tinggi. Elang<br />Setan terkurung rapat. Sulit baginya untuk meloloskan diri. Dari ganasnya serangan dua<br />orang itu jelas mereka tidak perduli apakah Elang Setan bisa diringkus hidup-hidup atau<br />dalam keadaan jadi mayat!<br />Meski tenggelam dalam serangan-serangan mematikan Elang Setan bersikap tenang<br />bahkan untuk beberapa jurus di masih melayani gempuran dua lawan dengan masih duduk<br />di kursi kayu!<br />“Manusia setan ini benar-benar luar biasa!” membatin Tubagus Kasatama. Dia<br />membentak keras lalu tongkat besinya diputar demikian rupa hingga warung itu seolah<br />dilanda badai.<br />“Dewa Berjubah Kuning! Apa ini ilmu andalanmu yang terakhir?” seru Elang<br />Setan mengejek.<br />“Bukan terakhir bagiku tapi terakhir bagi jalan nafasmu!” balas berteriak Dewa<br />Berjubah Kuning. Ujung bulat tongkat Wesi Ketaton membabat ke arah leher Elang Setan<br />didahului sambaran hawa dingin mengidikkan, “Putus lehermu!” teriak si kakek.<br />“Hancur tongkatmu!” balas Elang Setan. Tangan kanannya mencelat ke atas. Bukan<br />saja untuk melindungi lehernya tapi sekaligus menangkap bagian tongkat di bawah<br />lingkaran pipih. Begitu tertangkap pergelangan tangannya segera diputar. Sekali putar<br />tongkat besi itu pasti akan patah! Tapi Elang Setan kecele. Tongkat lawan ternyata benarbenar<br />senjata sakti mandraguna! Elang Setan tidak hilang akal. Sadar senjata lawan tak<br />bisa dipatahkan atau dihancurkannya maka dia tarik kuat-kuat tongkat itu. Karena Tubagus<br />Kasatama tak ingin senjatanya dirampas orang dan berusaha mempertahankan, tak ampun<br />tubuhnya ikut tertarik ke depan. Pada saat itulah kaki kanan Elang Setan melesat ke depan.<br />“Bukkk!”<br />Tubagus Kasatama merasa perutnya seperti pecah. Jeritan keras keluar dari<br />mulutnya. Tongkat terlepas dari tangan dan tubuhnya terpental dua tombak. Baru saja<br />kedua kakinya menginjak lantai warung dan masih dalam keadaan terhuyung-huyung<br />lawan datang menyergap. Elang Setan membuat gerakan aneh. Kedua tangannya<br />dikembangkan ke samping laksana sayap elang raksasa. Bersamaan dengan itu tubuhnya<br />berputar sebat.<br />“Craasss!”<br />Tangan kanan Tubagus Kastma yang terkembang karena berusaha mengimbangi<br />diri putus laksana dibabat senjata tajam. Orang tua ini terpekik. Belum habis pekiknya<br />tangan kiri Elang Setan ganti menghantam.<br />“Craasss!”<br />Kali ini cakar maut Elang Setan merobek pangkal leher dan dada si orang tua.<br />Darah membasahi jubah kuningnya. Meski tangan kanan putus dan leher serta dada luka<br />parah manusia berjuluk Dewa Berjubah Kuning ini masih tetap berdiri bahkan berusaha<br />melompati lawan sambil hantamkan tangan kirinya. Selarik sinar kuning menggebubu<br />menghantam Elang Setan, membuat kedua kakinya terangkat ke atas.<br />Elang Setan membentak keras. Dia cepat melompat sampai dua tombak. Begitu<br />menukik tangan kirinya menyambar.<br />“Craassss!”<br />Dada kiri Dewa Berjubah Kuning jebol. Jeritan si orang tua setinggi langit<br />mengerikan. Meski sadar kalau dia tidak akan lolos dari kematin karena jantungnya sudah<br />kena cengkeram lawan namun dengan tangan kirinya dia masih berusaha balas<br />menghantam dan berhasil!<br />Dua sosok tubuh terbanting dan terkapar di lantai warung. Yang pertama sosok<br />Dewa Berjubah Kuning yang tak berkutik lagi, menemui ajal secara mengerikan karena<br />jantungnya tak ada lagi dalam rongga dada kirinya! Tak jauh dari mayat si kakek<br />menggeletak Elang Setan. Tangan kanannya memegangi perutnya yang terkena jotosan<br />lawan sedang tangan kirinya pegangi benda merah berdenyut-denyut. Itulah jantung Dewa<br />Berjubah Kuning!<br />Pemilik wrung kopi dan semua pelayan sama menggigil saking ngeri dan ketakutan<br />setengah mati melihat kejadian itu. Lain halnya dengan Perwira Tinggi Kerajaan. Begitu<br />melihat si orang tua menemui ajal dia cepat mengambil tongkat Wesi Ketaton. Dengan<br />senjata ini dia menyerbu Elang Setan yang saat itu tengah berusaha bangkit<br />membelakanginya. Bagian runcing tongkat ditusukkannya ke balok kepala Elang Setan.<br />Bagaimanapun tingginya ilmu Elang Setan namun dia masih belum sehebat<br />kawannya Tiga Bayangan Setan yang tak mempan pukulan sakti dan kebal senjata tajam.<br />Tusukan tongkat Wesi Ketaton pada batok kepalanya akan membunuhnya seketika. Karena<br />saat itu serangan datang dari belakang sekalipun. Elang Setan cepat mengetahui dan<br />sempat mengelak namun keadaannya sudah sangat terlambat.<br />Hanya sekejapan mata lagi tongkat Wesi Ketaton akan amblas menusuk batok<br />kepala Elang Setan tiba-tiba dari pintu warung melesat sosok berjubah hitam. Mendahului<br />sosok ini terlihat ada tiga bayangan hitam. Bayangan-bayangan ini berupa manusia<br />bertelanjang dada penuh bulu berkepala berbentuk raksasa berambut panjang riap-riapan<br />serta taring mencuat, memiliki sepasang mata besar merah. Tiga bayangan ini seolah<br />keluar dari kepala orang berjubah hitam itu. Bayangan yang di tengah melesat paling cepat<br />ke arah Perwira Tinggi yang tengah menghunjamkan tombak maut ke kepala Elang Setan.<br />Makhluk berkepala raksasa ini angkat tangan kanannya tinggi-tinggi lalu menghantam.<br />“Praaak!”<br />Perwira Tinggi Kerajaan itu tak pernah tahu siapa atau apa yang membunuhnya.<br />Tubuhnya terhempas ke lantai warung dengan kepala pecah.<br />“Syukur kau datang menolongku. Kalau tidak…” kata Elang Setan pada si jubah<br />hitam yang bukan lain adalah sobatnya si Tiga Bayangan Setan. Sesaat dia tegak sambil<br />pegangi perutnya yang masih terasa sakit.<br />“Kau masih mau minum kopi?!” ejek Tiga Bayangan Setan.<br />Elang Setan hanya bisa menyeringai.<br />“Hampir saja kau minum kopi di akhirat!” ujar Tiga Bayangan Setan tandas. Dia<br />memutar tubuh. Sebelum melangkah ke pintu di berkata pada Elang Setan. “Ambil tongkat<br />besi hitam itu. Itu bukan senjata sembarangan. Pasti ada gunanya bagi kita!”<br />EMPAT<br />HUJAN turun lebat bukan alang kepalang seolah langit di atas sana terbelah. Satu<br />bayangan putih berkelebat dalam kegelapan malam. Dia tengah berusaha mencari tempat<br />berteduh. Dari mulutnya, terdengar suara bergemeletakkan akibat gigil kedinginan. Tapi<br />dari mulut itu juga berulang kali keluar makian kesal. “Hujan sialan!”<br />Dalam keadaan kuyup tubuh dan pakaian orang ini tiba-tiba melihat ada satu nyala<br />api di kejauhan. Menyangka itu adalah nyala lampu minyak rumah penduduk tanpa pikir<br />panjang dia segera berlari ke arah sana. Ternyata nyala api itu bukan lampu minyak tanah<br />melainkan nyala api sebuah obor yang bergoyang-goyang diterpa angin keras. Obor ini<br />terikat pada tiang bambu sebuah gubuk tanpa dinding yang atapnya bocor disana sini.<br />Di tengah gubuk berlantai tanah dan becek itu melintang batangan pohon. Orang<br />yang mencari tempat berteduh ini terperangah ketika dilihatnya di atas batang kayu itu<br />duduk terkantuk-kantuk seorang tua. Sepasang matanya sebentar terbuka sebentar<br />terpejam. Rambutnya yang awut-awutan sebagian telah basah oleh air hujan yang menetes<br />jauh dari atap bocor, begitu juga jubah hitamnya. Meski kebocoran seperti itu tapi orang ini<br />tidak berusaha untuk bergeser atau berpindah duduk.<br />“Orang tua aneh, tak bisa kutebak apa dia lelaki atau perempuan,” kata orang yang<br />baru datang. Dia sendiri terpaksa berpindah tempat beberapa kali agar terhindar dari<br />kebocoran air hujan. “Berjubah hitam, tangan dan kaki tidak kelihatan. Bagaimana aku<br />harus menegurnya. Biar aku mendehem saja….” Berfikir begitu orang ini lalu mendehem<br />beberapa kali. Yang didehemi tidak memberi reaksi apa-apa. Kedua matanya masih terus<br />membuka dan memejam sedang bahu dan kepalanya terayun-ayun.<br />“Aku yakin dia belum tidur. Tapi mengapa tidak mendengar aku mendehem.<br />Mungkin tuli, bisa juga gagu….” Orang ini lalu berputar beberapa kali mengelilingi orang<br />tua yang duduk di atas batang pohon. “Waktu matanya terbuka, dia pasti melihat aku.<br />Nyala api obor cukup terang. Tapi dia masih diam saja. Apa selain tuli dan gagu dia juga<br />buta?! Aku tidak percaya! Kalau kutegur paksa mungkin dia marah. Manusia macam<br />begini kelakuannya bisa aneh-aneh.” Orang ini memutar otaknya lalu senyum-senyum<br />sendiri. Dari mulutnya kini terdengar suara siulan halus. Lalu mulutnya berucap.<br />“Uh… dingin-dingin begini perut rasanya lapar sekali. Untung masih ada<br />persediaan ubi rebus. Masih hangat lagi…. Hemm…. Enaknya kumakan saja sekarang<br />juga….” Sambil berkata begitu orang ini mengeruk ke balik pakaiannya mengambil<br />sesuatu. “Nah ini di…. Ubi rebus. Hangat asyik…. Pengganjal perut yang lapar. Biar<br />kukupas dulu kulitnya. Hemm… pasti enak…. Aduh besarnya ubi ini. Rasa-rasanya tak<br />habis kalau aku makan sendiri…!” Sambil berkata begitu dia melirik ke samping lalu<br />menyengir ketika melihat orang tua di atas batang kayu memutar kepalanya sedikit sedang<br />kedua matanya dibuka. Bibirnya berkomat-kamit berulang kali.<br />“Nah, nah… Jadi sampean rupanya tidak tuli dan tidak buta. Buktinya sampean<br />palingkan kepala mencari ubiku! Ha… ha…. Ha! Apakah sampean juga gagu-bisu? Kurasa<br />tidak ‘kan?!”<br />Dua mata orang tua itu tampak membesar berkilat-kilat. Tampangnya yang penuh<br />kerut merengut tanda dia sadar kalau sudah kena ditipu orang. Ternyata dia memang tidak<br />gagu karena saat itu juga suara bentakannya menggeledek.<br />“Gubuk ini milik nenek moyangku! Diwariskan pada bapak moyangku! Bapak<br />moyangku mewariskan pada diriku! Orang muda, jangan berani macam-macam! Lekas<br />angkat kaki dari sini!”<br />Sesaat orang di hadapan si orang tua terperangah kaget. Bukan saja karena ucapan<br />orang tua itu tapi juga karena tidak mampu memastikan dari suara orang apakah dia lakilaki<br />atau perempuan. “Jelas dia punya kepandaian merubah suara!” berkata dia dalam hati.<br />Lalu dalam hati juga dia mengomel. “Perduli setan ini gubuk warisan siapa!” Lalu pada<br />orang tua itu dia berkata. “Ah, benar rupanya. Ternyata kau tidak gagu. Kau marah tidak<br />kubagi ubi rebus?! Lihat sendiri! Mana ada ubi rebus! Aku hanya mendustaimu! Orang itu<br />membuka ke dua tangannya lebar-lebar sambil terus tertawa.<br />“Kurang ajar betul dirimu! Pertama kau masuk ke gubukku tanpa permisi. Kedua<br />kau menipuku seolah punya ubi rebus hingga menganggu kantukku! Lekas bilang siapa<br />dirimu yang berani mencari mati?!”<br />“Walah, masakan numpang berteduh dan tertipu ubi saja balasannya sampai mati<br />segala?!”<br />“Aku bertanya siapa dirimu anak setan kurang ajar?!”<br />Yang ditanya kembali garuk-garuk kepala tapi menjawab juga. “Aku Wiro…”<br />“Hemm… ternyata namamu jelek. Kelakuanmu lebih jelek lagi, sejelek<br />tampangmu!” Orang tua di atas batang kayu mendengus. “Aku muak melihatmu!<br />Menyingkir dari hadapanku!” Habis berkata begitu orang tua ini lalu kibaskan lengan<br />jubah sebelah kiri.<br />“Wutttt!”<br />“Hai! Kenapa kau menghantamku?!” teriak pemuda di hadapan si orang tua yang<br />bukan lain adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng.<br />“Makan ubimu!” teriak orang tua itu sambil putar pergelangan tangan kirinya.<br />“Astaga!”<br />Waktu tadi lengan jubah mengebut satu gelombang angin mengeluarkan hawa<br />dingin menderu, membabat ke arah perut Pendekar 212. Dia cepat menyingkir. Namun<br />putaran tangan kiri yang dilakukan orang tua membuat gelombang angin berputar aneh.<br />Wiro merasa seolah ada tangan besar dan kuat yang tak kelihatan menelikung<br />pinggangnya. Dia menghantam ke bawah dengan tangan kanan. Namun yang dipukulnya<br />hanya udara kosong. Di saat yang bersamaan tahu-tahu tubuhnya terangkat ke atas lalu<br />“brak!” Tubuh Wiro terbanting jatuh punggung ke tanah becek. Selgi Wiro terhenyak<br />kesakitan orang tua di atas batang kayu tertawa gelak-gelak.<br />“Sudah kau makan ubi rebusmu? Enak ya? Ha… ha… ha…!”<br />Perlahan-lahan Wiro bangkit berdiri. Pakaiannya basah dan kotor penuh tanah. Dia<br />tak bisa menerka apakah orang tua tak dikenal itu punya maksud jahat atau tidak. “Orang<br />aneh seperti yang satu ini tak perlu diladeni. Lebih baik aku menyingkir saja dari sini. Lagi<br />pula hujan mulai reda…” Wiro lalu keluar dari gubuk bocor itu. Namun baru melangkah<br />dua kali si orang tua tiba-tiba berseru.<br />“Hai! Kau sudah memakai gubukku untuk berteduh! Mana bayarannya!”<br />“Tua bangka brengsek!” maki murid Sinto Gendeng. Dia balikkan tubuh lalu<br />menyahuti. “Gubukmu bocor besar. Tak ada gunanya berteduh! Cukup aku membayar<br />dengan ucapan terima kasih saja!” Lalu tanpa perduli lagi Wiro lanjutkan langkahnya.<br />Pada saat itulah mendadak di belakangnya terdengan suara menderu. Ada sesuatu melesat<br />di udara, melayang ke arahnya! Cepat Wiro berpaling dan jadi sangat terkejut ketika<br />menyaksikan batangan kayu besar yang tadi diduduki si orang tua melayang di udara<br />setinggi kepala, siap menghantamnya.<br />Pendekar 212 rundukkan kepala sambil kerahkan pukulan sakti “kunyuk melempar<br />buah” lalu menghantam.<br />“Braakkk!”<br />Batang kayu mental dan hancur berkeping-keping. Terdengar suara tawa<br />mengekeh. Orang tua berjubah hitam itu tegak beberapa langkah di hadapan Wiro, masih<br />dibawah atap gubuk. Sambil bertolak pinggang dia berkata. “Berteduh tidak minta permisi.<br />Pergi tidak mau membayar! Batangan kayu kursi dan tempat ketiduranku malah kau<br />hancurkan! Kelakuanmu sudah keterlaluan!”<br />“Orang tua, jika aku salah harap maafkan!”<br />Mendengar ucapan Wiro orang tua itu kembali tertawa.<br />“Gampang betul mulutmu minta maaf! Pernahkah mulutmu itu makan manisan<br />api?!”<br />“Manisan api…? Eh, apa maksudmu?! Tanya Wiro. Selagi dia keheranan orang di<br />hadapannya menyambar obor yang terikat di tiang gubuk. Lalu “wusss… wusss… wusss!”<br />Dengan obor itu dia menyerang Wiro. Gerakannya cepat sekali. Serangan pertama yang<br />hampir membakar mukanya berhasil dielakkan oleh Wiro, begitu juga serangan kedua ke<br />arah perut. Tapi serangan berikutnya tak bisa dikelit. Dada baju putihnya terkena sambaran<br />obor, langsung terbakar. Cepat Wiro tepuk-tepukkan tangan matikan obor, membuat murid<br />Sinto Gendeng tak bisa berdiam diri lagi. Sambil mengelak dia balas menyerang. Dia<br />berusaha membuat gerakan melebihi kecepatan lawan. Mula-mula Wiro memang bisa<br />mendesak namun beberpa jurus kemudian lawan bukan saja mementahkan jurus-jurus<br />silatnya malah serangan obornya sempat membakar tubuh dan sesekali menyambar pipi<br />kanannya hingga pemuda ini mengerenyit menahan sakit!<br />Tidak terasa dua puluh jurus berlalu cepat. Wiro semakin terdesak. Satu kali ketika<br />obor menusuk ke arah perutnya murid Sinto Gendeng melompat ke kiri. Dia sengaja<br />memukul dan menymbar tiang bambu penyanggah atap gubuk terdekat. Gubuk reot itu<br />miring hampir roboh. Wiro melesat ke luar gubuk dan menunggu sambil melintangkan<br />bambu di depan dada siap menghadapi lawan. Karena bambu yang dipegangnya lebih<br />panjang dari obor di tangan lawan, Wiro menyangka dia kini akan lebih mudah<br />menghadapi serangan. Tapi satu hal yang mengejutkan terjadi begitu dia coba menusuk<br />dengan bambu itu.<br />Lawan menyambuti serangannya. Menangkis dengan obor. Bagian atas obor sesaat<br />menempel di ujung bambu. Bambu itu serta merta terbakar. Orang tua mundur selangkah.<br />Sambil menyeringai dia meniup ke depan.<br />“Wusss!”<br />Api yang membakar ujung bambu, seperti bola tiba-tiba menggelinding sepanjang<br />bambu dan menyambar ke arah tangan dan muka Pendekar 212!<br />“Gila!” teriak murid Sinto Gendeng sambil melompat mundur dan cepat lepaskan<br />bambu yang dipegangnya tapi masih terlambat. Gelundungan bola api menyambar ke arah<br />mukanya. Wiro menunduk.<br />“Wusss!”<br />Kain putih pengikat kepalanya dan sebagian rambutnya di atas telinga kiri masih<br />sempat terbakar. Daun telinganya terasa panas sakit bukan main.<br />“Orang tidak main-main. Dia punya maksud untuk mencelakaiku. Bukan mustahil<br />kehadirannya di tempat ini memang sengaja menghadangku!”<br />Berfikir sampai di situ Wiro segera mendahului menyerang. Si orang tua sambut<br />dengan putaran obor.<br />“Lihat serangan!” teriak murid Sinto Gendeng<br />Lawan tertawa tergelak. “Serangan apa?! Aku tidak melihat serangan apa-apa.<br />Yang kulihat kau menari tak karuan seperti monyet terbakar buntut!”<br />Menerima ejekan itu Pendekar 212 jadi penasaran sekali. Dia segera keluarkan<br />jurus-jurus ilmu silat terhebatnya. Serangan dibuka dengan jurus “orang gila mengebut<br />lalat” yang membuat obor di tangan lawan bergoyang keras tapi tak bisa dibuat mental<br />bahkan padampun tidak. Melihat ini murid Sinto Gendeng susul dengan jurus serta<br />pukulan sakti bernama “angin puyuh”. Sebelumnya jarang Wiro mengeluarkan ilmu<br />pukulan ini. Di malam yang gelap angin pukulannya mengeluarkan suara menderu keras.<br />Gubuk reyot berderak-derak. Dihadapannya si orang tua kelihatan tertegun. Jubah<br />hitamnya berkibar-kibar dan kedua kakinya terangkat ke atas.<br />“Huh! Ilmumu cukup bagus untuk menakut-nakuti anak kecil!” ejek si orang tua.<br />Dia angkat tangan kirinya dengan telunjuk mengacung lurus ke atas. Seperti tersedot angin<br />pukulan sakti Pendekar 212 sedikit demi sedikit amblas masuk ke dalam jari!<br />Meski terkejut bukan kepalang namun sadar kalau dia tidak boleh memberi<br />kesempatan. Didahului dengan jurus “ular naga menggelung bukit” Wiro kembali<br />lancarkan serangan. Kaki kanannya melesat. Ini merupakan serangan tipuan karena begitu<br />orang bergerak menghindar tubuh Wiro melesat ke depan dengan dua tangan terpentang,<br />menyambar laksana kilat ke leher lawan! Ini satu serangan sangat berbahaya. Tapi si orang<br />tua sambut serangan itu dengan tawa bergelak lalu secepat kilat dia membuat gerakan<br />aneh. Tubuhnya melenting ke belakang tapi kedua kakinya tidak bergeser dari kedudukan<br />semula. Begitu dua tangan Wiro menyambar dia tusukkan obor ke arah perut Wiro sedang<br />tangan kiri menjotos ke dada!<br />“Ah! Wiro keluarkan seruan tertahan. Dia tak habis pikir. Serangannya tadi dengan<br />gerakan cepat luar biasa, tapi lawan mementahkannya begitu mudah. Sambil kertakkan<br />rahang murid Sinto Gendeng bergerak ke samping lalu tiba-tiba sekali dia membalik<br />lancarkan jurus serangan bernama “di balik gunung memukul halilintar”. Dua lengannya<br />berputar laksana baling-baling. Menghantam ke arah lawan. Salah satu dari lengan itu tidak<br />dapat tidak pasti akan mendarat di tubuh lawan. Tapi apa lacur. Tiba-tiba sekali orang tua<br />berjubah hitam melesat ke udara sambil menotokkan obornya ke batok kepala Wiro!<br />Wiro sadar bahaya maut yang mengancamnya. Dengan gerakan kilat dia<br />menghindar dengan keluarkan jurus “kepala naga menyusup awan”. Begitu obor lewat<br />hanya seujung kuku di samping kepalanya Wiro jatuhkan diri ke tanah, berguling dua kali.<br />Pada gulingan ketiga dia berbalik dan hantamkan tangan kanannya.<br />Sinar terang benderang berkelebat menyilaukan disertai menebarnya hawa panas.<br />Murid Sinto Gendeng ternyata telah lepaskan pukulan sakti “sinar matahari”.<br />Di seberang sana di depan gubuk orang tua berjubah hitam keluarkan seruan keras.<br />Tubuhnya berkelebat lenyap sebelum pukulan maut itu menghantam dirinya. Pukulan sinar<br />matahari melabrak gubuk terus menghantam semak belukar dan pepohonan di sekitarnya.<br />Serta merta gubuk dan semak belukar tenggelam dalam kobaran api sedang pohon-pohon<br />hangus. Dari sini bisa dilihat bagaimana kehebatan pukulan sakti yang dilepaskan murid<br />Sinto Gendeng. Semua benda yang dilanda pukulan itu terbakar padahal dalam keadaan<br />basah akibat kehujanan! Namun apa gunanya semua kehebatan itu kalau dia tidak mampu<br />menghajar lawan! Wiro kertakkan rahang.<br />“Sialan! Kemana lenyapnya manusia itu?” ujar Wiro dalam hati.<br />Di belakangnya mendadak ada suara tawa mengekeh. Wiro berbalik cepat. Orang<br />tua berjubah hitam itu ternyata kini tegak hanya dua langkah saja di hadapannya! Di tangan<br />kanannya masih tergenggam bambu obor yang setengahnya berada dalam keadaan hancur.<br />“Pukulanku hanya mampu menghancurkan ujung obor….” membatin Wiro.<br />“Anak muda, apa kau masih punya ilmu kepandaian lain yang hendak kau<br />perlihatkan padaku?!”<br />Ejekan itu membuat panas telinga Pendekar 212. Tanpa menunggu lebih lama.<br />Didahului dengan bentakan keras murid Sinto Gendeng menggebrak ke depan, lancarkan<br />serangan berupa jotosan kiri kanan mengandung tenaga dalam penuh!<br />“Traakk!”<br />Potongan bambu obor di tangan orang tua berjubah hitam hancur berantakan<br />sewaktu dipergunakan untuk menangkis. Tinju kanan Wiro terus melesat menghantam<br />dadanya dengan telak. Selagi tubuh lawan terhuyung-huyung Wiro susul menyodokkan<br />tinju kirinya ke lambung. Tubuh orang tua itu terlipat ke depan. Secepat kilat Wiro kembali<br />menggebuk dengan tangan kanan. Kali ini yang di arahnya adalah muka lawan.<br />Hantamannya mendarat tepat di kening orang tua itu hingga tubuhnya terjengkang di<br />tanah.!<br />“Gila! Tiga pukulanku menghantamnya telak! Dia tidak cidera sedikitpun! Malah<br />menyeringai!”<br />Selagi Wiro terheran-heran, dengan satu gerakan aneh tubuh yang terjengkang di<br />tanah itu tiba-tiba melenting ke udara. Tahu-tahu sepasang kakinya telah menjapit leher<br />Wiro. Bau pesing! Itu yang tercium oleh Wiro. Dia berusaha menjotos tubuh lawan sambil<br />mencoba melepaskan lehernya dari japitan sepasang kaki. Namun terlambat. Tubuh si<br />orang tua berputar ke kanan. Akibatnya Wiro ikut terpuntir keras dan terbanting ke tanah.<br />“Uh…! Benar-benar edan. Copot kepalaku!” keluh Pendekar 212. Untuk beberapa<br />saat dia hanya bisa terkapar diam di tanah. Kepalanya mendenyut sakit. Lehernya seperti<br />putus dan pemandangannya berkunang-kunang. Pada saat itulah lawan mendatangi,<br />mencekal leher bajunya. Tangan kiri menarik tubuhnya ke atas, tangan kanan memukul!<br />“Bukkk!”<br />Pendekar 212 merasa kepalanya seperti meledak. Setelah itu segala sesuatunya<br />menghitam gelap. Dia roboh meliuk di tanah becek. Di hadapannya orang tua berjubah<br />hitam menyeringai, lalu meludah ke tanah.<br />Ludah itu bercampur darah. Ternyata pukulan-pukulan yang dilepaskan Wiro tadi<br />ada yang membuat cidera tubuhnya di bagian dalam. Orang tua ini agaknya menyadari hal<br />itu karena sambil melangkah pergi dia berulang kali mengusap dadanya sambil salurkan<br />tenaga dalam.<br />Ketika Wiro sadar dari pingsannya hari telah terang. Matahari pagi yang menerobos<br />lewat daun-daun pepohonan menyilaukan matanya. Jangankan bergerak, membuka kedua<br />matanya saja terasa sakit. Lehernya seolah patah. Menelan ludah saja rasanya sakit bukan<br />main. Dadanya juga mendenyut sakit, mungkin ada tulang iganya yang cidera. Lalu daun<br />telinga kirinya masih terasa panas akibat sambaran api obor. Untuk beberapa lama Wiro<br />hanya bisa terkapar tak bergerak di tanah yang becek itu. Selang beberapa ketika setelah<br />mencoba berulang kali akhirnya dia mampu bangkit dan duduk menjelepok di tanah walau<br />masih terhuyung-huyung. Sehelai kertas yang tadinya terletak di dadanya jatuh ke<br />pangkuan.<br />Perlahan-lahan sepasang mata pemuda itu terbuka.<br />“Walah, sudah siang rupanya. Uh… badanku serasa remuk!”<br />Pertama sekali Wiro melihat semak belukar lebat dan pohon-pohon tumbuh rapat di<br />hadapannya. Dia menoleh ke kiri. Tampak bekas-bekas gubuk yang kini telah punah<br />dimakan api berasal dari pukulan sinar matahari yang dilepaskannya malam tadi.<br />“Orang tua geblek berkepandaian tinggi itu, apa dia masih ada di tempat ini…?”<br />Wiro bertanya-tanya sambil memandang berkeliling. “Aneh, kehadirannya malam tadi di<br />tempat ini seperti sengaja menungguku. Dia menghajarku setengah mati tapi tidak<br />membunuh! Sialnya aku tidak mengenal siapa dirinya. Bahkan apa dia lelaki atau<br />perempuan saja aku tak bisa mengetahui! Apa yang harus kulakukan sekarang? Lebih baik<br />aku segera tinggalkan tempat celaka ini. Mencari mata air membersihkan diri.<br />Tenggorokanku serasa ditempeli besi panas. Haus sekali rasanya….”<br />Wiro berusaha bangkit. Pada saat itulah dia melihat lembaran kertas yang terletak<br />di pangkuannya.<br />“Eh, apa pula ini? Hatinya bertanya-tanya. Dengan tangan kiri diambilnya kertas<br />itu. Ternyata di kertas yang lembab dan kotor itu ada serentetan tulisan. Walau tulisan itu<br />buruk sekali Wiro masih bisa membacanya.<br />Permainan belum selesai. Jika merasa penasaran silahkan datang ke puncak<br />Merbabu.<br />“Pasti tua bangka sialan itu yang membuat surat ini! Apa mau dia sebenarnya?!<br />Lebih baik tidak kuladeni orang gila itu….” Wiro terdiam sesaat. Berfikir-fikir. Lalu di<br />mulutnya tersungging seraut senyum. “Hemmm…. Mungkin ada baiknya aku melayani<br />tantangannya. Mungkin dia sendiri yang masih penasaran. Tapi kalau betul mengapa dia<br />tidak menghabisi diriku sekaligus malam tadi…?” Wiro garuk-garuk kepala. “Ada satu<br />keanehan. Ada sesuatu terselubung dibalik semua kejadian ini…! Bisa baik tapi mungkin<br />sekali bisa mencelakai diriku!”<br />LIMA<br />BUKIT kecil di sebelah timur Kartosuro itu masih terbungkus kegelapan dini hari. Tiga<br />Bayangan Setan dan Elang Setan hentikan kuda masing-masing.<br />“Sudah tiga kali kita mengitari bukit ini! Jarot Ampel tidak kelihatan mata<br />hidungnya!” berkata Tiga Bayangan Setan.<br />Elang Setan pencongkan mulut. Sambil letakkan tongkat besi milik Tubagus<br />Kasatma yang diambilnya dia balas berkata. “Memang aneh. Dia menyuruh kita datang.<br />Tempat kediamannya kosong. Dicari-cari tidak bertemu. Kurasa….” Elang Setan putuskan<br />ucapannya. Di sebelah tiba-tiba tampak sebuah benda terang melesat ke udara. “Tiga<br />Bayangan! Lihat!” Elang Setan menunjuk ke langit di sebelah barat.<br />“Ada yang melempar benda terbakar ke udara! Jangan-jangan itu tanda isyarat dari<br />guru! Memberitahu di mana dia berada!”<br />“Kalau begitu lekas kita menuju ke sana!” kata Elang Setan pula seraya<br />menggebrak kudanya. Tiga Bayangan Setan cepat mengikuti.<br />“Ada nyala api di lereng bukit sebelah sana!” berseru Tiga Bayangan Setan. Elang<br />Setan berpaling ke arah yang ditunjuk. Memang betul ada nyala api disalah satu lereng<br />bukit. Nyala api itu kelihatan bergerak-gerak beberapa kali lalu padam.<br />“Kita menuju ke sana!” ujar Elang Setan.<br />Dua orang itu segera memacu kuda menaiki lereng bukit di mana tadi mereka<br />melihat ada nyala api. Naik ke atas sejauh mungkin seratus tombak disatu tempat dua<br />orang itu temukan tiga batangan kayu menancap di tanah. Pada ujung tiga kayu itu masih<br />terlihat nyala api yang telah meredup dan akhirnya padam.<br />“Ada sesuatu di sebelah sana…” bisik Elang Setan lalu turun dari kuda diikuti oleh<br />Tiga Bayangan Setan. Keduanya melangkah mendekati sebuah benda yang muncul di<br />permukaan tanah miring lereng bukit.<br />“Sumur batu….” desis Elang Setan begitu sampai di hadapan benda dalam<br />kegelapan. Yang ada di tempat itu memang sebuah sumur batu. Meskipun mulut sumur<br />sangat lebar namun ke dua orang itu tak dapat melihat apa yang ada dalam sumur karena<br />sangat gelap. Mereka juga tidak bisa menduga berapa kedalaman sumur itu.<br />“Aku mendengar seperti ada desisan halus dari dalam sumur…” kata Elang Setan.<br />“Jangan-jangan sumur ini sarang ular atau dihuni sejenis binatang buas!”<br />Tiga Bayangan Setan pegang daun telinganya kiri kanan dan pasang<br />pendengarannya. “Bukan ular, tak ada binatang di dalam sana. Itu suara angin. Bisa terjadi<br />karena dinding sumur batu tidak rata…”<br />“Apa yang harus kita lakukan sekarang? Guru Jarot Ampel masih tidak<br />kelihatan…!”<br />“Sebaiknya kita tunggu sampai hari terang,” jawab Tiga Bayangan Setan.<br />Dari dalam sumur gelap tiba-tiba ada suara aneh. Mula-mula jauh datangnya seolah<br />dari dasar sumur yang gelap, lalu semakin keras seperti naik ke atas.<br />“Tiga Bayangan, kau dengar suara itu…? Jangan-jangan sumur ini dihuni setan<br />hantu belantara…!<br />“Kedengarannya sepert suara orang membaca mantera!” bisik Tiga Bayanga Setan<br />yang diam-diam merasa tercekat tapi tetap tenang dan penuh waspada. Dia berbisik.<br />“Siapkan pukulan untuk menghantam jika bahaya tiba-tiba muncul…”<br />Suara meracau seperti orang membaca mantera itu semakin keras, tambah keras<br />lalu tiba-tiba lenyap!<br />Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan saling pandang. Selagi mereka sama tercekat<br />tiba-tiba ada suara mendesir. Dari dalam sumur muncul sebuah benda. Ketika dua orang ini<br />memperhatikan ternyata yang muncul adalah satu kepala manusia berambut putih riapriapan.<br />Lalu kelihatan satu wajah pucat sangat tua, penuh keriputan. Sesaat kemudian<br />menyusul kelihatan bagian dada, perut dan pinggang. Di hadapan Tiga Bayangan Setan<br />dan Elang Setan kini muncul satu sosok kakek-kakek yang kemudian duduk berjuntai di<br />bibir sumur batu mengenakan jubah merah muda. Tubuhnya bungkuk dan bahunya naik<br />pertanda orang ini berusia tua sekali.<br />“Guru!” seru Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan begitu mereka kenali siapa<br />adanya sosok yang barusan keluar dari dalam sumur itu. Keduanya segera jatuhkan diri<br />berlutut.<br />“Bagus! Kalian datang dalam waktu tepat! Terlambat sedikit saja kalian tidak akan<br />menemuiku lagi!” kata orang tua di tepi sumur. Saat itu dari dalam sumur tampak keluar<br />kabut tipis hingga untuk beberapa lamanya orang tua itu antara kelihatan dan tidak.<br />“Guru, kami sudah datang! Mohon petunjuk gerangan apa maksudmu memanggil<br />kami ke tempat ini?” Elang Setan ajukan pertanyaan.<br />Orang tua yang duduk di tepi sumur manggut-manggut. Perlahan-lahan dia angkat<br />kedua kakinya hingga kini di tepi sumur itu dia duduk bersila terbungkuk-bungkuk seperti<br />hendak rubuh jatuh masuk ke dalam sumur gelap.<br />“Waktu kita memang tidak banyak. Aku bicara langsung-langsung saja. Seratus<br />lima puluh tahun lebih hidup di permukaan bumi. Lebih dari seratus dua puluh tahun<br />malang melintang menyandang gelar Iblis Tanpa Bayangan. Semakin tua usiaku semakin<br />kurasa hidup ini seolah tak ada ujungnya! Lebih dari tujuh puluh lima tahun aku membawa<br />beban yang tidak pernah diketahui oleh orang luar, termasuk kalian berdua sebagai muridmuridku…”<br />Ketika si orang tua bernama Jarot Ampel bergelar Iblis Tanpa Bayangan itu<br />hentikan ucapannya sesaat, Tiga Bayangan Setan beranikan diri membuka mulut.<br />“Guru, kami tidak mau berlaku lancang. Tapi jika memang kau punya beban<br />mengapa tidak memberitahu kepada kami? Mungkin kami bisa membantu memperingan<br />bebanmu?”<br />Jarot Ampel gelengkan kepala. Wajahnya yang pucat keriput tampak redup.<br />Tenggorokannya turun naik. Lalu dia berkata. “Beban itu tidak dapat kuberikan pada<br />siapapun. Kalau kelak aku memberitahu maka saat itulah sampai ajalku!”<br />Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan terkejut dan sama-sama saling pandang.<br />Ketika mereka berpaling pada orang tua itu, keduanya melihat si kakek membuka<br />pakaiannya di bagian dada hingga bagian depan tubuhnya yang bungkuk itu tersingkap<br />lebar. Pada dada orang tua ini kelihatan terikat sebuah benda yang ketika diperhatikan<br />ternyata adalah sebuah kitab tua. Demikian tuanya kitab ini baik sampulnya yang berwarna<br />hitam maupun bagian dalamnya tampak sudah gugus lapuk dimakan usia.<br />“Guru….Kitab apa yang terikat di dadamu?” tanya Tiga Bayangan Setan heran.<br />Elang Setan tak kalah herannya.<br />“Tujuh puluh lima tahun lebih aku membawa kitab ini. Tak boleh ada orang yang<br />tahu. Tak boleh kulepas dari ikatannya, apalagi membaca dan mempelajari isinya! Pernah<br />satu kali aku mencoba melanggar pantangan, mencoba mengintip apa isi kitab ini.<br />Akibatnya aku diserang demam panas selama sepuluh minggu…!”<br />“Kalau begitu pastilah kitab itu sebuah benda mustika sakti!” ujar Tiga Bayangan<br />Setan.<br />“Sakti dia atas sakti! Bebanku berat sekali. Memiliki tapi tidak bisa mengambil<br />manfaat. Namun sekarang aku segera akan bebas dari semua beban….”<br />“Guru, apa kau tidak tahu kitab apa itu adanya? Mengapa sampai kau dibebani<br />harus membawanya selama lebih dari separuh usiamu?” bertanya Elang Setan.<br />Wajah Jarot Ampel alias Iblis Tanpa Bayangan kembali menjadi redup. Suaranya<br />bergetar ketika menyahuti pertanyaan muridnya.<br />“Menurut orang yang memberikannya padaku kitab ini bernama Wasiat Iblis.<br />Berisi pelajaran ilmu kesaktian yang tidak ada duanya di dunia ini. Siapa memiliki dan<br />mengusasinya akan menjadi raja diraja dunia persilatan…!”<br />“Wasiat Iblis!” seru Tiga Bayangan Setan. “Kami sudah pernah mendengarnya!<br />Kalau begitu…!”<br />Jarot Ampel tersenyum, “Aku tahu apa yang ada dibenakmu Tiga Bayangan Setan.<br />Kau dan juga saudaramu itu tiba-tiba saja punya maksud ingin memiliki kitab ini.<br />Betul…?” Si orang tua gelengkan kepala. “Suratan mengatakan bahwa hanya ada satu<br />manusia yang boleh memiliki dan sekaligus mempelajari isinya. Manusia itu akan datang<br />sebelum seratus dari setelah kematianku…”<br />“Manusia itu, siapa dia guru?” tanya Elang Setan.<br />“Aku tidak tahu. Petunjuk hanya mengatakan bahwa orang itu seorang<br />berkepandaian sangat tinggi. Akan muncul seratus hari setelah aku mati…”<br />“Jadi kitab itu akan menjadi milik orang lain. Lalu apa perlunya guru menyuruh<br />kami datang ke sini ?!” Pertanyaan Elang Setan bernada tidak enak.<br />“Jangan kalian kecewa. Bagaimanapun juga kitab ini tidak berjodoh dengan salah<br />satu dari kalian. Suratan sudah menentukan demikian. Kalian kusuruh datang kemari<br />karena setelah aku mati kalian berdua harus menjaga sumur batu ini sampai saat<br />munculnya orang yang ditakdirkan berjodoh dengan Wasiat Iblis ini…”<br />“Bagaimana kami tahu orangnya?” tanya Tiga Bayangan Setan.<br />“Kalian tak sanggup mengalahkannya. Hanya itu saja petunjuk yang aku bisa<br />berikan.”<br />Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan terdiam.<br />“Ada satu hal lagi. Jika orang itu telah mendapatkan kitab Wasiat Iblis ini maka<br />kalian berdua ditakdirkan akan menjadi pembantunya!”<br />Paras Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan langsung berubah.<br />“Kalau begitu apapun yang terjadi kami akan membunuhnya!” kata Elang Setan<br />pula.<br />“Di alam akhirat aku mendoakan agar kalian mampu melakukan hal itu,” jawab si<br />orang tua tersenyum tawar. Lalu dia menutup baju pakaiannya kembali. Kitab Wasiat Iblis<br />lenyap dari pemandangan dua anak muridnya.<br />“Murid-muridku, aku sudah siap pergi selama-lamanya. Jaga sumur batu ini baikbaik!”<br />Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan saling melirik lalu sama-sama menjawab.<br />“Tugas dari guru akan kami laksanakan! Kami akan menjaga sumur batu sebaik-baiknya!”<br />“Bagus! Kalau begitu selamat tinggal”<br />Habis berkata begitu kakek bernama Jarot Ampel bergelar Iblis Tanpa Bayangan<br />ini hantam kepalanya dengan tangan kanannya sendiri.<br />“Praaakkk!”<br />“Ah!” Tiga Bayangan Setan keluarkan seruan tertahan.<br />“Kita terlambat!” teriak Elang Setan.<br />Sebenarnya kedua orang ini sama-sama berniat hendak merampas kitab Wasiat<br />Iblis itu namun tidak kesampaian karena saat itu sang guru telah memukul rengkah<br />kepalanya sendiri. Tubuh Jarot Ampel melayang jatuh ke dalam sumur batu. Tiga<br />Bayangan Setan masih berusaha menggapai pakaiannya tapi luput.<br />“Bagaimana sekarang…? Elang Setan bertanya.<br />“Aku harus mendapatkan kitab itu. Bagaimanapun caranya!”<br />“Aku juga!” sahut Elang Setan.<br />Dua orang yang telah saling angkat saudara ini sesaat bentrok pandangan. Elang<br />Setan mengalah dengan berkata: “Bagusnya kita tunggu sampai hari terang. Kita belum<br />tahu keadaan sumur batu ini. Jangan bertindak gegabah hanya karena menurutkan<br />keinginan menjadi raja diraja dunia persilatan…”<br />Tiga Bayangan Setan menyeringai, “Saudara tinggal saudara. Aku tidak mau dia<br />mendahuluiku masuk ke dalam sumur!” membatin Tiga Bayangan Setan. “Kalaupun aku<br />harus membunuhnya apa boleh buat!”<br />Menunggu datangnya pagi terasa lama sekali bagi kedua orang itu. Ketika langit di<br />sebelah timur mulai membersitkan cahaya mentari pagi dan keadaan di tempat itu mulai<br />terang Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan cepat-cepat mendekati tepi sumur dan<br />memandang ke dalam. Astaga! Sumur batu itu demikian dalamnya hingga mereka tidak<br />dapat melihat dasar sumur. Lagipula di sebelah dalam masih menggantung kabut tipis<br />menutupi pemandangan. Mereka hanya mampu melihat bagian sumur di atas lapisan kabut.<br />Selain lebar ternyata makin ke dalam dinding sumur batu semakin melebar dan ada ulirulir<br />batu seputar dinding seperti tangga melingkar.<br />Baik Tiga Bayangan Setan maupun Elang Setan sama-sama berfikir bahwa jika<br />mereka masuk ke dalam sumur batu mereka harus mampu mencapai ulir terdekat lalu<br />melangkah menuruni ulir itu hingga akhirnya mencapai dasar sumur di mana tentunya<br />mayat Jarot Ampel tergeletak bersama kitab Wasiat Iblis itu.<br />Tiga Bayangan Setan bergerak lebih dulu. Tapi dari belakang Elang Setan cepat<br />menarik bahunya. Merasa dihalangi Tiga Bayangan Setan balikkan badan lalu kirimkan<br />satu jotosan yang tepat mendarat di dagu Elang Setan hingga kepala orang ini tersentak<br />keras. Selagi Elang Setan terjajar nanar Tiga Bayangan Setan pergunakan kesempatan<br />untuk mendekati sumur lalu melompat ke dalam. Tanpa ragu dia melesat ke arah ulir batu<br />terdekat. Namun selagi tubuhnya melayang tiba-tiba dari dasar sumur terdengar suara deras<br />seperti air bah. Bersamaan dengan itu bertiup angin sangat kencang menebar hawa panas<br />dan bau aneh! Lapisan kabut berpencaran. Angin kencang menerobos ke atas.<br />Tiga Bayangan Setan merasakan tubuhnya bergoncang keras. Dia berusaha<br />bertahan dengan mengerahkan tenaga luar dalam lalu menghantam ke bawah. Tapi<br />kekuatan pukulannya terdorong ke atas, membalik memukul tubuhnya sendiri. Tiga<br />Bayangan Setan berteriak keras. Tubuhnya mencelat keluar sumur batu dan terkapar di<br />tanah. Dia memang sanggup bangkit kembali tapi dari mulutnya keluar darah tanda dia<br />telah mengalami luka dalam!<br />“Ada kekuatan iblis di dalam sumur itu…” kata Tiga Bayangan Setan megapmegap<br />dengan muka pucat.<br />“Aku tidak percaya!” kata Elang Setan yang merasa kini punya kesempatan untuk<br />mencoba. Apalagi saat itu suara deru dan sambaran angin telah mulai mereda. Setelah<br />perhatikan keadaan sebelah dalam sumur dan menganggap tak ada halangan baginya untuk<br />melompat ke dalam maka Elang Setan lantas ayunkan diri. Seringan kapas tubuhnya<br />melayang masuk ke dalam sumur batu.<br />“Aku berhasil!” serunya girang ketika kakinya menjejak ulir batu terdekat yang<br />merupakan tangga menuju ke dasar sumur. Tapi belum habis gema seruannya tiba-tiba dari<br />dasar sumur kembali terdengar suara seperti deru air bah. Angin kencang panas dan berbau<br />aneh melesat ke atas, membuat tubuh Elang Setan tersentak keras begitu tersambar. Dia<br />berpegangan pada batu yang menonjol di dinding sumur batu. Tapi bagaimanapun dia<br />mengerahkan seluruh tenaga tetap saja dia tak mampu bertahan. Tubuhnya terseret ke atas,<br />terbanting ke dinding batu lalu jatuh ke bawah. Dari bawah semburan angin kencang<br />menghantam dirinya kembali. Elang Setan tidak mau mengalah begitu saja. Kedua<br />tangannya dikembangkan ke samping lalu dia kerahkan tenaga untuk membuat gerakan<br />seperti baling-baling! Ternyata dia memang bisa bertahan dari hantaman angin keras.<br />Tubuhnya berputar-putar laksana titiran. Sambil berputar dia berusaha bergerak turun<br />dengan mengerahkan bobot badannya. Sedikit demi sedikit Elang Setan melayang turun.<br />Di mulut sumur Tiga Bayangan Setan menyaksikan kejadian itu dengan hati cemas. Bukan<br />cemas melihat apa yang mungkin terjadi dengan saudara angkat itu tapi cemas kalau-kalau<br />Elang Setan memang berhasil turun ke dasar sumur batu dan mendapatkan Kitab Wasiat<br />Iblis itu!<br />Rasa cemas Tiga Bayangan Setan tidak lama. Saat itu dari dasar sumur kembali<br />terdengar suara deru dahsyat. Satu gelombang angin menghantam tubuh Elang Setan<br />hingga mencelat mental keluar sumur. Waktu lepas dari mulut sumur salah satu kakinya<br />tidak sengaja menghantam kepala Tiga Bayangan Setan hingga orang ini terpental dan<br />tergelimpang megap-megap. Sesaat dia merintih kesakitan lalu menyumpah panjang<br />pendek!<br />Elang Setan sendiri saat itu kelihatan melayang jungkir balik di udara. Ketika<br />tubuhnya kemudian terhempas di tanah, dari mulut, telinga dan matanya kelihatan keluar<br />darah. Elang Setan mengeluh tinggi lalu pingsan tak sadarkan diri.<br />ENAM<br />PUNCAK Gunung Merapi diselimuti awan tebal. Di kejauhan berkali-kali terlihat kilat<br />menyambar dibarengi suara guntur menggelegar. Udara dingin bukan kepalang. Di dalam<br />sebuah goa batu, dua orang duduk berhadap-hadapan di antara api unggun. Ada satu<br />keanehan. Api unggun itu tidak dihidupi oleh potongan kayu bakar melainkan oleh<br />setumpuk batu hitam hingga api yang berkobar panasnya dua kali lebih hebat dari api yang<br />berasal dari kayu biasa.<br />Sepasang tangan kurus yang hanya tinggal kulit pembalut tulang saling digosokkan<br />satu sama lain di atas api unggun. Dua tangan itu dipanasi demikian rupa, dekat sekali<br />dengan kobaran api dan tidak diangkat-angkat sampai lama sekali. Manusia biasa tidak<br />akan mampu melakukan hal itu.<br />Yang punya tangan adalah seorang tua bungkuk berpakaian rombeng. Walaupun<br />terkena cahaya kobaran api namun jelas kulit mukanya yang tipis kelihatan pucat sekali,<br />angker dingin membayangkan kelicikan dan maut! Sepasang matanya besar tapi memiliki<br />rongga sangat cekung. Kakek bermulut perot ini memiliki rambut putih sepanjang bahu.<br />Dalam dunia persilatan dia dikenal dengan julukan Si Muka Bangkai alias Setan Muka<br />Pucat.<br />Di hadapan orang tua berwajah setan itu duduk seorang pemuda berwajah<br />membayangkan kekerasan dan keangkuhan. Sehelai kain merah melilit keningnya.<br />Rambutnya lebat dan hitam. Keningnya tinggi menonjol. Dagunya kukuh. Dia<br />mengenakan sehelai mantel hitam yang menutupi hampir sekujur tubuhnya depan<br />belakang. Dialah Pangeran Matahari, musuh besar bebuyutan Pendekar Kapak Maut Naga<br />212. Selama bertahun-tahun Pangeran Matahari berusaha membunuh menyingkirkan Wiro.<br />Sebegitu jauh maksud kejinya itu tidak pernah kesampaian. Hal ini bukan saja membuat<br />semakin bertumpuknya dendam kesumat dalam diri pemuda ini tapi juga membuat dia<br />selalu mencari akal bagaimana caranya agar dapat melenyapkan Wiro. (Mengenai asal usul<br />Pangeran Matahari dan siapa adanya orang tua berjuluk Si Muka Bangkai alias Setan<br />Muka Pucat harap baca serial Wiro Sableng berjudul Pangeran Matahari Dari Puncak<br />Merapi)<br />Setelah berdiam diri beberapa lama akhirnya sang guru membuka mulut memecah<br />kesunyian dalam goa yang dipanasi api unggun itu. Sementara bicara kedua tangannya<br />terus saja digosok-gosokkan di atas kobaran api.<br />“Muridku, tadi kau bertanya mengapa aku memintamu datang ke puncak Merapi<br />ini. Ada satu hal penting yang akan menentukan hidup masa depanmu! Empat puluh hari<br />yang lalu aku bermimpi…”<br />Belum habis sang guru bicara Pangeran Matahari sudah menyela dengan nada<br />tinggi. “Guru, bertahun-tahun kita tidak bertemu. Hari ini kau mengatakan ada sesuatu<br />yang penting. Ternyata kau hendak bicara segala macam mimpi! Kurasa kita hanya<br />menghabiskan waktu percuma saja…!”<br />Si orang tua berwajah setan menyeringai. Dalam hati dia membatin. “Aku suka<br />anak ini. Sejak dulu tidak berubah. Masih saja sombong dan bicara angkuh. Meremehkan<br />orang lain sekalipun aku gurunya sendiri!” Setelah mendehem beberapa kali orang tu itu<br />melanjutkan ucapannya. “Apa kau lupa dulu kalau bukan karena mimpi aku tidak akan<br />menemukanmu? Ingat ketika gunung ini meletus dan aku melihatmu tergantung di atas<br />pohon beringin sementara lahar panas menutupi bumi ?!”<br />“Aku tidak pernah melupakan hari malapetaka itu. Juga ingat jasamu<br />menyelamatkan diriku. Tapi apakah itu perlu diulang-ulang?!” suara Pangeran Matahari<br />tetap tinggi. Orang lain mungkin akan jengkel atau marah melihat sikapnya ini. Tapi sang<br />guru sudah tahu sifat muridnya hanya tersenyum-senyum.<br />“Mimpi tidak selamanya kembang tidur. Banyak mimpi merupakan petunjuk sangat<br />berguna….”<br />“Aku mendengarkan guru. Coba katakan apa mimpimu kali ini?”<br />“Sebelum kujelaskan aku ingin tahu dulu. Apakah kau masih berminat untuk<br />menyingkirkan Pendekar 212 Wiro Sableng musuh besarmu itu?”<br />Mendengar pertanyaan itu sepasang mata Pangeran Matahari terbuka lebar.<br />Dagunya mengencang dan pelipisnya bergerak-gerak.<br />Si Muka Bangkai tertawa lebar. “Kau tak perlu menjawab. Dari air mukamu aku<br />tahu kau memang ingin melenyapkan musuh besarmu itu! Nah sekarang aku tanya, apa kau<br />pernah mendengar tentang sebuah kitab kuno bernama Wasiat Iblis?”<br />Pangeran Matahari angukkan kepala. “Aku pernah berusaha mencarinya. Tapi<br />selalu menemui jalan buntu hingga aku akhirnya merasa sangsi apakah buku yang berisi<br />ilmu dahsyat itu memang benar-benar ada….”<br />“Kitab itu memang ada. Dan aku telah memimpikan kitab itu, muridku!”<br />“Hah…?” Pangeran Matahari beringsut maju. Dari balik kobaran api unggun dia<br />memandangi wajah gurunya lekat-lekat. “Apa mimpimu itu, guru?”<br />“Mimpiku memberi petunjuk di mana kitab itu berada!”<br />Pangeran Matahari berdiri, memutari perapian lalu duduk di samping Si Muka<br />Bangkai. “Guru, harap kau lekas menceritakan mimpimu itu. Selengkap-lengkapnya.<br />Jangan ada yang ketinggalan.”<br />“Seorang tua berjubah dan bersorban hitam muncul dalam mimpiku. Waktu itu aku<br />merasa berada di satu gurun pasir maha panas. Orang ini tiba-tiba saja muncul dan berkata<br />padaku. Sampaikan pesanku pada muridmu terlahir bernama Anom, putera Raja Surokerto<br />dari ibu R.A Siti Hinggil. Seumur hidupnya selama langit masih dijunjung dan bumi masih<br />dipijak manusia, dia tidak akan sanggup mengalahkan pemuda berjuluk Pendekar 212<br />Wiro Sableng itu. Kecuali jika dia menguasai ilmu yang tersimpan dalam Kitab Wasiat<br />Iblis. Lalu dalam mimpi aku bertanya pada orang bersorban hitam itu. Apakah dia bisa<br />memberi petunjuk di mana kitab itu bisa ditemukan? Di lantas menjawab. Pergilah ke<br />lereng barat sebuah bukit di timur Kartosuro. Di situ ada sebuah sumur tua terbuat dari<br />batu. Di dalam sumur tersembunyi Kitab Wasiat Iblis. Namun untuk dapat masuk ke<br />dalamnya muridmu harus mengalahkan dua orang penjaga sumur yang memiliki<br />kepandaian sangat tinggi… Aku bertanya siapa adanya dua penjaga sumur itu. Namun<br />orang tua bersorban hitam membalikkan tubuh dan pergi. Saat itu aku sendiri terbangun<br />dari tidur…”<br />Lama Pangeran Matahari berdiam diri setelah mendengar penuturan gurunya.<br />“Apa yang ada dalam benakmu, muridku?” tanya sang guru.<br />Si pemuda angkat bahunya. “Bagaimana aku bisa memastikan bahwa mimpimu itu<br />bisa menjadi kenyataan?!”<br />“Kau tak bisa memastikan kalau tidak membuktikan sendiri. Jika kau suka segera<br />saja berangkat menuju tempat yang kuceritakan tadi. Jika tidak suka perlu apa dituruti.<br />Hanya saja sayang kalau ada orang lain sempat mendahului. Berarti musuh beratmu<br />bertambah satu lagi.”<br />Pangeran Matahari katupkan rahangnya rapat-rapat. “Jauh-jauh datang kemari<br />percuma saja kalau aku tidak coba menyelidik apa mimpimu itu benar atau tidak…”<br />Perlahan-lahan Pangeran Matahari bangkit berdiri. “Guru, aku mohon diri sekarang.”<br />Si Muka Bangkai anggukkan kepala. “Makin cepat kau melakukannya makin<br />baik…. aku akan merasa bangga jika kelak kau benar-benar merajai dunia persilatan.”<br />Pangeran Matahari pencongkan mulutnya. “Apa menurutmu saat ini aku belum<br />menguasai dunia persilatan?”<br />Si Muka Bangkai gelengkan kepala. “Musuh utamamu si Wiro Sableng itu. Harus<br />kau lenyapkan. Lalu harus pula kau tumpas tokoh-tokoh silat lainnya termasuk nenek sakti<br />bernama Sinto Gendeng, guru Pendekar 212…. Dapatkan kitab Wasiat Iblis itu! Dunia<br />berada di tanganmu.<br />Pangeran Matahari menjura tiga kali dengan sikap kaku karena sebenarnya dia<br />tidak suka melakukan hal ini sekalipun untuk menghormat gurunya. Lalu dia membalikkan<br />tubuh tinggalkan goa di puncak Gunung Merapi itu.<br />TUJUH<br />TIDAK sulit bagi Pangeran Matahari untuk mencari letak sumur batu yang terletak di<br />lereng barat bukit di luar Kartosuro. Bau busuk membimbingnya ke tempat itu.<br />“Bau busuk hebat sekali. Aku yakin itu berasal dari bangkai manusia!” katanya. Di<br />satu tempat dia tinggalkan kuda tunggangannya lalu bergerak ke arah bau busuk. Sebagai<br />tokoh silat yang telah bertahun-tahun malang melintang dan menggegerkan rimba<br />persilatan Pangeran Matahari tentu saja punya pengalaman banyak. Dia tidak terus<br />mendaki lereng bukit ke arah datangnya bau busuk namun sengaja bergerak berputar<br />menjauh, lalu berbalik menuruni bukit. Kecerdikan ini memang sangat beralasan. Karena<br />selama ini dua orang yang menjaga sumur batu dimana tersimpan Kitab Wasiat Iblis<br />bersama mayat Iblis Tanpa Bayangan memang lebih banyak memperhatikan bagian bawah<br />bukit dari arah mana orang-orang mendatangi.<br />Dari balik sebatang pohon besar Pangeran Matahari dapat menyaksikan keadaan di<br />bawahnya. Di salah satu lereng bukit tampak jelas dua orang berjaga-jaga di dekat sebuah<br />sumur batu. Sambil mengawal keduanya mengobrol dan menyantap potongan daging<br />bakar. Tak jauh di sekitar mereka bertebaran paling tidak empat sosok mayat yang telah<br />membusuk.<br />“Dua penjaga sumur batu itu agaknya bukan manusia. Bagaimana mereka bisa<br />makan enak-enakan sementara mayat bergelimpangan di dekat mereka. Menebar bau<br />busuk! Aku saja yang ada disini mau terbongkar rasanya isi perutku!” membatin Pangeran<br />Matahari. Dia bertanya-tanya siapa kiranya empat orang yang menemui ajal di bawah sana.<br />Berat dugaannya mereka adalah orang-orang pandai yang berusaha mendapatkan Kitab<br />Wasiat Iblis itu.<br />Setelah sekli lagi memperhatikan keadaan sekitar sumur batu Pangeran Matahari<br />tujukan perhatiannya pada salah seorang penjaga yang mengenakan jubah hitam.<br />“Berjubah hitam, kepala sulah sebelah, salah satu mata kecil seperti buta.<br />Hemmm….” Kening Pangeran Matahari mengerenyit, rahangnya menggembung dan<br />terkancing rapat. “Bangsat itu rupanya yang jadi salah satu pengawal sumur batu! Tiga<br />Bayangan Setan! Manusia keparat yang punya mimpi besar hendak menguasai dunia<br />persilatan. Bagaimana dia ada kaitannya dan jadi anjing penjaga sumur batu. Mungkin juga<br />gurunya Si Iblis Tanpa Bayangan ada di sini?” Pangeran Matahari arahkan pandangannya<br />pada orang kedua. “Bukan…. Yang satu itu bukan Si Iblis Tanpa Bayangan. Di mana ada<br />Tiga Bayangan Setan di situ ada Elang Setan! Pasti Elang Setan, kambrat keparat si Tiga<br />Bayangan Setan!” Pangeran Matahari perhatikan benda panjang yang menggeletak di<br />pangkuan Elang Setan. “Tombak atau tongkat berbentuk aneh. Setahuku Elang Setan tidak<br />punya senjata seperti itu. Hemmm… pasti dia sikat milik orang lain yang jadi<br />korbannya…” Sang Pangeran memperhatikan keadaan sekitar sumur batu sekali lagi. Lalu<br />dengan seringai congkak dia tinggalkan tempat itu, melangkah menuruni lereng bukit.<br />Di tepi sumur batu Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan sedang asyik menyantap<br />daging panggang kelinci hutan yang memang banyak terdapat di bukit itu. Dengan mulut<br />masih penuh makanan Elang Setan berkata.<br />“Lebih tujuh puluh hari sudah kita mendekam di tempat ini. Menunggu sampai tiga<br />puluh hari lagi cukup lama! Bagaimana kalau orang yang dimaksud guru itu tidak<br />muncul?”<br />Apa yang kau pikirkan itu sudah ada dalam benakku sejak lama. Aku mencari akal<br />bagaimana caranya bisa masuk ke dalam sumur ini lalu mengambil kitab sakti itu. Tapi<br />rasa-rasanya sulit. Berarti kita harus meminjam tangan orang lain.”<br />“Meminjam tangan orang lain bagaimana?” tanya Elang Setan.<br />“Kalau orang itu datang, kita pura-pura melawan. Kita biarkan dia masuk ke dalam<br />sumur. Begitu keluar dan Kitab Wasiat Iblis sudah ada di tangannya, kita serbu dan kita<br />rampas!”<br />Elang Setan tertawa bergelak. Karena di mulutnya masih ada makanan maka dia<br />jadi batuk-batuk berulang kali.<br />“Hentikan batukmu! Aku mendengar suara orang mendatangi!” bentak Tiga<br />Bayangan Setan tiba-tiba seraya palingkan kepala ke lereng bukit sebelah atas.<br />Baru saja Tiga Bayangan Setan berkata begitu tiba-tiba semak belukar lebat di atas<br />mereka terkuak. Sesosok tubuh tinggi bermantel hitam muncul, melangkah dan berhenti<br />kira-kira dua tombak dari sumur batu.<br />“Kau kenal kunyuk berpakaian seperti kelelawar ini?” bisik Elang Setan.<br />“Untuk membunuh seseorang apa perlu kenal atau tidaknya?!” sahut Tiga<br />Bayangan Setan.<br />Elang Setan muntahkan daging dalam mulutnya lalu tertawa gelak-gelak. “Kau<br />betul saudaraku! Tapi ada baiknya kau menanyakan sesuatu padanya sebelum kita<br />mengirimnya ke liang akhirat!”<br />Elang Setan bangkit berdiri. Kedua tangannya yang kotor oleh minyak daging<br />diusap-usapkan pada baju tebalnya hingga pakaian dekil itu jadi tambah kotor. Dia gerakgerakkan<br />jari-jari tangannya yang berbentuk cakar elang hingga mengeluarkan suara<br />berkeretekan lalu membuka mulut.<br />Namun sebelum ucapan keluar dari mulut Elang Setan, Pangeran Matahari angkat<br />tangan kanannya. Ada selarik angin menyambar membuat Elang Setan cepat-cepat<br />miringkan kepala.<br />“Kalian tidak layak menanyaiku! Aku yang punya kuasa bertanya kepada pada<br />kalian! Kalian mendengar dan mengerti?!”<br />“Sombong amat kunyuk satu ini!” tukas Elang Setan.<br />“Orang yang bakal mati memang suka bersikap macam-macam!” menimpali Tiga<br />Bayangan Setan lalu keluarkan tawa bergelak.<br />Pangeran Matahari dongakkan kepala. Dari mulutnya kemudian menyembur tawa<br />keras yang menggetarkan seantero lereng bukit dan menindih lenyap tawa Tiga Bayangan<br />Setan. Dua tokoh silat penjaga sumur batu itu diam-diam terkesiap. Orang di hadapan<br />mereka memiliki tingkat tenaga dalam sangat tinggi! Walau demikian dua orang ini mana<br />mengenal takut!<br />Tiga Bayangan Setan berpaling pada Elang Setan lalu berkata. “Hari ini kita bakal<br />dapat mangsa kelima! Rasanya sudah pada gatal tanganku menunggu belum ada korban<br />baru yang datang. Kini kita dapat satu rejeki lagi!”<br />“Pemuda congkak! Mungkin kau mau lihat-lihat dulu empat mayat yang sudah<br />membusuk itu sebelum kau kami tetapkan sebagai korban kelima?!” Yang berkata adalah<br />Elang Setan.<br />“Tidak perlu aku mengikuti omonganmu! Aku sudah tahu siapa-siapa mereka! Aku<br />juga tahu milik siapa tongkat besi yang kau pegang itu! Kau pasti juga telah membunuh<br />tokoh silat istana berjuluk Dewa Berjubah Kuning Bertongkat Besi!”<br />“Ah! Kau sudah tahu rupanya! Masih semuda ini pengetahuanmu ternyata cukup<br />luas! Mungkin itu bisa menolong melapangkan jalanmu ke liang kubur! Ha… ha… ha!”<br />Elang Setan tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba suara tawanya lenyap. Tangannya yang<br />memegang tongkat berkelebat.<br />“Wutttt!”<br />Ujung tongkat yang berbentuk lingkaran pipih setajam mata pisau menderu.<br />Cahaya hitam berkiblat. “Craaasss!” Semak belukar yang hanya setengah jengkal dari<br />pinggang Pangeran Matahari dirambas rata! Yang diserang sama sekali tidak bergerak<br />malah sunggingkan senyum mengejek.<br />“Sedekat ini aku berdiri kau tak sanggup membabat perutku! Matamu yang<br />gembung itu buta atau bagaimana?! Dasar manusia tidak tahu diri! Kalau cuma jadi anjing<br />penjaga sumur kenapa bermulut besar?!”<br />Mendengar dirinya disebut anjing penjaga sumur meledaklah amarah Elang Setan.<br />Tiga Bayangan Setan ikut-ikutan marah besar. Rencana mereka semua yang pura-pura<br />hendak mengalah serta merta terlupa. Keduanya memutuskan untuk membunuh Pangeran<br />Matahari saat itu juga!<br />Elang Setan tancapkan tongkat besi ke tanah. Dia lebih suka pergunakan cakarcakar<br />mautnya. Dia bergerak mendekati Pangeran Matahari dari sebelah kiri sementara<br />Tiga Bayangan Setan mendatangi dari kanan.<br />Pangeran Matahari dongakkan kepala, keluarkan suara mendengus. Dengan tangan<br />kanannya dia sibakkan mantel hitam yang menutupi bagian depan pakaiannya.<br />“Pangeran Matahari!” seru Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan ketika melihat<br />gambar Gunung Merapi berwarna biru dengan latar belakang sinar sang surya berupa<br />garis-garis lurus berwarna merah!<br />Suara tawa mengekeh mengumandang dari mulut Pangeran Matahari yang saat itu<br />mendongakkan kepala seolah tidak menganggap bahaya serangan dua lawan yang bakal<br />menyerbunya.<br />Baik Tiga Bayangan Setan maupun Elang Setan sama-sama tidak menduga kalau<br />pemuda di hadapan mereka adalah tokoh besar golongan hitam berjuluk Pangeran<br />Matahari.<br />“Saudaraku Tiga Bayangan Setan! Rejeki kita besar sekali hari ini! Begitu kita<br />membunuhnya, nama besar kita semakin mencuat dalam dunia persilatan!”<br />“Anjing-anjing penjaga sumur! Jangan mimpi! Aku menunggu seranganmu!”<br />bentak Pangeran Matahari. Kedua tangannya kini diletakkan di pinggang.<br />“Bagus! Kau minta mati lebih cepat dari yang kami rencanakan!” teriak Elang<br />Setan. Dia melirik pada Tiga Bayangan Setan. Dua orang ini saling anggukkan kepala. Di<br />kejap itu pula keduanya berkelebat kirimkan serangan!<br />DELAPAN<br />LIMA larik sinar hitam menyambar ke arah muka Pangeran Matahari. Lima lagi membeset<br />ke arah perutnya. Itulah sambaran serangan maut cakar setan yang dilancarkan Elang<br />Setan. Dari jurusan lain Tiga Bayangan Setan lepaskan pukulan tangan kosong yang<br />sengaja di arahkan ke bagian bawah perut lawan. Jelas kedua orang ini ingin membunuh<br />Pangeran Matahari detik itu juga!<br />Meskipun tercekat melihat ganasnya serangan dua lawan namun manusia yang<br />dikenal senagai pendekar jahat segala cerdik, segala akal, segala ilmu, segala licik dan<br />segala congkak ini hadapi serangan orang dengan mendengus. Tangan kanannya bergerak<br />mengibaskan mantel hitamnya ke bagian dada.<br />“Wuuuutttt!”<br />Suara mantel berkelebat angker. Mengeluarkan cahaya hitam redup.<br />Baik Tiga Bayangan Setan maupun Elang Setan hanya mendengar suara tapi tidak<br />merasakan adanya sambaran angin keras! Namun dahsyatnya saat itu keduanya merasa<br />seolah ada satu kekuatan yang tidak kelihatan menahan gerak serangan yang mereka<br />lancarkan.<br />Elang Setan kertakkan rahang. Tiga Bayangan Setan menggembor keras. Kedua<br />orang ini lipat gandakan kekuatan tenaga dalam lalu merangsak ke depan. Tapi semakin<br />mereka mengerahkan kekuatan semakin dahsyat kekuatan tak terlihat yang menghadang.<br />Malah kini kekuatan itu mulai bergerak, menindih gerak serangan mereka. Dua<br />orang ini berusaha bertahan. Tak ada gunanya. Ketika Pangeran Matahari kibaskan<br />kembali mantel hitamnya ke belakang, dua penyerang berseru keras dan terbanting ke<br />tanah!<br />Pangeran Matahari dongakkan kepala lalu tertawa mengekeh. Tanpa perduli pada<br />dua orang yang bergeletakan di tanah dia melangkah mendekati sumur batu.<br />“Kami belum kalah!” teriak Elang Setan lalu tubuhnya melesat ke udara.<br />“Jangan harap kau bisa dapatkan kitab sakti itu!” bentak Tiga Bayangan Setan.<br />Tubuhnya yang terkapar di tanah juga melesat ke atas. Dari atas dua orang murid Iblis<br />Tanpa Bayangan ini menyerbu lagi. Keduanya sama-sama mengarah kepala Pangeran<br />Matahari. Sebelum cakar-cakar setan bergerak sepuluh sinar hitam dan merah lebih dulu<br />menggebu. Tiga Bayangan Setan hantamkan dua pukulan sekaligus untuk mengepruk<br />pecah kepala Pangeran Matahari.<br />Pangeran Matahari hentikan langkahnya. Kedua lututnya ditekuk. Dua tangannya<br />tiba-tiba melesat ke atas. Terdengar suara bergedebukan beberapa kali begitu enam pasang<br />lengan saling beradu!<br />Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan kembali berkaparan di tanah. Sementara<br />Elang Setan masih menggeliat-geliat Tiga Bayangan Setan sudah melesat dan berdiri<br />hadapi Pangeran Matahari. Kalau Elang Setan kelihatan bengkak merah dua lengannya<br />maka Tiga Bayangan Setan tidak cidera sedikitpun. Hal ini tidak lepas dari perhatian<br />Pangeran Matahari. Dalam hati dia berucap. “Ternyata dia memang tahan pukulan. Aku<br />harus berlaku hati-hati terhdap yang satu ini!”<br />“Apa kau sudah siap menghadapi saat kematianmu Pangeran Matahari?!” kertak<br />Tiga Bayangan Setan.<br />“Setan jelek! Dari tadi hanya mulutmu saja yang besar! Aku siap menunggu<br />kematin! Ayo aku mau lihat kau hendak melakukan apa!” Pangeran Matahari renggangkan<br />kedua kakinya, tegak menunggu sambil bertolak pinggang. Di sebelah belakang sana Elang<br />Setan telah bangkit berdiri dan siap lancarkan serangan.<br />Kumis dan berewok Tiga Bayangan Setan seperti berjingkrak. Matanya sebelah<br />kanan yang besar merah bergerak-gerak. Kedua tangannya dipentang ke depan dengan jarijari<br />terkepal. Mulutnya komat-kamit. Tiba-tiba dua kepalannya diadu satu sama lain.<br />Bersamaan dengan itu dia berteriak.<br />“Bunuh!”<br />Tiga guratan dalam di kening Tiga Bayangan Setan mengeluarkan kilatan-kilatan<br />angker. Dari ubun-ubunnya melesat keluar tiga kepulan asap yang dalam waktu sekejapan<br />berubah menjadi tiga sosok raksasa bertelanjang dada penuh bulu. Rambut panjang riapriapan<br />dan sepasang mata laksana bara menyala! Inilah ilmu tiga bayangan setan yang<br />selama ini tidak satu tokoh silatpun sanggup menghadapinya!<br />Diam-diam Pangeran Matahari merasa terguncang juga. Dia segera siapkan satu<br />pukulan sakti untuk menghadapi serangan tiga makhluk jejadian itu.<br />“Bunuh!” teriak Tiga Bayangan Setan sekali lagi.<br />Tiga sosok raksasa melesat ke depan. Masing-masing mementangkan tangan kanan<br />yang sesaat kemudian sama-sama dihantamkan ke batok kepala Pangeran Matahari.<br />Begitu tiga makhluk raksasa menyerang Pangeran Matahari cepat angkat ke dua<br />tangannya. Telapak-telapak yang terkembang didorongkan perlahan saja. Terdengar suara<br />mendesis disertai menggebunya angin panas, menghantam tepat pada tiga makhluk<br />raksasa!<br />“Wusss! Wussss!”<br />Tiga Bayangan Setan berteriak keras. Bukan saja karena marah tapi juga karena<br />berusaha menahan sakit oleh hawa panas yang memancar dari dua larik angin panas<br />serangan Pangeran Matahari. Tubuhnya terhuyung-huyung tak bisa dirobohkan. Dua<br />makhluk raksasa di sebelah kiri dan kanan meletup hancur berkeping-keping seolah terbuat<br />dari batu. Tapi yang di sebelah tengah seolah tidak tersentuh pukulan sakti “telapak<br />merapi” yang tadi dilepaskan Pangeran Matahari terus merangsak ke depan lalu laksana<br />palu godam hantamkan tangan kanannya ke batok kepala Pangeran Matahari!<br />Pangeran Matahari silangkan dua lengan ke atas untuk lindungi kepalanya. Ini<br />merupkan gerakan menangkis yang sekaligus merupakan serangan menggunting.<br />“Bukkk!”<br />Pangeran Matahari terbanting ke tanah. Dua lengannya terasa seolah hancur.<br />Dadanya berdenyut sakit. Sebelum jatuh tadi dia masih sempat membuat gerakan<br />menggunting. Makhluk raksasa di atas kepala Tiga Bayangan Setan menggembor marah.<br />Tiga Bayangan Setan melompat ke hadapan lawan.<br />“Bunuh!” teriak Tiga Bayangan Setan.<br />Makhluk raksasa di atas kepalanya kembali pentangkan tangan.<br />“Kurang ajar!” kertak Pangeran Matahari. “Agaknya makhluk keparat yang di<br />tengah tak bisa dimusnahkan. Tiga Bayangan Setan sendiri benar-benar tahan pukulan<br />sakti! Aku harus mencari akal! Aku harus menghantam sumber kekuatannya!”<br />Pangeran Matahari melirik pada tombak Wesi Ketaton milik Dewa Berjubah<br />Kuning yang mati di tangan Elang Setan. Sebelum gebukan mahkluk raksasa datang<br />Pangeran Matahari cepat berguling menyambar tongkat besi itu. Begitu tongkat mustika<br />berada di tangannya dia segera membalik dan tusukkan bagian runcing senjata itu ke perut<br />Tiga Bayangan Setan.<br />“Breett!”<br />“Traanggg!”<br />Jubah hitam yang dikenakan Tiga Bayangan Setan robek di bagian perut. Ujung<br />tombak terus menusuk ke perut orang itu. Namun seolah perut yang ditusuk itu adalah<br />benda yang terbuat dari besi begitu ujung tombak menghantam terdengar suara<br />berdentrangan. Pangeran Matahari tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Seumur<br />hidup baru kali ini dia melihat ada manusia memliki kekebalan terhadap senjata tajam<br />begitu rupa! Pangeran Matahari campakkan tongkat Wesi Ketaton.<br />Tiga Bayangan Setan tertawa bergelak.<br />“Edan! Hampir tak dapat kupercaya!” kertak Pangeran Matahari. “Dia kebal<br />pukulan sakti, tak mempan senjata! Aku harus mendapatkan ilmunya!”<br />Sementara itu dua makhluk raksasa yang tadi musnah kini secara aneh muncul<br />kembali, bergabung dengan kawannya di sebelah tengah ini sambil keluarkan lengkingan<br />keras kembali ayunkan tangan menggebuk ke arah kepala Pangeran Matahari! Sekali ini<br />Pangeran Matahari tak menangkis ataupun adu kekuatan. “Otak penggerak tiga raksasa<br />jejadian itu ada dalam diri Tiga Bayangan Setan! Aku harus melumpuhkan sumbernya!”<br />Memikir sampai di situ manusia segala akal segala cerdik dan segala licik ini<br />angkat tangan kanannya. Secara aneh tiba-tiba udara di tempat menjadi redup padahal di<br />atas matahari bersinar terang. Inilah pertanda bahwa Pangeran Matahari hendak lepaskan<br />satu pukulan sakti. Ketika tangannya dipukulkan terdengar suara menggelegar disertai<br />berkiblatnya sinar merah, kuning dan hitam!<br />“Pukulan Gerhana Matahari” seru Tiga Bayangan Setan yang mengenali pukulan<br />sakti itu. “Siapa takut! Kalau kau punya sepuluh ilmu seperti itu keluarkan saja sekaligus!”<br />Pangeran Matahari merutuk dalam hati namun dia maklum kesaktian yang dimiliki<br />lawan membuat dia sanggup menghadapi pukulan maut yang sangat ditakuti di rimba<br />persilatan itu. Bagi Pangeran Matahari sendiri sebenarnya tak perlu gusar mendengar<br />ejekan lawan karena pukulan sakti yang dilepaskannya itu sengaja untuk membagi<br />perhatian Tiga Bayangan Setan. Ketika lawan berkelit sambil berteriak “Bunuh!” Pangeran<br />Matahari cepat jatuhkan diri, berguling di tanah. Ketika berdiri lagi tahu-tahu dia sudah<br />berada di belakang sosok Tiga Bayangan Setan. Dua jari telunjuknya bekerja!<br />Tiga Bayangan Setan meraung keras.<br />“Bangsat licik! Curang pengecut! Lepaskan diriku!” Tiga Bayangan Setan hanya<br />mampu berteriak, menggerakkan kaki tapi sama sekali tak dapat menggerakkan tangan<br />ataupun kepalanya. Pangeran Matahari telah menotok urat besarnya di dua tempat yakni<br />pangkal leher punggung. Walaupun tiga raksasa jejadian masih kelihatan bergerak-gerak<br />ganas di atas kepalanya namun mereka sama sekali tidak melakukan serangan karena otak<br />pengendalinya yaitu Tiga Bayangan Setan kini tidak beda seperti mayat hidup! Masih<br />bernafas tapi tak bisa berfikir. Mampu menggerakkan kaki tapi tidak bisa menyerang. Dua<br />tangannya terkulai seperti lumpuh ke sisi.<br />Pangeran Matahari tertawa mengekeh. Dari dalam saku pakaiannya dikeluarkannya<br />sebuah benda kecil berwarna merah. Benda ini dengan paksa dimasukkannya ke dalam<br />mulut Tiga Bayangan Setan.<br />“Telan!” hardik Pangeran Matahari memerintah. Ketika Tiga Bayangan Setan tak<br />mau melakukan malah hendak memuntahkan benda dalam mulutnya itu, Pangeran<br />Matahari pukul tengkuknya hingga Tiga Bayangan Setan tercekik dan terpaksa telan benda<br />yang ada dalam mulutnya.<br />“Umurmu hanya bersisa seratus hari!” kata Pangeran Matahari pula lalu tertawa<br />panjang. “Kau telah menelan racun kematian! Jika kau berani macam-macam jangan harap<br />aku akan memberikan obat penawar!”<br />“Pangeran keparat! Iblis jahanam! Apa yang kau lakukan pada saudaraku?!” teriak<br />Elang Setan. Tanpa tunggu lebih lama dia langsung menyerang. Kedua tangannya<br />dikembangkan ke samping. Tubuhnya berputar, dua lengan ikut berputar laksana balingbaling.<br />Cakar setan membabat ke arah leher Pangeran Matahari! Sinar hitam merah<br />menghntam lebih dulu!<br />Pangeran Matahari bertindak cepat. Dia tahu walau tingkat kepandaian lawan<br />masih dibawah Tiga Bayangan Setan namun nama Elang Setan bukan nama kosong.<br />Banyak tokoh silat telah menemui ajal di tangan pembunuh haus darah ini. Sambil<br />dorongkan dua tangannya ke depan Pangeran Matahari menyusup ke bawah putaran dua<br />lengan. Begitu pinggang Elang Setan berhasil dicekalnya orang ini dibantingkannya ke atas<br />sumur batu.<br />“Trakkk! Traakkk!”<br />Lengan setan menghantam bibir sumur hingga hancur di dua tempat. Pangeran<br />Matahari pegang dua kaki Elang Setan lalu mendorong tubuh orang ini hingga kepala<br />Elang Setan tergantung-gantung di dalam sumur.<br />“Kalau kau memang ingin cepat mati katakan saja! Kakimu akan kulepas!” kata<br />Pangeran Matahari.<br />“Keparat jahanam! Jangan cemplungkan aku ke dalam sumur ini! Demi setan aku<br />masih mau hidup!” teriak Elang Setan.<br />Pangeran Matahari tertawa. Dia tarik kaki Elang Setan hingga pinggang orang ini<br />membelintang di bibir sumur. Tiba-tiba dari dalam sumur terdengar suara menderu.<br />“Angin iblis! Awas! Cepat tarik tubuhku!” teriak Elang Setan ketakutan.<br />Pangeran Matahari kernyitkan kening. Dia tidak tahu apa yang dimaksudkan Elang<br />Setan namun dia maklum kalau ada satu kekuatan aneh dan dahsyat dalam sumur batu itu.<br />Pangeran Matahari cepat tarik tubuh Elang Setan hingga orang ini jatuh terbanting di tanah<br />di kaki luar sumur batu. Ketika Elang Setan hendak mencoba bangkit Pangeran Matahari<br />cepat tekankan lututnya ke dada orang. “Seperti temanmu aku juga tidak percaya padamu!<br />Lekas telan obat ini!”<br />“Keparat! Kau boleh bunuh aku! Aku tak akan menelan racun jahanam itu!” teriak<br />Elang Setan.<br />“Kalau begitu kau memilih mati lebih cepat!” Pangeran Matahari kepalkan tinju<br />kanannya lalu dijotoskan ke muka Elang Setan.<br />“Kau boleh membunuhku! Tapi serahkan dulu jantungmu padaku!” teriak Elang<br />Setan. Dua tangannya melesat ke dada kiri Pangeran Matahari. Sang Pangeran cepat<br />berkelit.<br />“Breettt!”<br />Mantel Pangeran Matahari robek. Dengan kedua tangannya ditangkapnya lengan<br />Elang Setan lalu dibantingkannya ke dinding sumur batu berulang kali.<br />“Lakukan sepuasmu! Aku tidak merasa apa-apa…!” kata Elang Setan ganda<br />tertawa.<br />“Jahanam!” maki Pangeran Matahari. Dia lepaskan pegangan pada tangan kiri lalu<br />pergunakan tangan kanannya untuk menotok dada Elang Setan. Totokan sampai bersamaan<br />dengan melesatnya tangan kiri Elang Setan ke leher Pangeran Matahari. Walau kini<br />sekujur tubuhnya kaku dan gerakannya tertahan namun Elang Setan masih sempat<br />menggurat pangkal leher Pangeran Matahari!<br />“Kau tak bakal lolos dari racun cakaranku!” kata Elang Setan.<br />“Baik, kita lihat siapa yang bakal mati duluan!” kata Pangeran Matahari. Lalu racun<br />yang dipegangnya di masukkannya ke dalam mulut Elang Setan.<br />“Kau memberiku racun seratus hari! Racun cakarku hanya memberimu hidup tujuh<br />hari! Ha… ha… ha…!” Elang Setan tertawa keras dan panjang.<br />“Keparat!” Pangeran Matahari hantamkan tinju kanannya berulang kali ke muka<br />Elang Setan hingga muka yang seperti dicacah ini kini bergelimang darah yang keluar dari<br />hidung dan bibirnya yang pecah!<br />“Aku tahu kau punya obat penawar. Lekas beritahu di mana kau menyimpannya.<br />Kalau tidak kupatahkan batang lehermu saat ini juga!”<br />“Ha… ha! Ternyata kau juga takut mati! Pergilah ke neraka!”<br />“Setan alas! Apa katamu?!”<br />“Aku bilang pergi ke neraka!” teriak Elang Setan keras-keras.<br />Pangeran Matahari menyeringai. “Kau akan menyesali kebodohanmu sampai di<br />liang kubur!” ujar sang Pangeran. Tangan kanannya bergerak mencengkeram kelingking<br />tangan kiri Elang Setan.<br />“Kraaakkk!”<br />Elang Setan meraung keras ketika kelingking kirinya yang berbentuk cakar dan tak<br />mampu digerakkannya itu dipatahkan oleh Pangeran Matahari.<br />Sang Pangeran pindahkan tangannya ke jari telunjuk tangan kiri. Daya tahan Elang<br />Setan jebol.<br />“Jangan…! Aku akan katakan di mana obat penawar racun itu!” Elang Setan bicara<br />dengan nafas mengengah-engah karena marah dan juga menahan sakit.<br />“Katakan di mana…?!”<br />“Kantong kiri bagian dalam bajuku!” menerangkan Elang Setan.<br />Pangeran Matahari membetot lepas baju tebal yang dikenakan Elang Setan. Di<br />sebelah kiri dalam memang ada sebuah kantong kecil. Di situ ditemuinya tabung kecil<br />terbuat dari batang padi yang telah dikeringkan. Di dalam tabung ini ada beberapa butir<br />obat berwarna hitam.<br />“Jangan kau ambil semua! Cukup satu saja…. Sisanya masukkan lagi dalam saku<br />bajuku!” kata Elang Setan.<br />Pangeran Matahari menyeringai. Dia keluarkan dua butir obat berwarna hitam itu.<br />Tabung batang padi diselipkan kembali ke dalam saku pakaian Elang Setan. Tiba-tiba<br />salah satu dari dua butir obat itu dimasukkannya ke dalam mulut Elang Setan, membuat<br />orang ini berteriak dan mendelik besar.<br />“Siapa percaya padamu! Kau harus meyakinkan bahwa kau tidak berdusta! Telan<br />obat itu!”<br />Muka Elang Setan menjadi pucat.<br />“Ampun…! Aku ketakutan setengah mati hingga salah memberikan keterangan!”<br />teriaknya seraya meludahkan butiran obat hitam keluar dari mulutnya.<br />“Salah bagaimana maksudmu?!” tanya Pangeran Matahari sambil sunggingkan<br />senyum dingin.<br />“Obat penawar racun yang betul ada di saku sebelah kanan dalam….”<br />Pangeran Matahari tertawa lebar. Dia jambak rambut Elang Setan lalu<br />membenturkan kepala orang ini ke dinding sumur. “Otakmu perlu diberi penyegaran agar<br />jangan mudah lupa!” Sekali lagi kepala orang itu dibenturkannya ke dinding sumur baru<br />dia mencari obat yang dikatakan ada di dalam kantong sebelah kanan baju tebal. Disitu<br />ditemukannya satu tabung padi yang sama berisi butiran obat berwarna putih. Pangeran<br />Matahari mengambil sebutir dan tanpa ragu menelannya.<br />“Kau sudah selamat sekarang! Kenapa tidak segera membebaskan diriku dan Tiga<br />Bayangan Setan?” tanya Elang Setan.<br />Pangeran Matahari mendengus. “Turut mauku aku ingin membunuh kalian berdua<br />saat ini juga! Tapi kupikir-pikir mungkin kalian ada gunanya!”<br />“Apa maksudmu?” tanya Elang Setan sedikit ada harapan.<br />“Kalau kalian bisa menjadi anjing-anjing penjaga sumur batu ini, pasti juga bisa<br />menjadi anjing-anjing pengawal ke mana aku pergi…”<br />“Jahanam!” teriak Elang Setan.<br />Pangeran Matahari tertawa gelak-gelak lalu dia berdiri dan melangkah mendekati<br />sumur batu.<br />SEMBILAN<br />SATU pemandangan aneh tapi lucu terlihat di puncak Gunung Merbabu siang hari itu.<br />Seekor keledai melangkah terseok-seok. Sebentar-sebentar binatang ini seperti mau<br />tersungkur. Di atas punggungnya yang mandi keringat duduk seorang perempun<br />berpakaian gombrong berlengan panjang dan sangat dalam hingga baik tangan maupun<br />kakinya tidak kelihatan. Sambil menunggang keledai sebentar-sebentar dia berseru: “Duh<br />biung doakan aku sampai di tujuan dengan selamat. Doakan aku agar bertemu lelaki bapak<br />jabang bayi ini.” Sambil berkata begitu dia mengusap-usap perutnya yang buncit besar.<br />Nyatalah bahwa perempuan penunggang keledai ini sedang hamil tua. Sesekali di antara<br />ucapannya itu dia tertawa cekikikan lalu diseling suara sesenggukan seperti orang mau<br />menangis.<br />Perempuan yang hamil besar ini jauh dari cantik. Pupur tebal berwarna putih dan<br />merah menutui wajahnya. Alisnya dipertebal dengan sejenis bubuk hitam. Bibirnya merah<br />celemongan entah dipoles dengan apa. Rambutnya dikuncir sampai lima buah. Setiap<br />kuncir diberi berpita warna-warni. Dari gerak gerik, pakaian dan dandanan serta ucapanucapan<br />yang keluar dari mulutnya sudah dapat diterka bahwa perempuan ini kurang waras<br />otaknya.<br />Di satu pedataran kecil di puncak Gunung Merbabu dia angkat tangan kiri lalu<br />berseru. “Hooooooo… hup! Keledaiku kita berhenti di sini! Ibundaku rupanya mendengar<br />doaku. Kita bisa selamat sampai di puncak ini! Aku akan turun punggungmu. Awas,<br />jangan bergerak dulu. Kalau aku sampai jatuh kupecahkan kepalamu! Kau tentu letih. Kau<br />boleh pergi istirahat. Cari makan cari minum sendiri. Aku mau mencari bapak jabang<br />bayiku! Aku yakin dia ada di sini. Kalau belum ada aku tunggu sampai dia datang. Hik…<br />hik… hik! Aduh biung… aku tak mau anakku lahir tanpa bapak! Uuhhhh… uhhhh!<br />Huek… huek…! Aduh biung aku mau muntah! Hamilnya sudah besar kok muntahnya baru<br />sekarang…!”<br />Turun dari atas keledai perempuan hamil itu kembali usap-usap perutnya yang<br />gendut sambil memandang berkeliling.<br />“Sepi… sunyi. Suara anginpun tidak kedengaran. Jangankan manusia, lalat atau<br />kecoak juga tidak kelihatan! Hik… hik… hik… di mana bapak jabang bayiku! Uhhh…<br />uhhhhk!” perempuan hamil itu kembali memperhatikan keadaan sekelilingnya. “Tidak<br />percaya biung! Aku tidak percaya kalau di tempat ini tak ada penghuninya. Pasti ada…<br />Sana… di sana aku lihat ada bangunan… Mungkin bapak anakku ada disitu. Kalau<br />bertemu awas dia… Enak saja membuatku hamil lalu kabur! Akan kupuntir kepalanya atas<br />bawah… Eh…! Maksudku kepalanya… kepalanya yang mana ya? Hik… hik… hik…!”<br />Sambil pegangi perutnya perempuan hamil itu melangkah tertatih-tatih menuju<br />sebuah bangunan kayu terletak di ujung pedataran kecil itu. Belum sempat dia mendekati<br />bangunan tiba-tiba dari atas atap bangunan melayang turun satu bayangan hitam.<br />Perempuan hamil ini kaget bukan main. Dia berteriak. “Aduh biung! Setan atau apa<br />yang bisa melompat dari atap rumah! Rasanya copot jantungku saking kaget! Bisa-bisa<br />bayiku brojol sebelum saatnya! Makhluk yang bikin kaget, siapa kau?!”<br />Saat itu di hadapan perempuan hamil berdiri seorang tua berjubah hitam.<br />Rambutnya panjang awut-awutan. Sepasang matanya memandang liar memperhatikan<br />perempuan hamil mulai dari ujung rambut sampai ujung jubahnya yang menjela di tanah.<br />“Aduh biung! Orang atau apa? Kalau orang kenapa jelek amat! Hik… hik… hik?<br />Kalau setan atau makhluk jejadian kenapa bau pesing?! Hik… hik… hik!<br />“Perempuan bunting gila!” teriak orang tua berjubah hitam penuh marah hingga<br />kedua matanya tampak berkilat-kilat. Membuat perempuan hamil itu tergagau kaget dan<br />tersurut beberapa langkah. “Kalau mulutmu tidak berhenti bicara akan kubetot copot<br />lidahmu!”<br />“Lidahku mau dicopot…? Aduh biung! Jangan…. Ampun! Ba… baik… Aku akan<br />berhenti bicara. Aku tak mau bicara!”<br />Orang tua berjubah hitam menggerendeng panjang lalu membentak. “Perempuan<br />bunting? Siapa kau?! Datang dari mana?! Katakan apa keperluanmu! Jawab cepat sudah itu<br />lekas tinggalkan tempat ini! Aku tak mau anakmu brojol di sini!”<br />Yang ditanya diam saja.<br />“Kadal bunting! Apa kau tuli atau bisu aku bertanya tidak menjawab?!” Si orang<br />tua menghardik sambil pelototkan mata.<br />Perempuan hamil dongakkan kepala memandang ke atas lalu usap-usap perut<br />gendutnya.<br />“Sialan betul! Kau anggap apa aku ini! Kutendang perutmu baru kau mau bicara<br />nanti!” Orang berjubah itu melangkah mendekati perempuan hamil.<br />Yang didatangi jadi ketakutan dan cepat mundur. “Pecah perutku! Mati bayiku!<br />Jangan! Jangan tendang!”<br />“Kenapa aku bertanya kau tidak menjawab?!”<br />“Ha… habis…. Tadi kau bilang kalau… kalau aku tidak berhenti bicara kau mau…<br />mau membelot copot lidahku! Ja… jadi aku tidak mau bicara!”<br />“Kadal tolol! Benar-benar geblek!” si orang tua jengkel setengah mati sampaisampai<br />dia hentakkan kaki kanannya. Waktu kaki ini menghantam tanah, tanah tempat itu<br />bergetas keras.<br />“Eh… eh… Tanah bergerak… Biung! Tolong biung! Mati bayiku ditubruk<br />gempa!” Perempuan hamil berteriak ketakutan, pegangi perutnya sementara tubuhnya<br />tampak terhuyung-huyung.<br />Kesal orang berjubah tidak tertahankan lagi. Dia melompat lalu jambak rambut<br />berkuncir lima perempuan hamil itu.<br />“Ampun biung! Sakit rambutku dijambak! Lepaskan…lepaskan! Nanti rusak<br />pitaku!”<br />“Perduli setan pita-pita sialan ini! Kalau perlu kutanggalkan rambutmu, kucopot<br />kepalamu!”<br />“Jangan… Ampun! Aduh biung tolong! Apa salahku sampai ada orang mau<br />mencopot kepalaku! Tadi mau mencopot lidahku! Apaku lagi yang mau dicopot…!”<br />“Plaaakkkk!”<br />Orang tua yang menjambak pergunakan tangan kirinya menampar perempuan<br />hamil itu.<br />“Orang tua tak punya welas asih! Tega-teganya kau menampar aku… Hik… hik…<br />hik…” Perempuan hamil menangis sambil usap darah yang mengucur dari sudut bibirnya<br />yang pecah akibat tamparan keras tadi.<br />“Aneh…” membatin si orang tua. “Dia menangis tapi bukan menangis kesakitan<br />karena kutampar. Padahal bibirnya sampai luka…”<br />“Lepaskan jambakanmu. Aku mau pergi saja dari sini! Lepaskan…!”<br />“Aku tidak akan melepaskan kalau kau tidak memberitahu siapa dirimu, apa<br />keperluanmu datang kemari…!<br />Dari dalam rumah kayu tiba-tiba keluar seorang lelaki tu bersorban dan berjubah<br />putih. Dia melangkah terbungkuk-bungkuk. Di punggungnya ada punuk besar. Sepasang<br />matanya jelalatan. Perempuan hamil tadi jadi tercekat ketika melihat sepasang mata orang<br />ini. Ternyata merah polos! Buta dan mengerikan! Sesaat sepasang mata buta itu pandangi<br />perempuan hamil di depannya seolah-olah dia bisa melihat. Lalu mulut orang bersorban<br />dan berjubah putih serta ada punuk di punggungnya ini terbuka.<br />“Orang merasa curiga melihat tindak tandukmu! Sebaiknya kau lekas bicara<br />terangkan diri serta maksudmu datang kemari! Kalau tidak aku akan bantu kawanku ini<br />menjambak rambutmu yang lain!”<br />“Hik… hik…. Orang tua bersorban seharusnya bicara sopan! Tapi yang satu ini<br />mulutnya usil dan kotor! Untung matamu buta! Kalau melek pasti kelakuan dan mulutmu<br />lebih kurang ajar lagi!”<br />Orang bersorban mendelik. Sesaat dia tertawa gelak-gelak. Dilain ketika tiba-tiba<br />dia membentak mengancam. “Mau kupencet perutmu sampai anakmu keluar?!”<br />Mendengar ancaman ini perempuan hamil itu ketakutan setengah mati. Cepat-cepat<br />dia berkata. “Jangan… jangan dipencet! Ba… baik… aku bicara. Namaku Emut-Emut…”<br />“Apa?! Siapa namamu? Coba kau ulangi!” kata lelaki tua berjubah hitam.<br />“Namaku Emut-Emut…! Aku sudah berteriak, masakan kau tidak mendengar. Kau<br />rada-rada tuli ya…?!”<br />“Eh! Kurang ajar sekali mulut kadal bunting ini!” kata orang tua berjubah putih<br />yang punggungnya berpunuk.<br />“Nama jelek! Belum pernah aku mendengar nama seperti itu! Jangan-jangan kau<br />mengejek aku hah?!” Orang tua berjubah hitam dan berambut awut-awutan membentak.<br />“Namaku memang itu. Aku tidak dusta! Soal jelek atau bagus kenapa kau<br />mengurusi?! Namamu sendiri siapa? Mungkin lebih jelek dari aku! Hik… hik… hik!”<br />“Ooooo! Memang perempuan sialan!” Orang tua yang menjambak kembali hendak<br />menampar. Kali ini perempuan hamil itu pergunakan kedua tangannya untuk melindungi<br />muka dan kepalanya, membuat si orang tua batalkan niatnya menampar.<br />“Kau tak mau bilang namamu, pasti memang namamu lebih jelek dariku! Hik…<br />hik… hik! Betul ‘kan?!”<br />Si jubah hitam keluarkan suara menggereng saking marahnya. “Bilang cepat apa<br />keperluanmu datang ke puncak Gunung Merbabu ini?! Atau kupuntir kepalamu saat ini<br />juga!”<br />“A… aduh biung! Bagaimana ini?! Tadi kau mau copot lidahku, mau copot<br />kepalaku, sekarang mau memuntir! Apa kau kira kepalaku buah kelapa? Hik… hik… hik!”<br />Orang yang menjambak kepalkan tinjunya, pukulannya di arahkan pada perut.<br />“Tobat biung! Jangan pukul! Aku akan bilang! Aku kemari mencari bapak bayiku!”<br />kata perempuan hamil mengaku bernama Emut-Emut.<br />“Mencari bapak bayimu…?! Orang berjubah hitam tampak heran besar, begitu juga<br />kawannya si mata buta merah yang bersorban dan berpunuk.<br />“Perempuan geblek! Kalau mau bicara dan berbuat gila jangan di tempat ini!”<br />bentak orang tua bersorban.<br />“Eh, bagaimana kalian ini! Kalian bertanya memaksa! Aku sudah katakan<br />maksudku datang kemari. Sekarang kalian bilang aku perempuan geblek, bicara dan<br />berbuat gila! Siapa yang geblek! Siapa yang gila?! Hayooo!” Emut-Emut tampaknya<br />marah sekali. Dia menyentakkan kepalanya hingga cekalan orang tua berjubah hitam<br />terlepas. Ini membuat orang tua itu terkejut dan berbisik pada temannya. “Tadi sikapnya<br />bodoh-bodoh ketakutan. Tapi sekarang dia mampu melepaskan jambakan. Agaknya<br />perempuan bunting ini punya sesuatu tersembunyi!”<br />Mendengar bisikan temannya si buta mata merah yang diam-diam juga meyakini<br />kalau Emut-Emut memiliki kepandaian berusaha membujuk dengan berkata: “Emut-Emut,<br />harap maafkan temanku. Dia tidak bermaksud menghinamu…”<br />“Sudah! Aku tidak mau bicara lagi pada kalian. Aku mau duduk di atas batu sana.<br />Aku letih…”<br />“Tunggu dulu Emut-Emut…”<br />“Aku bilang tidak mau bicara lagi pada kalian. Kecuali kalau kalian mau<br />memberitahu nama kalian masing-masing!”<br />“Hemm…” gumam si jubah hitam. “Kami tak bisa memberitahu!”<br />“Kalian tidak jujur. Pasti ada urusan tidak baik di tempat ini. Coba beritahu siapa<br />kalian berdua adanya!”<br />“Siapa kami berdua tidak perlu kau pertanyakan…!” kata lelaki bermata merah dan<br />berpunuk.<br />“Hemmm…begitu? Baik! Kalau kalian tidak mau memberi nama biar aku yang<br />memberikan!” kata Emut-Emut pula sambil senyum-senyum. Dia menuding dengan ibu<br />jarinya pada lelaki buta mata merah dan bersorban. “Kau duluan. Aku beri nama Si Buta<br />Konyol…hemmm kurang tepat. Sudah kau kunamakan saja Si Onta Putih. Kau suka?<br />Hik… hik… hik!”<br />“Kurang ajar!” orang berpunuk kelihatan merah padam wajahnya.<br />“Kenapa marah? Setahuku hanya onta yang punya punuk. Kau mengenakan jubah<br />putih dan punya punuk. Jadi Onta Putih nama yang betul-betul cocok buatmu! Kecuali<br />kalau kau suka nama Si Buta Konyol! Hik… hik… hik!” Habis tertawa panjang Emut-<br />Emut berpaling dan tudingkan ibu jarinya pada di jubah hitam berambut awut-awutan.<br />“Ada nama bagus untukmu. Kau mau tahu? Kau kuberi nama hemm… Si Rambut… Ah,<br />itu nama jelek. Kurang pantas. Sudah, kuberi saja kau nama Si Bau Pesing! Hik… hik…<br />hik…!”<br />“Setan alas!” teriak si jubah hitam marah sekali.<br />“Eh, jangan marah dulu! Itu nama yang sangat cocok buatmu! Kusebut kau begitu<br />karena jubahmu sebelah bawah memang bau pesing! Kalau tidak percaya silahkan cium<br />sendiri!” Emut-Emut membungkuk hendak memegang bagian jubah sebelah bawah tapi<br />dia berseru keras ketika orang tua itu tiba-tiba tendangkan kaki ke arah perutnya.<br />“Kejam sekali! Kau hendak membunuh bayi dalam kandunganku!” Meski<br />terhuyung-huyung namun Emut-Emut masih bisa mengelakkan tendangan tadi.<br />Ketika Si Bau Pesing hendak menyerang lagi kawannya Si Onta Putih memegang<br />lengannya dan berbisik. “Orang ini aneh. Dia mampu mengelakkan seranganmu. Baiknya<br />biar kita korek dulu keterangan dari dia…”<br />“Kurasa lebih baik menghajarnya lebih dulu, nanti mulutnya nyerocos sendiri!”<br />jawab Si Bau Pesing.<br />“Sudah…! Biar aku yang bicara!” tukas Onta Putih. Sambil mengangkat tangan<br />kirinya dia berkata. “Emut-Emut, kau bilang datang kemari mencari suamimu…”<br />“Siapa bilang mencari suami?!” Emut-Emut cemberut.<br />“Bagaimana kau ini! Tadi kau sendiri bilang…” suara Onta Putih menunjukkan<br />rasa jengkel.<br />Emut-Emut gelengkan kepalanya keras-keras sambil tangan kanannya digoyanggoyang.<br />“Aku kemari mencari bapak jabang bayi yang ada dalam perutku. Bukan suami!<br />Kalau suami berarti aku pernah dinikah baru dibikin hamil! Tapi yang terjadi aku dibuat<br />gendut duluan tanpa dinikah!”<br />Si buta Onta Putih dan Si Bau Pesing saling pandang lalu kedua orang tua ini sama<br />tertawa gelak-gelak. Sambil mengusap matanya yang basah akibat tertawa Onta Putih<br />berkata. “Baiklah, kau bilang datang kemari mencari bapak bayi dalam perutmu itu.<br />Mengapa mencari ke sini? Apa kau yakin dia tinggal di sini?”<br />“Dia memang tidak tinggal di sini. Tapi aku tahu dia bakal berada disini. Kalaupun<br />belum datang aku akan menunggu sampai dia muncul. Atau sebaiknya aku menggeledah<br />rumah itu!” Emut-Emut hendak melangkah ke arah rumah kayu tapi orang tua berjubah<br />hitam yang diberi nama Si Bau Pesing cepat menghalangi seraya berkata. “Kami tidak<br />mengizinkan kau masuk ke dalam rumah itu!”<br />“Betul!” menimpali Onta Putih. “Kau tahu siapa bapak jabang bayimu itu?<br />Maksudku kau tahu namanya?<br />“Tentu saja aku tahu! Memangnya kau kira aku mau-mauan bikin anak sama setan<br />yang tidak punya nama?! Ceplos Emut-Emut seenaknya.<br />“Siapa? Siapa nama bapak bayimu?” tanya Onta Putih pula.<br />“Orangnya masih muda. Rambutnya gondrong segini…” Emut-Emut melintangkan<br />tangan kirinya di pangkal leher. “Tampangnya lumayan, tidak jeleklah…. Tubuhnya tegap.<br />Dia suka cengengesan….”<br />“Sudah! Aku tidak mau dengar, tidak mau tahu semua itu! Katakan saja siapa<br />namanya!” bentak orang tua berjubah hitam kesal sekali.<br />“Namanya… Hemmm… Namanya Wiro Sableng. Tapi dia tidak sableng<br />sungguhan. Hik… hik… hik! Katanya dia menyandang gelar Pendekar Kapak Maut Naga<br />Geni 212…”<br />Baik Si Bau Pesing maupun Si Onta Putih sama-sama mundur satu langkan saking<br />kagetnya mendengar nama dan gelar yang disebutkan Emut-Emut itu.<br />“Eh, paras kalian berubah! Nah… nah! Jangan-jangan kalian kenal pemuda itu….<br />Jangan-jangan dia memang sembunyi dalam rumah sana…”<br />SEPULUH<br />EMUT-Emut bergegas melangkah menuju bangunan kayu tapi orang tua berjubah hitam<br />cepat menahan dadanya dengan telapak tangan kiri. Ketika perempuan hamil itu memaksa<br />maju, si orang tua mendorongnya dengan keras hingga di hampir terjengkang jatuh<br />terduduk di tanah.<br />“Bau pesing! Kenapa kau mencegahku masuk ke dalam rumah! Pasti pemuda<br />bapak anak ini ada di situ! Kau berusaha melindunginya! Kau barusan malah mau<br />mendorongku! Kalau aku jatuh dan anakku brojol di sini apa kau mau tanggung jawab?!”<br />“Jangan nyerocos dan bicara ngaco terus! Katakan lagi siapa nama pemuda yang<br />katamu menghamili dirimu itu?!”<br />“Aku sudah menyebutnya tadi. Cukup keras. Apa kau tuli atau budek?!” ujar Emut-<br />Emut.<br />“Jangan sampai kutampar kau sekali lagi! Aku tidak main-main! Kau tadi<br />menyebut Wiro Sableng…”<br />“Nah kau tahu, berarti kau sudah dengan! Mengapa bertanya lagi ?!”<br />“Orang yang kau cari tidak ada disini!” kata Si Onta Putih.<br />“Matamu buta, bagaimana kau bisa melihat!” sentak Emut-Emut. “Melihat dirimu<br />sendiri kau tak mampu, mana mungkin melihat orang lain!”<br />Kakek buta bermata merah cuma ganda tertawa lalu menjawab. “Mata lahirku<br />memang buta. Tapi mata batinku lebih tajam dari matamu!”<br />Ucapan ini membuat Emut-Emut jadi melengak. “Ucapannya itu mengingatkanku<br />pada orang itu. Tapi ah… Keadaannya jauh berbeda. Atau mungkin…?”<br />Di hadapannya tiba-tiba orang tua berjubah berteriak.<br />“Dia datang membawa fitnah! Fitnah besar dan keji!”<br />“Mulutmu yang keji!” tukas Emut-Emut. “Aku tetap akan menyelidik ke dalam<br />rumah!” perempuan hamil ini kembali memaksa maju. Tapi lagi-lagi si orang tua<br />menahannya dengan mendorongkan telapak tangan ke dada. Sekali ini Emut-Emut habis<br />sabarnya. “Orang tua, aku tidak tahu apa kau laki-laki atau perempuan. Tapi memegang<br />dada orang adalah perbutan kurang ajar! Kalau kau lelaki berarti kau tua bangka cabul!<br />Kalau kau perempuan sama denganku berarti kau doyan manusia satu jenis! Ih…. Jijik aku<br />jadinya!”<br />Mata Si Bau Pesing seperti menyala. Tangan kanannya diangkat. Tinjunya dikepal.<br />“Lekas angkat kaki dari sini kalau tidak mau kupecahkan kepalamu!”<br />“Dasar manusia bau pesing! Kau saja yang pergi duluan!”<br />Emut-Emut tarik tangan kiri si orang tua kuat-kuat. Sambil jatuhkan diri ke<br />belakang dia hunjamkan kaki kanan ke perut Si Bau Pesing itu lalu menendang!<br />Orang tua berjubah hitam berteriak keras. Kawannya Si Onta Putih keluarkan<br />seruan tertahan. Orang yang diberi nama Si Bau Pesing itu bukan orang sembarangan.<br />Namun dia sama sekali tidak menyangka kalau orang hamil besar seperti Emut-Emut bisa<br />menarik dan menendang tubuhnya demikian rupa hingga membuatnya mencelat mental.<br />Sambil menahan sakit si jubah hitam melayang turun dan berteriak. “Tendangan dibalas<br />tendangan!”<br />“Wuttt!”<br />Kaki kanannya menderu ke arah kepala Emut-Emut. Angin deras ikut menyambar<br />dari bawah jubahnya. Emut-Emut keluarkan suara seperti mau muntah lalu berteriak.<br />“Gila! Bau pesing!” Tangan kirinya dipergunakan untuk menutup hidung. Lalu sambil<br />berguling menghindari tendangan dia lepaskan pukulan jarak jauh tangan kanan!<br />Di udara orang tua berjubah hitam kembali terkejut. “Edan! Perempuan bunting itu<br />memiliki pukulan hebat mengandung tenaga dalam tinggi! Eh, aku rasa-rasa tahu pukulan<br />apa yang dilepaskannya!” Namun Si Bau Pesing ini tidak bisa berfikir panjang karena dia<br />harus selamatkan diri dari hantaman serangan lawan. Dia cepat melesat ke kiri, jungkir<br />balik di udara lalu menghantam dengan kedua tangan sekaligus!<br />“Bummmm! Bummmm!”<br />Puncak Gunung Merbabu bergetar. Tanah, pasir dan kerikil-kerikil kecil berlesatan<br />ke atas. Di tempat itu sekarang kelihatan dua buah lobang besar, bekas dua pukulan yang<br />tadi dilepaskan si jubah hitam. Menjejakkan kaki di tanah orang tua ini memandang<br />berkeliling. “Kurang ajar! Berani dia mempermainkan aku! Mana dia?!”<br />“Bau Pesing! Aku ada di sini! Kalau kau turunan monyet dan pandai memanjat ayo<br />naik dan kejar aku ke atas!”<br />Orang tua berjubah hitam mendongak ke atas. Emut-Emut ternyata duduk berjuntai<br />di cabang sebatang pohon tak seberapa tingginya sambil uncang-uncang kaki dan tertawa<br />cengengesan.<br />“Perempuan bunting anjing kurap! Perlu apa aku capaikan diri mengejarmu ke atas<br />sana. Cukup dari sini aku bisa memanggang tubuhmu!” Orang tua berjubah hitam berteriak<br />geram lalu angkat tangan kanannya, siap lepaskan satu pukulan dahsyat. Meski pukulan<br />belum dilepaskan tapi hawa panas sudah menghampar di tempat itu. Namun kawannya Si<br />Onta Puith terbungkuk-bungkuk cepat mendatangi dan berbisik.<br />“Tahan dulu seranganmu! Ada yang aneh kurasakan dengan perempuan bunting<br />itu!”<br />“Huh apa?!”<br />“Dia pasti manusia punya kepandaian. Kau saksikan sendiri di bisa melompat<br />begitu tinggi lalu menclok di cabang pohon. Setinggi-tingginya ilmu seseorang, masakan<br />dalam keadaan hamil besar begitu rupa dia tidak takut membuat gerakan-gerakan yang<br />membahayakan kandungannya!”<br />“Kukira kau benar,” jawab si Bau Pesing. “Tadi waktu dia melancarkan tendangan,<br />bagian bawah pakaian gombrongnya merosot di bagian kaki. Betisnya tersingkap. Aku<br />lihat betisnya putih…”<br />“Ah sialnya diriku yang buta! Tidak dapat melihat betis putih itu!” kata Si Onta<br />Putih sambil mulutnya komat-kamit.<br />“Sialan! Otakmu bisa-bisanya kotor dalam keadaan seperti ini!” maki si jubah<br />hitam. “Padahal keteranganku belum selesai. Dengar, betisnya memang putih tapi ini yang<br />gila! Betis itu ditumbuhi bulu lebat!”<br />“Edan! Mana ada kaki perempuan berbulu lebat! Kurasa kita sudah tertipu!”<br />“Biar saja. Dia menipu kita! Bagaimana kalau kita berdua menelanjanginya agar<br />terbuka kedoknya?!”<br />“Aku setuju! Hik… hik… hik! Ayo kita serbu dia ke atas sana!”<br />Si Onta Putih dan Si Bau Pesing lepaskan dua pukulan ke arah cabang pohon di<br />mana Emut-Emut duduk berjuntai. Selagi perempuan hamil ini menghindar sambil balas<br />menghantam dua orang tua itu lalu melihat kehebatan Si Onta Putih. Bermata buta tapi<br />sanggup naik ke atas pohon. “Hanya ada satu manusia berkepandaian seperti dia di dunia<br />ini. Tapi mengapa tampang, pakaian dan warna matanya lain?” Emut-Emut tak bisa<br />berfikir lebih jauh karena dua orang tua itu begitu menjejakkan kaki di cabang pohon<br />langsung menyerang!<br />Seandainya ada orang lain di tempat itu tentu akan terheran-heran melihat ada<br />orang berkelahi di atas pohon. Kalau ketiga orang ini tidak memiliki ilmu meringankan<br />tubuh sangat tinggi niscaya cabang pohon itu sudah patah sejak tadi-tadi!<br />“Tua bangka pengecut! Mengeroyok perempuan hamil!”<br />“Perempuan hamil katamu hah?! Kami justru ingin tahu siapa dirimu sebenarnya!<br />Perlihatkan pada temanku perut gendutmu! Ha… ha… ha…!” Si Onta Putih tertawa<br />tergelak-gelak. Tubuhnya meliuk ke depan. Tangan kirinya kirimkan jotosan ke dada<br />Emut-Emut sedang tangan kanannya mematah ranting pohon. Hal yang sama juga<br />dilakukan oleh Si Bau Pesing. Di tangan kanannya saat itu tergenggam pula sebatang<br />ranting. Dengan benda ini dua orang tua menyerang Emut-Emut. Perempuan hamil ini<br />segera terdesak hebat. Dua orang itu ternyata lebih banyak pergunakan ranting yang<br />mereka jadikan senjata untuk berusaha merobek pakaian yang dikenakan perempuan hamil<br />itu dari pada menggebuk, memukul atau menusuk.<br />“Tak ada jalan lain, aku harus turun agar bisa bergerak lebih leluasa!” memikir<br />sampai di situ Emut-Emut berteriak keras lalu melompat dari atas cabang. Selagi tubuhnya<br />melayang di udara, dua orang tua menyusul melompat ke bawah. Sambil melayang turun<br />ke tanah dua orang tua itu kembali menggempur dengan ranting-ranting.<br />“Breett! Breett!”<br />Pakaian gombrong Emut-Emut robek di bagian pantat dan pinggang. “Kurang ajar!<br />Mereka benar-benar hendak menelanjangiku! Biar Si Onta Putih ini aku hajar duluan.<br />Kelihatan dia agak lamban dari Si Bau Pesing!”<br />Emut-Emut lalu melompat ke samping kiri, sengaja menjauhi Si Bau Pesing.<br />Ketika Si Onta Putih berada di tengah-tengah maka dia kirimkan serangan kilat. Orang tua<br />ini sempat dibuat kalang kabut tapi sampai lima jurus menggempur tidak satu<br />serangannyapun mengenai si mata buta berpunuk itu!<br />Sementara itu orang tua berjubah hitam sesaat tampak tertegun mendelik. Samarsamar<br />dia mengenali jurus-jurus yang dikeluarkan Emut-Emut waktu menyerang<br />kawannya. “Tidak mungkin… tidak mungkin dia akan sekurang ajar itu! Tapi… Hah! Dari<br />dulu dia memang sudah kurang ajar! Jurus-jurus yang dikeluarkannya, mengapa<br />sembrawutan aneh seperti itu?!”<br />Si Onta Putih menahan serangan lawan dengan kiblatkan ranting di tangan<br />kanannya bertubi-tubi. Begitu gerakan lawan tertahan dia masuk mendekat. Lengannya<br />digetarkan. Ujung ranting berubah menjadi banyak lalu terdengar suara brebetan berulang<br />kali. Dada pakaian gombrong Emut-Emut robek besar. Begitu juga bagian perutnya. Tapi<br />sambil menjerit perempuan ini masih sempat menutupi auratnya..<br />Si Onta Putih tertawa mengekeh lalu lambaikan tangannya pada Si Bau Pesing.<br />“Aku siap menelanjanginya. Kau yang tidak buta apa tidak mau ambil bagian?!”<br />Mendengar ucapan temannya itu si jubah hitam segera pula masuk ke dalam<br />kalangan. Kembali Emut-Emut yang masih mengandalkan tangan kosong itu dikeroyok<br />gencar. Sebentar saja dia sudah terdesak hebat. Lengan bajunya robek. Beberapa bagian<br />tangannya tergurat luka. Dalam bertahan mati-matian kedua matanya tidak lepas<br />memperhatikan jurus-jurus serangan yang dilancarkan orang tua berjubah hitam. “Aku<br />hampir pasti memang dia… Kalau betul matilah aku!” katanya dalam hati.<br />“Bukkk!”<br />“Breett!”<br />Emut-Emut katupkan rahang rapat-rapat agar tidak keluarkan suara mengeluh<br />kesakitan sewaktu bahu kirinya kena ditoreh ranting di tangan kanan Si Onta Putih. Lalu<br />dari sebelah kanan Si Bau Pesing berhasil merobek lagi pakaiannya di sebelah bawah<br />perut!<br />“Setan alas! Lihat serangan!” teriak Emut-Emut.<br />Tubuhnya berkelebat ke arah Si Bau Pesing. Tapi selagi lawan yang satunya<br />bertindak ayal, dia balikkan tubuh, berkelebat menggempur si buta Onta Putih. Dua<br />tangannya diangkat ke atas dan membuat gerakan aneh. Sengaja menyongsong ujung<br />ranting lawan. Sesaat kemudian terdengar suara trak… trak… trak berulang kali.<br />“Ilmu mematah tulang!” teriak Si Onta Putih. Lalu cepat-cepat campakkan ranting<br />kayunya yang tinggal pendek sebelum sepasang tangan Emut-Emut terus meluncur<br />mematahkan jari-jari tangannya bahkan kedua lengannya!<br />“Manusia buta ini sungguh luar biasa! Dia mengetahui ilmu apa yang aku<br />keluarkan!” membatin Emut-Emut.<br />Orang tua berjubah hitam mendadak hentikan serangan rantingnya. Dia bergeser<br />mendekati temannya dan berbisik. “Kau yang buta bagaimana bisa mengenali serangan<br />yang barusan dilancarkan perempuan bunting sinting itu?!”<br />Si Onta Putih mengangguk sedikit. “Aku hanya menduga. Tapi yakin dugaanku<br />tidak meleset. Setahuku ilmu itu berasal dari Negeri Matahari Terbit! Tak ada tokoh silat di<br />sini yang menguasai atau pernah mempelajarinya. Di sana disebut koppo!”<br />Sepasang bola mata si jubah hitam berkilat-kilat, berputar tiada henti. “Kurang ajar!<br />Jadi memang dia rupanya! Benar-benar kurang ajar!” Lalu pada teman di sebelahnya dia<br />berbisik lagi. “Keluarkan tongkat bututmu! Kau serang dia habis-habisan. Aku mencari<br />akal bagaimana bisa melumpuhkannya! Sebetulnya kalau kau suka aku ingin sekali<br />membuat dia sampai sekarat!”<br />Mendengar ucapan Si Bau Pesing, kakek buta keluarkan sebuah tongkat kayu butut<br />dari balik punggung jubah putihnya. Dengan senjata buruk ini dia lancarkan serangan<br />berantai, merangsak tiada henti. Tongkat di tangannya berubah menjadi begitu banyak<br />hingga sulit diduga mana yang asli mana yang bayangan. Kalau tadi tidak sulit bagi Emut-<br />Emut untuk mematahkan ranting kayu yang dipergunakan sebagai senjata oleh orang tua<br />buta itu, kini bagaimanapun dia mencoba tongkat itu tak berhasil dipatahkannya. Dia<br />sempat menangkap beberapa kali namun sebelum dipatahkan tongkat itu sudah lolos dari<br />cengkeramannya. Selagi dia berusaha membendung serangan lawan tongkat di tangan si<br />buta mata merah itu justru mengurungnya dan Emut-Emut sempat keluarkan seruan<br />tertahan. Dalam penglihatannya tongkat telah berubah menjadi batangan-batangan balok,<br />membentuk lingkaran dan mengurungnya. Bagaimanapun dia berusaha menerobos tetap<br />saja dia berada dalam kurungan itu.<br />“Celaka! Apa yang harus aku lakukan?!” keluh Emut-Emut. Dia jadi keluarkan<br />keringat dingin. Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba dari samping datang tusukan ranting Si<br />Bau Pesing menembus perutnya!<br />“Breettt!”<br />Ujung tongkat dicongkelkan ke atas. Sekali lagi terdengar suara breeet! Lalu di<br />udara tiba-tiba saja kelihatan kapuk beterbangan.<br />“Celaka!” keluh Emut-Emut sekali lagi. Dia berusaha menutupi pakaian di bagian<br />perut yang robek besar. Namun saat itu terasa ada sambaran angin di punggungnya. Emut-<br />Emut berpaling sambil hantamkan tangan kanannya namun terlambat. Satu totokan<br />mendarat telak di punggungnya, membuat dia kaku tegang tak bisa bergerak. “Aku harus<br />membebaskan diri. Kalau tidak benar-benar bisa celaka….” Emut-Emut kempeskan<br />perutnya lalu kerahkan aliran darah.<br />Orang tua berjubah melompat ke hadapan Emut-Emut. Tangan kiri diletakkan di<br />pinggang. Dari mulutnya keluar tawa panjang mengekeh. “Ilmu totokanku bukan dari jenis<br />picisan yang bisa dipunahkan begitu saja! Kau boleh kerahkan tenaga dalam sampai<br />terkentut-kentut bahkan terberak-berak! Mustahil kau bisa membebaskan diri!”<br />“Tua bangka pengecut! Tak sanggup menghadapiku waktu mengeroyok sekarang<br />kau main totok!” damprat Emut-Emut.<br />“Perempuan bunting! Sekarang kita lihat siapa kau sebenarnya!”<br />Si Bau Pesing maju dua langkah. Ranting di tangan kanannya bergerak menggeletar<br />lalu berubah jadi bayangan. Terdengar suara brett… brett… brett berulang kali. Pakaian<br />gombrong yang melekat di tubuh. Emut-Emut robek besar di mana-mana hingga akhirnya<br />pakaian itu jatuh merosot ke tanah.<br />“Sudah kau telanjangi tubuhnya!” bertanya Si Onta Putih.<br />“Belum, ternyata dia mengenakan pakaian laki-laki di balik baju gombrongnya!”<br />jawab Si Bau Pesing. “Kau tahu apa yang aku lihat sobatku! Di bagian perutnya dia<br />mengikatkan dua buah bantal besar. Kapuk beterbangan di udara! Itu rupanya jabang<br />bayinya! Ha… ha… ha…! Ada laki-laki gila yang berpura-pura bunting pakai bantal berisi<br />kapuk!”<br />“Mengaku datang ke sini mencari bapak anaknya! Ha… ha… ha! menimpali Si<br />Onta Putih. “Lekas kau telanjangi di agar ketahuan siapa monyet jantan ini sebenarnya!”<br />“Kalau kau berani menelanjangiku, aku bersumpah membunuh kalian berdua!”<br />mengancam Emut-Emut.<br />“Huh! Ancaman tengik! Umurmu tidak lebih panjang dari umur kami berdua!”<br />sahut Si Bau Pesing. Sepasang matanya memperlihatkan dengan tajam perempuan hamil<br />yang kini terlihat mengenakan pakaian ringkas. Lalu orang tua ini gerakkan tangan<br />kanannya yang memegang ranting.<br />“Brettt!”<br />Dada pakaian orang di hadapannya robek besar. Dadanya tersingkap. Pada dada itu<br />kelihatan rajah tiga buah angka 212!<br />Si Bau Pesing hampir terlonjak saking kagetnya. Sekujur tubuhnya yang bungkuk<br />bergetar.<br />“Anak setan! Kau rupanya!” katanya setengah berteriak.<br />Si Onta Putih bertanya. “Siapa? Siapa dia? Lekas katakan padaku!”<br />“Aku belum pasti, mungkin memang dia tapi mungkin juga orang lain<br />menyamar….” Si Bau Pesing melompat ke hadapan Emut-Emut yang saat itu tertegak<br />kaku tak bisa bergerak. Tangan kirinya berkelebat ke arah leher sebelah bawah Emut-<br />Emut.<br />“Sretttt!”<br />Sekali tarik saja terlepaslah selembar topeng sangat tipis yang menutupi wajahnya.<br />Si Bau Pesing menjerit keras ketika melihat tampang asli Emut-Emut.<br />SEBELAS<br />ONTA Putih mendongak lalu berkata.<br />“Hai! Kau menjerit! Tentu kau sudah mengetahui siapa dia! Lekas katakan<br />padaku!”<br />“Anak setan! Anak geblek gendeng sialan! Dia rupanya!”<br />“Hai! Kau masih belum mengatakan siapa orangnya!”<br />“Siapa lagi kalau bukan dia! Anak setan bernama Wiro Sableng itu! Sialan benar.<br />Berani dia menipuku!”<br />Emut-Emut tertawa cengengesan. Kalau saja tangannya bisa bergerak pasti saat itu<br />dia sudah menggaruk kepalanya habis-habisan!<br />Si Onta Putih begitu mendengar nama yang disebutkan Si Bau Pesing dongakkan<br />kepala lalu tertawa gelak-gelak. “Kita yang tua bangka ini memang sudah kena ditipu!”<br />“Guru, Eyang…. Aku mau berlutut di depanmu minta ampun. Tapi tidak bisa! Aku<br />minta ampun atas semua perbuatanku ini….” Emut-Emut berucap. Suaranya tiba-tiba saja<br />jadi berubah.<br />“Eh!” Orang tua berjubah hitam mundur selangkah. “Siapa yang kau panggil<br />Eyang, siapa yang kau panggil guru! Jangan bicara ngacok di hadapanku!”<br />Onta Putih tersenyum-senyum. “Aku kenali suaranya sekarang. Rupanya tadi-tadi<br />dia pergunakan ilmu kepandaian merubah suara. Benar-benar anak setan!”<br />Emut-Emut alias Pendekar 212 Wiro Sableng keluarkan suara bergumam. Lalu<br />berkata. “Guru, sebetulnya aku sudah tahu siapa kau sejak mencegat aku di gubuk reyot<br />waktu malam hujan-hujan itu….”<br />Orang tua berjubah hitam itu angkat tangannya yang memegang ranting, siap untuk<br />dipukulkan ke kepala Wiro. Saat itu Si Onta Putih tiba-tiba tertawa lalu berkata. “Sinto,<br />kalau dia sudah tahu siapa dirimu rasanya tak perlu lagi menyamar berlama-lama.<br />Bukankah kita sudah menguji tingkat kepandaiannya…?!”<br />Habis berkata begitu orang tua berpunuk ini campakkan sorban di kepalanya lalu<br />membuka jubah putihnya. Begitu jubah ditanggalkan, di punggungnya kelihatan sebuah<br />caping besar diikatkan ke tubuhnya yang mengenakan pakaian rombeng butut. Di ketiak<br />kirinya ada sebuah buntalan kain. Caping besar itulah yang tadi membentuk punuk di<br />punggungnya! Tidak sampai disitu, orang ini lalu pergunakan tangan kiri untuk menarik<br />lepas sehelai topeng yang menutupi wajahnya.<br />“Kakek Segala Tahu!” seru Wiro begitu dia mengenali siapa adanya orang tua itu.<br />Si kakek tertawa bergelak. Dia luruskan tubuhnya berulang kali. Lalu dari dalam<br />buntalannya dia kelurkan sebuah kaleng rombeng. Setelah mendongakkan kepala dia<br />goyangkan kaleng itu berulang kali hingga menggemalah suara kerontang menyakitkan<br />telinga di puncak Gunung Merbabu itu!<br />“Aneh…. Tadi waktu berkelahi kaleng itu sama sekali tidak mengeluarkan bunyi!<br />Berarti dia menahan gerakan batu-batu dalam kaleng dengan tenaga dalamnya! Luar biasa<br />tua bangka satu ini!” membatin Pendekar 212.<br />“Kek, masih ada yang ketinggalan….” Kata Wiro pada Kakek Segala tahu.<br />“Eh, apa maksudmu anak geblek?!” bertanya Kakek Segala Tahu sementara si<br />jubah hitam tegak terlongong-longong.<br />“Sepasang matamu seharusnya berwarna putih. Aku tak tahu kau memakai apa<br />hingga kulihat matamu berwarna merah semua!”<br />Kakek Segala Tahu tertawa gelak-gelak. Dia usap kedua matanya dengan tangan<br />kiri. Setelah mengusap dia perlihatkan telapak tangannya pada Wiro.<br />“Daun angsana merah!” seru Wiro. Rupanya selama ini si kakek sengaja<br />pergunakan dua lembar daun angsana merah untuk menutupi sepasang matanya yang buta<br />putih!<br />Kakek Segala Tahu kembali tertawa panjang. Dia bolang balingkan tongkat<br />bututnya lalu berpaling pada si jubah hitam di sebelahnya. “Sinto, kau tunggu apa lagi?!”<br />Yang ditegur diam saja. Ragu dia rupanya.<br />“Orang sudah tahu siapa dirimu, perlu apa menyamar terus?!”<br />Mulut si jubah hitam tampak komat-kamit. Terdengar dia menggerendeng panjang<br />pendek. “Anak setan sialan. Kau bakal menerima hukuman berat dariku…. Hik…<br />hik…hik!”<br />Mula-mula orang ini buka jubah hitamnya. Kini kelihatan pakaian aslinya, sebuah<br />kebaya panjang dalam yang sudah rombeng dan kotor serta bau apak. Dia mengenkan kain<br />panjang sebatas betis hingga terlihat sepasang kakinya yang kurus. Perlahan-lahan dia<br />tanggalkan topeng dan rambut palsu yang menutupi wajah serta kepalanya. Terlihat<br />wajahnya yang sebenarnya, cekung menyeramkan tinggal kulit pembungkus tengkorak. Di<br />atas kepalanya yang berambut sangat jarang menancap lima buah tusuk konde terbuat dari<br />perak. Dia berusaha meluruskan tubuhnya yang bungkuk tapi tidak bisa karena nenek ini<br />memang sudah bungkuk dimakan usia. Inilah dia si nenek sakti dari puncak Gunung Gede,<br />salah seorang dedengkot dunia persilatan dikenal dengan nama Sinto Gendeng terlahir<br />bernama Sinto Weni.<br />Kakek Segala Tahu tusukkan tongkat bututnya di punggung Wiro. Serta merta<br />totokan yang menguasai tubuh sang pendekar punah.<br />“Lekas berlutut minta ampun pada gurumu!” kata Kakek Segala Tahu lalu<br />mendorong punggung Pendekar 212.<br />Wiro cepat jatuhkan diri di hadapan Sinto Gendeng. Dia membungkuk berulang<br />kali lalu berkata. “Eyang maafkan aku. Aku telah berlaku kurang ajar padamu. Berani<br />menipu dan melawanmu!”<br />“Bagus! Aku terima maafmu! Tapi makan dulu gebukan ini!” Sinto Gendeng<br />pukulkan ranting kayu di tangan kanannya ke kepala Wiro.<br />“Traakkk!”<br />Ranting kayu di tangan Sinto Gendeng patah hancur berantakan. Tangan si nenek<br />tergetar keras. Kakek Segala Tahu telah menangkis ranting itu dengan tongkat bututnya<br />“Sinto,” si kakek lalu menegur, “Jangan perturutkan hati kesalmu. Bukankah semua<br />ini sesuai dengan yang kita rencanakan? Kalau dia bisa menipu kita bukankan itu<br />menunjukkan otaknya lebih encer dari kita?!”<br />Sinto Gendeng campakkan sisa patahan ranting yang dipegangnya. Dia memandang<br />pada di buta Kakek Segala Tahu lalu pada sang murid yang masih berlutut tundukkan<br />kepala. Sesaat kemudian nenek sakti ini tertawa terpingkal-pingkal. Begitu panjang seolah<br />tidak akan berhenti. Wiro yang berlutut tundukkan kepala tiba-tiba melihat sesuatu<br />mengalir di kedua kaki gurunya disertai bau yang menusuk. Wiro serta merta melompat<br />sebelum dia terkena percikan air itu.<br />“Ada apa?!” bertanya Kakek Segala Tahu.<br />“Dia kencing…” jawab Wiro.<br />Kakek Segala Tahu tak dapat menahan gelaknya. Dia tertawa sampai keluar air<br />mata. Wiro mula-mula hanya garuk-garuk kepala tapi kemudian ikut juga tertawa gelakgelak.<br />“Kalian berdua sudah pada gila apa?! Mengapa tertawa begini rupa?!”<br />Tentu saja sang murid tak bisa menjawab. Akhirnya si kakek hentikan tawanya dan<br />berkata. “Sinto, lain kali kalau mau buang air sebaiknya mencari tempat! Jangan kencing<br />sembarangan!”<br />Sinto Gendeng yang seolah baru menyadari apa yang terjadi banting-banting kaki.<br />Walau malu tapi justru dia tunjukkan sikap marah. Inilah sifat aneh si nenek sakti dari<br />puncak Gunung Gede itu.<br />“Kita masuk ke rumah sekarang. Kawan yang satu itu sudah lama menunggu,”<br />mengajak Kakek Segala Tahu lalu kerontangkan kaleng rombengnya.<br />“Tunggu dulu,” sahut Sinto Gendeng. “Aku mau tanya bagaimana sebelumnya kau<br />sudah merasa bahwa aku yang menyamar ini adalah gurumu?!”<br />Wiro garuk-garuk kepala. “Eyang, kalau aku katakan kau pasti marah lagi padaku!”<br />“Kali ini aku berjanji tidak marah asal kau tidak bicara ngaco!” jawab si nenek.<br />“Pertama kulihat potongan tubuhmu. Sikapmu selalu bungkuk karena memang<br />begitu keadaan tubuhmu. Kedua kalau kau tertawa suara palsumu tersamar dengan suara<br />asli yang segera kukenali. Kemudian secara tak sadar kau memaki diriku dengan sebutan<br />anak setan. Siapa yang punya kebiasaan seperti itu kalau bukan kau? Lalu ada satu hal<br />yang paling meyakinkan….”<br />Wiro diam, tak segera meneruskan ucapannya.<br />“Apa? Ayo katakan! Kenapa kau berhenti ngomong?!” tukas Sinto Gendeng.<br />“Itu…. Hemmm…. Pakaianmu sebelah bawah mengumbar bau pesing…” jawab<br />Wiro lalu tutup mulutnya dengan tangan agar tidak terdengar suara tawanya. Di<br />sampingnya Kakek Segala Tahu justru sudah meledak duluan tawanya.<br />Sinto Gendeng memaki panjang pendek tapi tidak berbuat sesuatu. “Dengar anak<br />setan, aku ada dua pertanyaan padamu. Pertama, aku tidak mengajarkan ilmu menyarukan<br />suara padamu. Membuat aku tidak mengenali suaramu. Dari mana kau belajar ilmu itu….”<br />“Dari… dari seorang pandai di Negeri Matahari Terbit…” jawab Wiro.<br />“Hemmmm….” Sinto Gendeng komat-kamit. Lalu dia bertanya lagi. “Pertanyaan<br />kedua. Dari mana kau belajar ilmu mematahkan tulang yang disebut koppo itu?!”<br />“Juga dari seseorang di Negeri Matahari Terbit itu guru…” jawab Wiro. (Mengenai<br />ilmu mematahkan tulang yang disebut koppo harap baca serial Wiro Sableng berjudul<br />“Sepasang Manusia Bonsai”)<br />“Bagus, ilmumu sudah bertambah. Tapi masih jauh dari cukup untuk menghadapi<br />tugas berat yang bakal dibebankan ke pundakmu!” Wiro terkejut dan berpaling pada Kakek<br />Segala Tahu.<br />“Kek, tugas berat katamu? Tugas berat apa?”<br />“Anak setan,” yang menjawab si nenek sakti. “Ketahuilah, aku mencegatmu di<br />gubuk itu hanya sekedar untuk menguji kepandaianmu. Juga apa yang terjadi disini semua<br />ujian untukmu. Ilmu silatmu tidak kami sangsikan. Cuma kesaktianmu masih sangat kami<br />khawatirkan….”<br />“Aku tidak mengerti…” kata Wiro sambil garuk-garuk kepalanya.<br />“Supaya kau mengerti mari ikuti aku masuk ke dalam rumah sana…” kata Sinto<br />Gendeng lalu melangkah duluan menuju rumah kayu di ujung pedataran. Wiro pegang<br />lengan Kakek Segala Tahu, sambil menuntun orang tua ini dia melangkah mengikuti si<br />nenek.<br />“Eh, walau mataku buta kau tak usah menuntunku segala. Aku bisa jalan sendiri…”<br />kata Kakek Segala Tahu.<br />“Aku tahu,” jawab Wiro setengah berbisik. “Aku cuma mau mendekat, mau tanya<br />apa sebenarnya yang ada dibalik semua urusan aneh ini?”<br />“Aku cuma bisa bilang, dunia persilatan terancam kiamat!” jawab si kakek lalu<br />lepaskan tangannya dari pegangan Wiro dan melangkah cepat menuju rumah kayu.<br />DUA BELAS<br />DARI luar rumah kayu itu kelihatan kecil saja. Tapi begitu masuk di dalam ternyata luas<br />sekali. Wiro terheran-heran melihat pemandangan dalam rumah kayu ini. Bagian dalam<br />hanya merupakan satu ruangan luas terbuka. Di atas lantai papan ada setumpukan jerami<br />kering setinggi pinggang. Sebelah atas tumpukan jerami ini ditutup dengan lembaranlembaran<br />kulit kambing kering yang disambung satu sama lain hingga merupakan<br />selembar tikar besar. Di atas tikar kulit kambing ini terbujur satu sosok tubuh gemuk besar<br />luar biasa hingga tumpukan jerami melesak ke bawah.<br />“Si Raja Penidur!” ujar Wiro sambil berpaling pada Sinto Gendeng dan Kakek<br />Segala Tahu. “Hemm…. Jika dia ada di sini berarti memang ada satu urusan besar!”<br />Seperti Kakek Segala Tahu dan Sinto Gendeng, Si Raja Penidur dikenal sebagai<br />salah satu dedengkot rimba persilatan di masa itu. Hanya saja dia jarang memunculkan diri<br />karena pekerjaannya sehari-hari bahkan sepanjang tahun cuma tidur melulu. Sekali tidur<br />jangan harap dia bisa bangun cepat. Suara dengkurnya menggetarkan bangunan kayu itu.<br />(Mengenai Si Raja Penidur harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Siluman Teluk<br />Gonggo”)<br />Kakek Segala Tahu gelengkan kepala. “Hampir tiga puluh hari kami menungguinya<br />di sini! Sontoloyo biang ngorok itu masih saja tidur. Kapan bangunnya…? Padahal urusan<br />besar sudah menunggu. Gawat kalau begini…!”<br />“Kita harus membangunkannya secara paksa!” kata Sinto Gendeng pula.<br />“Itu katamu. Apa kau tidak tahu sifat keadaannya? Sekalipun petir menyambar di<br />atas jidatnya, sekalipun geledek menggelegar di samping telinganya dia tak bakalan<br />terbangun!” ujar Kakek Segala Tahu pula.<br />“Coba kau kerontangkan kaleng rombengmu di salah satu telinganya!” kata Sinto<br />Gendeng pula.<br />“Aku sudah mencoba! Kau tahu hasilnya!”<br />“Kerahkan seluruh tenaga dalammu!”<br />“Baik… baik. Aku akan coba lagi!”<br />Kakek Segala Tahu mendekati tumpukan jerami. Dengan ujung tongkatnya dia<br />meraba-raba sampai akhirnya dia mengetahui di mana letak kepala Si Raja Penidur. Lalu<br />dia kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Tenaga dalam ini disalurkan ke tangan kiri yang<br />memegang kaleng rombeng berisi batu. Begitu kaleng digoyangkan menggelegarlah suara<br />berkerontang keras sekali. Bangunan kayu bergetar dan liang telinga seperti ditusuk besi<br />panas! Baik Wiro maupun Sinto Gendeng cepat tekap telinga masing-masing. Sampai si<br />kakek merasa pegal menggoyang tangan terus-terusan, Si Raja Penidur masih saja ngorok.<br />Akhirnya Kakek Segala Tahu capai sendiri dan berhenti menggoyang kaleng rombeng itu.<br />Dia tanggalkan caping bambunya lalu mengipas-ngipasi mukanya yang basah oleh<br />keringat.<br />“Apa lagi yang kita lakukan sekarang?!” Kakek Segala Tahu seperti putus asa.<br />“Bagaimana kalau kita pencet saja bijinya?!” berkata Sinto Gendeng.<br />Wiro tertawa geli mendengar ucapan gurunya itu sedang Kakek Segala Tahu<br />menyeringai sambil geleng-gelengkan kepala. “Kalau dia bangun, kalau dia mati<br />bagaimana?” ujarnya. Perlahan-lahan dia palingkan mukanya pada Wiro. Sinto Gendeng<br />ikut menoleh. Saat itu Wiro tegak tak bergerak. Kedua matanya dipejamkan dan tangannya<br />sibuk menggaruk-garuk kepala.<br />“Anak setan ini tengah berfikir keras,” kata Sinto Gendeng dalam hati yang tahu<br />betul apa yang tengah dilakukan muridnya. Lalu dia ajukan pertanyaan. “Anak setan, apa<br />yang ada dalam benakmu?!”<br />Perlahan-lahan Wiro buka kedua matanya. “Orang bangun dan orang tidur samasama<br />bernafas…”<br />“Orang gila juga tahu hal itu!” kata Sinto Gendeng.<br />“Kalau jalan nafasnya terganggu, orang bangun bisa pingsan, orang tidur bisa<br />melejang menggeliat lalu terbangun!”<br />“Hemmm…. Kau mau menyuruh aku memencet hidung sontoloyo itu?!” tanya<br />Kakek Segala Tahu.<br />“Bukan itu yang aku maksudkan. Mungkin itu bisa menolong tapi ada yang lebih<br />ampuh. Mengganggu jalan nafasnya bukan Cuma menutup hidung, tapi membuat begitu<br />rupa hingga gangguan itu menjalar dalam tubuhnya, masuk ke dalam otaknya!”<br />“Kau bicara seperti seorang dukun besar!” kata Sinto Gendeng ketus.<br />Wiro angkat tangannya. “Aku cuma punya satu usul. Jika diterima kurasa pasti si<br />penidur ini bisa kita bangunkan!”<br />“Sudah, katakan saja apa yang ada dalam otakmu Wiro!” kata Kakek Segala Tahu.<br />Wiro Sableng berpaling pada Sinto Gendeng. “Guru, kau naiklah ke atas kasur<br />jerami itu. Berdiri tepat di atas kepala Si Raja Penidur lalu perlahan-lahan turun dan<br />jongkok. Kukira tidak akan makan waktu lama sebelum dia bisa kita bangunkan!”<br />Sepasang mata Sinto Gendeng yang cekung seperti mau melompat keluar dari<br />sarangnya. “Anak setan kurang ajar! Kau kira apa aku ini? Menyuruh aku jongkok di atas<br />kepala si sontoloyo itu!”<br />“Tunggu… tunggu Sinto!” Kakek Segala Tahu menengahi. “Kurasa ucapan<br />muridmu benarnya. Membangunkan orang dengan mengganggu jalan pernafasannya. Bau<br />pesing tubuh dan pakaianmu akan masuk ke dalam hidungnya, larut dalam jalan<br />pernafasan lalu mengalir dalam darah. Sampai ke jantung terus ke otak! Dia benar! Si Raja<br />Penidur pasti akan terbangun!”<br />“Kau juga setan! Aku tidak mau melakukan!” kata Sinto Gendeng sambil banting<br />kaki.<br />“Terserah padamu! Jika kau suka kita menunggu berlama-lama di tempat ini. Satu<br />bulan, mungkin satu tahun lagi dia belum tentu bangun secara wajar!” kata Kakek Segala<br />Tahu.<br />Sinto Gendeng banting-banting kaki. Mulutnya menggerendeng panjang pendek<br />dan matanya berkilat-kilat memandang pada muridnya.<br />“Anak setan!” teriak si nenek. Tapi saat itu juga tubuhnya melesat ke atas kasur<br />jerami. Kedua kakinya menjejak di kiri kanan kepala Si Raja Penidur. Si nenek masih<br />memaki dan masih memandang melotot pada Wiro. Perlahan-lahan dia lalu berjongkok.<br />Wiro tutup mulut menahan tawa sementara Kakek Segala Tahu dongakkan kepala dan<br />goyangkan kaleng rombengnya tiga kali berturut-turut.<br />Saat demi saat berlalu.<br />“Sial! Kakiku sudah letih!” terik Sinto Gendeng.<br />“Bertahan Sinto! Bertahanlah!” ujar Kakek Segala Tahu.<br />Tiba-tiba salah satu kaki Si Raja penidur kelihatan bergerak, menyusul salah satu<br />tangannya. Lalu kepalanya terangkat dari atas tikar kulit kambing. Hidungnya mengerenyit<br />dan mulutnya terbuka lebar. Tiba-tiba dari mulut itu membersit suara berbangkis tiga kali.<br />Sinto Gendeng cepat melompat turun.<br />“Setan alas! Bau busuk apa ini?!” teriak Si Raja Penidur seraya bangkit duduk,<br />berbangkis lagi lalu gosok hidungnya berulang kali. Setelah menguap lebar-lebar perlahanlahan<br />dia buka kedua matanya, memandang berkeliling. Dia segera mengenali ketiga orang<br />yang berdiri di samping tumpukan tempat tidurnya.<br />“Heh…. Kalian bertiga. Manusia-manusia jelek…. Mengapa berada disini…?<br />“Kau sendiri mengapa juga ada di sini?!” Kakek Segala Tahu menukas.<br />“Kau betul! Mengapa aku ada di sini ya…?!” Si Raja Penidur mengucak kedua<br />matanya. Di menguap lagi lebar-lebar. “Aku tak tahu jawabannya. Ah, mengapa susah<br />payah. Lebih baik aku tidur lagi!” Lalu dia segera hendak rebahkan tubuhnya ke atas tikar<br />kulit kambing.<br />“Tunggu dulu!” seru Kakek Segala Tahu dan dengan cepat menahan punggung Si<br />Raja Penidur dengan tongkat bututnya hingga raksasa gendut berbobot ratusan kati ini tak<br />jadi menelentang tidur. “Sesuai ucapanmu dulu, kami datang di sini untuk mendengar jelas<br />mimpimu tiga ratus hari lalu!”<br />“Mimpiku tiga ratus hari lalu?” Si Raja Penidur mendongak. “Gila…. Mana aku<br />bisa ingat!” katanya. Dia hendak merebahkan tubuhnya kembali tapi tak bisa karena<br />tertahan oleh tongkat kayu Kakek Segala Tahu.<br />“Kalau kau tak bisa mengingat biar aku yang mengingatkan!” kata Sinto Gendeng.<br />Tangan kanannya lalu memencet ibu jari kaki kiri Si Raja Penidur. Si gendut meringis dan<br />berkata. “Kau ini masih suka bercanda Sinto! Jangan gelitik kakiku!” teriaknya. Si Raja<br />Penidur menganggap kakinya digelitik, padahal jangankan ibu jari manusia, batupun bisa<br />hancur oleh pencetan tadi!<br />“Tiga ratus hri lalu saat kau terbangun dari tidur, kau bilang telah mimpi tentang<br />sebuah kitab. Ingat…?” Sinto Gendeng kembali pencet kaki si gendut.<br />Si Raja Penidur meyeringai. “Ya aku ingat…! Aku ingat sekarang!”<br />“Katamu ada sebuah kitab yang jika jatuh ke tangan jahat akan membuat kiamat<br />dunia persilatan. Kau ingat…?”<br />“Ya… ya…. Aku ingat!” Si Raja Penidur menguap lebar-lebar.<br />“Tiga ratus hari lalu kau tak sempat menjelaskan secara rinci. Kau keburu tidur!<br />Sekarang ini kesempatan kau mengatakannya!”<br />“Hemmm… huah…” Si Raja Penidur menguap lagi.<br />“Kalian menginginkan kitab itu?” tanya Si Raja Penidur.<br />“Menginginkan atau tidak itu tak jadi masalah. Yang penting jika sudah tahu kami<br />akan mencari jalan bagaimana menyelamatkan dunia persilatan!” jawab Sinto Gendeng.<br />Si gendut geleng-gelengkan kepala. “Tidak satupun dari kalian berjodoh dengan<br />kitab itu. Seorang lain akan mendapatkannya lebih dulu dari kalian. Begitu yang tersirat<br />dalam mimpiku…”<br />“Sialan!” teriak Sinto Gendeng sambil bantingkan kaki.<br />“Brengsek!” maki Kakek Segala Tahu lalu pukulkan tangan kirinya ke jidatnya<br />sendiri.<br />Wiro Sableng garuk-garuk kepala. “Dari tadi kalian ribut membicarakan sebuah<br />kitab yang katanya bisa membuat kiamat dunia persilatan. Sebetulnya kalian ini<br />membicarakan apa? Aku sendiri tidak diberi tahu kitab apa itu! Padahal sebelumnya<br />disebut-sebut aku punya beban berat di atas pundak….”<br />Si Raja Penidur berpaling pada Sinto Gendeng. “Kau sudah dengar keluhan<br />muridmu. Mengapa tidak menceritakan?”<br />Sinto Gendeng komat-kamitkan mulutnya yang perot lalu berkata. “Anak setan kau<br />dengar baik-baik. Ada sebuah kitab bernama Wasiat Iblis. Selama puluhan tahun kitb itu<br />lenyap tak diketahui entah kemana. Kemudian tiba-tiba diketahui kitab celaka itu berada di<br />tangan seorang tokoh silat bernama Jarot Ampel bergelar Iblis Tanpa Bayangan. Manusia<br />satu ini kabarnya berusia lebih dari seratus lima puluh tahun. Sudah bosan hidup. Dia ingin<br />mati cepat-cepat. Sebelum mati kitab itu akan diserahkannya pada seseorang yang<br />berjodoh. Nah kau bisa bayangkan kalau kitab itu jatuh ke tangan orang lain dan kita tidak<br />bisa mencegahnya….”<br />“Kalau kita tahu kitab itu berada dimana dan bergerak cepat mungkin kita bisa<br />mendapatkannya,” kata Wiro.<br />Si Raja Penidur menguap lalu gelengkan kepala. “Aku sudah bilang. Dalam<br />mimpiku tersirat apa yang bakal menjadi kenyataan. Kitab itu tidak bakal kalian<br />dapatkan….”<br />“Bisa jadi begitu. Tapi kalau kita tidak berusaha bagaimana membuktikannya!”<br />ujar Wiro.<br />Si Raja Penidur menyeringai. “Semangatmu tinggi dan nyalimu masih berkobarkobar<br />anak muda. Tanyakan pada Kakek Segala Tahu, dia bisa meramal dan melihat di<br />mana kitab itu berada. Aku sudah mengantuk dan ingin cepat-cepat tidur.…”<br />“Awas, cegah dia tidur!” teriak Sinto Gendeng.<br />Kakek Segala tahu putar tangannya yang memegang tongkat penahan punggung<br />Raja Penidur dan alirkan tenaga dalamnya. Tubuh raksasa Si Raja Penidur bergetar<br />tersentak-sentak.<br />“Gila! Kau apakan badanku ini?!” teriak Si Raja Penidur.<br />“Kau belum memberi semua keterangan. Dulu kau katakan kau juga melihat sebuah<br />kitab lain dalam mimpimu. Kau bilang siapa saja yang bisa mendapatkan kitab itu maka<br />akan sanggup menghadapi kehebatan kitab Wasiat Iblis….”<br />Si Raja Penidur tertawa. “Soal kitab yang satu itu memang ada dalam mimpiku.<br />Tapi tak ada petunjuk lengkap….”<br />“Sudah! Katakan saja apa yang kau ketahui!” kata Kakek Segala Tahu tak sabaran.<br />“Namanya Kitab Putih Wasiat Dewa. Dimana beradanya tidak ada petunjuk. Yang<br />tersirat dalam mimpiku, aku melihat seorang kakek berambut dan berkumis serta<br />berjanggut dan berjubah putih yang tahu dimana beradanya kitab itu….”<br />“Gila! Di dunia ini ada ratusan orang seperti itu!” ujar Sinto Gendeng pula.<br />“Betul…” menyahuti Si Raja Penidur lalu menguap lebar-lebar. “Tapi orang tua<br />yang kulihat dalam mimpi bermuka biru sebelah dan selalu mengunyah daun sirih….”<br />Sinto Gendeng berpaling pada Kakek Segala Tahu. “Kau bisa menyelidik siapa<br />orang itu?”<br />“Aku akan berusaha. Tapi ada satu hal yang perlu kita tanyakan padanya….”<br />“Terlambat!” seru Wiro. “Lihat! Matanya sudah terpejam! Dia sudah tidur!”<br />Sesaat kemudian terdengar suara dengkur Si Raja Penidur.<br />Tiga orang itu hanya bisa saling pandang beberapa saat lamanya. “Kakek Segala<br />tahu, tugas penting kini berada di tanganmu. Pergunakan kesaktianmu. Kau harus bisa<br />meramal dan memberi petunjuk mengenai dua kitab itu. Di mana beradanya….”<br />Kakek Segala Tahu anggukkan kepalanya. “Kita keluar saja dari sini. Dengkur si<br />sontoloyo ini mengganggu pemusatan pikiranku….”<br />Sampai di pedataran di depan rumah kayu Kakek Segala Tahu duduk di atas sebuah<br />batu. Kedua matanya dipejamkan. Kepalanya didongakkan. Tongkat bututnya menunjuk ke<br />langit. Lalu dia goyang-goyangkan kaleng rombengnya sampai tujuh kali. Lama sekali<br />baru dia berhenti menggoyang kaleng dan buka mata butanya yang dipejamkan.<br />“Kau mendapat petunjuk…?” tanya Sinto Gendeng.<br />“Aku melihat Kotaraja. Lalu awan berarak ke arah barat. Ada sebuah bukit kecil.<br />Itu petunjuk mengenai Kitab Wasiat Iblis. Berarti kitab itu ada di sana tapi sulit<br />mengetahui di mana letaknya. Kurasa terlalu sia-sia kalau kita mengejar kitab itu. Si Raja<br />Penidur sudah mengatakan bahwa kitab itu tidak berjodoh pada salah satu dari kita. Dikejar<br />tetap saja akan jatuh ke tangan orang lain. Malah begitu orang itu mendapatkan dan<br />mempelajarinya, keselamatan siapa saja yang mengejar tidak akan tertolong! Lebih baik<br />memusatkan perhatian pada kitab kedua yang dianggap sanggup menjadi penumpas ilmu<br />yang terkandung dalam Kitab Wasiat Iblis….”<br />“Apa petunjuk yang kau dapat mengenai kitab kedua?” tanya Sinto Gendeng.<br />“Mimpi Si Raja Penidur sangat cocok dengan petunjuk yang barusan kudapat.<br />Walau samar-samar aku dapat melihat bayangan orang tua berjubah putih bermuka biru<br />sebelah itu. Bagian biru mukanya ada di sebelah kanan. Mulutnya komat-kamit makan<br />sirih terus-terusan hingga bibirnya merah seperti darah. Dia adalah Tunggul Anggoro yang<br />dikenal dengan julukan Raja Obat Delapan Penjuru Angin. Tempat kediamannya sebuah<br />pulau terpencil di pantai selatan…. Jika kita bisa menemuinya niscaya akan dapat petunjuk<br />di mana Kitab Putih Wasiat Dewa itu berada. Dengan menguasai ilmu kesaktian dalam<br />kitab itu dunia persilatan bisa diselamatkan dari Kitab Wasiat Iblis….”<br />Kakek Segala Tahu goyangkan kaleng rombengnya lalu usap wajahnya yang<br />keringatan.<br />Wiro mendehem beberapa kali. “Bagiku jelas sekarang, mengapa kalian<br />memancingku datang ke tempat ini. Untuk menguji dan sekaligus meyerahkan tugas<br />mencari Kitab Putih Wasiat Dewa itu….”<br />Kakek Segala Tahu menyeringai lalu mengangguk-angguk.<br />“Anak setan! Syukur kau punya kesadaran!” ujar Sinto Gendeng. “Apa kau sudah<br />siap untuk melakukannya?”<br />“Kalau memang tugas setiap saat aku siap melakukannya Eyang,” jawab murid<br />Sinto Gendeng walau dalam hati sang pendekar ini berkata “Mati aku sekali ini!”<br />Kakek Segala Tahu ketuk-ketukkan tongkat bututnya ke tanah lalu berkata. “Ini<br />bukan tugas mudah! Nyawamu tantangannya. Apalagi kalau orang lain kedahuluan<br />mendapatkan Kitab Wasiat Iblis itu. Atau ada kebocoran mengenai rahasia Kitab Putih<br />Wasiat Dewa hingga kebobolan….”<br />Wiro garuk-garuk kepalanya. “Kakek Segala Tahu, Eyang Guru…. Kurasa setelah<br />mendapat petunjuk dan menerima tugas dari kalian lebih baik aku minta diri dari sini<br />sekarang juga.”<br />“Bagus, makin cepat kau pergi makin baik!” kata Kakek Segala Tahu. “Ada satu<br />nasihat lagi dariku. Kalau kau mengalami kesulitan ada baiknya kau menghubungi tokohtokoh<br />silat yang punya hubungan baik denganmu. Seperti Bujang Gila Tapak Sakti, Dewa<br />Sedih dan Dewa Ketawa. Tua Gila….” (Mengenai Bujang Gila Tapak Sakti, Dewa Sedih<br />dan Dewa Ketawa harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Bujang Gila Tapak Sakti” dan<br />“Pelangi di Majapahit”)<br />“Pasti akan aku lakukan Kek,” kata Wiro pula.<br />Pendekar 212 lalu menyalami dan mencium tangan gurunya serta tangan Kakek<br />Segala Tahu. Setelah membungkuk berulang kali diapun membalikkan tubuh.<br />“Anak setan! Apa kau akan pergi seperti itu?!”<br />Teguran Sinto Gendeng membuat Wiro hentikan langkah, berpaling dan<br />memandang pada si nenek dengan air muka tidak mengerti.<br />“Eyang…. Ada sesuatu yang aku lupakan?” tanya Wiro.<br />“Pegang kepalamu! Rambutmu masih dikuncir dan diikat pita warna-warni. Kalau<br />mau gila cukup sebentar saja. Jangan terus-terusan!”<br />“Ah!” Wiro pegang kepalanya. Dia lupa. Sampai saat itu rambut gondrongnya<br />masih dalam keadaan terkuncir dan diikat pita aneka warna. Cepat-cepat dia tanggalkan<br />semua ikatan pita. “Sudah Eyang…. Sekarang saya bisa pergi….”<br />“Anak tolol! Mukamu masih babak belur bercelemong pupur merah putih. Sebelum<br />turun dari gunung ini cari mata air atau telaga. Cuci mukamu sampai bersih. Kalau tidak<br />anak-anak sekampung akan mengiringimu sambil berteriak orang gila… orang gila!”<br />“Terima kasih Eyang… terima kasih… Aku akan mencari air untuk membasuh<br />muka jelek ini.” Lalu cepat-cepat Wiro tinggalkan tempat itu. Setelah jauh dia<br />memperlambat larinya. Sambil garuk kepala dia berkata. “Untung aku tidak disuruh<br />mencuci muka dengan air kencingnya!”<br />TIGA BELAS<br />PANGERAN Matahari dekati sumur batu itu. Bau busuk tercium keluar dari dalam sumur.<br />“Pasti juga ada mayat dalam sumur ini,” kata Pangeran Matahari dalam hati.<br />“Justru di sini tersembunyi Kitab Wasiat Iblis itu….” Dia memandang berkeliling lalu<br />sambil pegangi tepi sumur batu dia ulurkan sebagian tubuhnya, memandang ke dalam<br />sumur. “Gelap dan busuk. Ada selapis kabut menutupi pemandangan. Aku tak bisa melihat<br />apa-apa….” Baru saja dia berkata begitu tiba-tiba dari dalam sumur terdengar suara<br />menderu keras laksana ada air bah. Lalu satu gelombang angin dahsyat mencuat ke atas.<br />“Gila! Apa sumur tua ini ada hantu silumannya?!” teriak Pangeran Matahari<br />berfikir sejenak. Dengan hati-hati kembali dia mendekati pinggiran sumur dan seperti tadi<br />dia ulurkan sebgian tubuhnya. Dia tak menunggu lama. Dari dasar sumur terdengar deru<br />dahsyat disusul dengan mengebubunya angin sangat kencang. Untuk kedua kalinya<br />Pangeran Matahari hindarkan diri dengan melompat ke belakang. Sesaat dia tegak tak<br />bergerak. Pandangannya kemudian membentur sosok Elang Setan dan Tiga Bayangan<br />Setan yang tegak dalam keadaan kaku. Satu seringai tersungging di mulutnya. Elang Setan<br />dan Tiga Bayangan Setan segera maklum apa yang ada dalam benak orang itu. Keduanya<br />serentak berteriak. “Jangan! Jangan jadikan kami percobaan maut!”<br />Pangeran Matahari melangkah ke arah Tiga Bayangan Setan. Menyangka dirinya<br />yang hendak dijadikan percobaan orang ini meratap keras. “Demi setan jangan! Jangan!”<br />tapi dia segera hentikan teriakannya ketika Pangeran Matahari melewatinya. Lalu di<br />belakangnya terdengar suara pohon berderak patah. Tak lama kemudian Pangeran<br />Matahari kelihatan menyeret sebatang pohon yang barusan dipatahkannya. Batang pohon<br />itu dimelintangkannya di atas mulut sumur batu. Sesaat kemudian dari dasar sumur<br />menderu suara keras disusul hembusan angin dahsyat. Batang kayu yang terletak di atas<br />sumur mencelat mental, hancur berkeping-keping.<br />“Ganas sekali!” desis Pangeran Matahari. Pelipisnya bergerak-gerak. “Kalau saja<br />guruku Si Muka Bangkai tidak mengatakan Kitab Wasiat Iblis itu ada di dalam sumur ini<br />sudah sejak tadi-tadi aku meninggalkan tempat celaka ini. Hemmm…. Aku harus mencari<br />akal…. Angin dahsyat mematikan itu tidak serta merta melesat keluar bila ada benda di<br />atas sumur. Paling tidak ada jarak waktu. Ada uliran seperti tangga menurun menuju ke<br />dasar sumur. Tapi terlalu lama kalau harus mengikuti tangga terjal itu. Melayang akan<br />lebih cepat. Hmm….” Pangeran Mathari berfikir lagi. Dia ingat ada segulung tali yang<br />ditinggalkannya di kantong perbekalan yang tergantung di kudanya. Akhirnya dia tetap<br />pada keputusan untuk masuk ke dalam sumur dengan jalan melompat. Dia patahkan batang<br />pohon untuk kedua kalinya dengan hantaman tangan kanan. Sekali ini dia sengaja memilih<br />batang pohon lebih besar. Seperti tadi dengan hati-hati batang pohon itu diletakkan di atas<br />sumur lalu mundur sejuh beberapa langkah.<br />Sesaat kemudian di dasar sumur terdengar sura macam air bah itu. Lalu angin<br />dahsyat melesat ke atas, menghantam batang pohon besar hingga hancur berkeping-keping.<br />Pada saat batang pohon mental, Pangeran Matahari kibaskan mantelnya lalu melompat<br />masuk ke dalam sumur. Kedua tangannya dikembangkan. Telapak tangan dibuka dan<br />diarahkan ke bawah. Dari dua telapak tangan ini memancar sinar merah kuning yang<br />memiliki kekuatan mampu menahan daya jatuh tubuhnya. Sebenarnya yang keluar dari<br />kedua tangannya itu adalah pukulan sakti “telapak Merapi”. Selain itu mantelnya yang<br />terkembang ikut membantu menahan kecepatan jatuh atau daya layang tubuhnya. Pangeran<br />Matahari sudah melayang turun sedalam dua pertiga kedalaman sumut gelap ketika dia<br />mendadak menjadi tegang karena di bawah sana tiba-tiba terdengar deru suara air bah.<br />Secepat kilat Pangeran Matahari melesatkan tubuhnya ke dinding sebelah kiri lalu<br />menjejakkan kedua kakinya di ulir batu. Kedua tangannya dihantamkan ke dinding sumur.<br />“Craasss! Craaasss!”<br />Dinding batu berlubang jebol. Sepasang tangan Pangeran Matahari amblas masuk<br />ke dalam lobang itu sampai sebatas siku. Ketika angin dahsyat mencut ke atas dia lekatkan<br />tubuhnya rapat-rapat ke dinding sumur. Di dalam lobang dua tangannya mencengkeram<br />kuat-kuat. Tenaga dalam dikerahkan penuh.<br />“Wusss! Wutt! Wuttt!”<br />“Breeettt!”<br />Angin dahsyat menghantam tubuhnya tapi dia bisa luput. Walau demikian<br />tengkukya terasa dingin ketika mantel di punggungnya robek besar lalu terlepas mental dan<br />melayang ke atas sumur. Dengan tubuh basah oleh keringat dingin Pangeran Matahari<br />menunggu. Sumur tua itu dicekam kesunyian dan kegelapan.<br />“Saatnya aku harus turun. Mudah-mudahan angin celaka itu tidak akan menyerang<br />lagi….” membatin Pangeran Matahari. “Bau busuk semakin santar. Berarti aku tak<br />seberapa jauh lagi dari dasar sumur….” Memikir begitu disamping mantelnya tak ada lagi<br />maka Pangeran Matahari melanjutkan turun ke dasar sumur dengan berjalan diulir<br />sepanjang dinding sumur yang merupakan tangga. Dalam hati dia menghitung setiap<br />langkah yang dibuatnya. Pada hitungan ke tujuh puluh dua kaki kirinya mencapai dasar<br />sumur tapi tidak menginjak dasar batu melainkan menginjk sebuah benda bulat panjang<br />hingga dia hmpir terpeleset.<br />“Bau busuk celaka! Gelap jahanam!” maki Pangeran Matahari.<br />Dia mengeruk saku pakaiannya mengeluarkan dua buah batu hitam sebesar<br />kepalan. “Untung guru membekali dua batu api ini!” Dua buah batu hitam digosokkannya<br />kuat-kuat. Bunga api memercik. Pada gosokan keempat salah satu dari dua batu api itu<br />mengobarkn api. Tempat itu serta merta menjadi terang. Memandang berkeliling Pangeran<br />Matahari jadi bergidik. Di dasar sumur batu yang tidak berair itu tergeletak sesosok mayat<br />yang sudah membusuk dan digerogoti belatung di bagian mata, telinga dan hidung.<br />Sebagian kepalanya remuk, tertutup darah yang sudah mengering. Rambutnya yang putih<br />awut-awutan penuh dengan noda darah yang sudah mengering. Sulit mengenali wajah<br />mayat ini Pangeran Matahari punya dugaan keras ini adalah mayat Jarot Ampel alias Iblis<br />Tanpa Bayangan.<br />“Kitab Wasiat Iblis itu…” desis Pangeran Matahari. “Menurut Si Muka Bangkai<br />ada dalam sumur ini. Aku tidak melihatnya….” Pangeran Matahari memandang berkeliling<br />lalu pandangannya kembali pada mayat Iblis Tanpa Bayangan. Dengan ujung kakinya<br />mayat itu dibalikkannya hingga terbujur miring. Kitab yang dicari tetap tidak ditemukan.<br />Dia memeriksa seluruh dinding sumur batu. Dia sengaja menyalakan lagi batu api kedua<br />hingga tempat itu bertambah terang.<br />“Setan, di mana kitab iblis itu bisa kutemukam! Apakah guruku sengaja<br />menipuku?!” Pangeran Matahari melangkah seputar dasar sumur batu. Ketika dia sampai<br />di hadapan sosok mayat Iblis Tanpa Bayangan yang kini berada dalam keadaan miring,<br />sepasang matanya membesar. Karena miring, baju di bagian dadanya tersingkap. Sebuah<br />benda berwarna hitam tersembul dari balik baju mayat.<br />Pangeran Matahari tekap hidungnya lalu membungkuk memperlihatkan lebih<br />seksama. Tangannya diulurkan untuk mengambil benda itu. Begitu jari-jarinya menyentuh<br />benda hitam dia merasa ada hawa aneh mengalir, membuat pandangannya lebih terang dan<br />tiba-tiba saja jalan pernafasannya sanggup meredam bau busuknya mayat!<br />“Pasti ini Kitab Wasiat Iblis itu! Buku sakti yang aku cari!” kata Pangeran Matahari<br />dalam hati seraya cepat-cepat menariknya dari balik baju mayat.<br />“Wasiat Iblis”! Pangeran Matahari membaca tulisan yang tertera di sampul hitam<br />kitab dengan suara bergetar. Kitab diperiksanya dengan cepat. Isinya hanya tiga lembar<br />halaman. Tulisan di halamannya tidak mudah untuk dibaca. Apalagi di tempat yang hanya<br />diterangi nyala api dua batu api kecil. Cepat-cepat Pangeran Matahari masukkan kitab itu<br />ke balik bajunya. Dia memandang berkeliling.<br />“Kitab sakti sudah didapat. Aku harus segera tinggalkan tempat ini. Khawatir suara<br />air bah dan angin jahanam itu tiba-tiba muncul!”<br />Cepat-cepat Pangeran Matahari memanjat ulir sepanjang dinding sumur batu yang<br />merupakan tangga terjal menuju ke atas.<br />“Aneh, kenapa langkahku menjadi enteng dan tubuhku terasa ringan sekali!” pikir<br />Pangeran Matahari. “Jangan-jangan buku sakti ini penyebabnya!”<br />Sebentar saja dia berhasil mencapai ujung atas sumur. Sekali lompat dia sudah<br />berada di luar sumur. Begitu kedua kakinya menjejak tanah dia memandang berkeliling<br />dan jadi terkejut. Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan tak ada lagi di tempat mereka tadi<br />tertegak kaku akibat totokan. Sang Pangeran segera mencium bahaya.<br />“Pasti ada orang ketiga. Dua setan itu tak mungkin membebaskan diri sendiri dari<br />totokanku!” Pangeran Matahari melangkah seputar sumur batu, memandang ke setiap<br />sudut di sekitarnya.<br />“Kau mencari kami Pangeran Matahari?!” satu suara menegur dari belakang.<br />Pangeran Matahari cepat balikkan tubuh. Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan<br />berdiri sekitar sepuluh langkah di hadapannya. Keduanya sunggingkn senyum lebar lalu<br />tertawa mengekeh, tidak keras tapi cukup membut Pangeran Matahari merasa tidak enak.<br />Apa lagi saat itu di antara kedua orang itu tegak berdiri seorang nenek berpakaian kuning.<br />Meskipun tua namun wajahnya dihias secara berlebihan dan sikapnya nampak genit. Pada<br />ikat pinggang besar warna hijau yang dikenakannya tersisip sebuah senjata berbentuk<br />tombak yang ujungnya bercagak dua.<br />“Iblis Tua Ratu Pesolek!” kata Pangeran Matahari dalam hati begitu dia mengenali<br />siapa adanya si nenek berjubah kuning.<br />Tiga Bayangan Setan usap-usap kedua tangannya lalu berkata. “Kau sudah masuk<br />ke dalam sumur batu dan keluar lagi. Berarti kau sudah menemukan Kitab Wasiat Iblis<br />itu!”<br />Pangeran Matahari diam saja.<br />“Kalau kau mau menyerahkan pada kami, kami menganggap selesai segala hutang<br />piutang di antara kita! Kau boleh pergi dengan aman dan nyawa masih di badan!”<br />Mendengar itu Pangeran Matahari sunggingkan senyum lalu tertawa. Mula-mula<br />perlahan saja kemudian makin keras dan makin keras.<br />“Anjing-anjing pengawalku rupanya punya nyali besar! Apa kalian lupa kalau<br />tubuh kalian mengalir racun jahat yang hanya memberi kehidupan seratus hari pada<br />kalian?!”<br />Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan balas tertawa gelak-gelak sementara Iblis<br />Tua Ratu Pesolek tenang-tenang saja. Dari balik pakaiannya dia keluarkan sebuah kaca<br />kecil. Sambil memandang ke dalam kaca dia merapikan susunan rambutnya yang<br />disanggul, mengusap pipinya dan menggerak-gerakkan bibirnya yang diberi cat pewarna<br />sangat merah.<br />“Soal racun dan kematian kami berdua tidak begitu memikirkan. Sahabat kami<br />yang cantik ini berjanji akan memberikan obat penawar!”<br />“Hemmm begitu…? Lalu apa yang kalian berikan padanya sebagai imbalan? Tubuh<br />kalian…?!”<br />“Setan alas!” maki Elang Setan.<br />“Jahanam!” rutuk Tiga Bayangan Setan.<br />Sebaliknya si nenek tua tidak menunjukkan tanda-tanda marah. Malah dia<br />keluarkan suara tertawa genit. Setelah menyimpan kaca kecilnya dia kedip-kedipkan<br />sepasang matanya lalu bergerak mendekati Pangeran Matahari dan berhenti lima langkah<br />di depan pemuda itu.<br />“Kau masih muda. Tapi pengalamanmu mengenai hubungan perempuan dengan<br />lelaki agaknya jauh lebih luas dari aku yang sudah tua. Ya… ya… ya… Aku memang<br />sudah tua. Tapi keadaan badanku tidak kalah dengan apa yang dimiliki seorang gadis. Kau<br />bisa saksikan sendiri!”<br />Habis berkata begitu si nenek singkapkan ke atas baju kuningnya. Sepasang mata<br />Pangeran Matahari melihat dua buah payudara putih besar dan kencang terpentang di<br />hadapannya.<br />“Gila! Bagaimana ada nenek-nenek memiliki aurat seperti ini!” ujar Pangeran<br />Matahari dalam hati. Selagi dia terperangah melihat pemandangan luar biasa ini tiba-tiba<br />dari balik baju kuning si nenek melesat keluar selusin senjata rahasia berupa paku hitam.<br />“Tua bangka kurang ajar! Kau sengaja mencari mati!” hardik Pangeran Matahari.<br />Tangan kanannya diangkat, siap untuk lepaskan pukulan sakti “telapak matahari” namun<br />sebelum pukulan sempat dilepas tiba-tiba dari dada Pangeran Matahari melesat keluar satu<br />gelombng angin keras yang memancarkan sinar hitam pekat.<br />Selusin paku bermentalan dan leleh. Di depan sana Iblis Tua Ratu Pesolek<br />keluarkan jeritan keras. Tubuhnya mencelat sampai sepuluh tombak. Begitu tergelimpang<br />di tanah tubuh itu hanya tinggal tulang belulang hangus menghitam!<br />Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan langsung merinding pucat melihat apa yang<br />terjadi. Pangeran Matahari sendiri ikut ngeri juga merasa heran.<br />“Aneh, apa yang terjadi dengan diriku! Aku belum sempat melepas pukulan sakti.<br />Dari dadaku tiba-tiba ada sinar hitam yang sanggup melelehkan senjata rahasia bahkan<br />membuat si nenek mati mengerikan begitu rupa…. Astaga! Jangan-jangan Kitab Wasiat<br />Iblis yang ada di balik bajuku!”<br />Selagi dia terkesiap begitu rupa tiba-tiba Elang Setan dan Tiga Bayangan Setan<br />mendatangi dan jatuhkan diri di depan Pangeran Matahari.<br />“Pangeran kami telah membuat kesalahan besar. Perempuan tua itu telah menipu<br />kami!” kata Tiga Bayangan Setan.<br />“Benar,” menyambung Elang Setan. “Kami berdua mohon ampun dan maafmu.<br />Kami bersedia melakukan apa saja yang kau katakan!”<br />Pangeran Matahari tertawa lebar. “Manusia-manusia culas! Nyawa kalian<br />kuampuni sampai seratus hari dimuka. Sementara itu kalian berdua tetap menjadi anjinganjing<br />pengawalku! Menggonggonglah!”<br />“Pangeran…” ujar Tiga Bayangan Setan.<br />“Kami…” Elang Setan ikut bicara tapi segera disentak.<br />“Aku bilang menggonggonglah! Menggonggonglah seperti anjing! Atau kalian<br />akan menyusul jadi tulang belulang hangus hitam seperti si Iblis Tua Ratu Pesolek?”<br />Tak ada jalan lain. Kedua orang itu mulai menggonggong menirukan suara anjing.<br />Pangeran Matahari tertawa gelak-gelak. “Kurang keras! Menggonggong lebih<br />keras!” bentaknya.<br />Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan terpaksa patuh dan menggonggong lebih keras<br />“Bagus! Menggonggonglah terus sampai lidah kalian copot!” kata Pangeran<br />Matahari. Lalu sambil tertawa mengekeh dia tinggalkan tempat itu. Disatu tempat dia<br />teringat pada Wiro Sableng. Langsung saja dia berteriak. “Pendekar 212! Di mana kau?<br />Sekarang jangan harap bisa lolos dari tanganku! Wasiat Iblis merupakan wasiat kematian<br />bagimu! Ha… ha… ha!”<br />TAMAT<br />PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212<br />WIRO SABLENG<br />Serial Berikutnya :<br />WASIAT DEWAscorpionsGunshttp://www.blogger.com/profile/05792078590560618820noreply@blogger.com0